Assalamu'alaikum wr. wb.,
     
     Carito tarinspirasi dari ota angek pakan lapeh, ditulih akia minggu 
     patang. Agak panjang, 10 halaman.
     
     Wassalam,
     
     Lembang Alam
     
     
     PS
     
     (nan kalimo, abih)
     
     Kapatang di kirim sakali kasadoanno, indak tambuih. Kini dikirim 
     sabagian-sabagian.
     
     SLA
CERPEN:   DILEMA

(sambungan)

"Tapi Santi, saya senang kalau kamu tersinggung. Karena apa yang diceritakan mbak Sri 
itu tidak dibuat-buat dan contoh nyata. Sekarang terpulang kepada kita masing-masing, 
apakah kita mau jujur dengan diri kita sendiri atau tidak. Saya sampai pernah bilang 
lho mas, maaf, biar deh saya bayar gaji kamu sebanyak yang kamu dapat di kantor asal 
kamu mau tinggal di rumah mengawasi Anto." 
"Wah mas Bambang dapat angin deh dan langsung semangat" 
"Maaf saja. Benar lho. Akhirnya, untuk sebagian wanita saya melihat mereka seolah-olah 
lari dari kenyataan dan tanggung jawab tanpa alasan yang bisa dipertanggung jawabkan."
"Waduh, kata-kata mas Bambang makin berat dan makin tidak jelas nih. Maksudnya apa 
mas?" 
"OK lah. Kalau kamu mau fair. Kamu bekerja mencari apa? Saya bukan sombong. Saya 
sanggup membiayai rumah tangga ini. Untuk mengejar karir? Atau hanya karena sayang 
kamu seorang insinyur ITB harus nongkrong di rumah? Akhirnya memang itu kan? Ego kan? 
Dan kamu sedang mempertaruhkan masa kanak-kanak Anto."
"Mas, jangan cuma saya yang disalahkan. Saya tetap memberi perhatian pada Anto kan? 
Kita tetap memberikan perhatian kan? Apa mas juga tidak bertanggung jawab untuk 
pendidikannya di rumah? Apa selalu harus saya yang dijadikan sasaran kalau terjadi 
apa-apa dengan Anto. Sejauh yang saya sanggup saya juga bertanggung jawab kok."
"Wah nggak enak nih kita bertengkar di depan tamu. Sudahlah. Menurut saya apa yang 
disampaikan mbak Sri tadi bisa kita renungkan. Tentu saja kita bisa menyesuaikan 
dengan kondisi kita masing-masing. Saya hanya mengajak kamu berfikir jernih." Bambang 
mencoba mengalah.
"Maaf buk. Tadi ibu bilang ada beberapa sisi yang harus diperhatikan. Yang pertama 
tadi kodrat kewanitaan. Yang saya tangkap, sejauh tidak bertentangan dengan kodrat 
kewanitaan, kita kaum wanita masih bisa atau boleh saja bekerja. Apa benar begitu? 
Saya tertarik dengan ini karena kami tidak punya momongan. Jadi menurut apa yang ibu 
katakan tadi  tidak ada halangan bagi saya untuk bekerja. Apa benar begitu?" Tanya 
Yanti selanjutnya.
"Menurut saya begitu. Namun ada lagi persaratan tambahan, ini sisi yang lain dilihat 
dari kacamata agama. Harus ada izin suami. Maaf lho Santi, saya bukan memenangkan mas 
Bambang. Ini yang saya dengar di pengajian. Suami yang bijaksana tentu juga tidak akan 
asal larang. Untuk kasus Yanti, yang belum punya anak, mungkin mas Ilham bisa lebih 
mudah memberi izin, saya kurang tahu"
"Bagaimana kalau ternyata dengan bekerja kemungkinan untuk mendapatkan anak jadi 
semakin sulit. Setiap hamil muda keguguran terus. Kata dokter rahimnya lemah dan 
seharusnya banyak beristirahat. Tapi orangnya wanita berkarya yang tidak mau mengalah 
dan akhirnya tidak punya anak terus meski sudah lima tahun berumah tangga? Ah, saya 
jadi membuka rahasia dapur sendiri nih." jelas Ilham.
"Ya, saya memang punya masalah demikian. Sudah tiga kali keguguran. Biasanya saat 
hamil dua atau tiga bulan. Fisik saya biasa-biasa saja. Saat hamil itu, karena saya 
sehat-sehat saja, saya pikir tidak ada alasan saya berhenti bekerja sekarang, biarlah 
nanti kalau sudah punya momongan baru saya berhenti. Tapi tiba-tiba tanpa alasan yang 
jelas dia gugur. Tentang rahim lemah baru sesudah keguguran yang ketiga kalinya dokter 
memberi tahu. Terus terang saja saya memang lagi berfikir mau berhenti bekerja karena 
saya sangat ingin punya anak." lanjut Yanti.
"Kalau begitu ini kasus baru lagi dalam pengamatan saya." jawab Sri.
"Wah, ngomong-ngomong sudah terlalu siang ini. Kok jadi ramai begini diskusi kita? Apa 
sebaiknya kita akhiri sampai disini dulu dan kapan-kapan disambung lagi" Budiman 
mengusulkan.
"Kok mesti buru-buru mas. Saya sangat tertarik sekali dengan bahasan-bahasan ini. Dan 
apa yang disampaikan ibu Budiman tadi bagi saya benar-benar menggugah. Ya... 
mudah-mudahan suatu saat istri saya tercinta mau berubah"
"Jangan mas, nanti kalau saya berubah, mas malah nggak suka lagi sama saya he he he"
"Seandainya kamu berubah jadi lebih baik, saya pasti semakin cinta sama kamu"
"Mas Bambang, it takes time. Orang perlu waktu untuk berubah. Maaf Santi, saya menilai 
dengan kacamata pribadi yang mungkin saja salah"  Sri mencoba menengahi.
"Nggak apa-apa kok buk. Sejujurnya saya akan pikirkan apa yang ibu contohkan. Tapi ya 
itu tadi saya perlu waktu. Mas Bambang jangan keburu senang dulu he he he"
"Baiklah, saya pikir kita akhiri dulu nih obrolan-obrolan kita. Mas Bambang, Santi 
terima kasih banyak atas makan enak siang ini. Mungkin kapan-kapan kami undang pula 
makan siang di tempat kami. Sudah waktunya pamit" Budiman mohon diri.
"Kami yang mengucapkan terima kasih sama bapak Budiman dan keluarga, bapak Ilham dan 
ibu Yanti. Sangat menyenangkan sekali kesempatan siang ini. Kalau kami diundang dengan 
sangat senang hati kami akan datang."
"Terima kasih lho pak, buk. Terima kasih bang Ilham, Yanti. Kami senang sekali" Santi 
menambahkan basa basi.
                                                sekian




Kirim email ke