Berbeda Keyakinan, Tujuan Sama

Oleh: KH. Abdurrahman Wahid

Jumat, 9 Juli 2004


Beberapa waktu lalu, menjelang pemilu legislatif tahun 2004, beredar VCD
(Video Compact Disc) dengan judul "Gus Dur Dibaptis". Saya tahu nama kedua
partai politik yang mengedarkannya termasuk orang yang bertugas, namun tidak
perlu dikemukakan dalam artikel ini, siapa mereka itu. Bukankah ini sikap
yang diminta oleh Alquran, bersabar dan memaafkan tiap fitnahan? Hal ini
kemudian dilanjutkan dengan beredarnya sebuah VCD ceramah agama oleh seorang
mantan biarawati yang mendadak serentak mengeluarkan kebenaran mutlak Islam
sebagai sebuah agama, dalam sebuah pengajian ibu-ibu yang menyatakan sikap
menerima pemberkatan berarti persetujuan kepada tujuan gereja. Untuk klausul
ini saya menjawab, bahwa saya sama dengan gereja dalam tujuan melayani
kemanusiaan walaupun berbeda keyakinan.


Lagi-lagi sikap menghormati agama lain kembali dipersoalkan, bahkan oleh
mereka yang tidak mengerti seluk beluk sumber-sumber tekstual (adillah
naqliyah) agama tersebut. Kalau saja hal ini dimengerti mantan biarawati
dalam pengajian ibu-ibu di Solo itu, tentu tidak terjadi penilaian yang
disebutkan dalam tulisan ini. Hal itu penulis kemukakan, dalam jawaban
berupa sebuah wawancara yang dimuat Solo Pos sehari setelah itu. Contoh
akibat ketidaktahuan itu, menunjukkan adanya keharusan bagi kita untuk
berhati-hati dalam menilai keyakinan agama seseorang. Apalagi kalau kita
belum banyak tahu tentang keyakinan agama yang baru kita peluk itu.
Kesadaran untuk berhati-hati ditekankan di sini, demi keutuhan kita sebagai
umat beragama. Lain halnya, kalau memang diniatkan untuk membuat keadaan
menjadi kacau.


Uraian tadi menunjukkan kepada kita, bahwa masalah keyakinan adalah sesuatu
yang sensitif. Begitu juga persamaan tujuan untuk mengabdi kepada
kemanusiaan oleh lembaga yang berbeda-beda keyakinan. Memang, sikap untuk
mencurigai pihak lain sangatlah besar, kalau kita tidak berdada lapang dan
selalu berprasangka baik kepada orang lain yang tidak sama keyakinannya dari
kita. Di sini menjadi penting arti dialog antar agama, yang akhir-akhir ini
begitu banyak digalakkan oleh pemerintah maupun berbagai lembaga agama. Ini
diakibatkan oleh kenyataan, begiti banyaknya terjadi tindakan-tindakan
menghukumi agama lain. Ditakutkan, sikap seperti ini akan berkembang menjadi
sikap ekstrem (militan) yang mendasari terorisme radikal yang terjadi
diseluruh dunia pada saat ini. Karena itu lahirnya ekstremitas sikap kaum
militan itu, harus diimbangi oleh pandangan moderat (mutawasith).


Banyak cara lain untuk mengembangkan pandangan moderat itu, namun intinya
tetap sama: menerima kebenaran keyakinan sendiri, dan menghormati pihak lain
yang tidak berkeyakinan sama, dan menghormati pihak lain yang tidak
berkeyakinan sama. Sempitnya pandangan, yang disebabkan dari langkah sikap
tersebut, oleh firman Allah dirumuskan dalam Alquran. Tiap kelompok sangat
bangga dengan apa yang dimilikinya. Kullu hizbin bima ladaihin farihuun.


Kesan mendalam diberikan kepada mendiang Mahatma Gandhi yang selalu bersikap
menghormati sistem kepercayaan lain dari apa yang diyakininya. Karena itulah
ia dianggap sebagai pahlawan kemanusiaan, karena penolakannya terhadap
penggunaan kekerasan dan kegemaran akan produk orang lain. Kita boleh
berbeda keyakinan dengan tokoh ini, tetapi kita harus menghormatinya.


Hal-hal semacam itu kita temukan di mana-mana, bahkan hingga tokoh politik
yang meninggalkan kekuasaan, berada dipenjara untuk lebih seperempat abad
lamanya dan kemudian memimpin upaya rekonsiliasi nasional, seperti Nelson
Mandela di Afrika Selatan. Kemampuan menyatukan dua kecenderungan saling
berlawanan dalam diri manusia itu pada akhirya menjadi sesuatu yang kita
hormati bersama. Melayani kepentingan kemanusiaan, adalah sesuatu yang mulia
dan harus dilakukan manusia, walaupun ia bukan keharusan universal (fardhu
'ain). Sikap seperti ini yang menjadi pelita hati yang menerangi jalan hidup
kita. Semakin banyak orang bersikap demikian, semakin baik hubungan umat
beragama yang ada dalam kehidupan masyarakat bangsa.


Memang benar, sikap demikian juga dapat tumbuh dalam kehidupan tanpa
alasan-alasan keagamaan, tetapi karena 'kesempitan' pandangan agama yang
dimikinya dapat membuat manusia menyimpangkan dari persaudaraan hakiki
dengan orang lain, dan melalui tulisan ini lebih ditekankan kehadirannya
dalam kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, kesalahpahaman yang ada dalam
hubungan antar agama yang saling berbeda itu, saling pengertian antar agama
atau kebutuhan akan sikap berlapang dada harus diciptakan sebagai sesuatu
yang senantiasa ada dalam kehidupan kita sehari-hari. Ini lebih-lebih
diperlukan, karena di permukaan, tampaknya tumbuh gejala kesempitan
pandangan atas agama lain, sesuatu yang berlawanan dengan inti kehidupan
kita sebagai bangsa.


Pada waktunya, sikap menghargai agama-agama lain itu harus diluaskan menjadi
kemampuan dialog antaragama, pada tingkat internasional. Baru dengan
demikian, pada pandangan tersebut mempunyai arti universal yang dikehendaki
dalam hubungan antar agama di dunia itu, yang justru akan memperkaya
kehidupan beragama kita di tingkat nasional. Kalau kita berkeinginan
menciptakan tatanan dunia lebih adil, seperti menciptakan hubungan bangsa
Israel dengan orang-orang Palestina, mau tidak mau kita harus memiliki
kelapangan dada antar agama itu pada tingkat dunia. Dengan adanya hal itu,
kita lalu meneruskan penimbaan nilai-nilai yang baik, dan meninggalkan
hal-hal yang buruk. Sesuatu yang mudah dikatakan namun sulit dilaksanakan,
bukan?


Jakarta, 7 Juli 2004


-- 
"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke