SUARA PEMBARUAN DAILY

Renungan Jakarta

Setelah Bung Emil 70 Tahun, "What Next"?

SABAM SIAGIAN

Kamis malam yang lalu, di sebuah hotel bintang lima di
Jakarta, diselenggarakan malam syukuran untuk Saudara
Emil Salim yang berulang tahun ke-70. Ia lahir di Lahat,
Sumatra Selatan, tanggal 8 Juli 1930. Malam itu merupakan
peristiwa syukuran yang kedua kalinya dengan dihadiri oleh
sejumlah undangan yang cukup besar. Beberapa minggu yang
lalu, Ismid Hadad dan Erna Witoelar (Menteri Pemukiman dan
Pengembangan Wilayah) mengadakan malam syukuran untuk
Bung Emil, sekaligus meluncurkan sebuah buku. Terbitan
tersebut merupakan kumpulan dari sebagian produk pemikiran
tokoh yang berulang tahun. Sudah pasti bukan merupakan
pekerjaan yang mudah, mengingat produktivitas
keintelektualan Bung Emil sejak ia menjadi mahasiswa di
Fakultas Ekonomi UI pada awal 1950-an.

Pada syukuran Kamis malam yang lalu itu, sebuah buku juga
diluncurkan. Judulnya, 70 tahun Emil Salim - Revolusi
Berhenti Hari Minggu perlu diterangkan maknanya. Ketika
Panitia Lima yang memprakarsai penerbitan buku itu untuk
ikut merayakan ulang tahun ke-70 Bung Emil dalam salah satu
rapatnya memikirkan, apa judul yang pas dan mampu menarik
perhatian, salah seorang anggotanya punya ide. Alwi Dahlan
yang aktif dalam pers mahasiswa pada penggal kedua
1950-an, ketika ia menjadi mahasiswa FEUI, ingat akan
ucapan favorit tokoh yang berulang tahun.

Pada tahun-tahun itu, Presiden Sukarno dalam berbagai
pidatonya selalu menandaskan bahwa ia keranjingan akan
revolusi. Ia hampir selalu menekankan bahwa revolusi belum
selesai. Sebaliknya, Mohammad Hatta (Ko-Proklamator, Wakil
Presiden pertama, mantan Perdana Menteri dan Menteri
Pertahanan) pada tahun-tahun itu berpendapat bahwa pada
waktunya revolusi yang cenderung merusak dan membongkar
harus dihentikan. Dan era pembangunan harus dimulai.

Sebagian dari para aktivis organisasi mahasiswa, khususnya
Emil Salim, cenderung pada pandangan dan temperamen Bung
Hatta yang tenang dan rasional. Mungkin itulah latar
belakangnya, kenapa Bung Emil berkelakar: ''Bung, revolusi
berhenti pada hari Minggu'', kalau rekan para aktivis datang
menjumpainya pada hari itu dengan berbagai persoalan
keorganisasian. Karena dia rupanya sudah punya agenda
pribadi pada setiap hari Minggu.

Apa yang disebut sebagai Panitia Lima terdiri dari: Koesnadi
Hardjasoemantri, M. Alwi Dahlan, Wisaksono Noeradi, M.S.
Kismadi dan saya sendiri. Sebenarnya, panitia itu praktis
hanya beranggotakan satu orang: Wisaksono Noeradi (Sony).
Selama setahun lebih, ia bekerja secara tekun dan tidak
pernah patah semangat kalau timbul kesulitan. Ia dibantu oleh
seorang asisten yang terampil, Afrina Meilya (Melly) yang
juga menyiapkan menu makanan yang berbeda, setiap kali
panitia berkumpul di kantor bosnya.

Buku Revolusi berhenti hari Minggu terdiri dari 67 sumbangan
karangan yang berbeda nuansa dan penekanannya. Ada yang
bersifat pribadi kekeluargaan, ada yang bernada nostalgia
dari teman-teman lama, tapi ada pula yang menyampaikan
saran-saran.

Yang patut dicatat adalah kualitas produksi dari buku terbitan
khusus yang dibagikan kepada para undangan. Baik desainnya
(BD + A Design) maupun mutu cetak dan penjilidannya (PT
Kompas Media Nusantara - percetakan Gramedia) menunjukkan
bahwa industri penerbitan buku di Indonesia sudah mengalami
kemajuan pesat.

u

** missed drop char **etika Profesor Soemitro
         Djojohadikusumo naik ke panggung dengan agak sulit
         sambil mengandalkan sebuah tongkat khusus untuk
mengucapkan pidato sambutannya, saya membisikkan sesuatu
kepada seorang teman lama yang duduk semeja. Willem van
der Wal Bake (kelahiran Belanda) adalah Kepala Perwakilan
Morgan Guaranty Bank di Jakarta sudah lebih 10 tahun.

''Di sana berjalan anggota delegasi RI ke Konferensi Meja
Bundar di Den Haag (Agustus-November 1949) yang terakhir
yang masih hidup,'' bisik saya. Delegasi itu dipimpin oleh Bung
Hatta untuk merundingkan ketentuan-ketentuan yang
kompleks berhubung dengan pengakuan Belanda terhadap
Indonesia yang merdeka dan berdaulat.

Pak Soemitro baru merayakan ulang tahunnya ke-80 dan buku
memoarnya terbit beberapa bulan yang lalu. Cukup banyak di
antara kita yang pandai mentabulasi kekurangannya. Namun
satu hal yang sulit disangkal. Yakni, jasanya dalam
membangun dan memimpin Fakultas Ekonomi UI pada tahun
1950-an, di samping kesibukannya sebagai Menteri Keuangan.
Beda dengan ilmu kedokteran, ilmu hukum dan ilmu teknik
sipil, bidang ilmu ekonomi merupakan bidang baru di
Indonesia.

Saya lihat banyak di antara hadirin mengangguk-angguk tanda
sependapat, ketika Pak Soemitro berkata bahwa kebanggaan
seorang pengajar adalah mengikuti perkembangan pesat dan
kemajuan seorang mantan siswanya sehingga menjadi tokoh
pemimpin yang direspek. Ia tekankan, pada akhirnya bukanlah
kepakaran yang menentukan, tapi integritas seorang
pemimpin seperti Emil Salim.

Referensinya pada mantan siswanya yang ia kenal pada
tahun-tahun itu sebagai ketua dewan senat yang tidak
bersikap minder menghadapi dekannya yang berkaliber besar
memang tepat. Karena ditinjau dari sudut ilmu sosiologi
politik, apalagi cabang ilmu itu yang memfokuskan pada
social elite formation, Emil Salim dan generasinya dari
tahun-tahun 1950-an dalam perkembangan politik Indonesia
memang interesan peranannya.

Pada awal 1950-an itu, perjuangan fisik melawan Belanda
telah selesai. Ibukota dipindahkan dari Yogyakarta ke Jakarta.
Lembaga perguruan tinggi yang kemudian disebut Universitas
Indonesia (bertahun-tahun timbul perdebatan, sebaiknya
disebut ''universitit'' atau ''unversitet''), seperti banyak
lembaga lainnya, mengalami tahap peralihan. Masih ada
sejumlah dosen Belanda yang memberikan kuliah dalam
bahasa Belanda, kemudian dalam bahasa Inggris.

Sepintas lalu, gaya pergaulan para mahasiswa di Jakarta
serba santai. Sekali-sekali datang kelompok eks Tentara
Pelajar dari Jawa Tengah untuk mengingatkan para
mahasiswa di Jakarta, supaya jangan melecehkan nilai-nilai
revolusi. Sudah logis bahwa mereka diterima dengan hangat
oleh Presiden Sukarno yang merasa dirinya dalam sistem
demokrasi parlementer sebagai ''seekor burung di sangkar
emas''.

Namun di bawah permukaan itu berlangsung usaha
merumuskan pemikiran baru yang cukup intens untuk
menghadapi masa depan Indonesia. Bung Emil mengadakan
kelompok diskusinya yang secara reguler bertemu dengan Moh.
Hatta. Kebiasaan itu saya dengar dilanjutkan ketika
sekelompok alumni FEUI dikirim tugas belajar ke Universitas
Kalifornia di Berkeley.

Singkatnya, tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa
pemikiran yang meragi selama 1950-an di kalangan
mahasiswa UI, kemudian dilanjutkan di beberapa tempat pada
awal 1960-an ketika perimbangan politik antara Presiden
Sukarno-PKI-Angkatan Darat meruncing- banyak dari
gumpalan pemikiran itulah yang melandasi doktrin
pembangunan pada awal Orde Baru.

u

** missed drop char **ebenarnya bagi seorang tokoh
       pemimpin, seperti Bung Emil yang baru saja merayakan
       ulang tahun ke-70-nya, maka pertanyaan penting baru
timbul setelah semua ucapan selamat dan catatan kenangan
nostalgia disampaikan. Pertanyaan itu: What next? Apa yang
sekarang saya lakukan memasuki tahap purna-70, mumpung
fisik masih sehat dan pemikiran belum pikun?

Respons dari kelompok 70-an ini terhadap pertanyaan yang
demikian agaknya macam-macam. Ada yang secara
mengada-ada mengatakan pada dirinya bahwa ''life begins at
70'' (hidup ini mulai pada 70 tahun). Akhirnya
tingkah-lakunya menjadi konyol. Ada yang merasa, sudah
waktunya mengundurkan diri dari semua kegiatan
kemasyarakatan. Seperti seorang ''begawan Jawa'' yang hidup
bertapa di tempat yang terpencil.

Dua alternatif tadi kelihatannya tidak begitu ''pas'' bagi Bung
Emil. Tanpa ingin menggurui, mungkin pada tahun-tahun
mendatang ini ia konsentrasi dirinya pada persoalan besar: -
apakah sebaiknya landasan dari pembangunan yang diterapkan
oleh Indonesia pada tahap reformasi? Persoalan ini tambah
sulit, karena itu lebih interesan untuk dipikirkan, sebab sudah
dapat diperkirakan bahwa peranan lembaga kenegaraan dalam
usaha pembangunan Indonesia di tahun-tahun mendatang akan
terus berkurang.

Masalah lain sehubungan dengan persoalan besar tadi yang
perlu diselesaikan dulu secara intelektual-teoretis. Kenapa
Orde Baru, setelah menyelesaikan rangkaian Repelita selama
30 tahun harus berakhir secara drastis sehingga menimbulkan
kegoncangan sosial-politik?

Bung Emil dalam kertas pemikirannya ''Membangun Indonesia
Baru'' (ditulis pada bulan Maret 2000) dan dilampirkan dalam
buku ''revolusi'' memang menguraikan secara cerah, apa yang
perlu dilakukan untuk mengangkat Indonesia dari
kepurukannya. Tapi dia tidak menandaskan secara eksplisit
bahwa kerapuhan politik (political decay, istilah Sam
Huntington dari Universitas Harvard) yang terjadi pada tahap
kedua Orde Baru (taruhlah, setelah 1983), maka Indonesia
lebih terpukul menghadapi krismon 1997, dibandingkan
negara-negara Asia lainnya yang relatif lebih demokratis.

Jelas agaknya bahwa pembangunan sosial-ekonomi dan
pembangunan politik harus selalu berkaitan. Tapi bagaimana
menerapkan demokrasi di negeri yang begini luas dengan
masyarakat yang majemuk tanpa terjerumus ke rawa anarki?
Suatu persoalan besar yang sebagai tantangan intelektual
amat menarik bagi seorang begawan modern, seperti Emil
Salim.

Mungkin apa yang dimaksud sebagai begawan modern adalah
seorang sesepuh yang pemikirannya masih ketat dan kreatif.
Ia menjauhkan dirinya dari pusat kekuasaan, tapi ia tetap
terlibat dalam persoalan kemasyarakatan.

Namun banyak di antara teman- temannya yang yakin bahwa
daya mampu intelektualnya, vitalitasnya (meskipun berumur
70 tahun) dan bakat berkomunikasinya yang jitu dapat
menggerakkan manusia-manusia Indonesia yang bertekad baik
untuk menggalang potensi bersama mereka. Supaya negeri ini
dalam waktu yang tidak terlalu lama dapat menjadi lebih
tenteram, lebih sejahtera dan lebih demokratik. u

Penulis adalah pengamat perkembangan sosial-politik di
Indonesia, serta masalah internasional.


Last modified: 15/7/00



LAPAU RantauNet di http://lapau.rantaunet.web.id
Isi Database ke anggotaan RantauNet:
http://www.egroups.com/database/rantaunet?method=addRecord&tbl=1
=================================================
WEB-EMAIL GRATIS ... @rantaunet.web.id ---> http://mail.rantaunet.web.id
=================================================
Subscribe - Mendaftar RantauNet Mailing List, kirimkan email
Ke / To: [EMAIL PROTECTED]
Isi email / Messages: subscribe rantau-net email_anda

Unsubscribe - Berhenti menerima RantauNet Mailing List, kirimkan email
Ke / To: [EMAIL PROTECTED]
Isi emai / Messages: unsubscribe rantau-net email_anda
=================================================
WebPage RantauNet http://www.rantaunet.web.id dan Mailing List RantauNet
adalah servis dari EEBNET http://eebnet.com, Airland Groups, USA
=================================================

Kirim email ke