HARIAN KOMENTAR
10 January 2007


      REALISME HUKUM HAKIM ATAS KASUS NEWMONT 
      Jerry G. Tambun*  
     




Newmont Mining Coorporation adalah perusahan tambang terbesar di dunia yang 
berpusat di Amerika Serikat. Memiliki anak perusahan di beberapa negara, 
seperti Amerika, Canada, Peru, Bolivia, Australia, dan Indonesia (PT Newmont 
Minahasa Raya (NMR), PT Newmont Pasific Nusantara dan PT Newmont Nusa Tengara). 
Newmont memiliki saham sebesar 80% di PT NMR, sisa saham 20% dimiliki oleh PT 
Tanjung Sarapung Indonesia. Pada tahun 1986 PT NMR menandatangani kontrak 
dengan pemerintah Indonesia. PT NMR mulai beroperasi tahun 1996 dan telah 
berakhir tahun 2004 di wilayah pertambangan yang mencakup 527.448 hektar.

PRO KONTRA ATAS FAKTA
PT NMR membuang limbah atau 'tailing' (pasir dan lumpur yang tersisa setelah 
emas di pisahkan dari batuan di pabrik pengolahan) melalui pipa ke perairan 
laut teluk Buyat (Submarine Tailing Disposal-STD). Sejak mulai beroperasi PT 
NMR telah membuang 'tailing' ke laut Buyat Bay sebanyak 2000 ton/tiap hari dan 
dalam waktu 5 tahun telah membuang 'tailing' sekitar 2,8 juta ton. PT NMR 
dituduh telah menimbulkan pencemaran air akibat buangan 'tailing' ke perairan 
teluk Buyat.

Tim kajian pakar kasus Buyat, seperti yang di kemukakan oleh Mantan Menteri 
Lingkungan Hidup Nabil Makarim, menyimpulkan bahwa limbah kegiatan pertambangan 
PT NMR telah melanggar standar baku mutu lingkungan dan limbah, khususnya untuk 
parameter merkuri, arsen dan sianida (PP no.20 tahun 1990 tentang Pengendalian 
Pencemaran Air jo PP no. 82 tahun 2002) ,berdasarkan laporan Rencana Kelola 
Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL). Kesimpulan ini 
diambil berdasarkan 12 hasil penelitian yang dikaji diantara 1999-2004. 
Diantaranya Laporan Hasil Studi Kajian Kelayakan Pembuangan Limbah Tailing ke 
Laut di Perairan Teluk Buyat oleh Bapedal-Universitas Sam Ratulangi (1999) dan 
Laporan Akhir Penelitian Sumber Daya Hayati di Kawasan Pengembangan dan 
Pengelolaan Wilayah Laut Sulut oleh LIPI (2000) (http://air.bappenas.go.id). 
Pernyataan ini bertolak belakang dengan apa yang dilaporkan oleh hasil 
penelitian Kementerian Lingkungan Hidup (2004) yang berkesimpulan bahwa air 
teluk Buyat tidak tercemar. Penelitian ini juga menyimpulkan: (i)Konsentrasi 
merkuri ikan-ikan disekitar teluk Buyat masih di bawah ambang batas konsentrasi 
merkuri yang ditetapkan oleh WHO. Konsentrasi arsen di ikan juga masih di bawah 
ambang batas standard Australia and New Zealand; (ii) Konsentrasi logam 
terlarut di teluk Buyat dan Totok masih di bawah standar baku mutu kualitas air 
Indonesia kelas 1; (iii) Konsentrasi arsen dan merkuri sedimen teluk Totok 
lebih tinggi dari teluk Buyat (mungkin disebabkan oleh kegiatan penambangan 
liar di sekitar teluk Totok); (iv)Keanekaragaman hayati sediment di sekitar 
tailing PT. NMR lebih rendah dibandingkan dengan yang keanekaragaman hayati 
sediment yang berada jauh dari tailing di sekitar teluk Buyat dan Totok (KLH 
Report on Environmental Quality Assessment of Buyat Bay and Totok Bay, 2004). 

Penelitian yang dilakukan oleh WHO & National Institute for Minamata Disease, 
Jepang di tahun 2004 berkesimpulan : (i)Konsentrasi merkuri di rambut penduduk 
sekitar teluk Buyat dan Totok masih berada dibawah ambang batas merkuri (20x 
lebih rendah) daripada standard WHO (50-125 µg/g). Hasil ini menunjukkan bahwa 
konsentrasi merkuri penduduk setempat masih berada jauh dari konsentrasi yang 
bisa menyebabkan penyakit minamata (akibat keracunan metilmerkuri); (ii) 
Penduduk teluk Buyat/Totok tidak terkontaminasi oleh racun sejumlah logam berat 
(sianida); (iii) Kandungan merkuri di air dan tanah, menujukkan bahwa Teluk 
Totok lebih tercemar daripada teluk Buyat. Walaupun demikian belum berarti 
bahwa telah terjadi pencemaran lingkungan karena kandungan merkuri ikan-ikan 
yang di tangkap di sekitar teluk Totok/Buyat masih dalam kisaran normal (WHO 
Final Report on Mercury Pollution: Buyat & Totok Bay North Sulawesi-Indonesia, 
2004).

Penelitian sebuah lembaga penelitian Australia-CSIRO (Commonwealth Scientific 
and Industrial Research Organisation), Australia menunjukkan hasil yang hampir 
serupa dengan kedua penelitian di atas; (i)Air teluk Buyat tidak tercemar oleh 
logam beracun merkuri, arsen dan sianida; (ii)Konsentrasi merkuri dan arsen di 
jaringan ikan masih berada pada kisaran normal, di bawah standard WHO dan 
Australia; (iii)Konsentrasi sianida di air dan ikan masih berada di bawah 
standard baku mutu kualitas air Indonesia (CSIRO Report on PT NMR Environmental 
Monitoring Study, 2004). 

Penelitian yang dilakukan oleh lembaga swadaya seperti WALHI, JATAM, ISEL 
menunjukan hasil yang bertolak belakang dengan hasil penelitian yang dilakukan 
oleh ketiga lembaga tersebut diatas. Kesimpulan yang di tarik adalah; (i) Teluk 
Buyat TERCEMAR arsen dan merkuri berdasarkan ASEAN Marine Water Quality 
Criteria 2004; (ii) Sumber (pencemaran) arsen dan merkuri di Teluk Buyat adalah 
limbah tambang Newmont, BUKAN alamiah. Kadar total arsen dan merkuri yang 
ditemukan pada dasar laut (sedimen) Teluk Buyat sangat tinggi jika dibandingkan 
dengan titik-titik pemantauan alami (yang tidak terkena dampak pembuangan 
limbah) dan jika dibandingkan dengan kadar sebelum Newmont mulai beroperasi di 
Teluk Buyat; (iii) Keanekaragaman biota laut di Teluk Buyat menurun akibat 
pencemaran arsen. Dari Indeks Keragaman (diversitas) organisme dasar laut 
(benthos) dan fitoplankton di lokasi pembuangan limbah tambang di Teluk Buyat 
menunjukkan adanya pencemaran berat oleh arsen. Makhluk-makhluk tersebut 
merupakan basis rantai makanan sehingga apapun yang mencemari mereka akan masuk 
dan berdampak ke seluruh rantai makanan; (iv) Kadar merkuri dan arsen dalam 
ikan beresiko (kesehatan) bagi penduduk Teluk Buyat. Oleh karena pada tubuh 
ikan bisa terdapat arsen dan merkuri sekaligus, maka masyarakat yang 
mengkonsumsi ikan dari Teluk Buyat dapat beresiko tercemar logam arsen dan 
merkuri pada saat bersamaan (http://www.walhi.or.id/eng/buyat_team_summary).

Unit pengendalian pencemaran PT NMR melaporkan bahwa termoklin ditemukan pada 
kedalaman 50-80 meter, sehingga tailing ditempatkan pada kedalaman 82 meter. 
Termoklin merupakan lapisan di perairan di mana terjadi perubahan suhu yang 
cepat pada arah kedalaman atau vertikal. Termoklin ini berfungsi untuk mencegah 
penyebaran tailing ke lapisan permukaan dan kemudian penyebarannya. Sebaliknya, 
hasil penelitian tim teknis KLH menunjukkan tidak adanya lapisan tersebut pada 
kedalaman 50-82 meter. Penentuan letak termoklin tersebut berdasarkan pada 
asumsi-asumsi modeling yang tidak valid seperti yang disebutkan dalam dokumen 
ANDAL. 

PT NMR telah mengetahui bahwa penentuan titik termoklin tidak valid 
(berdasarkan pertemuan BAPEDAL dan PT NMR Maret 2000), sayangnya PT NMR tidak 
menunjukan itikad baik untuk melakukan modeling ulang (Dokumen Hasil Studi 
Aspek Hukum Kasus Pencemaran/Pengrusakan Teluk Buyat, 2004). Kenyataan bahwa 
pipa tailing tersebut masih berada pada zona pencampuran dimana tailing yang 
dikeluarkan dapat menyatu dengan arus pasang surut dan turbulence yang membantu 
penyebaran tailing ke perairan teluk Buyat yang dan kemudian berdampak negatif 
terhadap ekosistem perairan serta penduduk sekitarnya yang mengkonsumsi ikan 
dari perairan tersebut. 


PROBLEM: ISU DAN KAJIAN HUKUM 

Berbagai laporan yang menunjukan munculnya korban akibat pencemaran dan 
sebaliknya adanya berbagai bukti scientific yang menunjukan bahwa pencemaran 
yang dilakukan PT NMR tidak melewati ambang batas baku mutu yang telah 
ditentutan oleh PP no. 20 tahun 1990. Diajukankannya PT NMR ke tahap penuntutan 
Pidana telah menimbulkan perdebatan perdebatan hukum terutama soal 
tanggung-jawab pidana. 


Sejak Agustus 2006, Direktur PT NMR Ness telah disidangkan atas tuduhan 
melakukan pencemaran di teluk Buyat Bay akibat buangan limbah tambang emas 
perusahan tersebut di dasar laut (Submarine Tailing Disposal-STD). Tuntutan ini 
didasarkan pada persangkaan polisi bahwa PT NMR telah membuang sejumlah 
kandungan merkuri dan arsenik yang mematikan ke Buyat Bay, di dekat areal 
pertambangan di wilayah Minahasa, sehingga telah menimbulkan penderitaan pada 
penduduk lokal seperti penyakit kulit, neorogical disorder dan gangguan 
kesehatan lainnya. Apabila tuntutan yang didasarkan UU Lingkungan NO. 23 Tahun 
1997 khususnya pasal 41 dan pasal 42 ini dapat dibuktikan; yaitu PT NMR telah 
secara sengaja atau oleh karena kealpaannya telah menyebabkan pencemaran, maka 
Ness dapat dipastikan akan menghadapi masa hukuman penjara maksimal 10 tahun di 
penjara dan PT NMR dapat didenda sebesar RP. 500 juta. PT NMR bersikukuh 
pihaknya telah melakukan segala sesuatu sesuai dengan standard yang diharuskan 
dan menyebutkan bahwa pembuangan telah dilakukan sesuai dengan Peraturan 
Pemerintah serta menambahkan pula penyakit yang di derita oleh penduduk lokal 
disebabkan kekurangan gizi dan sanitasi lingkungan yang kurang sehat.

Mencari jawaban atas adanya kesengajaan/kealpaan dalam kasus PT NMR ini terasa 
semakin menjadi sulit ketika mendapati 3 bukti scientific terbaru (KLH, 
WHO-Minamata Institute, CSIRO) yang menunjukan hasil yang bertolak belakang 
dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Tim kajian pakar kasus 
Buyat yang di koordinir oleh KLH dan hasil penelitian LSM-LSM (WALHI, JATAM, 
ICEL). Setidak-tidaknya menambah pergumulan ilmiah para legal scholar dan 
menguji profesionalisme dan ketrampilan hukum aparat penegak hukum di 
Indonesia. Bagaimana bukti-bukti yang berbeda itu akan dapat digunakan hakim 
untuk menjawab apakah telah terjadi faktor kesengajaan /kealpaan?

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PLH) 
Pasal 41 Ayat (1) menyatakan, "barangsiapa yang melawan hukum dengan sengaja 
melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan 
hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling 
banyak lima ratus juta rupiah". 

Selanjutnya, Pasal 42 Ayat (1) menyatakan, "barangsiapa yang karena kealpaannya 
melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan 
hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling 
banyak seratus juta rupiah". 

Dikaitkan dengan masalah pencemaran ini, PT NMR hanya dapat dikenakan 
tanggung-jawab pidana dan Ness dapat dikenakan penjara hanya apabila dapat 
dibuktikan PT NMR secara SENGAJA atau karena KEALPAANNYA telah menyebabkan 
pencemaran. Artinya, meskipun pencemaran lingkungan telah terjadi, tetapi tidak 
dapat dibuktikan bahwa PT NMR SENGAJA melakukan pencemaran atau ALPA ketika 
melakukan tailing/pembuangan sehingga mengakibatkan pencemaran, maka PT NMR 
tidak dapat dihukum. Asas kesalahan yang digunakan oleh pasal 41 dan 42 ini 
dikenal sebagai asas tanggung-jawab pidana umum. Pengunaan asas ini sebenarnya 
mempunyai kelemahan yaitu out-put keadilan sangat tergantung pada ketrampilan 
para pihak yang berperkara dipengadilan. Karena soal pembuktian kesengajaan dan 
kealpaan selain digantungkan pada bukti yang tersedia, juga pada kemampuan 
jaksa penuntut membuktikan dalil-dalilnya. Proses peradilan ini terkesan 
tertutup dengan soal soal non juridis, dan dampak sosial. 

Pandangan lain yang pernah diwacanakan adalah, hakim seyogyanya menganut asas 
tanggung jawab pidana mutlak yang hanya membutuhkan unsur Pengetahuan dan unsur 
Perbuatan dari si terdakwa. Artinya, hakim dalam mengadili perkara cukup 
melihat apakah si terdakwa mengetahui atau menyadari tentang potensi kerugian 
yang mungkin timbul. Dan juga diikuti dengan tindakan nyata. Adanya dua keadaan 
ini sudah cukup bagi hakim untuk memutus perkara dan menyatakan PT NMR telah 
melakukan pencemaran. Jadi tidak diperlukan unsur kesengajaan (Frances Russell 
dan Christine Locke; "English Law & Language, Casses", 1992). 

Prinsip yang sama pernah digunakan oleh Pengadilan di Inggris dalam perkara 
Alphacel Ltd v. Woodward. Pada perkara ini hakim menghukum seorang terdakwa 
karena dianggap bersalah melanggar River Prevention of Pollution Act 1951. 
Terdakwa/Defendant memasukkan tangki ke dalam sungai. Tanpa sepengetahuannya 
tangki telah bergeser pada saluran yang mengganggu berfungsi pompa air sehingga 
menyebabkan banjir. Banjir mana telah menyebabkan pencemaran. 

Dalam kasus ini tidak ada bukti yang memberatkan terdakwa. Tidak ada 
kesengajaan dan atau kealpaan, namun demikian pengadilan memutuskan si terdakwa 
tetap bersalah dengan pertimbangan dia patut mengetahui bahwa tangki tersebut 
bisa saja hanyut dan mengakibat hal lain yang dapat merusak lingkungan dan atau 
merugikan pihak lain. Moral yang mendasari putusan ini adalah jika atas dasar 
kesengajaan dan kealpaan saja, kemungkinan besar pencemaran akan tetap terus 
terjadi tanpa dapat menghukum pelaku dan penyebab pencemaran. Sehingga 
pencemaran akan tetap terjadi. 

Bentuk pertanggung-jawaban lainnya yang ada pada Undang Undang 23 Tahun 1997 
adalah pertanggungjawaban menurut pasal 35 yang menyatakan bahwa "Penanggung 
jawab usaha dan/atau kegiatan" yang usaha dan kegiatannya menimbulkan kerusakan 
/pencemaran lingkungan" bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang 
terjadi". Pasal 35 UU 23/97 ini , bukan tanggung jawab pidana tetapi tanggung 
jawab perdata berupa ganti rugi mutlak yang artinya si penanggung jawab 
usaha/kegiatan harus memberikan ganti rugi seketika dan langsung tanpa harus 
ada pembuktian adanya kesalahan atau tidak. Asas dan prinsip tanggung-jawab 
langsung dan seketika pada hukum lingkungan ini juga berlaku dalam bidang medis 
kedokteran, dalam hal terjadi "malpraktek" misalnya terjadi tertinggalnya 
gunting kecil dalam tubuh pasien, setelah selesai operasi atas diri pasien. 
Dalam hal demikian tidak perlu dilakukan pembuktian lagi. Tertinggalnya gunting 
dalam perut pasien, sudah merupakan bukti telah terjadi kelalaian medis 
(malpraktek kedokteran). Hal mana bersandar pada prinsip "res ipsa ligutur- let 
the thing speaks for itself." Demikian halnya dalam hukum penerbangan. Jika 
terjadi kecelakan pesawat udara yang menyebabkan kematian atau luka-luka pada 
penumpang, maka pihak pengangkut bertanggung jawab untuk mengganti kerugian 
secara mutlak, tanpa harus ada pembuktian ada-tidaknya kesalahan pada pihak 
pengangkut (perusahaan penerbangan). Hanya saja jumlah ganti rugi biasanya 
sudah ditentukan untuk penumpang yang mati dan yang cacad dsb. Sedangkan pada 
kerusakan/pencemaran linkungan besarnya ganti rugi tak ditentukan batasnya. 
Pertanggung-jawaban perdatanya pada kasus pencemaran Teluk Buyat telah 
terselesaikan dengan mediasi di bawah pengawasan pengadilan Negari Jakarta 
Selatan berupa ganti 30 juta dollar bagi program pengembangan masyarakat dan 
pemantauan lingkungan 
(https://www.kompas.com/kompas-cetak/0602/17/humaniora/2443340.htm).

REALISME HAKIM DIUJI

Dalam kasus PT NMR ini, seperti halnya hakim, jaksa juga menghadapi tugas yang 
berat. Jaksa harus membuktikan adanya perbuatan SENGAJA merusak lingkungan, 
atau KEALPAAN dari pihak PT NMR. Adanya bukti baru yang sulit dikesampingkan 
seperti yang diajukan oleh WHO-Minamata Institute, KLH maupun CSIRO yang 
bertentangan dengan penelitian penelitian sebelum-nya (oleh lembaga penelitian 
perguruan tinggi/LSM), cukup menyulitkan hakim.

Perbedaan fakta, baik fakta yang menunjukan tingkat pencemaran tidak melewati 
ambang batas, berdasarkan laporan lengkap dan detail (KLH, WHO-Minamata 
Insitute dan CSIRO)dan adanya fakta lain yang mengatakan terjadi pencemaran 
dengan laporan yang kurang detail dan lengkap. Perbedaan ini akan sangat 
menyulitkan hakim untuk menentukan mana fakta-fakta yang sebenarnya. Keadaan 
ini tidak perlu terjadi jika saja perkara ini tidak segera dijadikan kasus 
pidana. Pengajuan perkara ke tahap pidana memberi kesan terburu-buru. Proses 
peradilan pidana pencemaran lingkungan ini bagaikan buah simalakama. Karena 
jika tidak terbukti adanya KESENGAJAAN dan atau KEALPAAN, maka hakim secara 
hukum harus membebaskan Ness dan PT NMR. Sulitnya, jika putusannya hanya 
berdasarkan pertimbangan logis juridis bisa memberikan kesan keadilan tidak 
berpihak pada rakyat. Sebaliknya, jika hakim memutus Ness dan PT NMR bersalah, 
hal mana akan menimbulkan perdebatan hukum meluas, mengingat adanya perbedaan 
bukti tadi dan khususnya adanya rumusan pasal 41 dan 42 yang mensyaratkan 
KESENGAJAAN dan ATAU KEALPAAN. Kita semua menyadari membuktikan adanya unsur 
Kesengajaan melakukan pencemaran sama sulitnya membuktikan adanya unsur 
Kealpaan. 

Sepenggal bukti yang mungkin bisa membantu menguak kegelapan dan keluar dari 
tekanan-tekanan diatas tadi, jika perhatian kita tujukkan terhadap penemuan 
"tidak adanya termoklin (pada kedalaman 50-80 meter) mengakibatkan kesalahan 
dalam penempatan pipa tailing (pada kedalaman 82 meter) yang diikuti dengan 
"teguran KLH pada tahun 2000 tentang kesalahan dalam modeling pipa tailing" 
pada PT NMR tentang hal itu. Jika kedua informasi merupakan fakta hukum (fakta 
scientif yang tidak terbantahkan), maka hal ini dapat dianggap merupakan faktor 
utama" the most probable cause" terjadinya pencemaran, sehingga dengan demikian 
PT NMR dapat dianggap Alpa, bukan Kesengajaan. Kealpaan mana telah menyebabkan 
pencemaran.

Kembali pada soal Newmont. Newmont bukan sebuah perusahan tambang yang baru 
saja berdiri. Dengan segudang pengalaman, kemampuan ekonomis, tehnis dan 
tehnologi, termasuk tenaga ahli dan trampil yang dimiliki, dapat diasumsikan 
bahwa Newmont sudah dapat mengetahui mengenai resiko yang mungkin terjadi jika 
tidak terpenuhinya persyaratan tehnis tertentu. Newmont juga bukan sebuah 
company yang tidak pernah berurusan dengan masalah hukum lingkungan. 
Bristlecone, sebuah edisi yang diterbitkan oleh kelompok environmental Great 
Basin Mine Publication yang terbit Fall 2004, baru saja mengumandangkan 
kemenangan mereka atas Nevada Devision of Environmental Protection. Pasalnya 
adalah hakim Maddox, state district Judge memenangkan kelompok environmentalis 
dalam suatu gugatan pencemaran linkungan di Nevada. Hakim Maddox memutuskan 
"Once the public get clear water it has to keep it". Putusan ini dengan 
sendirinya membatalkan ijin yang dikeluarkan oleh Nevada Devision of 
Environmental Protection yang membolehkan Newmont Mining Company melakukan 
pembuangan 26,000/gallon/menit ke anak sungai Maggie Creek. Sebuah pecahan 
cabang dari Humboltd River (Bristlecone, Great Basin, fall 2004) Dari San Diego 
pada 5 December 2006 yang lalu dilaporkan oleh Associated Press, Mahkamah Agung 
State of Nevada, membatalkan(overturning) putusan Pengadilan Negara Bagian 
Nevada tadi(state court) dengan alasan ketentuan karena peraturan yang mengatur 
tentang mempertahankan "anti degradasi dan higher standard dari Maggie Creek 
sebenarnya belum ada." Dengan demikian Newmont dapat terus melakukan pembuangan 
di anak sungai/Maggie Creek. Putusan itu diambil melalui panel hakim 
masing-masing Michael Douglas, Nancy Backer dan Ron Praguerre. (Brandon Riley, 
AP, December 5, 2006) 

Hakim harus menjadi "living intepretator," penafsir ketentuan yang hidup yang 
mampu menyelami hakekat keadilan. Bukan keadilan yang hanya bernuansa 
kepentingan hukum tetapi juga bernuansa kepentingan sosial dan kemanfaatan 
umum. Hakim Supreme Court AS, Benjamin Cordozo dalam seri kuliahnya di Columbia 
University mengambarkan mengenai sikapnya tentang tugas hakim. Seorang hakim 
akan selalu senantiasa bertanya hal hal seperti ini: 'apakah yang aku lakukan 
untuk memutuskan suatu kasus'?; informasi seperti apakah yang bisa memberikan 
arahan dalam mengambil keputusan, kemudian seberapa besar kontribusi-nya 
terhadap keputusan yang akan diambil; apabila telah ada contoh kasus 
sebelumnya, apakah keputusan yang diambil mencontohi keputusan kasus tersebut, 
kemudian kalau ternyata kasus ini belum pernah terjadi sebelumnya, akankah 
keputusan ini menjadi tolak ukur untuk kasus-kasus di masa mendatang; bagaimana 
cara mencari konsistensi logis dari kasus tersebut (ditinjau dari struktur 
hukum-nya); sampai seberapa jauh pengaruh tradisi, kesejahteraan sosial, dan 
standar hakim/masyarakat terhadap keadilan dan moral mempengaruhi putusan 
hakim. Pertanyaan pertanyaan seperti inilah yang harusnya di pikirkan/renungkan 
oleh hakim dalam mengambil keputusan terhadap suatu kasus. Seberapa hal-hal 
tersebut di atas mempengaruhi keputusan sang hakim, dikembalikan kepada 
kearifan hakim tersebut dalam mengambil keputusan. Menurut Benjamin Cordozo, 
pada prinsipnya keputusan hakim merupakan salah satu realitas hidup. 

Benjamin Cordozo, Oliver Wendell Holmes, dan Karl Llewllyn, dua yang disebut 
pertama adalah mantan Hakim Agung Amerika Serikat, yang memperkenalkan 
pendekatan-pendekatan sosial terhadap putusan-putusan pengadilan (sociolegal 
jurisprudence). Ketiganya adalah sekian dari tokoh legal realism Amerika 
Serikat yang dengan gigih mewacanakan intepretasi hukum dalam spektrum sosial, 
meski tidak membuang sama sekali rationalitas legal. Prinsip essensial dari 
legal realisme adalah semua hukum dibuat oleh manusia dan oleh karenanya tidak 
terlepas dari kekurangan, kelemahan dan ketidak sempurnaan manusia (The 
essential tenet of legal realism is that all law is made by human beings and, 
thus, is subject to human foibles, frailties and imperfections). Para legal 
realis percaya bahwa hukum sebagaimana tertulis (undang-undang dan berbagai 
kasus hukum) tidak menentukan hasil sengketa-sengketa hukum. Bahkan Jerome 
Frank yang terkenal dengan gagasannya menggambarkan keadaan tersebut sedikit 
sarkastik dengan mengatakan bahwa keputusan pengadilan ditentukan oleh menu 
sarapan pagi hakim. Karl Llewellyn dalam bukunya The Cheyenne Way secara 
sempurna menunjukan kecenderungan kecenderungan dan pentingnya pendekatan 
pendekatan multi disiplin terhadap hukum. Intinya adalah legal instrumen harus 
digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan sosial dan menyeimbangkan 
antara berbagai kompetisi kepentingan sosial.

Akhirnya hakim yang harus menentukan what is the law kata Justice Marshall 
dalam sidang peradilan Marbury case, meski dalam suasana ketiadaan hukum 
sekalipun (kevakuman hukum), hakim harus tetap mencari, menemukan dan 
menyatakan apa hukumnya. Masyarakat percaya, kebajikan hukum (the virtue of the 
law) merupakan nilai tertinggi yang akan membimbing hakim dalam menyatakan 
putusan-putusan hukumnya. Masyarakat harus juga memberikan respek terhadap 
putusan hakim atas kasus PT NMR dikemudian hari. Untuk mencegah peristiwa ini 
terjadi lagi dikemudian hari, Hakim hendaknya tidak menggunakan legal reasoning 
hukum semata sebagai syarat minimal (lex minimalis) atau hanya sekedar mencapai 
standard yang ditentukan oleh hukum (memenuhi batas baku mutu dalam kasus kasus 
pencemaran lingkungan) tetapi sebaliknya menerapkan prinsip high standard yaitu 
prinsip kehati hatian yang tinggi untuk resiko yang tinggi. Judge made law. 
Kita lihat saja. (Chicago, Winter 2006)

* Penulis, staf CASA(Court Appointed Special Advocacy-Program) Child Devision 
Cook County, Illiois, Chicago. Telah menyelesaikan kredit perkuliahan doktor 
dalam ilmu hukum Loyola School of Law, Chicago(dalam bidang health and medical 
law)


[Non-text portions of this message have been removed]



Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Kirim email ke