Kompas, 9 Agustus 2002

Mengenang 100 Tahun Bung Hatta

Oleh Rachmawati Soekarnoputri

MENGENANG sosok negarawan besar Mohammad Hatta bagi saya bisa dilihat dari berbagai macam dimensi. Dari dimensi hubungan kekeluargaan, keakraban sebagai teman seperjuangan bapak saya, Bung Karno, menjadikan keluarga kami dan keluarga Bung Hatta sangat dekat serasa seperti keluarga. Apalagi dari penuturan bapak dan ibu saya, Fatmawati, kedekatan itu semakin terasa karena yang menjodohkan Bung Hatta dan Ibu Rahmi Hatta sehingga menjadi suami istri adalah bapak saya.

Ketika saya masih kanak-kanak, saya ingat bahwa Bung Hatta, Ibu Rahmi, Meutia, Gemala, dan Halida sering berkunjung ke Istana dan sebaliknya kami juga sering berkunjung ke rumah keluarga Bung Hatta. Bahkan, pada beberapa kesempatan berkunjung kami kerap menyaksikan Meutia Hatta yang memang sangat pintar bermain piano.

Sementara pada kesempatan lain kami juga menyaksikan Gemala terpilih menjadi salah satu anggota tim pasukan pengibar bendera di Istana memperingati Hari Proklamasi. Tentu saja sangat lekat dalam ingatan saya, Bung Hatta sangat bangga terhadap putri-putrinya tersebut. Di situ saya lihat sifat kebapakan Bung Hatta sangat mencolok di tengah kesibukannya memikirkan kemajuan bangsa dan negara.

Dari dimensi Bung Hatta sebagai sosok negarawan yang memiliki pemikiran besar, banyak hal yang bisa dijadikan suri tauladan bagi kita semua terutama bagi para pemimpin di negeri ini. Sebagaimana diceritakan Bung Karno kepada saya, pemikiran Bung Hatta tentang koperasi sangat bagus. Pemikiran Bung Hatta tentang koperasi sebagai salah satu pilar perekonomian rakyat sangat sesuai dengan kultur dan nature rakyat Indonesia karena menerapkan pola gotong royong.

Hal itu juga sepaham dengan pemikiran Bung Karno dalam pemikiran makro-ekonominya bahwa pola koperasi dan gotong royong sesuai dengan kondisi perekonomian rakyat Indonesia walaupun Bung Karno tetap mengakui hak individu dalam berusaha.

Menurut saya, pola koperasi dan gotong royong yang telah menjadi pemikiran Bung Hatta sehingga Bung Hatta layak disebut sebagai Bapak Koperasi Indonesia, sebenarnya bisa memberikan kemakmuran bagi rakyat Indonesia, bila diterapkan sebagaimana mestinya. Namun, yang terjadi, setelah zaman Orde Baru dan sekarang ini, koperasi malah digunakan untuk keperluan menyejahterakan para pengurus yang terdiri dari para pemilik modal kuat, tetapi bertopeng koperasi yang seolah beranggotakan rakyat golongan bawah.

Kita bisa saksikan sendiri, koperasi yang diidam-idamkan Bung Hatta untuk bisa menyejahterakan anggota dan rakyat jelata malahan justru sama sekali tidak menyentuh esensi dari tujuan koperasi itu sendiri. Bahkan, dana yang seharusnya digunakan untuk membangun koperasi bagi para petani, nelayan dan wong cilik lainnya adakalanya disalahgunakan para penguasa untuk pemenangan partai politik (parpol) tertentu. Suatu praktik money politics.

Dalam kaitannya dengan sikap gotong royong yang diajarkan para founding fathers, termasuk Bung Hatta, kini disalahartikan para politisi sebagai gotong royong atau lebih tepatnya diartikan sebagai konspirasi-persengkongkolan untuk melakukan berbagai praktik kejahatan. Seperti, kerja sama untuk bagi-bagi kekuasan, bagi-bagi kursi, praktik "dagang sapi" dan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Di sini, menurut saya, sebagian besar politisi termasuk pemimpin saat ini gagal menyerap nilai-nilai yang diajarkan Bung Karno dan Bung Hatta bahwa kerja sama dan gotong royong dalam hal ini harus ditujukan untuk menyejahterakan rakyat secara keseluruhan. Bukan untuk keperluan individu, kelompok atau pengurus dan anggota partai tertentu saja. Bahkan, dalam kebijakan ekonomi, jiwa, dan semangat koperasi dan gotong royong sudah hilang.

***

DIMENSI lain yang membuat saya terkesan dengan sosok Bung Hatta adalah pandangannya yang luar biasa tentang tekadnya yang ingin mewujudkan Indonesia merdeka dan menjadi negara besar. Seperti diceritakan bapak saya, Bung Karno, pada suatu kesempatan sembari makan siang, yang membuat dua tokoh tersebut bisa cocok sehingga dijuluki Dwitunggal adalah Bung Karno dan Bung Hatta rela berkorban apa saja demi untuk berdirinya negara Indonesia merdeka.

Bung Karno muda berjuang di dalam negeri untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia antara lain dengan membuat tulisan Mencapai Indonesia Merdeka sementara Bung Hatta berjuang di negeri Belanda di antaranya dengan membuat tulisan serupa Mencapai Indonesia Merdeka. Kecocokan pemikiran dua tokoh tersebut bertambah karena sama-sama memakai metode Marxisme dalam proses perjuangan mereka. Mereka menggunakan pisau analisis Marxis, namun bukan dari filsafat materialisme Marxis tetapi dari historis materialisme Marxis. Artinya, Bung Karno dan Bung Hatta menggunakan pertanyaan-pertanyaan dari metode historis materialisme Marxis menjadi jawaban sehingga kedua tokoh tersebut akhirnya sampai pada kesimpulan, imperialisme dan kolonialisme harus dilawan.

Selanjutnya, kendati orang tahu bahwa antara Bung Hatta dan Bung Karno ada perbedaan prinsip dan pilihan tindakan, namun dengan disaksikan Sjahrir pada tahun 1930-an, Bung Karno dan Bung Hatta sepakat mengakhiri perbedaan tentang cara masing-masing mencapai Indonesia Merdeka. Dalam hal ini, Bung Karno memilih jalan aksi massa yaitu Bung Karno datang sendiri ke tengah-tengah massa dan membangkitkan kesadaran massa bagaimana mencapai Indonesia merdeka. Sebab, menurut Bung Karno, politik adalah machtsvorming dan machtsaanwending pembentukan kekuatan dan pemakaian kekuatan dari massa rakyat yang bersatu. Sedangkan Bung Hatta, melakukan cara kaderisasi, dengan cara mendidik kader menjadi kaum intelektual tidak langsung mendatangi massa grass root. Bung Hatta juga beranggapan janganlah rakyat tergantung pada satu pemimpin karena akan menyebabkan pergerakan putus di tengah jalan bila sewaktu si pemimpin ditangkap.

***

SURI teladan yang perlu kita contoh dari Bung Hatta adalah sifat dan perilakunya yang fair dan jujur. Jujur di sini tidak hanya terbatas pada tidak melakukan praktik KKN selama berkuasa atau menjabat. Namun, lebih dari itu, Bung Hatta jujur terhadap hati nuraninya. Hal itu terlihat saat Bung Hatta mulai tidak sepaham dengan Bung Karno antara lain menganggap Bung Karno sudah ke-kiri-kirian, terlebih saat Bung Karno mencetuskan ide Nasakom, Bung Hatta yang sudah tidak sepaham lagi dengan Bung Karno memilih mengundurkan diri 1 Desember 1956.

Dalam hal ini saya melihat kejujuran yang diperlihatkan Bung Hatta justru menunjukkan sikap ksatria seorang negarawan yang patut dihargai dan dicontoh. Kendati demikian, hubungan pertemanan antara Bung Hatta dan Bung Karno tidak lalu berubah menjadi permusuhan, malahan Bung Hatta melakukan kerja sama yang kritis terhadap Bung Karno (critical cooperation).

Bahkan, adakalanya Bung Hatta memberikan masukan langsung datang ke Istana selain menulis surat atau menelepon. Dan, Bung Karno pun tetap menganggap Bung Hatta sebagai teman bukan musuh yang harus "dilumpuhkan". Demikian juga hubungan antara Ibu saya dan Ibu Rahmi, juga hubungan kami anak-anak Bung Karno dan anak-anak Bung Hatta tetap terpelihara dengan baik.

Sikap fair dan perilaku luhur Bung Hatta juga saya rasakan saat Bung Karno sakit setelah terjadinya G30S/PKI tahun 1965. Ketika Bung Karno mulai jatuh sakit, Bung Hatta tetap memberikan perhatian kepada Bung Karno. Bahkan, pada saat sakit yang diderita Bung Karno semakin parah pada tahun 1969 dan terpaksa harus dirawat di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta, Bung Hatta bersikeras menjenguk Bung Karno di mana tak satu pun pejabat atau tokoh lain mau menjenguk Bung Karno.

Saya, masih ingat waktu itu sekitar pukul 05.00 sore, Bung Hatta datang dan saat itu saya yang sendirian menjaga Bapak sempat terkejut dan tidak menyangka kehadiran Bung Hatta. Situasi pada saat itu begitu mengharukan. Karena kendati Bung Karno terlihat sudah sangat payah akibat sakit keras yang dideritanya, namun jelas terlihat ekspresi kegembiraan di wajahnya atas kedatangan teman sepejuangannya yang dirindukannya. Ekspresi haru, gembira, dan rindu juga terlihat di wajah Bung Hatta yang antara lain bertanya tentang perkembangan kesehatan, perawatan, dan obat-obatan.

Setelah Bung Karno tiada, hubungan keluarga kami dan keluarga Bung Karno tetap terjaga. Bahkan, saya sangat menghargai sikap berani Bung Hatta pada saat rezim Soeharto ketika berani tampil mengungkapkan kebenaran tentang siapa penggali sesungguhnya lahirnya Pancasila dan hari lahirnya Pancasila. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa rezim Soeharto dalam buku-buku Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) dan bahan-bahan untuk penataran P4 mengungkapkan bahwa hari lahirnya Pancasila adalah 18 Agustus 1945, dan penggalinya sama sekali bukan Bung Karno tetapi beberapa tokoh di antaranya Muhammad Yamin.

Hal itu tentu saja menjadi kontroversi dan perdebatan panjang dalam sejarah Indonesia. Namun, dengan berani, Bung Hatta memberikan testamen kepada Guntur Soekarnoputra pada tahun 1976 bahwa yang melahirkan Pancasila adalah Bung Karno dan lahirnya Pancasila adalah 1 Juni. Sikap berani tersebut menurut saya menunjukkan jiwa besar Bung Hatta bahwa kendati tidak lagi sepaham dengan Bung Karno, namun tetap mengungkapkan yang benar itu adalah benar dan sebaliknya yang salah adalah salah kendati pemerintah Soeharto pada saat itu tengah melakukan praktik de-Soekarnoisasi.

Kendati pengakuan Bung Hatta tersebut membuat guncang hipotesa pemerintah pada saat itu, namun Pemerintah Soeharto tetap pada pendirian bahwa Bung Karno tidak dianggap sebagai penggali Pancasila dan hari lahir Pancasila tetap 18 Agustus. Kendati demikian, saya dan keluarga sangat bersyukur bahwa di tengah hujatan kepada Bung Karno, tetapi teman seperjuangan yang walaupun akhirnya "pecah kongsi" mau mengungkapkan kebenaran.

Akhirnya, dalam rangka memperingati 100 tahun Bung Hatta, hendaknya kita semua terutama para politisi bisa mencontoh berbagai sikap dan perilaku terpuji para founding fathers kita dalam hal ini Bung Hatta. Jangan kita terjebak pada peringatan seremonial saja di mana kita menempatkan jasa-jasa para founding fathers sebagai prasasti tanpa pernah mau mengikuti dan mengimplementasikan berbagai nilai kehidupan yang sudah dilakukan dan diajarkan pada kita semua.

Kita harus sadar bahwa perjuangan yang kita lakukan hendaknya sama seperti yang dilakukan para pahlawan kita yaitu untuk menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia, bukan untuk pribadi, kelompok maupun partai tertentu saja. Bila itu kita lakukan maka kita dapat melanjutkan perjuangan para founding fathers kita membawa bangsa ini menjadi bangsa yang maju dan besar dan tidak hanya tergantung pada bangsa lain.

Rachmawati Soekarnoputri Ketua Umum Forum Nasional

Kirim email ke