Assalaamu’alaykum wa Rahmatullaahi wa Barakatuhu
Maaf kalau dianggap tidak ada keminangannya, tapi insya Allaah perlu
dipikirkan juga oleh orang Minang yang katanya ber-ABSSBK.
Dari informasi mengenai proyek Yusuf 2004 oleh orang-orang Kristen yang
pernah dikirimkan ke milis, sudah jelas bagi kita bahwa umat Kristen yang selama
ini mendengungkan sekularisme dalam berbagai bidang kehidupan bernegara (contoh:
pembahasan RUU Sisdiknas, Revisi KUHP dll.) sudah bertekad untuk berpolitik
dengan tuntunan agama mereka, apakah umat Islam yang agamanya sudah diakui oleh
Allaah SWT sebagai Rahmatan lil 'aalamiin masih saja bertengkar dan berbeda
pendapat tentang pentingnya berpolitik dan bernegara dengan berlandaskan
Diinullaah?
Bagi saya nasionalisme sekuler yang tidak memiliki komitmen kepada
nilai-nilai rabbaniyyah (Allaah oriented) telah gagal membawa bangsa Indonesia
menjadi bangsa yang besar karena ideologi seperti itu tidak sesuai dengan
karakter bangsa Indonesia yang religius, baik dia itu Islam, Kristen, Katholik,
Hindu, Budha atau agama yang lain. Yang kita dapatkan saat ini adalah dekadensi
moral dan krisis budaya pada bangsa Indonesia di mana-mana. Tentunya sudah kita
ketahui adanya hasil survey tentang perilaku seks mahasiswa dan pelajar di
kota-kota besar, penyanyi erotis yang dipuja dan dibela-bela (mungkin mirip
hadits Rasulullaah SAW yang menyatakan akan datangnya suatu zaman di mana orang
dimuliakan karena kejahatannya dll), narkoba yang merajalela, KKN yang tak
putus-putusnya dsbnya. Di lain pihak kita juga menemukan bertambah sedikitnya
orang Islam lulusan sekolah menengah umum yang bisa membaca Al-Qur'an dengan
baik dan orang yang berusaha menjalankan agamanya dengan baik di segala lini
kehidupannya dicap sebagai orang yang sok suci. Itulah yang kita dapatkan dengan
nasionalisme sekuler selama hampir 60 tahun kemerdekaan Indonesia.
Selama ini kita dipaksa untuk menerima dikotomi antara Nasionalis dan
Religius (terutama untuk Islam), sehingga ada image seolah-olah orang-orang yang
religius tidaklah nasionalis (cinta tanah air). Tetapi bagi kita yang mau
berpikir ini adalah pembagian yang terlalu dipaksakan. Bagaimana mungkin
seseorang yang mengaku religius tidak mempunyai kecintaan kepada tanah airnya?
Dalam Islam kita diajarkan bahwa mati syahid untuk membela kemuliaan jiwa,
bangsa, negara dan agama adalah derajat tertinggi yang bisa dicapai seorang
muslim. Dan ini sudah dicontohkan oleh para pahlawan kita sejak beratus-ratus
tahun yang lalu. Dari Tuanku Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro sampai Jendral
Sudirman adalah orang-orang yang religius (baik keislamannya) dan mereka adalah
orang-orang yang sangat cinta kepada tanah airnya terbukti dengan pengorbanan
mereka yang sangat besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pada jaman ini
kita mendapatkan contoh dari saudara-saudara kita di Palestina yang sangat
kental keislamannya dan berjuang tanpa kenal lelah untuk merebut kembali tanah
airnya yang dirampok oleh konspirasi teroris dunia. Jadi jelas bagi kita bahwa
sebenarnya yang ada adalah nasionalisme sekuler, nasionalisme religius, dan
mungkin juga ada yang lain...
Sudah saatnya bagi umat Islam Indonesia untuk keluar dari kungkungan sempit
nasionalisme sekuler yang tidak menghargai nilai-nilai rabbaniyyah menuju
kecintaan kepada tanah air yang bersumber dari tanggung jawabnya sebagai umat
Islam kepada Rabb-Nya, Allaah SWT. Umat Islam adalah khalifah di muka bumi ini
yang diberi hak untuk memanfaatkan ni'mat-ni'mat Allaah yang disediakan di muka
bumi ini dan memiliki kewajiban untuk menjaga kelestarian dan kesinambungan
ni'mat-ni'mat tersebut. Tahun 2004 adalah tahun yang sangat penting dalam
perjalanan kehidupan bangsa Indonesia, karena kita mendapatkan kesempatan untuk
mengadakan perubahan yang signifikan secara legal dan damai melalui pemilihan
wakil-wakil rakyat dan presiden. Marilah kita manfaatkan momentum tersebut untuk
memilih orang-orang dan partai-partai yang benar-benar peduli pada perubahan
nasib umat Islam dan bangsa Indonesia. Janganlah kita sampai terperosok kembali
dengan memilih orang-orang yang salah. Rasulullaah mengajarkan kepada bahwa umat
Islam tidak akan terperosok dua kali ke lubang yang sama, mudah-mudahan kita
bukan menjadi orang-orang yang seperti itu. Di bawah ini saya kirimkan juga
tulisan Adian Husaini mengenai nasib partai-partai Islam tahun 2004, semoga
dapat memotivasi kita untuk bergerak mengubah nasib umat Islam khususnya di
Indonesia.
Hidayatullah.com, Jumat, 19 Desember 2003
Nasib Partai-partai Islam Tahun
2004
|
Kunjungan parlemen Australia ke
PP Muhammadiyah, Syafi’i Ma’arif menunjukkan Barat sangat serius jangan
sampai partai Islam akan meraih dukungan rakyat yang signifikan. Baca
CAP Adian Husaini, MA ke-36
Beberapa hari belakangan ini
sebenarnya banyak berita menarik. Dari luar negeri, berita terheboh adalah
tertangkapnya Saddam Husein. Berbagai analisis sudah banyak diungkapkan.
Ada yang menyebut itu sandiwara.
Malah ada yang meragukan, apakah
benar yang ditangkap itu Saddam Hussein. Analisis Gordon Thomas di Koran
The Daily Telegraph, London, berjudul “Saddam betrayed by his
wife”, 17 Desember 2003, menarik untuk diikuti. Berita ini
mengungkapkan bagaimana jaringan kerja intel-intel Mossad dan AS telah
lama mengikuti gerak-gerik istri kedua Saddam Hussein, bernama Samira
Shahbander. Sang istri, sebelum Baghdad jatuh ke tangan AS. Sempat lari ke
Lebanon, dengan membawa uang 5 juta USD dan sejumlah emas. Dari sang istri
inilah, konon, tempat persembunyian Saddam tercium.
Tapi,
pertarungan Saddam dan Bush memang tidak imbang. Kata Jorg Heider,
pemimpin sayap kanan Austria: dari segi moral, kedua orang itu tidak
banyak berbeda. Keduanya menyalahi hukum internasional dan melanggar HAM.
“Seorang bernasib baik karena memimpin sebuah negara super power, dan
seorang lagi pemimpin malang.”
Namun, Iraq tampaknya kini menjadi
ajang “jihad” baru, yang tidak ada kaitannya dengan Sadam Hussein. Kaum
Muslim tahu, bahwa Saddam adalah penguasa yang kejam dan telah membunuh
banyak ulama Islam secara sadis. Kini, di dunia, ia telah menerima
akibatnya. Koran International Herald Tribune, edisi 11 November
2003 lalu, menurunkan berita besar di halaman pertama berjudul
“Hundreds of militants head to Iraq for jihad.” Yang menarik dari
berita ini, dilaporkan banyak pemuda Muslim yang pergi ke Iraq tanpa
mereka ada kaitan dengan al-Qaeda. Wallahu a’lam. Kita tunggu lagi
perkembangan terus di Iraq.
Berita menarik lain muncul di Koran
Haaretz, Israel, (17/12/2003), yang membocorkan laporan analisis intelijen
di bawah CIA. Berita ini berjudul: “U.S. report: no full peace
settlement before 2020.” Jadi, menurut CIA, memang tidak akan ada
perdamaian penuh antara Israel-Palestina sampai tahun 2020. Pakar-pakar
intelijen AS juga meramalkan kemungkinan terjadinya kekacauan politik di
Mesir dan Arab Saudi. Diantara efek-efek negatif adalah berdirinya rejim
radikal di Mesir yang dapat mengganggu hubungan damai Mesir dengan Israel.
Mari kita tunggu, apakah dugaan CIA itu betul.
Dalam catatan kali
ini, yang menarik untuk kita sorot adalah soal nasib-nasib partai Islam
dalam pemilu 2004. Beberapa hari ini, tampaknya berbagai TV di Indonesia
sibuk mengadakan jajak pendapat tentang perolehan suara partai-partai
peserta pemilu 2004.
Imbas polling-polling itu sampai juga ke
Kuala Lumpur. KPU sudah mengumumkan, sebanyak 24 partai sebagai peserta
pemilu 2004. Namun, tampaknya, belum apa-apa, Barat sudah khawatir kalau
partai Islam akan menang dalam pemilu itu.
Pada 11 Desember 2003
lalu, delegasi Parlemen Australia Menemui para pemimpin Muhammadiyah di
Yogyakarta. Kata Ketua PP Muhammadiyah Prof. Dr. Syafii Maarif, seperti
dikutip Tempo interaktif, "Mereka memang bertanya dan khawatir, Pemilu
2004 akan menghasilkan pemerintahan Islam fundamental. Saya katakan, itu
tidak mungkin terjadi."
Mendapatkan jawaban dari petinggi
Muhammadiyah itu, delegasi parlemen Australia tampak merasa puas. Syafii
juga menjelaskan, komposisi partai-partai yang berasaskan Islam dan
dikategorikan Islam fundamental, tidaklah signifikan. Bahkan, bila
partai-partai itu berkoalisipun, tidak akan menghasilkan koalisi besar.
Menurut Ian Causley, ketua delegasi, kekhawatiran pemerintah dan
masyarakat Australia bukan berarti anti-Islam. "Selama ini, warga Islam di
Australia mendapat perhatian besar. Banyaknya masjid berdiri di Australia
adalah bukti tidak adanya kebencian terhadap Islam," kata Ian.
Sayangnya, berita itu tidak menyebut dengan jelas, partai-partai
mana yang dimaksud sebagai “Islam fundamentalis” itu? Kita hanya dapat
menebak-nebak saja. Mungkin, maksudnya adalah partai-partai Islam. Dari 24
partai yang lolos seleksi oleh KPU, ada 5 partai Islam – dengan definisi:
partai yang secara tegas menyatakan berasas Islam -- yang akan bertanding
dalam pemilu 2004. Yaitu: Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Pertai Bulan
Bintang (PBB), Partai Keadilan Sejahtera PKS), Partai Persatuan Nahdlatul
Ummah Indonesia (PPNUI), Partai Bintang Reformasi (PBR).
Bagaimana
nasib partai-partai Islam pada pemilu 2004 nanti? Dengan asumsi, tidak ada
perubahan yang luar biasa pada gerakan dan langkah partai-partai Islam
itu, maka bisa diduga, hasilnya tidak akan jauh berbeda dengan hasil
pemilu 1999. Partai-partai Islam ketika itu (PPP, PBB, PK, PNU, PKU, PPI
Masyumi) mendapat suara tidak sampai 20 persen. Masih di bawah perolehan
suara PPP dalam pemilu tahun 1977 sebesar 29 persen dan pemilu 1982
sebesar 24 persen. Tahun 1987, PPP yang terus digencet pemerintah Orde
Baru, dengan diharamkan menggunakan asas Islam dan tanda gambar Ka’bah,
masih memperoleh suara 15 persen. Itu pun setelah salah stau unsur PPP, NU
menyatakan kembali ke Khittah 1926, dan melepaskan diri secara
organisatoris dari PPP. Tahun 1992, PPP bisa mempertahankan suaranya (15
persen), dengan tambahan satu kursi di DPR dari 61 menjadi 62.
Mengapa partai Islam mendapat suara kecil pada pemilu 1999?
Padahal, pemilu itu diakui sebagai pemilu yang bebas-aktif setelah pemilu
1955. Ada faktor yang sangat signifikan telah terjadi dalam tubuh umat
Islam Indonesia, yaitu suksesnya gerakan sekularisasi dan liberalisasi.
PKB yang dilahirkan NU tidak lagi mau menyatakan diri sebagai partai
berasaskan Islam. Begitu juga PAN yang dibidani tokoh Muhammadiyah, Amin
Rais, juga menolak untuk menjadi partai Islam. Mereka lebih memilih
sebagai partai berbasis muslim (muslim based party). Masalah asas
Islam atau tidak (secara formal) memang bukan hal pokok. Yang pokok adalah
partai itu secara riil memperjuangkan cita-cita Islam dengan cara-cara
yang Islami atau tidak?
Pada bulan Maret 1999, tiga bulan sebelum
Pemilu 1999, saya menulis satu artikel di Majalah Media Dakwah,
yang berjudul: “Pemilu 1999: Kubu Islam Tersudut?” Dalam artikel
itu saya tulis: “Jika sikap tokoh-tokoh partai Islam tidak berubah dan
enggan membangun kerjasama serius untuk menghadapi tantangan bersama,
bukan mustahil, pemilu 1999 mendatang memang bukan “milik partai Islam”.
Mungkin, tesis kuno yang menyatakan, bahwa Islam jangan dibawa-bawa ke
dalam politik, akan semakin mendapatkan legitimasinya.”
Artikel
itu saya tutup dengan paragraf berikut: “Sikap ta’assub –kebanggaan dan
fanatisme yang membabi buta terhadap kelompok– sudah saatnya dihilangkan.
Sebab, kata Nabi saw, siapa yang berjuang semata-mata untuk kemenangan
golongannya (ashabiyah), maka ia tergolong sebagai jahiliyah.”
Pukulan telak terhadap partai-partai Islam ketika itu justru
datang dari dalam tubuh umat Islam sendiri, terutama dari PKB dan PAN.
Kedua partai ini menggerogoti legitimasi partai-partai Islam. Terutama
tentang dukungan umat Islam mendukung partai Islam.
Dalam Mabda’
Siyasy PKB no. 9 (ketika itu) dikatakan, bahwa PKB adalah partai terbuka,
dalam pengertian lintas agama, lintas suku, dan lintas golongan. Sedangkan
PAN, dikatakan oleh Amien Rais sebagai “partai yang merupakan kumpulan
manusia Indonesia yang berasal dari berbagai keyakinan, pemikiran, latar
belakang etnis, suku, agama, gender, dan menganut prinsip non-sektarian
dan non-diskriminatif.” Jelas, basis utama kedua partai ini adalah warga
NU dan Muhammadiyah.
Tantangan legitimasi internal ini, sampai
sekarang, masih belum berubah. Bahkan, kemudian sepanjang tahun 1999-2003,
kiprah antara partai yang berasas Islam dan tidak berasas Islam terkesan
tidak banyak bedanya di arena lembaga legislatif. Terutama dalam isu-isu
yang menyentuh aspek strategis dan hajat hidup rakyat, seperti soal utang
luar negei, kenaikan BBM, tarif dasar listrik, kenaikan gaji guru, dan
sebagainya.
Bahkan, kemudian, sebagian partai berasas Islam
memilih bergabung dengan partai yang tidak berasas Islam. Dus, soal asas
kemudian sepertinya menjadi tidak terlalu penting lagi.
Dengan
kondisi seperti ini, maka pencapaian suara partai-partai Islam pada pemilu
1955 (sekitar 44 persen) tampak semakin jauh. Kecuali jika ada perubahan
yang signifikan pada penampilan tokoh-tokoh partai Islam dan gerakan
partainya. Kita ingat, pada pemilu 1955, suara kubu Islam sangat kompak.
Ketika itu, dua kubu Islam utama, yaitu Masyumi meraih 20,9 persen suara
(57 kursi), dan NU mendapat 18,4 persen (45 kursi). Dua kubu sekuler
utama, yaitu PNI meraih 22,3 persen suara (57 kursi) dan PKI meraih 16,4
persen (39 kursi).
Secara umum, tantangan partai-partai Islam
tidak berubah dari waktu ke waktu. Utamanya datang dari golongan sekular
dan non-muslim. Namun, tantangan itu tampaknya semakin menguat dari waktu
ke waktu. Arus liberalisasi di kalangan umat Islam semakin menguat.
Dalam semua aspek kehidupan. Ironisnya, partai-partai Islam tidak
terlalu bersemangat menangani isu-isu sekularisasi dan liberalisasi di
kalangan umat Islam, yang hampir pasti secara logika hal itu akan
berdampak pada dukungan rakyat kepada partai Islam. Sebab, salah satu
program liberalisasi Islam di Indonesia (seperti ditulis dalam desertasi
Greg Barton di Australian National University) adalah “Pemisahan agama
dari partai politik dan adanya posisi non-sektarian negara.”
Kunjungan parlemen Australia ke PP Muhammadiyah menunjukkan, bahwa
Barat memang sangat serius untuk “memonitor”, jangan sampai partai-partai
Islam yang mereka anggap sebagai fundamentalis akan meraih dukungan rakyat
yang signifikan. Ini akan menjadi momok bagi mereka. Karena itu, tidaklah
heran, LSM-LSM Barat banyak yang kini bersemangat mendanai
kegiatan-kegiatan yang arahnya adalah melemahkan politik Islam. Terutama
yang dilakukan oleh kalangan umat Islam sendiri.
Sekularisasi dan
liberalisasi itu sudah begitu jauh. Apalagi, dengan semakin meruyaknya
acara-acara televisi yang menjual program-program yang berpotensi merusak
moral. Artis-artis muncul sebagai idola masyarakat, menggantikan ulama dan
cendekiawan. Ini fenomena global dalam masyarakat yang semakin
tersekulerkan. Tidak heran, jika di banyak negara, banyak partai
memanfaatkan popularitas artis untuk menjaring suara. PDIP, misalnya,
sudah memanfaatkan Marisa Haque untuk menjadi calon anggota legislatif
dari daerah Jakarta. Inul juga direncanakan akan menjadi ikon partai.
Inilah satu titik lemah sistem demokrasi yang sejak dulu yang dikritik
oleh Plato (429-347 SM). Menurutnya, diantara kelemahan demokrasi adalah
adalah satu para pemimpin biasanya dipilih bukan karena alasan-alasan
esensial, seperti faktor kepandaian bicara, penampilannya yang menarik,
kekayaannya, atau karena faktor keturunan.
Dalam sistem demokrasi
yang meyakini, bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan, maka rakyat akan
memilih pemimpin sesuai dengan seleranya. Jika rakyat suka berjudi, maka
meeka akan memilih pemimpin yang mendukung hobi mereka. Jika rakyat suka
dangdut, maka ia akan memilih partai yang mendukung dangdut. Jika rakyat
hobi pengajian, maka mereka akan memilih partai yang menggalakkan
pengajian. Karena ingin meraih suara rakyat itulah, ada partai yang
mempunyai program seperti “tong sampah”. Apa saja diadakan, yang penting
dapat dukungan.
Adalah menarik mempelajari bagaimana PKI (Partai
Komunis Indonesia) tampil sebagai pemenang ke-4 dalam pemilu 1955.
Padahal, baru tahun 1948, PKI melakukan pemerontakan di Madiun. Bahkan,
ketika itu, PKI berhasil meraih suara 6.176.914, atau hanya terpaut
778.227 suara dengan NU. Salah satu peran besar sukses PKI dimainkan oleh
Departemen Agitasi dan Propaganda (Agitprop) yang dimotori oleh anak-anak
muda seperti Aidit, Lukman, Nyoto, Peris Pardede. Mereka merupakan
redaktur-redaktur muda Harian Rakyat dan jurnal Bintang Merah.
Setelah mengalami proses liberalisasi dan sekularisasi yang hebat,
selama puluhan tahun, bisa dibayangkan, masyarakat seperti apakah yang ada
di Indonesia sekarang ini? Dulu, tidak ada kyai yang berani mendukung
pentas tarian erotis. Dulu, tidak ada doktor bidang agama yang menyatakan
muslimah boleh menikah dengan laki-laki non-Muslim. Bahkan, kini, sudah
ada seorang dosen Universitas Paramadina, lulusan pesantren dan fakultas
syariah, yang berani menggugat otentisitas al-Quran melalui tulisannya di
media massa. Ia menulis: “Sebagian besar kaum Muslim meyakini bahwa
Alquran dari halaman pertama hingga terakhir merupakan kata-kata Allah
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara verbatim, baik kata-katanya
(lafdhan) maupun maknanya (ma'nan). Kaum Muslim juga
meyakini bahwa Alquran yang mereka lihat dan baca hari ini adalah persis
seperti yang ada pada masa Nabi lebih dari seribu empat ratus tahun silam.
Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan
angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para
ulama sebagai bagian dari formalisasi doktrin-doktrin Islam. Hakikat dan
sejarah penulisan Alquran sendiri sesungguhnya penuh dengan berbagai
nuansa yang delicate (rumit), dan tidak sunyi dari perdebatan,
pertentangan, intrik, dan rekayasa.”
Pada tahun 1955, juga pada
tahun 1999, hal-hal seperti ini masih belum terpikirkan oleh umat Islam.
Jadi, yang digugat bukan hanya partai Islam. Qur’an pun sudah diobok-obok.
Tentu, tantangan partai-partai Islam dalam pemilu 2004, lebih berat dari
pemilu tahun-tahun sebelumnya.
Bahkan, dalam situasi seperti ini,
seorang tokoh Kristen, Pendeta Ruyandi Hutasoit, dari Partai Demokrasi
Sejahtera, telah mencalonkan diri sebagai Presiden RI. Sekjen PDS, Denny
Tewu, menyatakan, bahwa pencalonan Ruyandi adalah untuk menunjukkan kepada
komunitas internasional, bahwa Indonesia bukanlah satu negara yang
didasarkan atas agama tertentu. Ideologi Pancasila, katanya, mengizinkan
negara ini dipimpin oleh orang yang beragama apa pun. Ruyandi adalah
rektor Doulos Institute of Theology di Jakarta. Tahun 1999, kampus Doulos
di Cipayung di bakar massa, karena kasus Kristenisasi. Tabloid TEKAD No
08/tahun II, 20-26 Desember 1999, memaparkan aktivitas-aktivitas
Kristenisasi Yayasan Doulos pimpinan Ruyandi ini.
Kini, sang tokoh
misionaris Kristen itu dicalonkan oleh partainya sebagai calon Presiden
Republik Indonesia tahun 2004. Luar biasa!
Apa pun tantangan
internal yang dihadapi partai-partai Islam saat ini, mereka telah memiliki
modal awal. Berapa pun besarnya. Kini terpulang kepada tokoh-tokoh partai
Islam itu sendiri, apakah mereka mampu menyusun strategi yang jitu
menjelang pemilu 2004. Kita berharap, apa pun program partai Islam,
hendaknya dilakukan dengan tulus, dan jujur. Lahir dan batin sama. Bukan
di depan publik tampil “Islami” padahal, di balik itu, moralnya amburadul.
Umat mungkin bisa dikibuli, tetapi Allah SWT pasti melihat.
Pada
akhirnya, Allah-lah yang memberikan pertolongan kepada umat Islam. Bukan
yang lain. Perjuangan Islam bukan hanya ditentukan oleh besar kecilnya
perolehan kursi DPR/DPD/MPR. Medan perjuangan politik sangatlah luas.
Bidang pendidikan, ekonomi, sosial, media massa, kemiliteran, adalah lahan
dakwah yang begitu luas untuk diterjuni. Pemilu 2004 memang penting,
tetapi bukanlah segala-galanya bagi kaum Muslim Indonesia.
Termasuk bagi bangsa Indonesia. Banyak yang berharap terlalu besar
pada 2004. Seolah-olah akan ada perubahan besar. Padahal, belum tentu ada
perubahan bagi rakyat banyak. Lagi pula, kata sebagian pengamat, pemilu
2004 itu pun belum tentu akan terjadi. Benarkah? Kita tunggu saja.
Wallahu a’lam. (KL, 18 Desember 2003).
|
|