Perspektif
Hukum
oleh Saldi Isra, SH,
MPA
(Dosen Hukum
Tata Negara UNAND,
Ketua Forum
Peduli Sumatera Barat)
Pada kesempatan ini akan membicarakan tentang, sanksi hukum atas tindak
pidana korupsi, mengatasi besarnya
kewenangan legislatif, yudikatif dan eksekutif, dan apa yang bisa
ditawarkan.
Ada hal yang harus dikaji
sebelum membahas persoalan diatas, yakni tentang konteks, kita harus mengerti
konteks persoalan terlebih dahulu.
Sebagai ilustrasi, apalah arti
penyelewengan uang sebesar Rp 20
milyar dibandingkan uang trilyunan pada zaman orba, terdapat semacam pembenanran atas tindak korupsi yang
dilakukan. Namun, sekecil apapun penyelewengan harus diwaspadai, disamping kita
ini adalah termasuk daerah busung lapar sehingga kita harus lebih kritis, uang
tersebut sangat besar artinya., Belum lagi DPRD yang meminta uang pesangon, ini
cara legislatif untuk memanipulasi hukum untuk mendapatkan uang. Korupi di
Sumatera Barat harus diributkan. Adanya mobil dinas yang harganya setengah dari
PAD, banyakny mobil dinas, membuat peluang adanya penyelewenangan, dari dana
operasional mobil tersebut
Penegakan hukum dalam teori
dipengaruhi banyak hal:
1.
Substansi hukum,
Apakah cukup baik untuk
menjerat semua pelaku korupsi? apakah proses sudah fair? Saya melihat substansi
hukum sangat bermasalah, walaupun
telah ada perubahan, ada substansi yang dapat meloloskan pelaku. Akbar Tandjung
bebas karena terdapat ketentuan hukum yang meyebabkan dia bebas, yakni karena
dia mnjalankan perintah atasan. Apakah karena dia menjalakan perintah dan dia
tidak bisa dihukum, maka logika hukum tidakada Alasan untuk membebaskannya
berimplikasi terhadap kasus korupsi yang terjadi di Sumatera Bara, dan semakin
memberi kesempatan untuk munculnya para koruptor baru
2. Penegak hukum
Terjadinya semacam persaingn dalam menangani kasus korupsi, baik antara
pihak kepolosian, kejaksaan, ditambah lagi dengan KPK. Kasus di Payakumbuh,
dipecah dua pihak yang menyelesaikannya, rebutan lahan basah untuk menyelesaikan
kasus. Hakim sangat mudah untuk di intervensi pihak lain. Kasus korupsi yang
terjadi di Sumatera Barat masih
sangat bertele-tele Yang paling dominan adalah substansi hukum dan penegak
hukum
Menjelaskan faktor tersebut
dalam menjelaskan kasus korupsi yang terjadi seperti kasus yang menimpa di DPRD
Padang, Mentawai dan DPRD ditempat lain. Problem dari substansi pendirian hukum
DPRD dan diluarnya, Apa kewenangan
forum peduli Sumbar?, siapa yang diwakili? Namun siapa yang peduli dengan kasus
Sumbar, murni atas keprihatinan atau ada sesuatu
dibaliknya?
Perbedaaan pendirian hukum,
perubahan mata anggaran harus berdasarkan PP105, secara patut, bagaimanakah yang patut
itu???? Padahal orang Sumbar hidup dalam kemiskinan. Dalam tulisan korupsi
dinegeri busung lapar, akan terdapat relasi kekuasaan antara legislatif dan eksekutif. DPRD memiliki
kekuasaan politik, sedngkan kekuasaan keuangan ada pada eksekutif.. Mereka akan
menukarkan kekuasaan yang mereka miliki. Sewaktu Kepala Daerah akan menyampaikan laporan
pertanggungjawabannya ada indikasi akan ditolak DPRD. Hal ini membuat Kepala
Daerah cemas, dan akan memicu
terjadi permainan di belakang layar. Eksekutif gampang dalam menghabiskan uang,
padahal orang mendapatkannya dengan susah payah. Dengan keadaan ini yang bisa
ditawarkan? Dapat dilakukan dengan
dua hal, yang pertama adanya akuntabilitas institusi di daerah.
Pengadilan Negeri harus membuat membuat annual report, laporan tahunan disetiap
jenjang pengadilan, dengan didiskusikan. Kedua, akuntabilitas individul, hakim
harus mempunyai pertanggungjawaban secara individu. .Memberikan kesempatan pada
hakim untuk menjelaskan mengapa membebaskan suatu kasus atau tidak. Kasus
sensitif harus ada telaah mendalam atas kasus tersebut. Sehingga ada pemikiran
yang jernih atas keputusan itu. Dan bisa dijadikan proses pembelajaran.
Kedepankan akan dilksanakan pemilihan Kepala Daerah secara langsung, kita dapat
menentukan siapa nantinya akan menjadi Kepala Daerah.. Mendiskusikan secara luas
bagaimana calon gubernur dan walikota dipilih. Sumbar adalah daerah pertama yang
akan melaksanakan pemilihan
gubernur secara langsung. Daerah Padang Panjang bisa saja jadi piranti mencegaf
eksekutif dan legislatif
melaksanakan korupsi. Ada peluang yang bisa dimanfaatkan walaupun hanya
kecil. Hanya sedikit anggota DPRD yang tidak mau mnerima gaji diluar ketentuan.
Jika kasus korupsi besar gagal dibongkar bagaimana dengan kasus yang kecil,
setiap generasi harus bisa terbuka dengan segala kelemahan, termasuk dilkalangan
Perguruan Tinggi sendiri, misalnya di Universitas terdapat gelar
doktor yang plagiat. Tidak hanya politisi yang busuk namun akademi juga ada yang
busuk. Pemilihan langsung secara alamiah akan bisa menata hubungan eksekutif dan legislatif.
Refleksi Akhir dan Catatan Awal
Tahun
Penegakan
Hukum
Oleh: Iwan Satriawan , SH,
MCL
Dosen FH Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta, Anggota Dewan Etik
Indonesia Court Monitoring (ICM)
dan Penasehat Lembaga Bina Kesadaran Hukum Indonesia
I. Pengantar
Baik buruknya sebuah bangsa bias dilihat
dari kinerja dan mentalitas aparat penegak hukumnya dalam menegakkan hukum.
Statemen ini tidak berlebihan karena fakta menunujukkan demikian. Indonesia,
misalnya sebuah contoh yang relevan dengan pernyataan yang diatas. Keterpurukkan
bangsa Indonesia di bidang ekonomi dan politik diakibatkan oleh beberapa factor,
yang salah satunya adalah lemahnya penegakkan hukum. Oleh karena itu, Edgardo
Buscaglia, dengan mengutip Adam Smith mengatakan bahwa kehancuran dunia ekonomi
disebabkan oleh tidak sempurnanya hukum dan adanya ketidakpastian dalam
penegakkannya. Pasca rezim Soeharto turun pun --yang disebut orde reformasi--
kondisi penegakkan hukum Indonesia juga belum menunjukkan perubahan yang
menggembirakan. Tulisan dibawah ini akan lebih mengulas secara umum tentang
evaluasi penegakkan hukum di Indonesia, masalah, dan kemudian prospeknya ke
depan.
II. Realitas Penegakkan Hukum
Indonesian Court Monitoring (ICM) baru-baru ini melaporkan kasus Ny.
Jacob yang diduga dalam proses peradilannya telah terjadi praktek mafia peradian
yang melibatkan aparat penegak
hukum, seperti hakim dan justisiable-nya sendiri. Praktek mafia peadilan seperti
ini tentu bukan hal yang baru dan
mengejutkan karena hal seperti itu telah banyak menjadi penyakit serius
dikalangan aparat penegak hukum semenjak negeri ini ada. Fenomena korupsi dikalangan para pegawai
pemerintahan, misalnya juga merupakan akibat lemahnya penegakkan hukum. Suatu
survey nasional mengenai korupsi di Indonesia membuktikan bahwa salah satu
penyebab meruyaknya praktek korupsi adalah karena lemahnya penegakkan hukum.
Parahnya lagi, hasil survey tersebut juga menunjukkan bahwa 2/3 dari responden
tersebut pernah terlibat dengan praktek suap dan mereka menganggapnya
sebagai hal yang tidak menimpang
(Bambang Widjayanto, 2003).
Jadi, praktek mafia peradilan dan korupsi
adalah muara antara mentalitas korup para
penegak hukum dan pegawai pemerintahan serta penyakit sosia masyarakat
yang suka jalan pintas dan menerobos rambu hukum. Hasilnya, bangsa Indonesia
terseok-seok sampai saat ini dalam kubangan krisis ekonomi dan instabilitas
politik.
‘
III. Problem
Reformasi, sayangnya --setelah 6 tahun
berjalan-- belum mampu memperbaiki dan menterapi penyakit korupsi dan suap yang
telah mewabah cukup lama tersebut karena lemahnya penegakkan hukum. Lemahnya
penegakkan hukum ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, reformasi yang diawali dengan
turunnya Soeharto ternyata tidak otomatis melahirkan pemimpin yang sepenuhnya
mampu merubah keadaan secara signifikan. Habibie terlalu dihantui sejarah
politiknya karena ia mantan orang
kepercayaan Soeharto. Walaupun Habibie telah banyak melakukan kebijakkan
yang cukup baik, namun konstelasi poitik yang bergulir saat itu mayoritas tidak
mendukungnya. Gus Dur sebagai pengganti Habibie yabg terpilih secara demokratis
ternyata juga tidak mampu berbuat
banyak karena ia lebih banyak terjebak dengan mimpinya sendiri tanpa
melihat kondisi realitas objektif masyarakat yang dipimpinnya. Demikian juga
dengan Megawati, yang karena memiliki karakter kepemimpinan yang lemah sangat
mempengaruhi performance dan kinerja
para bawahannya secara keseluruhan. Sementara itu, anggota legislative hasil
pemilu 1999 ternyata juga dijangkiti sindrom pejabat baru yang mulai lupa dengan
agenda reformasi yang dulu mereka teriakkan. Dari legislative pusat sampai
daerah, agenda serius yang muncul bukan keseriusan meyelesaikan problem ekonomi
bangsa, kemiskinan, rendahnya pendidikan dan degradasi moral generasi muda.,
tapi justru masalah korupsi dan keinginan hidup mewah ditengah kemiskinan
rakyatnya. Alhasil, agenda penegakkan hukum menjadi tidak terlalu mengedepan dan
diperhatikan secara serius. Jadi, instabilitas politik karena lemahnya karakter
para pemimpin sangat mempengaruhi langkah-langkah penegakkan hukum.
Kedua, pembusukkan dunia peradilan yang berjalan lama tidak
serta merta terselesaikan oleh tumbang kekuasaan orde baru. Dunia peradilan
sekarang ini mayoritas masih diisi oleh aparat-aparat penegak hukum hasil
rekuitmen selama rezim orde baru yang terbukti bermental konservatif dan korup.
Kita bias melihat wacana perubahan itu dari ketua Mahkamah Agung (MA), Bagir
Manan, tapi sepertinya hal itu belum menjadi kesadaran kolektif aparat penegak
hukum sampai level bawah. Idealitas yang dibangun ketua MA, belum menjadi
idealitas aparat penegak hukum di level bawah karena mereka sudah terlalu lama
terkukung oleh budaya konservatif dan korup selama rezim orde baru berkuasa.
Untuk merubahnya, tentu tidak semudah seperti membalik telapak
tangan.
Ketiga, sebagai konsekuensi dari tidak diurusnya pendidikan
secara maksimal selama rezim orde baru, rezim ini telah meninggalkan sebuah
kondisi masyarakat yang tidak terdidik secara unggul serta tercerahkan, sehingga
dengan demikian kita belum memiliki masyarakat kritis yang mampu mengontrol
proses penegakan hukum secara signifikan. Yang justru terjadi adalah sebaliknya.
Masyarakat seringkali menjadi korban “pemerasan” oknum-oknum aparat penegak
hukum yang korup tersebut karena mereka lemah secara pendidikan, miskin secara
ekonomi dan jauh dari akses pengadilan. Di tengah masyarakat seperti ini, maka
pengadilan adalah hasil permainan orang-orang kaya dan penguasa yang
berkolaborasi dengan aparat penegak hukum yang korup.
Keempat, Melly G. Tan, seorang sosiolog, megatakan bahwa untuk
memberantas praktek korupsi, maka harus diberantas sampai akar-akarnya, yaitu
dengan memperbaikai system yang memproduk para koruptor tersebut. Lebih jauh
sosiolog ini mengatakan bahwa sebenarnya korupsi sudah melanda Indonesia sejak
tahun 1957 yang terdapat di semua tingkat dan mendapat perlindungan diam-diam
dari mereka yang berkuasa. Ketika zaman Soeharto, malah muncul korupsi gaya baru
yang berbeda dengan sebelumnya, yaitu the
active participation of directors of some banks in organizing an illegal banking
ring. Dalam kasus perbankan ini banyak terlibat orang-orang militer.
Kesimpulannya, fenomena korupsi ini sangat banyak dipengaruhi oleh sifat
kepemimpinan yang korup yang pada akhirnya menghancurkan sendi-sendi ekonomi
bangsa (Melly G. Tan, 2003).
Jadi, korupsi di Indonesaia adalah
fenomena sejarah yang lama mulai semenjak rezim orde lama, orde baru dan terus
berkembang sampai rezim yang katanya orde reformasi sekalipun. Sulitnya
penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi ini adalah disebabkan oleh karakter
kepemimpinan yang korup sehingga tidak bisa tegas dalam penegakan hukum. Kata
orang Bugis, membangun dari bawah dan membersihkan dari atas. Inilah yang belum
kita temukan dalam kepemimpinan bangsi ini sampai sekarang, sehingga penegakan
hukum menjadi hal sulit untuk diwujudkan.
IV. Prospek
Dengan melihat beberapa hambatan dalam
penegakan hukum di atas dan realitas kekinian pemimpin bangsa ini, maka prospek
penegakan hukum ke depan dapat dikatakan masih suram mengingat persoalan
kuncinya justru terletak pada faktor kepemimpinan bangsa yang lemah dan
pembusukan dunia peradilan yang sudah parah. Untuk keluar dari lingkaran setan
di atas, maka ada beberapa agenda mendesak yang perlu dicermati. Pertama, perubahan ke depan harus dimulai dari
atas, yaitu dari adanya pemimpin yang kuat, visioner dan berani memulai
perubahan dari dirinya, keluarganya dan para kroninya. Penegakan hukum harus
tanpa pandang bulu sehingga mampu memberikan shock therapy kepada bawahannya dan
masyarakat umumnya.
Oleh karena itu, pemilu 2004 ini menjadi
sangat strategis karena ia merupakan momentum yang penting untuk melakukan
konsensus politik baru dengan para pemimpin politik negri ini. Komitmen
penegakan hukum apakah terhadap kasus korupsi, pelanggaran HAM dan sebagainya
harus menjadi salah satu alat political
bargaining masyarakat dalam memilih pemimpin politik di masa datang karena
penegakan hukum ini sangat dipengaruhi oleh contoh dari para pemimpin ini.
Kedua, perubhan signifikan berikutnya yang harus dilakukan
adalah pembersihan dunia peradilan dari para mafia peradilan yang merusak dan
menghambat terwujudnya penegakan hukum di Indonesia. Para pemimpin politik di
eksekutif dan legislatif harus memperkuat tekanan kepada aparat penegak hukum
melalui proses fit and proper test yang berkualitas dalam memilih dan merekrut
aparat penegak hukum seperti hakim-hakim di MA. Sayangnya, perubahan ketiga UUD
1945 tidak menyebutkan bahwa seorang hakim agung dapat di-impeach oleh MPR jika terbukti melanggar
pasal-pasal impeachment di dalam
perubahan ketiga tersebut, sebagaimana terjadi di Amerika.
Ketiga, harus ada akselerasi kualitas dan pemerataan
pendidikan masyarakat sehingga mereka mampu menjadi a critical mass yang mampu mengawal
proses penegakan hukum secara partisipatif. Gerakan anti korupsi yang telah dicanangkan oleh NU-Muhammadiyah bisa
menjadi pemantik munculnya kesadaran baru bahwa penegakan hukum memang tidak
bisa sepenuhnya diserahkan kepada aparat karena aparatnya sendiri harus dikawal
dan dimonitor. Gerakan massif ditingkat massa ini bisa diperluas menjadi koalisi
besar anti korupsi, anti pelanggaran HAM misalnya, yang melibatkan masyarakat,
mahasiswa, LSM dan tokoh-tokoh lintas agama. Jika ini terjadi, minimal akan
terjadi reduksi signifikan kecendrungan korup para pejabat di semua level karena
banyaknya elemen masyarakat yang memonitor secara
partisipatif.
Jika ketiga agenda-agenda besar di atas
mampu dibangun dan disiapkan dari sekarang, maka ke depan prospek penegakan
hukum bisa jadi akan terus menuju perbaikan secara bertahap dan
signifikan.
Prof. Ahmad Safi’i Ma’arif mengatakan
bahwa kehancuran bangsa ini sudah hampir sempurna. Kita berharap kekhawatiran
ini tidak akan menjadi kenyataan yang lebih parah, yaitu kehancuran total
masyarakat Indonesia. Sesungguhnya Allah S.W.T sudah memperingatkan manusia dari
awal dalam Al qur’an surat Al A’raf ayat 2-4 yang intinya mengatakan bahwa
betapa banyak negri yang telah kami hancurkan karena mereka tidak mengikuti
tuntunan yang kami berikan. Wallahu A’lam Bishawwab.
Mengapa orang suka
korupsi??kenapa karupsi sulit dihilangkan?? setelah reformi malah makin
bertambah, terdapat desentralisasi karupsi sebesar-besaran. Penyebab korupsi,
terdapat kecenderungan matrelialistis dikalangan pemimpin. Syukurlah apabila
jadi pemimpin, banyak terdapat kemewahan.. Kemungkinan menzolimi orang banyak
peluannya bila jadi soerang pemimpin, korupsi mengakibatkan menurunkan kualitas
pelayanan publik. Sistem pendidikan baik dikeluarga, formal dan non formal yang
meracuni kita dengan pandangan hidup yang matrelialistis, bagaimana menbongkar
sistem yang melahirkan koruptor, sistem itu adalah pendidikan. Korupsi berasal
dari atas, membersihkannya pangkas dari atas. Dengan hukum yang berat, bila ada
korupsi yang luar biasa dihukum mati sekalian, seperti yang terjadi di Cina.
Karena memberi dampak yang luar biasa. Liat dulu pada jumlahmya, apabila
berpengaruh pada negara, anak terlantar, dan lain-lain. Mencegahkerusakanlebih
baikdari pada memperbaikannya..
Hal-hal yang harus
diperhatikan adalah
- Konsensus antara
kita dan pemimpin legislatif dan
eksekutif
siapkah mereka untuk hidup
sederhana? dan mengeluarkan gajinya untuk mereka yang miskin?? Umar diangkat
jadi kalifah dalam keadaan yang porak poranda, hartanya disedekahkan pada Baitul
Maal. Umar bisa merubah negara yang porak poranda dan bisa mengembalikan keadaan
sampai pada pogram pengentasan kemiskinan, hingga sampai-sampai susah mencari
pihak yang berhak menerima zakat, dan harus diberikan pada tetangga negara
tersebut
2. Pembusukkan praktek dunia
peradilan
lembaga pemantau
peradilan, karena mengabiskan tidak bisa, agar orang tidak semaunya. Pembusukan
tersebut sudah sangat parah, mediasi saja untuk kasus perdata. Karena untuk
kasus ahli waris, bila dibawa kepengadil ahli waris dapat bertambah dengan
hakim, pengacara,dll.
3 .solusi
Bersihkan dunia peradilan,
karena sudah seperti lingkaran setan. Kita tidak punya benteng untuk menahan
lajunya korupsi, diperlukan usaha yang besar untuk menberants masalah itu.
Produk hukum yang
ideal
·
Titik keseimbngan antara
aspirasi religius dan masyarakat.
·
Memfasilitasi masyarakat untuk
berkembang. Sifat hukum harus melindungi hak-hak dasar manusia, melindungi jiwa,
pikiran, agama dan keyakinan yang tepat,
keturunan, dan melindungi
harta
____________________________________________________ Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net ____________________________________________________