Bismillaah, Ar-Rahmaan, Ar-Rahiim

Saudaraku semua, apakabar ? Semoga Anda ketika membaca e-mail ini sehat wa al-fiat ya dan selalu dalam perlindungan Allah dari azab dunia dan akhirat.
 
Bicara soal azab, tidak sedikit di antara kita merasa "diazab" ketika masih di bumi ini gara-gara makanan atau minuman. Bersyukur kita, Allah Tuhan yang Maha Pencipta, Dia-lah Pencipta kita, dia memberikan agama (peraturan-peraturan untuk hidup di bumi) kepada kita. Kita diberi-Nya petunjuk yang tuntas agar hidup kita di bumi ini terjauh dari azab atau kesengsaraan. Akan tetapi kebanyakan kita sering lalai dan mengabaikan. Untuk ini, marilah kita berusaha untuk menjauhi hal-hal yang akan mendatangkan azab kepada kita.
 
Saudaraku semua, membuka-buka arsip lama, saya menemukan artikel dari mantan Majalan Muslim "UMMAT, terbitan tahun 1990 (on-line). Isinya lumayan untuk kita renungi bersama, yaitu tentang mitos-mitos seputar halal-haram, berikut ini saya kutipkan, mudah-mudahan bermanfaat.
 
Demikian, mohon maaf dan terima kasih atas perhatiannya.
As-Salaamun alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh
Syaifuddin Ma'rifatullah - Aceh.

Rubrik: Prohalal Majalah UMMAT 1998

http://www.cbn.net.id/commerce/ummat/04.IV.1998/idxutama.htm

Mitos Salah Seputar Halal-Haram

Menjadi vegetarian karena alasan tak tega membunuh binatang, dilarang. Apa lagi mitos salah tentang makanan?

Mitos 1. Makanan hanya penting bagi tubuh.

Padahal, seperti diisyaratkan Al-Qur'an, makanan juga dapat mempengaruhi dan membentuk kepribadian pengkonsumsinya. Ibrahim bin Umar al-Biqa'i, ahli tafsir pada abad ke-15 menyatakan, orang yang suka makan makanan kotor biasanya bertabiat kasar, keras, dan sukar menerima kebenaran. Dunia kedokteran modern pun membuktikan kuatnya pengaruh makanan terhadap perilaku.

Karena alasan semacam ini, Islam mengharamkan babi. Meski, teknologi pangan modern kian menihilkan efek samping babi.

Mitos 2. Jangan membunuh binatang dan jadilah vegetarian.

Dewasa ini semakin banyak orang pantang makan daging dan menjadi vegetarian. Islam jelas tidak melarangnya.

Namun, bila hal itu dilakukan karena alasan tak tega membunuh binatang, misalnya, atau karena alasan-alasan melanggar syara', Islam melarangnya. Al-Qardawi menyebut vegetarian seperti ini sebagai mu'tadin. Yakni, orang yang melampaui batas dan dicela Allah SWT (Q.S. 5: 87), karena dianggap menolak karunia.

Mitos 3. Boleh makan bagian tertentu binatang tanpa menyembelihnya.

Sebagian penduduk Belitung, misalnya, punya tradisi menyembuhkan penyakit dengan makan jengger ayam yang dipotong begitu saja dari ayam hidup, tanpa menyembelihnya. Bahkan, sejak zaman Jahiliyah, memotong punuk unta dan atau bagian lain dari binatang hidup adalah biasa.

Hadis riwayat Abu Dawud dan at-Tarmizi menjelaskan, Nabi SAW melarang memakan bagian tubuh binatang hidup karena termasuk bangkai.

Mitos 4. Sembelihlah binatang aduan yang kalah tapi belum mati, dan makanlah.

Beberapa daerah di Indonesia memiliki tradisi adu binatang, seperti adu domba di Garut. Bila salah satu hewan aduan tersebut kalah dan nyaris mati, mereka pun menyembelihnya.

Ada dua hal yang berlawanan di sini. Di satu pihak, menyembelih binatang (hidup) adalah boleh/halal, bahkan dianjurkan. Sementara, mengadu binatang diharamkan. Menurut fikih, bila dalam satu masalah ada dua hal yang bertentangan, yang harus diutamakan adalah menghindarkan diri dari yang diharamkan. Jadi, makan daging binatang yang disembelih setelah diadu, haram hukumnya.

Mitos 5. Boleh minum susu (juga makan) binatang peliharaan, bagaimana pun ia hidup.

Benarkah? Dalam kaidah Islam dikenal istilah jallalah, yakni binatang yang suka makan makanan kotor. Unta, kuda, sapi, dan kambing, bisa menjadi jallalah bila ia hidup dari makanan kotor.

Rasulullah SAW melarang umatnya makan jallalah, termasuk air susunya (H.R. al-Khamsah, kecuali Ibnu Majah). Bahkan, Beliau melarang mengendarai unta yang gemar makan kotoran. Imam Hanafi dan Imam Syafi'i hanya menganggapnya makruh, sementara Imam Ahmad bin Hanbal menilai haram.

Jallalah baru boleh dikonsumsi setelah dikurung dan diberi makanan bersih hingga baunya berubah, menurut Imam Hanafi dan Syafi'i. Atau, selama tiga hari untuk bangsa burung dan 40 hari untuk binatang ternak, menurut Imam Ahmad bin Hanbal.

Mitos 6. Dilarang makan binatang hasil sembelihan non-Muslim.

Ibnu al-Arabi al-Maliki, ahli tafsir pengikut mazhab Maliki berpendapat, surah al-Maidah ayat 5 merupakan dalil yang tegas untuk menghalalkan binatang buruan dan makanan milik ahlul kitab.

Masalahnya, siapakah ahlul kitab itu? Mereka ialah, menurut Imam Abu Yusuf, orang Nasrani yang tak mengakui ketuhanan Isa bin Maryam dan orang Yahudi yang menolak Uzair sebagai Tuhan. Jumhur ulama sendiri berpendapat relatif sama.

Ibnu Hazm memasukkan orang Majusi sebagai ahlul kitab, karena meyakini Zoroaster sebagai nabi dan menerima Zend Avesta menjadi kitabnya. Para penyembah bintang (sabi'ah) pun dikategorikan sebagai ahlul kitab, oleh Imam Abu Hanifah. Bahkan, termasuk umat Budha dan Hindu, oleh Muhammad Abduh, karena berkitabkan Weda dan Tripitaka. Jadi, menurut mereka, tak peduli apakah agamanya adalah agama samawi atau hasil pemikiran manusia, semua penganut agama adalah ahlul kitab. Walhasil, hasil sembelihannya pun halal bagi Muslim.

Mitos 7. Atas nama nafsu, yang halal boleh diyakini sebagai haram dan sebaliknya.

Orang Yahudi, Nasrani, dan kaum musyrik pernah membuat kriteria halal-haram sekehendaknya. Akibatnya, Allah SWT pun menghukum mereka. Orang Yahudi, misalnya, diharamkan makan hewan berkuku (unta, angsa, tik, keledai, dan kuda) serta lemak pada sapi dan kambing, yang sebelumnya halal, karena mereka gemar makan riba dan harta orang lain.

Orang Nasrani dikecam Allah SWT karena mengikuti pendapat rahib (pendeta) dalam menetapkan halal-haram. Mereka terbukti menghalalkan babi yang secara tegas diharamkan-Nya. Menurut Al-Qur'an (Q.S. 9: 31), mereka telah menjadikan pendeta sebagai Tuhan.

Sementara, kaum musyrik dikenal suka mempersembahkan makanan untuk berhala dan alasan-alasan lain yang tidak rasional. Mereka, misalnya, mengharamkan makan unta betina yang telah lima kali melahirkan (bahirah). Atau, mereka mempersembahkannya untuk roh nenek moyang.

Abdul Basit Mahfuf

References

1. http://www.cbn.net.id/commerce/ummat/04.IV.1998/idxutama.htm

Kirim email ke