Ada artikel bagus dari Andrias Harefa mengenai "Manusia pembelajar" , yang bisa juga merupakan salah satu bentuk aplikasi konsep " Alam takambang jadi guru" . Dengan konsep tersebut harusnya orang Minang punya potensi menjadi manusia pembelajar , belajar sepanjang waktu dari alam dan lingkungan kehidupan nya.... .
semoga bermanfaat. HM _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ Satu-satunya keunggulan kompetitif bagi individu adalah kemampuannya untuk belajar. - Stew Stokes Jika kita memahami mengapa kita belajar, maka kita dapat belajar dalam situasi yang bagaimanapun juga. - Andrias Harefa Nah, proses persiapan itulah yang disebut 'belajar'. Dengan perspektif ini, mungkin dapat dikatakan bahwa tujuan pembelajaran adalah agar kita siap dalam empat hal: siap berkarya melayani sesama; siap belajar di 'sekolah' kehidupan-baik dengan atau tanpa pendampingan langsung dari pengajar/pelatih; siap bekerja sama dengan siapa pun; dan siap hidup sebagai manusia yang makin manusiawi. Mengapa kita belajar? Mengapa proses pembelajaran harus berlangsung secara berkesinambungan seumur hidup? Ada banyak jawaban. Di antaranya adalah kita belajar agar mampu mempersiapkan diri menerima tanggung jawab atas hidup kita, atas pilihan-pilihan kita (being responsible); kita belajar agar mampu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan di sekitar kita (being adaptable); kita belajar agar menginsafi kesalahan, bertobat, mengakui keterbatasan, dan berharap hanya kepada Sang Pencipta semata (being faithful); kita belajar agar dapat membentuk karakter pribadi sebagai anak manusia yang unik, otentik, dan tak terbandingkan (to be the best of ourselves); kita belajar agar dapat melayani sesama manusia yang memerlukan (being servant); kita belajar agar dapat menciptakan ulang masa depan (being re-creator); kita belajar agar menjadi lebih manusiawi (being human); dan seterusnya. Intinya, dapatlah dikatakan bahwa kita belajar karena kita (manusia) terlahir sebagai makhluk pembelajar (learning being). Kita tidak saja belajar untuk hidup, tidak hanya untuk memperoleh nafkah, memperoleh jabatan, popularitas, kekayaan, dan memiliki banyak hal lainnya. Soalnya, jika demikian, setelah 'memiliki' semua hal itu, kita akan berhenti belajar. Atau jika semua itu tidak mungkin kita miliki, lalu buat apa kita belajar? Perlu lebih disadari bahwa hidup itu belajar. Sepanjang masih hidup, kita terus diberi peluang untuk belajar. Soal apakah peluang ini disikapi secara positif, atau disia-siakan, adalah soal pilihan. Jelas belajar tak bisa dipaksa. Kita hanya mungkin belajar dalam arti yang sesungguhnya jika memilih demikian. Sebab, belajar sebagai proses perubahan dan/atau pertumbuhan untuk menjadi yang terbaik dari diri kita sendiri hanya mungkin berlangsung sepanjang ada kesadaran dan kemauan untuk itu. Pada satu sisi, keberadaan sebagai makhluk pembelajar menegaskan bahwa kita dilahirkan dalam keadaan penuh potensi. Potensi ini perlu 'diproses', 'dinyatakan', 'dikerjakan', atau 'diolah', sehingga menjadi aktual. Dan proses itulah yang kita sebut 'belajar'. Tanpa proses aktualisasi, kita tak akan pernah menjadi diri kita yang sesungguhnya, tak akan pernah mampu menjadi yang terbaik, tak akan pernah mampu kembali ke fitrah sebagai ciptaan Tuhan. Pada sisi lain, keberadaan sebagai makhluk pembelajar juga mengakui bahwa kita terlahir sebagai unfertiges wesen, makhluk yang tidak siap (istilah Ignas Kleden dalam tulisannya di majalah Basis edisi No. 3-4/Mei-Juni tahun 1996). Sementara itu, kita memiliki aufgabe (tugas) untuk membentuk diri sendiri agar menjadi semanusiawi mungkin. Nah, proses persiapan itulah yang disebut 'belajar'. Dengan perspektif ini, mungkin dapat dikatakan bahwa tujuan pembelajaran adalah agar kita siap dalam empat hal: siap berkarya melayani sesama; siap belajar di 'sekolah' kehidupan-baik dengan atau tanpa pendampingan langsung dari pengajar/pelatih; siap bekerja sama dengan siapa pun; dan siap hidup sebagai manusia yang makin manusiawi. Ciri-Ciri Manusia Pembelajar Manusia pembelajar menunjuk kepada setiap orang yang bersedia menerima tanggung jawab untuk melakukan dua hal penting. Kedua hal penting itu, yakni, pertama, berusaha mengenali hakikat dirinya, potensi dan bakat-bakat terbaiknya, dengan selalu mencari jawaban yang lebih baik tentang beberapa pertanyaan eksistensial, seperti 'siapakah aku?', 'dari mana aku datang?', 'ke manakah aku akan pergi?', 'apa yang menjadi tanggung jawabku dalam hidup ini?', dan 'kepada siapa aku percaya?'. Kedua, berusaha sekuat tenaga untuk mengaktualisasikan segenap potensinya, mengekspresikan dan menyatakan dirinya sepenuh-penuhnya, seutuh-utuhnya, dengan cara menjadi diri sendiri dan menolak untuk dibanding-bandingkan dengan segala sesuatu yang 'bukan dirinya'. (Harefa; Menjadi Manusia Pembelajar, 2000, hlm. 30-31). Pengertian di atas setidaknya memberikan sejumlah petunjuk terhadap ciri-ciri atau karakteristik manusia pembelajar: 1. Secara sadar mau menerima tanggung jawab atas hidupnya, atas sikap dan perbuatannya. 2. Secara sadar selalu mengembangkan inisiatif untuk mencari dan mengenali dirinya itu apa dan siapa. 3. Secara sadar menumbuhkan keberanian untuk jujur menyatakan keunikannya sebagai pribadi. 4. Memberikan dirinya dipandu 'dari dalam' (inside out) oleh nilai-nilai yang sesuai dengan keyakinannya. 5. Memiliki constructive discontent (ketidakpuasan yang konstruktif), yang mendorongnya untuk belajar seumur hidup guna meningkatkan kualitas kemanusiaannya. 6. Ia tak suka mengidentifikasikan dirinya dengan hal-hal yang bukan dirinya (misalnya, identifikasi diri dengan jabatan, kekayaan, atau kekuasaan, sebagaimana sering dislogankan menjadi 'you what you have', 'you are what you drive', 'you are what you eat', dsb.). Dengan ciri-ciri pokok tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa siapa saja yang menyadari hakikat dirinya sebagai manusia pembelajar, pertama-tama ia berusaha membebaskan dirinya dari segala bentuk ketergantungan, baik kepada orang tua maupun lembaga-lembaga lain yang mengaturnya (termasuk bebas dari lembaga persekolahan). Ia berusaha membebaskan dirinya dari berbagai bentuk pendiktean, penindasan, dan penjajahan. Pada saat yang sama, ia mengarahkan dirinya untuk tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa mandiri, menjadi manusia merdeka. Manusia dewasa-mandiri bukanlah manusia yang bisa hidup sendirian. Dia adalah mereka yang menyadari sepenuhnya dirinya itu apa dan siapa, serta mampu menempatkan dirinya dalam tatanan masyarakat dan memainkan peran yang memungkinkan adanya hubungan kesalingbergantungan (simbiotik-mutualistik). Ia tidak lagi menjadi beban dari siapa pun, melainkan menjadi rahmat dan berkat bagi lingkungannya. Kedewasaan dan kemandirian ini tidak bertalian dengan usia, tetapi lebih berkaitan dengan kondisi psikososio-spiritual seseorang. Manusia merdeka bukan berarti bebas berbuat kehendak hati, melainkan mereka yang mampu menata perilakunya berdasarkan tuntunan akal sehat dan hati nurani. Ia tak lagi ditentukan 'dari luar' (outside in), melainkan diarahkan 'dari dalam' (inside out). Akal sehat dan hati nurani 'dari dalam' itulah yang menjadi panduan sikap hidupnya, sehingga manusia merdeka menolak untuk taat kepada hal-hal yang melawan akal sehat atau bertentangan dengan hati nuraninya. Peter Senge dalam karya terbaiknya, The Fifth Discipline (1995), pernah menegaskan, 'Pembelajaran sebenarnya mendapatkan inti artinya untuk menjadi sangat manusiawi (humanis). Melalui pembelajaran, kita menciptakan kembali diri kita. Melalui pembelajaran, kita dapat melakukan apa yang tidak pernah dapat kita lakukan sebelumnya, merasakan kembali dunia dan hubungan kita dengan dunia tersebut, memperluas kapasitas kita untuk menciptakan, menjadi bagian dari proses pembentukan kehidupan.' Pernyataan sarat makna ini memberikan semacam arahan umum untuk menjawab pertanyaan 'mengapa setiap orang perlu menjadi manusia pembelajar seumur hidup (lifelong learner)?' Sebab, Senge mengingatkan bahwa kita diciptakan dengan anugerah daya cipta atau kreativitas untuk menciptakan banyak hal berdasarkan apa yang telah lebih dulu diciptakan oleh Sang Pencipta. Dengan demikian, kita tidak boleh membiarkan diri menjadi korban dari proses pemasungan kreativitas dalam bentuk apa pun, baik yang dilakukan lewat proses pembelajaran di institusi persekolahan, maupun yang mungkin dilakukan oleh para pemegang kekuasaan dalam rangka mempertahankan status quo. Demikiankah? RantauNet http://www.rantaunet.com Isikan data keanggotaan anda di http://www.rantaunet.com/register.php3 ==============================================Tanpa mengembalikan KETERANGAN PENDAFTAR ketika subscribe, anda tidak dapat posting ke Palanta RantauNet ini. Mendaftar atau berhenti menerima RantauNet Mailing List di: http://www.rantaunet.com/subscribe.php3 ==============================================