e-link: 
http://rezaantonius.wordpress.com/2008/09/02/pernyataan-saya-untuk-universitas-katolik-atma-jaya-yang-sama-sekali-tidak-katolik/
 
Reza Antonius Alexander Wattimena SS., Mhum., wrote: 



Pernyataan Saya untuk Universitas Katolik Atma Jaya!!!!


Saya, Reza Antonius Alexander Wattimena, dan inilah pernyataan saya….

Saya mengajar di fak psikologi mulai februari 2007. Saya mengajar satu mata 
kuliah, yakni filsafat ilmu.

Saya diperkenalkan oleh salah seorang mahasiswa psikologi pada waktu itu kepada 
pak Mikhael Dua, yang kemudian meminta saya untuk mengajar filsafat ilmu pada 
waktu itu. Saya mengajar satu kelas, dengan bayaran 200 ribu sebulan.

Bayaran yang sangat kecil dan tidak manusiawi, tetapi saya jalankan, karena 
saya anggap itu pekerjaan sambilan, sambil saya menyelesaikan studi master saya 
di bidang filsafat dan ilmu-ilmu kemanusiaan.

Dalam perjalanan mengajar, saya mengutarakan keinginan saya untuk bekerja 
sebagai dosen tetap di fak psikologi, dan Mba Lena, yang waktu itu menjabat 
sebagai wadek I, memberikan afirmasi kepada permintaan saya itu. Dia meminta 
saya secara pribadi mengajukan lamaran ke Dekan Fak psi, Bu Rosa.

Walaupun latar belakang saya filsafat dan ilmu-ilmu kemanusiaan, Mba Lena dan 
Bu Rosa menyatakan, bahwa ada kemungkinan saya bisa bekerja sebagai dosen tetap 
di fak psikologi. Pernyataan itu saya pegang erat-erat, dan saya bekerja sambil 
terus berharap.

Waktu berjalan, dan saya dipanggil oleh fakultas untuk diwawancarai oleh bagian 
psi pendidikan, yang memang pada waktu itu sedang membutuhkan dosen. Saya 
ditolak. Saya tidak kaget, karena saya menyadari bahwa keahlian saya berbeda 
sangat jauh dengan kebutuhan psi pendidikan.

Bu Rosa mengatakan, bahwa saya lebih cocok di bagian psi sosial, dan meminta 
saya untuk menunggu kabar lebih jauh. Saya sendiri sudah tidak lagi berharap.

Waktu itu semester ganjil 2007 menjelang awal semester genap 2008. Saya tetap 
mengajar untuk tetap mengisi waktu sambil meraih gelar master saya, dan tidak 
lagi berharap untuk mengajar di fak psi.

Saya berpikir untuk bekerja sebagai jurnalis di berbagai media, ataupun 
mengajar sebagai dosen tetap di universitas lain. Akan tetapi, beberapa teman 
di fak psi bagian sosial menyatakan, bahwa saya kemungkinan besar akan 
bergabung dengan fak di bagian sosial.

Harapan baru pun tumbuh. Saya coba bekerja sama dalam tim dengan beberapa teman 
dari bagian sosial. Saya bekerja bukan atas dasar uang, tetapi atas dasar 
persahabatan.

Saya menemukan beberapa sahabat yang sangat berarti bagi saya di bagian psi 
sosial, dan itulah salah satu alasan saya tetap melanjutkan lamaran saya di fak 
psi atma jaya.

Waktu berjalan, setelah melewati empat kali wawancara, saya akhirnya diharapkan 
bertemu dengan warek I, yang kebetulan adalah Mba Lena, orang yang sama yang 
memberikan lampu hijau pertama kali kepada saya untuk bergabung dengan fak psi.

Wawancara berjalan lancar, dan saya diminta untuk tes TOEFL dan tes kesehatan. 
Itupun lulus dengan gemilang. Harapan saya mulai bersinar untuk bergabung di 
fak psi.

Saya diminta untuk memegang 9 kelas di fak psi dan 2 kelas di fak teknik atma 
jaya semester ganjil 2008. Saya juga dipercaya untuk menjadi pembimbing 
akademik.

Dari awal saya sudah menegaskan, bahwa saya hanya bersedia mengajar di semester 
ganjil 2008, jika status saya sudah tetap, dan bukan lagi honorer. Saya 
dijanjikan akan diangkat pada 1 sept 2008 sebagai tetap, dan atas alasan itulah 
saya stay di atma, berusaha bekerja habis2an untuk kepentingan mahasiswa dan 
kepentingan fakultas.

Semua tampak berjalan lancar sampai suatu ketika, bagian kepegawaian menelp dna 
meminta saya untuk menjalani psikotes seharian penuh. Saya bertanya, “Untuk 
apa?”

Mereka menjawab, orang-orang yang tidak berasal dari fak psi diharuskan untuk 
menjalani psikotes. Pertanyaan yang muncul di kepala saya adalah, kenapa saya 
tidak diberi tahu lebih awal? Sebenarnya, apa tujuan tes itu?

Setelah berdiskusi dengan bu dekan dan warek I, saya diberi tahu bahwa tes itu 
bertujuan untuk mengenali kepribadian dan potensi akademik saya. Terus terang, 
saya menentang tes itu dengan argumen, bahwa setelah bekerja selama satu 
setengah tahun di atma, fakultas sudah tahu kepribadian saya di tempat kerja, 
dan fakultas juga sudah mengetahui potensi akademik saya.

Saya telah menulis dua buku yang diterbitkan oleh penerbit kanisius dan 
grasindo pada 2007 dan 2008, serta belasan tulisan di berbagai jurnal ilmiah 
dan media. Judul buku itu adalah Melampaui Negara Hukum Klasik, dan Filsafat 
dan Sains. Saya rasa, potensi akademik saya tidak perlu diragukan lagi.

Akan tetapi, peraturan tetaplah peraturan. Walaupun terpaksa, saya harus 
menjalani tes itu. Saya pun menjalankannya, tentu dengan keadaan terpaksa.

Pada waktu tes, saya sungguh merasa diperlakukan sebagai kambing percobaan. 
Saya diperintah untuk mengisi macam-macam hal yang saya tidak mengerti 
alasannya.

Dari tes itu, saya menangkap salah satu kelemahan mendasar displin ilmu 
psikologi, yakni cenderung untuk memperlakukan manusia sebagai obyek. Manusia 
adalah obyek yang bisa dihitung dan dimanipulasi demi kepentingan penelitian 
dan tes.

Hal inilah yang saya coba lawan di dalam kuliah-kuliah saya, yakni kuliah 
fenomenologi eksistensial dan psikologi budaya, maupun di dalam kuliah-kuliah 
lainnya. Saya selalu menyatakan kepada mahasiswa, bahwa obyek kajian psikologi 
itu manusia, yang mempunya historisitas, daging, dan darah.

Manusia bukanlah barang yang bisa kalian hitung dan manipulasi seenaknya demi 
kepentingan penelitian kalian. Dia mungkin adalah ayah dari seorang anak, anak 
dari seorang ibu. Bagi kalian, subyek penelitian mungkin bukan siapa-siapa, 
tetapi bagi orang lain, subyek penelitian yang kalian anggap barang itu mungkin 
adalah dunianya.

Anyway, tes pun berlalu, saya pulang. Semester ganjil sudah mulai, dan saya 
mulai aktif mengajar di fakultas. Setiap hari, saya datang jam 6 pagi, dan 
pulang sekitar jam 4 sore, senin sampai Jumat.

Hal berlangsung biasa. Saya, seperti biasa, selalu sangat bersemangat di dalam 
mengajar dan menulis. Saya melakukan aktivitas ini dengan senang hati, walaupun 
saya belum diputuskan untuk menjadi dosen tetap, yang akan aktif mulai 1 sept 
2008.

Saya terbenam di dalam rutinitas, menulis dan mengajar. Sesuatu yang saya 
impikan dari dulu.

Hal ini berlangsung lancar, sampai saya memutuskan untuk menanyakan status 
lamaran saya kepada bu Rosa, dekan. Pada waktu, gut feeling saya mengatakan, 
bahwa saya harus bertanya mengenai ini. Jangan mengasumsikan apapun. Seorang 
sahabat, teman dosen di fak psi, pernah berkata, “assumption is the mother of 
all fuck up!”

Bu Rosa menyatakan, bahwa lamaran saya ditolak, karena alasan psiko tes yang 
jelek. Psiko tes menyatakan bahwa kemampuan saya kurang, dan saya tidak mampu 
bekerja di dalam tim, sesuatu yang menurut saya tidak benar.

Saya sudah bekerja di dalam tim semenjak menginjakkan kaki di fak psi. Saya 
juga aktif di berbagai organisasi sebelum mulai mengajar di atma.

Saya pernah bekerja di LSM HAM, dan di sana saya bekerja dalam tim terus 
menerus. Saya, menurut psiko tes itu, juga dianggap tidak mampu secara akademik.

Padahal, saya menyelesaikan studi S1 dan S2 dalam 5 tahun. Saya juga sudah 
menulis dua buku dan belasan artikel di berbagai media serta jurnal ilmiah.

Hati saya hancur. Saya sangat kecewa.

Ternyata, Warek I hanya melihat hasil tes, dan tidak melihat variabel lainnya. 
Padahal, saya, dan beberapa teman psikolog lainnya, berpendapat bahwa tes hanya 
merupakan salah satu pertimbangan, dan bukan keseluruhan. Masih ada hal-hal 
lainnya yang harus dilihat.

Beberapa teman di bagian sosial juga berpendapat serupa. Mereka menunjukkan 
kekecewaannya, dan tidak bisa berbuat apa-apa.

Inilah pernyataan saya:

1.Ada yang tidak beres dengan paradigma yang dipakai untuk penerimaan dosen. 
Tes hanyalah salah satu faktor dari banyak faktor lainnya, yang digunakan 
sebagai penilaian untuk penerimaan dosen. Dan tes tidak pernah bisa 
menghancurkan penilaian lainnya.

Rupanya, rektorat atma jaya tidak melihat hal ini. Mereka berpendapat, tidak 
peduli apa yang sudah dihasilkan dan dilakukan oleh Reza untuk atma jaya, yang 
penting psiko tesnya jelek, maka ia tidak berhak masuk menjadi dosen tetap di 
atma jaya. Ia ditendang keluar.

2.Saya sudah hancur secara emosional, dan saya sadar, bahwa saya tidak ada 
artinya di hadapan sistem yang bernama atma jaya. Setelah saya pergi, fakultas 
akan mencari dosen honorer pengganti saya. Dan semua akan berjalan seperti 
semula. Saya akan hancur sendiri, dan atma jaya akan berpretensi tidak pernah 
terjadi apa-apa.

3.Saya merasa, ada banyak problem teoritis di dalam psiko tes. Sederhananya, 
tes tersebut tidak bisa memahami dan mengenali saya. Oleh sebab itu, saya 
dianggap bodoh, tidak kompeten, dan egois. Saya rasa, diperlukan sebuah alat 
tes yang peka pada perbedaan kultur dan cara berpikir, sehingga bisa lebih adil 
di dalam menilai orang. Jika hal ini tidak disadari, psiko tes adalah sebuah 
alat ideologis yang sama sekali tidak peka pada perbedaan budaya, dan punya 
intensi untuk melestarikan kekuasaan kelompok sosial yang dominan. Dengan kata 
lain, psiko tes menjadi kaki tangan kekuasaan belaka. Saya tidak ingin hal ini 
terjadi.

Anyway, saya sudah non aktif dari semua kegiatan di atma jaya. Saya tahu, saya 
banyak membuat kesulitan pada wadek I fak psikologi dan kepala jurusan fak 
teknik industri atma jaya. Mereka harus mencari pengganti untuk sebelas kelas 
yang saya tinggalkan.

Harapan saya adalah, semoga hal ini menjadi perhatian kawan2, bahwa ada yang 
tidak beres di rektorat atma jaya sekarang ini. Jangan sampai ada “Reza-reza” 
berikutnya.

Terima kasih dan salam hormat selalu,

Reza Antonius Alexander Wattimena SS., Mhum.,


      Need a holiday? Check out Yahoo!Xtra Travel - http://nz.travel.yahoo.com/

Kirim email ke