Lebih baik pemerintah fokus pada menasionalisasi perusahaan migas yang jelas 
tidak efisien dan menarik untung sebesar2nya. Jika presiden Venezuela Hugo 
Chavez dan Bolivia Evo Morales bisa menasionalisasi perusahaan asing, saya 
yakin bangsa Indonesia yang jauh lebih besar bisa.

Harga minyak oleh kartel minyak dinaikan dari US$ 24/barrel jadi US$ 80/barrel 
hanya dalam beberapa tahun. Ini maruk, serahak, loba, tamak, dsb.

Tidak pantas rakyat Indonesia menanggung kenaikan harga minyak yang dinaikkan 
oleh perusahaan2 migas swasta/asing yang serakah. Lebih baik nasionalisasi 
perusahaan2 tsb ketimbang rakyat harus menderita karena kenaikan harga.


===

Belajar Islam sesuai Al Qur'an dan Hadits

http://media-islam.or.id

Milis Ekonomi Nasional: ekonomi-nasional-subscr...@yahoogroups.com

Belajar Islam via SMS:

http://media-islam.or.id/2008/01/14/dakwah-syiar-islam-lewat-sms-mobile-phone

--- Pada Sen, 31/5/10, ulfha_raz <ulfha_...@yahoo.co.id> menulis:

Dari: ulfha_raz <ulfha_...@yahoo.co.id>
Judul: [ekonomi-nasional] Politik Energi Yang Berbau Kolonial
Kepada: ekonomi-nasio...@yahoogroups.com
Tanggal: Senin, 31 Mei, 2010, 9:02 PM







 



  


    
      
      
      Politik Energi Yang Berbau Kolonial



Oleh: Rudi Hartono*)



Pemerintah memastikan akan mencabut subsidi BBM dalam waktu dekat,

demikian dikatakan Menkokesra Agung Laksono seperti dilansir Kompas, 29

mei 2010. Selanjutnya, menurut Menkokesra ini, pemerintah akan

menggantinya dengan mekanisme pemberian kompensasi-kompensasi kepada

sektor rakyat tertentu.



Sungguh, ini bukan sekedar sebuah penjelasan yang dangkal, melainkan

juga pernyataan yang sangat mengelabui. Lihatlah, setiap kali pemerintah

hendak mencabut subsidi, logika berfikir seperti ini terus dikemukakan.



Rakyat kembali menjadi korban, terutama mereka yang sudah

"ngos-ngosan" menghadapi tekanan ekonomi. Ini kebijakan yang

mengagetkan, dikatakan bahwa kita mengalami krisis energi, padahal

sumber energi di bumi pertiwi sangat melimpah.



Indonesia masih memiliki cadangan minyak sebesar 3,99 miliar barel dan

diperkirakan baru habis dieksploitasi selama 11 tahun. Disamping itu,

kita masih memiliki potensi cadangan sejumlah 4,41 miliar barel.

Cadangan gas mencapai 170 TSCF dan produksi per tahun mencapai 2,87

TSCF, dan diperkirakan akan bertahan hingga 59 tahun lagi. Cadangan

batubara masih diperkirakan 18,7 miliar ton, dan diperkirakan masih bisa

bertahan hingga 150 tahun (diolah dari berbagai sumber).



Kepentingan dibalik pencabutan Subsidi



Pemerintah berdalih, kenaikan harga minyak dunia akan memaksa lonjakan

subsidi BBM, sehingga akan menyulitkan anggaran. Ini sangat aneh,

setidaknya bagi saya, karena sekalipun subsidi BBM membengkak hingga

Rp30 trilyun , itu berarti hanya bertambah menjadi Rp87,4 triliun, masih

lebih rendah dibanding alokasi untuk membayar bunga utang luar negeri

sebesar Rp115,6 triliun dan belanja pegawai sebesar Rp161.7 triliun.



Lantas, kenapa pemerintah begitu berani mengutak-atik soal subsidi BBM

saja, padahal ini berkaitan dengan rakyat banyak, sementara persoalan

utang luar negeri tidak pernah tersentuh pembicaraan sama sekali. Utang

luar negeri tidak hanya membuat APBN menjadi kering-kerontang, tetapi

membawa dampak lebih luas seperti pendiktean kebijakan ekonomi dan

politik kita oleh pihak asing.



Demikian pula pendapat miring para ekonom neoliberal mengenai subsidi.

Mereka begitu getol mengecam subsidi sebagai pemborosan, tidak

produktif, dan dianggap kuno. Namun, ketika para pengusaha mengalami

krisis, mereka pun ramai-ramai berteriak perlunya subsidi bagi sektor

swasta dalam bentuk bailout. Pendek kata, mereka mengecam segala bentuk

subsidi untuk orang miskin dan rakyat banyak, tapi menghalalkan subsidi

bagi segelintir kaum kaya.



Sepandai-pandainya tupai melompat, suatu saat akan jatuh juga, begitu

kata pepatah lama. Sehebat apapun pemerintah membungkus "maksud

busuk" dibalik rencana itu, tetapi masyarakat lambat laun akan

mengerti juga. Di sini, ada beberapa agenda terselubung dibalik rencana

penghapusan subsidi itu:



Pertama, Rencana pengurangan subsidi merupakan "rangkaian" dari

paket liberalisasi sektor migas di Indonesia. Ini hanya pelengkap

liberalisasi sektor hilir, setelah sebelumnya sektor hulu sudah dikuasai

asing. Sudah menjadi ketentuan tidak tertulis, bahwa prasyarat masuknya

swasta dalam sektor hilir, adalah adanya harga yang kompetitif. Artinya,

pemerintah harus bersedia melempar harga BBM sesuai mekanisme pasar.



Untuk diketahui, saat ini, ada 105 perusahaan yang sudah mendapat izin

untuk bermain di sektor hilir migas, termasuk membuka stasiun pengisian

BBM untuk umum (SPBU), diantaranya British Petrolium (Inggris), Shell

(Belanda), Petro-China (RRC), Petronas (Malaysia), dan Chevron-Texaco

(Amerika.



Kedua, saat Eropa dan AS sedang mengalami krisis dan membutuhkan

suntikan dana, maka negara-negara dunia ketiga dipaksa menjalankan

kebijakan "mengencangkan ikat pinggang", termasuk pemerintah

Indonesia. Disamping itu, dari berbagai pengalaman, kebijakan

"mengencangkan ikat pinggang" ini dipergunakan untuk mensubsidi

orang-orang kaya dan kelompok bisnis di dalam negeri.



Kolonialisme Di Sektor Energi



Salah satu bentuk politik-ekonomi kolonial, saya mengutip Bung Karno,

adalah kebijakan mengekspor bahan mentah dan kemudian mengimpor

bahan-bahan jadi. Kebijakan ekspor ala kolonial seperti ini,

bagaimanapun, tidak akan memberikan basis atau celah kemajuan sedikitpun

bagi negara penghasil bahan mentah.



Kebijakan ekspor ala kolonial ini sangat merugikan. Pertama, kebijakan

seperti ini sama artinya dengan mengekspor lapangan pekerjaan dan nilai

tambah ke luar negeri, padahal semestinya dinikmati oleh negara

penghasil bahan mentah. Kedua, kebijakan seperti ini akan menghilangkan

basis berdirinya industri olahan dan industri tingkat lanjut di negara

kita. Karena itu, sebagai konsekuensinya, kita akan terus bergantung

kepada negara-negara maju. Ketiga, setelah mengekspor bahan mentah, kita

dipaksa mengimpor bahan jadi dengan harga lebih mahal. Jadi, sebetulnya,

kita tidak menikmati sedikitpun devisa dari praktek ini. praktik seperti

ini, paling jauh, akan dinikmati oleh politisi dan birokrat yang menjadi

calo.



Kalau diterapkan dalam politik energi, kebijakan ini akan membawa dampak

lebih parah, lebih luas, dan mematikan. Energi merupakan barang sangat

penting dan vital dalam perekonomian suatu negara. Michael Collon,

seorang penulis Belgia, punya perkataan sangat menarik soal minyak. Dia

berkata, "jika mau menguasai dunia, maka kau harus mengontrol

minyak. Segalanya adalah minyak, dimanapun."



Indonesia adalah negara penghasil minyak, gas, dan batubara. Bahkan,

Indonesia merupakan penghasil gas terbesar di dunia, atau memproduksi

sekitar 20% kebutuhan gas dunia. Indonesia juga merupakan salah satu

penghasil batubara di dunia. Pada tahun 2008, produksi batubara

Indonesia mencapai 246 juta ton, sedangkan China mampu mencapai 2,761

miliar ton. Meski begitu, China tidak termasuk negara pengekspor gas di

dunia, malah Indonesia menjadi pengekspor gas terbesar di dunia setelah

Australia.



Dalam hal minyak, Indonesia memang bukan produsen terbesar di dunia.

Tetapi, kalau sekedar untuk kebutuhan domestik, seharusnya Indonesia

tidak terbebani oleh impor. Sebagai missal, menurut data ESDM tahun

2008, Indonesia memang mengimpor BBM sebesar 302,599 barel/hari pada

tahun 2007, tetapi, pada saat yang sama, kita pun menjual minyak ke luar

negeri sebanyak 348.314 barel/hari. Jadi, kalaupun terjadi defisit, itu

juga tidak berarti suatu tekanan yang besar terkait konsumsi BBM di

dalam negeri.



Pengamat migas Qoyum Tjandranegara mengatakan, kegiatan ekspor gas yang

selama ini dilakukan pemerintah hanya menguntungkan kontraktor dalam

jangka pendek. Bahkan, negara kehilangan devisa sebesar Rp155,7 triliun

pada 2008. Padahal, menurut Qoyum, untuk pembangunan infrastruktur gas

diperkirakan hanya membutuhkan dana sekitar Rp110 trilun, dan akan

selesai dalam lima tahun ke depan.



Kebijakan energi berbau kolonial ini membawa begitu banyak dampak.

pertama, segelintir korporasi asing, terutama dari kelompok perusahaan

multi-nasional, menguasai sedikitnya 85,4% lapangan migas di dalam

negeri. Akibatnya, negara kehilangan kontrol dan kedaulatan dalam

menentukan produksi, alokasi, dan keuntungan produksi migas.



Kedua, kebijakan ekspor bahan mentah menyebabkan "keringnya"

pasokan energi untuk kebutuhan domestik, terutama untuk industri,

layanan publik, dan kebutuhan rumah tangga. Karena kekurangan pasokan

gas, dua pabrik pupuk terkenal, yaitu PT. Pupuk Iskandar Muda (PIM) dan

PT. AAF, akhirnya gulung tikar. Karena pasokan energi terus berkurang,

maka ada banyak industri di dalam negeri yang bangkruk, terutama usaha

menengah dan kecil.



Prioritaskan Kepentingan Nasional



Indonesia harus berhenti menjadi pengekspor bahan mentah, sebuah praktik

yang sudah berlangsung 400-an tahun. Yang paling pokok dari itu, adalah

soal jaminan energi untuk kepentingan nasional. Tidak ada satupun negara

di dunia dapat membangun, khususnya membangun industri, tanpa jaminan

pasokan energi.



Untuk itu, sebagai langkah awal, pemerintah sudah semestinya mengambil

langkah-langkah untuk mengamankan kebutuhan energi untuk domestik. a)

tidak mengekspor migas dan batubara sebelum kebutuhan domestik

terpenuhi. Pemerintah harus berani menekan perusahaan multinasional

seperti ExxonMobil, Vico, BP, Conoco-Philips, dan Chevron, untuk

menghentikan ekspor dan memproritaskan kebutuhan domestik. b) melakukan

renegoisasi terkait kontrak karya yang merugikan kepentingan nasional,

terutama soal pembagian keuntungan, cost recovery, dan pemastian

alih-teknologi. Terkait kontrak jangka panjang, kalau sulit untuk

renegosiasi, pemerintah dapat mengadukan hal itu ke arbitrase

Internasional, disamping bersandar kepada tekanan politik dan gerakan

rakyat. c) seandainya produksi minyak terus merosot dan pemerintah

dipaksa mengimpor BBM lebih besar, maka sebaiknya dipikirkan untuk

beralih kepada Bahan Bakar Gas (BBG). Toh, kita punya produksi gas yang

melimpah. d) mengupayakan penelitian dan pengembangan energi alternative

seperti eperti panas bumi, biofuel, aliran sungai, tenaga surya,

biomass, dan sebagainya.



Mengakhiri Kolonialisme Energi



Politik energy seperti ini harus diakhiri, tanpa menyisakan sedikitpun

kompromi. Ini soal hak hidup, yaitu soal kelangsungan masa depan suatu

masyarakat, sebuah bangsa. Dalam hal ini, ada pertentangan kepentingan

tak terdamaikan antara negara-negara imperialis dan korporasi

multinasional dengan kepentingan nasional. Pertentangan ini, meminjam

istilah Bung Karno, adalah pertentangan sana mau ke sana dan sini mau ke

sini, pertengan soal hidup dan mati.



Politik energi seperti ini sangat subur di alam neoliberal, terutama

sekali di bawah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Tipikal

pemerintahan SBY adalah bergaya seperti calo, mengobral semua kekayaan

alam nasional untuk asing.



Praktik ini, selain menguras potensi sumber daya alam dan potensi

kemajuan bangsa, juga menyebabkan "tergadainya" kedaulatan

nasional kita. Karena itu, tidak ada tawar-menawar yang merugikan

kepentingan dan kedaulatan nasional.



Maka, mau tidak mau, suka tidak suka, perjuangan mengakhiri praktik

ekspor kolonial ini harus bersifat perjuangan dekolonialisme, sebuah

perjuangan menghapuskan segala bentuk dan ekspresi kolonialisme.



Karena itu, saya kembali menegaskan, kita harus berjuang

sekeras-kerasnya bersama gerakan rakyat Indonesia lainnya, untuk

mengakhiri sistim neoliberalisme atau penjajahan gaya baru, yaitu dengan

merebut kembali kedaulatan bangsa kita. Kita sangat menyakini, ketika

kedaulatan telah direbut, maka penindasan dan eksploitasi dari luar

dapat diakhiri.



*) Penulis adalah Deputi Kajian dan Bacaan KPP-PRD dan Pimred Berdikari

Online.



[Non-text portions of this message have been removed]





    
     

    
    


 



  







[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke