http://www.riaupos.com/new/berita.php?act=full&id=74&kat=11

Refleksi Hari Buku Nasional, 17 Mei)
Buku Adalah Jendela Dunia 
Oleh Bambang Irawan
17 Mai 2010


BUKU merupakan hal penting bagi kita, dengan buku kita bisa mempelajari banyak 
hal yang tidak kita ketahui sebelumnya. 
  
Buku memberikan pencerahan dan segudang ilmu berharga bagi siapa saja yang 
dapat mengeksplorasinya dengan baik sekaligus menerapkannya dalam kehidupan 
sehari-hari. 

Dunia begitu luas dan kita dapat menikmatinya lewat buku, oleh karena itu buku 
sering dikatakan sebagai jendela dunia. Jendela dunia akan semakin terbuka 
lebar kalau kita sering membaca. 

Sebuah buku mampu mengungkapkan sesuatu, menggambarkan seseorang dan 
menceritakan selaksa peristiwa dalam rangkaian sejarah kehidupan. Buku 
memberikan banyak pengetahuan, inspirasi, dan pencerahan. 

Dengan membaca buku, kita bisa menjelajahi dunia, melahirkan karya bahkan 
mengubah peradaban. Karya-karya tulis terbaik dunia, bisa kita nikmati lewat 
buku dan kita mendapat pencerahan karena isinya bermutu. 

Bahan kitab-kitab suci pun yang tadinya berupa suhuf-suhuf atau lembaran yang 
disucikan dan terpisah pada daun lontar akhirnya bisa kita baca dalam bentuk 
buku. Buku memberikan kita banyak pengetahuan. Dengan membaca satu buku, kita 
bisa mendapat banyak pengetahuan sekaligus. 

Belum Melek Huruf
Menurut penelitian sebuah lembaga dunia terhadap daya baca di 41 negara, 
Indonesia berada di peringkat ke-39. Di sisi lain, menurut laporan Bank Dunia, 
No 16369-IND dan studi IEA di Asia Timur, tingkat membaca anak-anak dipegang 
Indonesia dengan skor 51,7 di bawah Filipina (52,6), Thailand (65,1), dan 
Singapura (74,0). 

Minimnya daya baca masyarakat di satu sisi memang tak lepas dari ketidakmampuan 
mereka untuk memahami sebuah teks, alias melek huruf. Pada orang dewasa saja 
(di atas 15 tahun), menurut data Depdiknas terbaru, ada 15,5 juta atau 9,20 
persen yang belum melek huruf.

Minat baca yang sejatinya kian ditingkatkan untuk menambah wawasan dan membuka 
jendela dunia, kalah dengan gemerlapnya metropolitan umumnya generasi muda 
gandrung terhadap hal-hal yang bersifat praktis dan pragmatis. Membaca buku 
seakan dianggap sebagai agenda sampingan. Maka itu, tak mengherankan apabila 
mereka tidak memiliki daya berpikir yang logis kritis dan transformatif.

Banyaknya masyarakat dan generasi muda yang belum melek huruf adalah indikasi 
proyek pendidikan di bangsa ini masih dilematis. Artinya, kalau selama ini 
banyak siswa dan siswi yang mendapat prestasi dan penghargaan dari luar negeri 
karena kecakapan dan keterampilan mereka, kenapa di kalangan akar rumput masih 
ada yang belum melek huruf. Itulah fenomena yang memprihatinkan bagi proyek 
pendidikan nasional. 

Ketimpangan antara si kaya dan si miskin sudah mendarah daging dalam jagat 
pendidikan. Akhirnya untuk belajar membaca saja tidak terjangkau bagi kalangan 
kelas bawah. Maka dari itu, sudah semestinya upaya pemberantasan melek huruf 
digalakkan dengan mengubah pola proyek pendidikan yang dulunya masih berbasis 
duit pada arah yang lebih berbasis kerakyatan. 

Proyek itu tidak hanya digencarkan dalam ranah pendidikan formal, tetapi yang 
terpenting dan terutama adalah proyek pendidikan nonformal. Apalagi buta huruf 
benar-benar mewabah di kalangan orang dewasa dan orang tua. 

Makanya, untuk masuk pendidikan formal yang penuh dengan segala aturan dan 
struktural tidak memungkinkan. Yang paling strategis dan memungkinkan adalah 
pemberantasan buta huruf lewat jalur pendidikan nonformal. 

Bagi masyarakat yang sudah melek huruf, tapi tergerus oleh gemerlapnya 
metropolitan tidak ada jalan yang paling sublim untuk mendongkrak kecintaannya 
terhadap buku kecuali dengan mengembalikan kesan pentingnya buku dalam proses 
transformasi sosial kebangsaan. 

Membaca buku adalah ijtihad transformatif menjadi suatu kesan yang harus 
dikembalikan pada seluruh khalayak umum. Beberapa sifat buku yang menurut 
penulis patut menjadi alasan untuk kita mencintainya: Pertama, karena buku 
selalu up to date. Walaupun buku telah berumur puluhan bahkan ratusan tahun, 
tapi buku selalu menyimpan informasi yang akurat sebagai media untuk mengetahui 
data peradaban yang ada saat itu. 

Kedua, karena buku selalu kaya dengan imajinasi. Membayangkan apa yang tertulis 
di buku membuat kita seperti membangun imajinasi versi pikiran kita sendiri. 
Mengajak diri kita untuk berkreasi dengan menenggelamkan diri dalam alur atau 
setting yang terdapat dalam buku. Itu menjadikan kita belajar untuk mengerti 
dunia lain yang sebelumnya tak pernah terpikir oleh kita. 

Ketiga, dengan membaca buku dapat membuat kita tergerak untuk menulis. 
Mendeskripsikan sesuatu hal menurut kacamata kita sendiri. Menulis membuat kita 
bebas menciptakan dunia yang ingin kita bangun. Kita bisa mengungkapkan apa 
yang kita rasakan. 

Dan menulis adalah sarana yang paling efektif dalam mengungkapkan perasaan. 
Juga bisa menawarkan pemikiran baru pada orang lain.

Begitu juga sebaliknya, ketika buku sudah dianggap kata benda yang tak berarti, 
sungguh kejam perbuatan kita. 

Sebagaimana Joseph Brodsky yang dikutip Anton Kurnia (2005) mengatakan membakar 
buku adalah kejahatan, tetapi ada yang lebih jahat daripada membakar buku, 
yakni tidak membaca buku. Pernyataan ini cukup tegas dan lugas dalam 
mengkampanyekan betapa pentingnya membaca buku hingga akhirnya memberi predikat 
bahwa orang yang paling kejam dan paling jahat adalah yang tidak membaca buku.

Terakhir, dalam konteks itulah perpustakaan yang menjadi gerbong buku sekaligus 
jendela peradaban harus lebih memproyeksikan bagaimana masyarakat dapat 
mempunyai daya baca yang cukup tinggi. 

Apalagi sekarang kita lihat di Pekanbaru sudah berdiri Gedung Perpustakaan 
Soeman HS yang merupakan salah satu gedung pustaka termegah di Indonesia dan 
untuk membangun pustaka megah ini tidak sedikit APBD Riau disalurkan. Hal ini 
tidak lepas dari komitmen Riau untuk mengentaskan buta huruf dengan membangun 
monumen pustaka yang mirip dengan buku. Tugas semacam itulah yang mesti 
mendapat perhatian dan proyeksi awal dari perpustakaan. 

Dengan tingginya minat baca masyarakat, otomatis wawasan dan pengetahuan pun 
kian bertambah. Karena itu, daya berpikir kritis, logis, dan transformatif 
lambat laun akan tumbuh. Selamat Hari Buku Nasional, 17 Mei 2010.***

Bambang Irawan, Pengurus DEMA dan Mahasiswa FDIK UIN Suska Riau

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke