HARIAN KOMENTAR 10 January 2007
REALISME HUKUM HAKIM ATAS KASUS NEWMONT Jerry G. Tambun* Newmont Mining Coorporation adalah perusahan tambang terbesar di dunia yang berpusat di Amerika Serikat. Memiliki anak perusahan di beberapa negara, seperti Amerika, Canada, Peru, Bolivia, Australia, dan Indonesia (PT Newmont Minahasa Raya (NMR), PT Newmont Pasific Nusantara dan PT Newmont Nusa Tengara). Newmont memiliki saham sebesar 80% di PT NMR, sisa saham 20% dimiliki oleh PT Tanjung Sarapung Indonesia. Pada tahun 1986 PT NMR menandatangani kontrak dengan pemerintah Indonesia. PT NMR mulai beroperasi tahun 1996 dan telah berakhir tahun 2004 di wilayah pertambangan yang mencakup 527.448 hektar. PRO KONTRA ATAS FAKTA PT NMR membuang limbah atau 'tailing' (pasir dan lumpur yang tersisa setelah emas di pisahkan dari batuan di pabrik pengolahan) melalui pipa ke perairan laut teluk Buyat (Submarine Tailing Disposal-STD). Sejak mulai beroperasi PT NMR telah membuang 'tailing' ke laut Buyat Bay sebanyak 2000 ton/tiap hari dan dalam waktu 5 tahun telah membuang 'tailing' sekitar 2,8 juta ton. PT NMR dituduh telah menimbulkan pencemaran air akibat buangan 'tailing' ke perairan teluk Buyat. Tim kajian pakar kasus Buyat, seperti yang di kemukakan oleh Mantan Menteri Lingkungan Hidup Nabil Makarim, menyimpulkan bahwa limbah kegiatan pertambangan PT NMR telah melanggar standar baku mutu lingkungan dan limbah, khususnya untuk parameter merkuri, arsen dan sianida (PP no.20 tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air jo PP no. 82 tahun 2002) ,berdasarkan laporan Rencana Kelola Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL). Kesimpulan ini diambil berdasarkan 12 hasil penelitian yang dikaji diantara 1999-2004. Diantaranya Laporan Hasil Studi Kajian Kelayakan Pembuangan Limbah Tailing ke Laut di Perairan Teluk Buyat oleh Bapedal-Universitas Sam Ratulangi (1999) dan Laporan Akhir Penelitian Sumber Daya Hayati di Kawasan Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Laut Sulut oleh LIPI (2000) (http://air.bappenas.go.id). Pernyataan ini bertolak belakang dengan apa yang dilaporkan oleh hasil penelitian Kementerian Lingkungan Hidup (2004) yang berkesimpulan bahwa air teluk Buyat tidak tercemar. Penelitian ini juga menyimpulkan: (i)Konsentrasi merkuri ikan-ikan disekitar teluk Buyat masih di bawah ambang batas konsentrasi merkuri yang ditetapkan oleh WHO. Konsentrasi arsen di ikan juga masih di bawah ambang batas standard Australia and New Zealand; (ii) Konsentrasi logam terlarut di teluk Buyat dan Totok masih di bawah standar baku mutu kualitas air Indonesia kelas 1; (iii) Konsentrasi arsen dan merkuri sedimen teluk Totok lebih tinggi dari teluk Buyat (mungkin disebabkan oleh kegiatan penambangan liar di sekitar teluk Totok); (iv)Keanekaragaman hayati sediment di sekitar tailing PT. NMR lebih rendah dibandingkan dengan yang keanekaragaman hayati sediment yang berada jauh dari tailing di sekitar teluk Buyat dan Totok (KLH Report on Environmental Quality Assessment of Buyat Bay and Totok Bay, 2004). Penelitian yang dilakukan oleh WHO & National Institute for Minamata Disease, Jepang di tahun 2004 berkesimpulan : (i)Konsentrasi merkuri di rambut penduduk sekitar teluk Buyat dan Totok masih berada dibawah ambang batas merkuri (20x lebih rendah) daripada standard WHO (50-125 µg/g). Hasil ini menunjukkan bahwa konsentrasi merkuri penduduk setempat masih berada jauh dari konsentrasi yang bisa menyebabkan penyakit minamata (akibat keracunan metilmerkuri); (ii) Penduduk teluk Buyat/Totok tidak terkontaminasi oleh racun sejumlah logam berat (sianida); (iii) Kandungan merkuri di air dan tanah, menujukkan bahwa Teluk Totok lebih tercemar daripada teluk Buyat. Walaupun demikian belum berarti bahwa telah terjadi pencemaran lingkungan karena kandungan merkuri ikan-ikan yang di tangkap di sekitar teluk Totok/Buyat masih dalam kisaran normal (WHO Final Report on Mercury Pollution: Buyat & Totok Bay North Sulawesi-Indonesia, 2004). Penelitian sebuah lembaga penelitian Australia-CSIRO (Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation), Australia menunjukkan hasil yang hampir serupa dengan kedua penelitian di atas; (i)Air teluk Buyat tidak tercemar oleh logam beracun merkuri, arsen dan sianida; (ii)Konsentrasi merkuri dan arsen di jaringan ikan masih berada pada kisaran normal, di bawah standard WHO dan Australia; (iii)Konsentrasi sianida di air dan ikan masih berada di bawah standard baku mutu kualitas air Indonesia (CSIRO Report on PT NMR Environmental Monitoring Study, 2004). Penelitian yang dilakukan oleh lembaga swadaya seperti WALHI, JATAM, ISEL menunjukan hasil yang bertolak belakang dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh ketiga lembaga tersebut diatas. Kesimpulan yang di tarik adalah; (i) Teluk Buyat TERCEMAR arsen dan merkuri berdasarkan ASEAN Marine Water Quality Criteria 2004; (ii) Sumber (pencemaran) arsen dan merkuri di Teluk Buyat adalah limbah tambang Newmont, BUKAN alamiah. Kadar total arsen dan merkuri yang ditemukan pada dasar laut (sedimen) Teluk Buyat sangat tinggi jika dibandingkan dengan titik-titik pemantauan alami (yang tidak terkena dampak pembuangan limbah) dan jika dibandingkan dengan kadar sebelum Newmont mulai beroperasi di Teluk Buyat; (iii) Keanekaragaman biota laut di Teluk Buyat menurun akibat pencemaran arsen. Dari Indeks Keragaman (diversitas) organisme dasar laut (benthos) dan fitoplankton di lokasi pembuangan limbah tambang di Teluk Buyat menunjukkan adanya pencemaran berat oleh arsen. Makhluk-makhluk tersebut merupakan basis rantai makanan sehingga apapun yang mencemari mereka akan masuk dan berdampak ke seluruh rantai makanan; (iv) Kadar merkuri dan arsen dalam ikan beresiko (kesehatan) bagi penduduk Teluk Buyat. Oleh karena pada tubuh ikan bisa terdapat arsen dan merkuri sekaligus, maka masyarakat yang mengkonsumsi ikan dari Teluk Buyat dapat beresiko tercemar logam arsen dan merkuri pada saat bersamaan (http://www.walhi.or.id/eng/buyat_team_summary). Unit pengendalian pencemaran PT NMR melaporkan bahwa termoklin ditemukan pada kedalaman 50-80 meter, sehingga tailing ditempatkan pada kedalaman 82 meter. Termoklin merupakan lapisan di perairan di mana terjadi perubahan suhu yang cepat pada arah kedalaman atau vertikal. Termoklin ini berfungsi untuk mencegah penyebaran tailing ke lapisan permukaan dan kemudian penyebarannya. Sebaliknya, hasil penelitian tim teknis KLH menunjukkan tidak adanya lapisan tersebut pada kedalaman 50-82 meter. Penentuan letak termoklin tersebut berdasarkan pada asumsi-asumsi modeling yang tidak valid seperti yang disebutkan dalam dokumen ANDAL. PT NMR telah mengetahui bahwa penentuan titik termoklin tidak valid (berdasarkan pertemuan BAPEDAL dan PT NMR Maret 2000), sayangnya PT NMR tidak menunjukan itikad baik untuk melakukan modeling ulang (Dokumen Hasil Studi Aspek Hukum Kasus Pencemaran/Pengrusakan Teluk Buyat, 2004). Kenyataan bahwa pipa tailing tersebut masih berada pada zona pencampuran dimana tailing yang dikeluarkan dapat menyatu dengan arus pasang surut dan turbulence yang membantu penyebaran tailing ke perairan teluk Buyat yang dan kemudian berdampak negatif terhadap ekosistem perairan serta penduduk sekitarnya yang mengkonsumsi ikan dari perairan tersebut. PROBLEM: ISU DAN KAJIAN HUKUM Berbagai laporan yang menunjukan munculnya korban akibat pencemaran dan sebaliknya adanya berbagai bukti scientific yang menunjukan bahwa pencemaran yang dilakukan PT NMR tidak melewati ambang batas baku mutu yang telah ditentutan oleh PP no. 20 tahun 1990. Diajukankannya PT NMR ke tahap penuntutan Pidana telah menimbulkan perdebatan perdebatan hukum terutama soal tanggung-jawab pidana. Sejak Agustus 2006, Direktur PT NMR Ness telah disidangkan atas tuduhan melakukan pencemaran di teluk Buyat Bay akibat buangan limbah tambang emas perusahan tersebut di dasar laut (Submarine Tailing Disposal-STD). Tuntutan ini didasarkan pada persangkaan polisi bahwa PT NMR telah membuang sejumlah kandungan merkuri dan arsenik yang mematikan ke Buyat Bay, di dekat areal pertambangan di wilayah Minahasa, sehingga telah menimbulkan penderitaan pada penduduk lokal seperti penyakit kulit, neorogical disorder dan gangguan kesehatan lainnya. Apabila tuntutan yang didasarkan UU Lingkungan NO. 23 Tahun 1997 khususnya pasal 41 dan pasal 42 ini dapat dibuktikan; yaitu PT NMR telah secara sengaja atau oleh karena kealpaannya telah menyebabkan pencemaran, maka Ness dapat dipastikan akan menghadapi masa hukuman penjara maksimal 10 tahun di penjara dan PT NMR dapat didenda sebesar RP. 500 juta. PT NMR bersikukuh pihaknya telah melakukan segala sesuatu sesuai dengan standard yang diharuskan dan menyebutkan bahwa pembuangan telah dilakukan sesuai dengan Peraturan Pemerintah serta menambahkan pula penyakit yang di derita oleh penduduk lokal disebabkan kekurangan gizi dan sanitasi lingkungan yang kurang sehat. Mencari jawaban atas adanya kesengajaan/kealpaan dalam kasus PT NMR ini terasa semakin menjadi sulit ketika mendapati 3 bukti scientific terbaru (KLH, WHO-Minamata Institute, CSIRO) yang menunjukan hasil yang bertolak belakang dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Tim kajian pakar kasus Buyat yang di koordinir oleh KLH dan hasil penelitian LSM-LSM (WALHI, JATAM, ICEL). Setidak-tidaknya menambah pergumulan ilmiah para legal scholar dan menguji profesionalisme dan ketrampilan hukum aparat penegak hukum di Indonesia. Bagaimana bukti-bukti yang berbeda itu akan dapat digunakan hakim untuk menjawab apakah telah terjadi faktor kesengajaan /kealpaan? Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PLH) Pasal 41 Ayat (1) menyatakan, "barangsiapa yang melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak lima ratus juta rupiah". Selanjutnya, Pasal 42 Ayat (1) menyatakan, "barangsiapa yang karena kealpaannya melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak seratus juta rupiah". Dikaitkan dengan masalah pencemaran ini, PT NMR hanya dapat dikenakan tanggung-jawab pidana dan Ness dapat dikenakan penjara hanya apabila dapat dibuktikan PT NMR secara SENGAJA atau karena KEALPAANNYA telah menyebabkan pencemaran. Artinya, meskipun pencemaran lingkungan telah terjadi, tetapi tidak dapat dibuktikan bahwa PT NMR SENGAJA melakukan pencemaran atau ALPA ketika melakukan tailing/pembuangan sehingga mengakibatkan pencemaran, maka PT NMR tidak dapat dihukum. Asas kesalahan yang digunakan oleh pasal 41 dan 42 ini dikenal sebagai asas tanggung-jawab pidana umum. Pengunaan asas ini sebenarnya mempunyai kelemahan yaitu out-put keadilan sangat tergantung pada ketrampilan para pihak yang berperkara dipengadilan. Karena soal pembuktian kesengajaan dan kealpaan selain digantungkan pada bukti yang tersedia, juga pada kemampuan jaksa penuntut membuktikan dalil-dalilnya. Proses peradilan ini terkesan tertutup dengan soal soal non juridis, dan dampak sosial. Pandangan lain yang pernah diwacanakan adalah, hakim seyogyanya menganut asas tanggung jawab pidana mutlak yang hanya membutuhkan unsur Pengetahuan dan unsur Perbuatan dari si terdakwa. Artinya, hakim dalam mengadili perkara cukup melihat apakah si terdakwa mengetahui atau menyadari tentang potensi kerugian yang mungkin timbul. Dan juga diikuti dengan tindakan nyata. Adanya dua keadaan ini sudah cukup bagi hakim untuk memutus perkara dan menyatakan PT NMR telah melakukan pencemaran. Jadi tidak diperlukan unsur kesengajaan (Frances Russell dan Christine Locke; "English Law & Language, Casses", 1992). Prinsip yang sama pernah digunakan oleh Pengadilan di Inggris dalam perkara Alphacel Ltd v. Woodward. Pada perkara ini hakim menghukum seorang terdakwa karena dianggap bersalah melanggar River Prevention of Pollution Act 1951. Terdakwa/Defendant memasukkan tangki ke dalam sungai. Tanpa sepengetahuannya tangki telah bergeser pada saluran yang mengganggu berfungsi pompa air sehingga menyebabkan banjir. Banjir mana telah menyebabkan pencemaran. Dalam kasus ini tidak ada bukti yang memberatkan terdakwa. Tidak ada kesengajaan dan atau kealpaan, namun demikian pengadilan memutuskan si terdakwa tetap bersalah dengan pertimbangan dia patut mengetahui bahwa tangki tersebut bisa saja hanyut dan mengakibat hal lain yang dapat merusak lingkungan dan atau merugikan pihak lain. Moral yang mendasari putusan ini adalah jika atas dasar kesengajaan dan kealpaan saja, kemungkinan besar pencemaran akan tetap terus terjadi tanpa dapat menghukum pelaku dan penyebab pencemaran. Sehingga pencemaran akan tetap terjadi. Bentuk pertanggung-jawaban lainnya yang ada pada Undang Undang 23 Tahun 1997 adalah pertanggungjawaban menurut pasal 35 yang menyatakan bahwa "Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan" yang usaha dan kegiatannya menimbulkan kerusakan /pencemaran lingkungan" bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang terjadi". Pasal 35 UU 23/97 ini , bukan tanggung jawab pidana tetapi tanggung jawab perdata berupa ganti rugi mutlak yang artinya si penanggung jawab usaha/kegiatan harus memberikan ganti rugi seketika dan langsung tanpa harus ada pembuktian adanya kesalahan atau tidak. Asas dan prinsip tanggung-jawab langsung dan seketika pada hukum lingkungan ini juga berlaku dalam bidang medis kedokteran, dalam hal terjadi "malpraktek" misalnya terjadi tertinggalnya gunting kecil dalam tubuh pasien, setelah selesai operasi atas diri pasien. Dalam hal demikian tidak perlu dilakukan pembuktian lagi. Tertinggalnya gunting dalam perut pasien, sudah merupakan bukti telah terjadi kelalaian medis (malpraktek kedokteran). Hal mana bersandar pada prinsip "res ipsa ligutur- let the thing speaks for itself." Demikian halnya dalam hukum penerbangan. Jika terjadi kecelakan pesawat udara yang menyebabkan kematian atau luka-luka pada penumpang, maka pihak pengangkut bertanggung jawab untuk mengganti kerugian secara mutlak, tanpa harus ada pembuktian ada-tidaknya kesalahan pada pihak pengangkut (perusahaan penerbangan). Hanya saja jumlah ganti rugi biasanya sudah ditentukan untuk penumpang yang mati dan yang cacad dsb. Sedangkan pada kerusakan/pencemaran linkungan besarnya ganti rugi tak ditentukan batasnya. Pertanggung-jawaban perdatanya pada kasus pencemaran Teluk Buyat telah terselesaikan dengan mediasi di bawah pengawasan pengadilan Negari Jakarta Selatan berupa ganti 30 juta dollar bagi program pengembangan masyarakat dan pemantauan lingkungan (https://www.kompas.com/kompas-cetak/0602/17/humaniora/2443340.htm). REALISME HAKIM DIUJI Dalam kasus PT NMR ini, seperti halnya hakim, jaksa juga menghadapi tugas yang berat. Jaksa harus membuktikan adanya perbuatan SENGAJA merusak lingkungan, atau KEALPAAN dari pihak PT NMR. Adanya bukti baru yang sulit dikesampingkan seperti yang diajukan oleh WHO-Minamata Institute, KLH maupun CSIRO yang bertentangan dengan penelitian penelitian sebelum-nya (oleh lembaga penelitian perguruan tinggi/LSM), cukup menyulitkan hakim. Perbedaan fakta, baik fakta yang menunjukan tingkat pencemaran tidak melewati ambang batas, berdasarkan laporan lengkap dan detail (KLH, WHO-Minamata Insitute dan CSIRO)dan adanya fakta lain yang mengatakan terjadi pencemaran dengan laporan yang kurang detail dan lengkap. Perbedaan ini akan sangat menyulitkan hakim untuk menentukan mana fakta-fakta yang sebenarnya. Keadaan ini tidak perlu terjadi jika saja perkara ini tidak segera dijadikan kasus pidana. Pengajuan perkara ke tahap pidana memberi kesan terburu-buru. Proses peradilan pidana pencemaran lingkungan ini bagaikan buah simalakama. Karena jika tidak terbukti adanya KESENGAJAAN dan atau KEALPAAN, maka hakim secara hukum harus membebaskan Ness dan PT NMR. Sulitnya, jika putusannya hanya berdasarkan pertimbangan logis juridis bisa memberikan kesan keadilan tidak berpihak pada rakyat. Sebaliknya, jika hakim memutus Ness dan PT NMR bersalah, hal mana akan menimbulkan perdebatan hukum meluas, mengingat adanya perbedaan bukti tadi dan khususnya adanya rumusan pasal 41 dan 42 yang mensyaratkan KESENGAJAAN dan ATAU KEALPAAN. Kita semua menyadari membuktikan adanya unsur Kesengajaan melakukan pencemaran sama sulitnya membuktikan adanya unsur Kealpaan. Sepenggal bukti yang mungkin bisa membantu menguak kegelapan dan keluar dari tekanan-tekanan diatas tadi, jika perhatian kita tujukkan terhadap penemuan "tidak adanya termoklin (pada kedalaman 50-80 meter) mengakibatkan kesalahan dalam penempatan pipa tailing (pada kedalaman 82 meter) yang diikuti dengan "teguran KLH pada tahun 2000 tentang kesalahan dalam modeling pipa tailing" pada PT NMR tentang hal itu. Jika kedua informasi merupakan fakta hukum (fakta scientif yang tidak terbantahkan), maka hal ini dapat dianggap merupakan faktor utama" the most probable cause" terjadinya pencemaran, sehingga dengan demikian PT NMR dapat dianggap Alpa, bukan Kesengajaan. Kealpaan mana telah menyebabkan pencemaran. Kembali pada soal Newmont. Newmont bukan sebuah perusahan tambang yang baru saja berdiri. Dengan segudang pengalaman, kemampuan ekonomis, tehnis dan tehnologi, termasuk tenaga ahli dan trampil yang dimiliki, dapat diasumsikan bahwa Newmont sudah dapat mengetahui mengenai resiko yang mungkin terjadi jika tidak terpenuhinya persyaratan tehnis tertentu. Newmont juga bukan sebuah company yang tidak pernah berurusan dengan masalah hukum lingkungan. Bristlecone, sebuah edisi yang diterbitkan oleh kelompok environmental Great Basin Mine Publication yang terbit Fall 2004, baru saja mengumandangkan kemenangan mereka atas Nevada Devision of Environmental Protection. Pasalnya adalah hakim Maddox, state district Judge memenangkan kelompok environmentalis dalam suatu gugatan pencemaran linkungan di Nevada. Hakim Maddox memutuskan "Once the public get clear water it has to keep it". Putusan ini dengan sendirinya membatalkan ijin yang dikeluarkan oleh Nevada Devision of Environmental Protection yang membolehkan Newmont Mining Company melakukan pembuangan 26,000/gallon/menit ke anak sungai Maggie Creek. Sebuah pecahan cabang dari Humboltd River (Bristlecone, Great Basin, fall 2004) Dari San Diego pada 5 December 2006 yang lalu dilaporkan oleh Associated Press, Mahkamah Agung State of Nevada, membatalkan(overturning) putusan Pengadilan Negara Bagian Nevada tadi(state court) dengan alasan ketentuan karena peraturan yang mengatur tentang mempertahankan "anti degradasi dan higher standard dari Maggie Creek sebenarnya belum ada." Dengan demikian Newmont dapat terus melakukan pembuangan di anak sungai/Maggie Creek. Putusan itu diambil melalui panel hakim masing-masing Michael Douglas, Nancy Backer dan Ron Praguerre. (Brandon Riley, AP, December 5, 2006) Hakim harus menjadi "living intepretator," penafsir ketentuan yang hidup yang mampu menyelami hakekat keadilan. Bukan keadilan yang hanya bernuansa kepentingan hukum tetapi juga bernuansa kepentingan sosial dan kemanfaatan umum. Hakim Supreme Court AS, Benjamin Cordozo dalam seri kuliahnya di Columbia University mengambarkan mengenai sikapnya tentang tugas hakim. Seorang hakim akan selalu senantiasa bertanya hal hal seperti ini: 'apakah yang aku lakukan untuk memutuskan suatu kasus'?; informasi seperti apakah yang bisa memberikan arahan dalam mengambil keputusan, kemudian seberapa besar kontribusi-nya terhadap keputusan yang akan diambil; apabila telah ada contoh kasus sebelumnya, apakah keputusan yang diambil mencontohi keputusan kasus tersebut, kemudian kalau ternyata kasus ini belum pernah terjadi sebelumnya, akankah keputusan ini menjadi tolak ukur untuk kasus-kasus di masa mendatang; bagaimana cara mencari konsistensi logis dari kasus tersebut (ditinjau dari struktur hukum-nya); sampai seberapa jauh pengaruh tradisi, kesejahteraan sosial, dan standar hakim/masyarakat terhadap keadilan dan moral mempengaruhi putusan hakim. Pertanyaan pertanyaan seperti inilah yang harusnya di pikirkan/renungkan oleh hakim dalam mengambil keputusan terhadap suatu kasus. Seberapa hal-hal tersebut di atas mempengaruhi keputusan sang hakim, dikembalikan kepada kearifan hakim tersebut dalam mengambil keputusan. Menurut Benjamin Cordozo, pada prinsipnya keputusan hakim merupakan salah satu realitas hidup. Benjamin Cordozo, Oliver Wendell Holmes, dan Karl Llewllyn, dua yang disebut pertama adalah mantan Hakim Agung Amerika Serikat, yang memperkenalkan pendekatan-pendekatan sosial terhadap putusan-putusan pengadilan (sociolegal jurisprudence). Ketiganya adalah sekian dari tokoh legal realism Amerika Serikat yang dengan gigih mewacanakan intepretasi hukum dalam spektrum sosial, meski tidak membuang sama sekali rationalitas legal. Prinsip essensial dari legal realisme adalah semua hukum dibuat oleh manusia dan oleh karenanya tidak terlepas dari kekurangan, kelemahan dan ketidak sempurnaan manusia (The essential tenet of legal realism is that all law is made by human beings and, thus, is subject to human foibles, frailties and imperfections). Para legal realis percaya bahwa hukum sebagaimana tertulis (undang-undang dan berbagai kasus hukum) tidak menentukan hasil sengketa-sengketa hukum. Bahkan Jerome Frank yang terkenal dengan gagasannya menggambarkan keadaan tersebut sedikit sarkastik dengan mengatakan bahwa keputusan pengadilan ditentukan oleh menu sarapan pagi hakim. Karl Llewellyn dalam bukunya The Cheyenne Way secara sempurna menunjukan kecenderungan kecenderungan dan pentingnya pendekatan pendekatan multi disiplin terhadap hukum. Intinya adalah legal instrumen harus digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan sosial dan menyeimbangkan antara berbagai kompetisi kepentingan sosial. Akhirnya hakim yang harus menentukan what is the law kata Justice Marshall dalam sidang peradilan Marbury case, meski dalam suasana ketiadaan hukum sekalipun (kevakuman hukum), hakim harus tetap mencari, menemukan dan menyatakan apa hukumnya. Masyarakat percaya, kebajikan hukum (the virtue of the law) merupakan nilai tertinggi yang akan membimbing hakim dalam menyatakan putusan-putusan hukumnya. Masyarakat harus juga memberikan respek terhadap putusan hakim atas kasus PT NMR dikemudian hari. Untuk mencegah peristiwa ini terjadi lagi dikemudian hari, Hakim hendaknya tidak menggunakan legal reasoning hukum semata sebagai syarat minimal (lex minimalis) atau hanya sekedar mencapai standard yang ditentukan oleh hukum (memenuhi batas baku mutu dalam kasus kasus pencemaran lingkungan) tetapi sebaliknya menerapkan prinsip high standard yaitu prinsip kehati hatian yang tinggi untuk resiko yang tinggi. Judge made law. Kita lihat saja. (Chicago, Winter 2006) * Penulis, staf CASA(Court Appointed Special Advocacy-Program) Child Devision Cook County, Illiois, Chicago. Telah menyelesaikan kredit perkuliahan doktor dalam ilmu hukum Loyola School of Law, Chicago(dalam bidang health and medical law) [Non-text portions of this message have been removed] Post message: [EMAIL PROTECTED] Subscribe : [EMAIL PROTECTED] Unsubscribe : [EMAIL PROTECTED] List owner : [EMAIL PROTECTED] Homepage : http://proletar.8m.com/ Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/proletar/ <*> Your email settings: Individual Email | Traditional <*> To change settings online go to: http://groups.yahoo.com/group/proletar/join (Yahoo! ID required) <*> To change settings via email: mailto:[EMAIL PROTECTED] mailto:[EMAIL PROTECTED] <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/