http://www.jawapos.co.id/mingguan/index.php?act=showpage&kat=11 
[ Minggu, 16 Mei 2010 ] 

Memetik Pengalaman dari Konflik Politik 


KEKUASAAN dan sengketa politik serupa dua sisi sekeping koin. Tamsil itu bukan 
kenyataan kekuasaan ideal, tapi demikian realitas yang terjadi. Bahkan, tikai 
politik dianggap identik dengan kekuasaan. Tiada kekuasaan tanpa ketegangan 
politik dan tak ada konflik politik tanpa tujuan kekuasaan. 

Sengketa politik merupakan pengalaman yang memberikan pelajaran nyata. Kadar 
mutu pelajaran yang diperoleh dari pengalaman itu bergantung pada sejauh mana 
mendalami dan memahaminya. 

Buku ini mengelola pengalaman itu secara ketat-kritis melalui alat-alat 
teoretis-akademis sehingga keilmiahannya bisa dipertanggungjawabkan dan bisa 
diuji bersama. Buku ini berisi uraian cerita dan analisis teoretis tiga 
sengketa politik pada masa kekuasaan negara Orde Baru: Malari (1974), Petisi 50 
(1980), dan Peristiwa Tanjung Priok (1984). 

Tiga konflik politik itu terdeskripsikan kronologis dan anatominya serupa 
cerita yang dilengkapi bagan dan peta tempat peristiwa serta dokumen 
mengenainya. Semua itu diteropong serta dirumuskan melalui teori Nicos 
Poulantzas dan teori Peter Evans. 

Poulantzas dan Evans adalah dua pemikir negara berkembang setelah Perang Dunia 
II. Poulantzas menolak negara instrumentalis model marxis ortodoks dan 
menawarkan model negara-organis. Sedangkan Evans menggagas negara struktural. 
Bagi Evans, dominasi negara merupakan persekutuan negara dan borjuasi nasional 
yang melibatkan faktor modal asing.

***

Bagaimanakah gambaran tiga peristiwa konflik politik itu?

Gerakan Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) merupakan aksi mahasiswa dan 
massa menolak lawatan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka. Aksi itu 
menimbulkan huru-hara dan perusakan-perusakan fisik berskala luas di Jakarta 
yang mengakibatkan kematian belasan orang dan penangkapan ratusan tokoh oleh 
tentara. Aksi tersebut, antara lain, didasari antidominasi modal asing 
(terutama Jepang), pemusatan sumber ekonomi penting di tangan militer, dan 
marginalisasi masyarakat. Aksi itu merupakan klimaks perbenturan kritisisme 
masyarakat dengan kinerja ekonomi dan politik negara.

Dampak sosial terbesar dari Malari adalah penodaan citra dan peran politik 
mahasiswa dan massa sehingga diberlakukan depolitisasi dalam bermasyarakat dan 
bernegara serta pemberedelan beberapa media massa akibat pemberitaan peristiwa 
itu. 

Peristiwa Petisi 50 bermula dari ''Pernyataan Keprihatinan'' yang 
ditandatangani 50 tokoh terkemuka yang menanggapi, mengkritik, dan menggugat 
pidato tanpa teks Presiden Soeharto saat Rapim ABRI di Pekanbaru (27 Maret 
1980) dan sambutan Presiden Soeharto pada Hari Ulang Tahun KOPASSANDHA di 
Cijanjung, Jakarta, 16 April 1980. ''Pernyataan keprihatinan'' itu juga 
mendesak para pejabat DPR dan MPR menanggapi pidato-pidato presiden tersebut. 
Akibatnya, para penanda tangan Petisi 50 mengalami ''represi halus'', misalnya 
pencabutan hak-hak sosial-ekonomi mereka.

Para penanda tangan Petisi 50 berasal dari kalangan nasionalis, agama, dan ABRI 
(kini TNI, Red). Peristiwa Petisi 50 membuat antarelite yang berpengaruh di 
masyarakat berkonfrontasi dan menumbuhkan ''oposisi terorganisasi'' yang 
sebelumnya belum mengemuka. 

Pada 12 September 1984, terjadi kerusuhan dan kekerasan bersenjata dalam 
Peristiwa Tanjung Priok. Peristiwa itu melibatkan massa dan tentara yang 
menimbulkan kematian, penangkapan, dan kerusakan infrastruktur di sekitar 
Tanjung Priok. Konflik itu tersulut kegalauan umat Islam akibat negara 
mencanangkan asas tunggal Pancasila sebagai ideologi formal. Konflik tersebut 
juga terpicu situasi marginal masyarakat Tanjung Priok secara sosial-ekonomi. 

Setelah peristiwa itu, Orde Baru mengabaikan eksistensi ideologi informal dan 
mewajibkan organisasi masyarakat dan organisasi sosial-politik menganut asas 
tunggal Pancasila. Juga, terjadi depolitisasi, institusionalisasi, dan 
de-ideologisasi demi memantapkan rezimentasi negara Orde Baru. 

***

Buku ini merupakan studi yang menunjukkan pola, arah, dan efektivitas manajemen 
konflik politik negara Orde Baru menghadapi tiga sengketa politik itu. 
Singkatnya, negara Orde Baru melakukan ''dis-manajemen''. Negara Orde Baru 
membuat konsensus politik semu dan ''pelatenan'' politik dalam mengelola 
konflik-konflik politik itu. Dampak-dampak konflik politik tersebut ditekan ke 
bawah permukaan oleh negara.

Faktor-faktor yang melatari model manajemen konflik politik itu, antara lain, 
negara yang hegemonik-otoriter, memaksimalkan peran aparatur negara yang 
represif, melemahkan borjuasi nasional, dan melakukan alienasi politik. 

***

Foto peristiwa dan tokoh/pelaku konflik-konflik politik itu bisa memperlengkap 
bahan kesejarahan dan lebih menghidupkan ingatan pada tiga konflik politik 
tersebut, tapi sayang tak tersaji dalam buku ini. Mengapa hanya mengungkap tiga 
peristiwa konflik politik itu? 

Semasa Orde Baru, ada peristiwa konflik politik lain, seperti Gerakan Pengacau 
Keamanan (GPK) Anwar Warsidi di Lampung, gerakan separatisme di Aceh yang 
memunculkan DOM (Daerah Operasi Militer), maupun peristiwa Santa Cruz di 
Timor-Timur. 

Terlepas dari ketaksempurnaan itu, buku ini adalah sampel istimewa upaya 
merekam dan menganalisis ''sebagian'' konflik politik di masa Orde Baru. 
Konflik-konflik politik di masa Orde Baru masih perlu ditelusuri lagi agar 
catatan mengenainya kian komplet sehingga tak terlupakan akibat 
ketaktercatatan. 

Tujuan buku ini bukan membuka luka lama atau mengungkit-ungkit peristiwa tragis 
di masa lalu. Kehadiran buku ini menjaga ingatan kolektif agar konflik-konflik 
politik di masa silam tak terulang dan memberikan kedalaman pemahaman 
terhadapnya agar masa depan tak lagi dirundung tragedi serupa. Ingatan dan 
pemahaman itu menjadi modal merumuskan cara menghadapi dan menangani konflik 
politik yang lebih demokratis. Bukankah salah satu hakikat demokrasi adalah 
mengelola ketegangan-ketegangan politik? (*)

Judul Buku: Konflik, Manipulasi dan Kebangkrutan Orde Baru

Penulis: Eep Saefulloh Fatah

Penerbit: Burungmerak Press, Jakarta

Cetakan: Pertama, 2010

Tebal: xix + 402 halaman

*) Binhad Nurrohmat, penyair, civitas academica STF Driyarkara, Jakarta 


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke