Assalamualaikum w.w. para Dunsanak sapalanta,

Kali ini saya ingin berbagi pengalaman tentang
kunjungan -- bersama dengan dua orang staf  --  ke
suatu masyarakat hukum adat, bidang yang saya tekuni
di Komnas HAM sejak tahun 2004. Masyarakat hukum adat
yang  dipilih adalah desa Tenganan [ juga dikenal
sebagai desa Tenganan Pagrisingan] di Kabupaten
Karangasem, Bali, yang merupakan suatu desa yang
dipandang masih mampu mempertahankan adatnya yang
asli. Sebelum mendatangi desa tersebut, di Den Pasar
saya bertukar pikiran dengan Kepala Dinas Kebudayaan
Propinsi Bali, didampingi oleh Kepala Sub Dinas Adat
Istiadat. Sudah tentu, sebelum ini saya sudah beberapa
kali datang ke Bali, dalam kesempatan lain.

Maksud kunjungan saya, selain untuk mencari masukan
lapangan untuk menyempurnakan draft awal naskah
akademik rancangan undang-undang perlindungan
masyarakat hukum adat  yang sudah disiapkan Komnas
HAM, adalah untuk mencari  perbandingan awal untuk
kemungkinan penelitian yang lebih dalam, baik
persamaan maupun perbedaan, antara masyarakat hukum
adat Bali dengan masyarakat hukum adat Minangkabau,
yang sejak tahun 2004 menjadi perhatian saya secara
intensif.

Persamaannya, baik Bali maupun Sumatera Barat
mempunyai alam yang indah, merupakan daerah tujuan
kunjungan wisata, luas daerah yang kurang lebih sama,
jumlah penduduk yang kurang lebih sama, terdiri dari
etnik yang relatif homogen baik dari  segi  agama
serta budaya. 

Perbedaannya, Bali adalah pulau, Sumatera Barat bagian
dari daratan pulau Sumatera. Masyarakat Bali terkesan
selain hidup dalam aman dan damai, juga lebih dinamis,
berkembang dengan dinamikanya pariwisata. Masyarakat
Minangkabau di Sumatera Barat, seperti ditengarai
dalam seminar di Bandung dalam tahun 2003, merupakan
masyarakat yang 'gelisah'. Pemerintah Daerah Bali
menyatakan bahwa ada empat tema dasar pembangunan
daerah Bali, yaitu pariwisata, pendidikan, kebudayaan,
dan pertanian. Saya belum tahu persis strategi dasar
pembangunan daerah Sumatera Barat. Pariwisata di Bali
sudah jauh lebih maju, di Sumatera Barat sedang
disiapkan untuk maju. Masyarakat Bali terlihat puas
hidup di daerahnya sendiri, sedang masyarakat
Minangkabau malah mendorong anak-anak mudanya untuk
merantau. .

Di Bali, perpaduan adat, agama, dan budaya sudah
merupakan kenyataan hidup sehari-hari, sedangkan di
Sumatera Barat apa sesungguhnya makna dan bagaimana
melaksanakan ABS SBK telah, sedang, dan nampaknya
masih merupakan bahan perdebatan [termasuk di milis
RantauNet ini]. Masyarakat Bali menganut sistem
kekerabatan patrilineal dan kelihatannya lebih kompak,
sedangkan Minangkabau sistem kekerabatan matrilineal,
dan terkesan lumayan ruwet dan sarat konflik, baik
mengenai hubungan kekerabatan maupun mengenai masalah
warisan. Pemuka adat Bali masih memegang masih peranan
penting dalam kehidupan masyarakat sehari-hari,
sedangkan peran pemuka masyarakat adat Minangkabau 
terkesan hanya tampil sesekali, dan ditengarai
mengalami kemunduran peran karena sesuatu dan lain
hal. Akhirnya, terdapat kesan bahwa arus mobilitas
vertikal kaum terpelajar Bali ke jabatan-jabatan
tinggi dalam pemerintahan Republik Indonesia berjalan
secara alamiah dan tanpa konflik, sedangkan peran kaum
terpelajar Minangkabau kelihatannnya malah terkesan
malah mengalami pasang surut.  

Di sela-sela bertukar fikiran mengenai hak-hak
masyarakat hukum adat dalam perundang-undangan
Indonesia masa kini, saya memperhatikan secara khusus
beberapa hal yang terkait dengan masalah yang saya
angkat dalam RN minggu-minggu belakangan ini, antara
lain tentang hubungan adat dan agama, soal suku,
tentang soal ‘punah’, atau tentang warisan.

Mengingat bahwa adat Bali berdasar agama Hindu, maka
dapat dikatakan bahwa Bali juga mempunyai semacam “ABS
–SBK a la Bali”, dengan catatan tak ada “Perang Paderi
 a la Bali” yang mendorong adanya rumusan seperti itu.
Adat Bali berdasar agama Hindu Bali, dan agama Hindu
Bali berdasar kitab-kitab suci agama Hindu Bali.
Titik.  Tidak ada masalah yang perlu diperdebatkan
lagi, seperti yang masih berlangsung di Minangkabau.

Filsafat atau pandangan hidup masyarakat Bali bertumpu
pada ajaran “Tri Hita Karana”, yaitu hubungan yang
serasi dengan Tuhan, dengan sesama manusia, dan dengan
alam sekitar. Semacam ‘hablun minallah’ dan ‘hablun
minannaas”. Nasib manusia ditentukan oleh ‘karma’-nya
sendiri: jika karmanya buruk, ia akan lahir kembali
sebagai makhluk yang lebih rendah. Dengan ajaran ini,
masyarakat Bali sejak dari taraf yang paling awal
sudah tahu tempatnya dalam kehidupan ini, dan selain
mencari keserasian dan mencegah timbulnya bibit
konflik keagamaan dan konflik dengan sesama manusia,
juga berusaha menjaga sikap dan perilaku pribadinya
serta kelestarian alam lingkungannya. Saya mendapat
kesan, masyarakat Bali hidup tanpa beban dan
kelihatannya tanpa konflik. Semuanya berjalan secara
wajar. Mau tidak mau saya teringat dengan begitu
banyak konflik di Minangkabau, yang menuai demikian
banyak kritik terhadap Minangkabau oleh orang
Minangkabau sendiri selama kurang lebih 170 tahun ini 

Di Bali tidak ada suku seperti Minang, dan juga tidak
ada marga seperti di Batak, yang juga menganut sistem
kekerabatan patrilineal. Masyarakat Bali diatur
berdasar asas kewilayahan, menurut desa atau banjar,
dan posisi setiap orang diatur dalam kasta-kasta dan
diberi nama menurut urutan kelahirannya . Pusat
kehidupan di setiap desa atau banjar adalah pura,
dimana terdapat tiga kuil untuk dewa Brahma, Wisnu,
dan Ciwa, yang semua harus dihormati. Dengan demikian,
tidak ada mazhab-mazhab agama yang dapat jadi faktor
penyebab pertentangan. 

Walaupun berdasar sistem kekerabatan  patrilineal,
berbeda dengan di Tapanuli kedudukan anak laki-laki
dan anak perempuan adalah sama. Atas pertanyaan saya,
apakah orang Bali mengenal konsep ‘punah’ jika
misalnya seorang bapak hanya mempunyai anak perempuan
saja, saya mendapat jawaban bahwa tidak ada konsep
punah dalam adat Bali. Jalan keluarnya adalah bahwa
kepada para anak perempuan itu ditanyakan siapakah di
antara mereka yang bersedia untuk menetap di desa atau
banjarnya untuk meneruskan tradisi keluarga. Anak
perempuan yang bersedia untuk tinggal di desa atau di
banjar tersebut akan diberi status sebagai anak
laki-laki (!) dan dengan demikian melanjutkan
keturunan menurut sistem kekerabatan patrilineal. Saya
benar-benar terkesima mendapat jawaban yang sama
sekali tidak saya duga ini.

Ada dua jenis desa di pulau Bali, yaitu ‘desa dinas’
yang melaksanakan tugas pemerintahan berdasar
peraturan perundangan Republik Indonesia, dan ada
‘desa adat’ yang melaksanakan hukum adat Bali, yang
disebut ‘awig-awig’. Bagaikan pepatah Minangkabau,
‘adat selingkar nagari’, maka ‘awig-awig’ juga hanya
berlaku di sekitar desa atau banjar, yang berarti 
untuk setiap desa atau banjar perlu dipelajari dulu
apa isi ‘awig-awig-nya. Jumlah seluruh desa adalah
1.430 buah, jadi jauh lebih banyak dari jumlah nagari
di Minangkabau. Sungguh menarik untuk mengetahui,
bahwa bisa terjadi beberapa ‘desa dinas’ meliputi
beberapa ‘desa adat’, atau sebaliknya, beberapa ‘desa
adat’ meliputi beberapa ‘desa dinas”. Tidak ada
konflik antara kedua jenis desa ini, karena desa dinas
hanya membidangi masalah pemerintahan, sedangkan desa
adat hanya membidangi masalah adat, yang sudah jadi
satu dengan agama. 

‘Rapat adat’ di Bali tidak hanya dihadiri oleh para
‘pemangku adat’ saja seperti di Minangkabau, tetapi
oleh seluruh penduduk desa, untuk membahas segala hal
yang dirasa perlu, termasuk membahas ‘awig-awig’. Desa
Tenganan ini mempunyai ‘awig-awig’ yang sudah
dituliskan kembali berdasar ingatan pemuka adat, 
terdiri dari 69 butir. Dalam rapat desa, dinilai 14
butir awig-awig dipandang sudah tidak cocok lagi
dengan keadaan dan dinyatakan tidak lagi berlaku. Adat
Bali mengizinkan dimufakatinya ‘awig-awig’ baru yang
dibutuhkan. Saya mendapat kesan, bahwa orang Bali
benar-benar melaksanakan apa yang disebut dalam adat
Minang:Â’ adat dipakai baru, baju dipakai usangÂ’.
Perubahan ‘awig-awig’ menurut perkembangan zaman
terasa berjalan secara alamiah saja. Tanpa ketegangan.

Sudah tentu saya ingin tahu, dengan penataan
masyarakat yang terasa demikian mantap,  apa
benar-benar yidak ada konflik di desa atau banjar.
Para pemimpin adat desa Tenganan menjawab bahwa tentu
saja ada, umumnya mengenai batas desa, pada desa yang
dimekarkan. Juga bisa terjadi bahwa beberapa warga
desa tidak menerima aturan ‘awig-awig’ tertentu, dan
mengadu ke pengadilan negeri, yang kadang-kadang
mengalahkan ‘awig-awig’. Juga pernah terjadi di desa
Tenganan secara diam-diam seorang warga desa yang
nakal mensertifikatkan tanah desa, mengagunkannya ke
bank untuk mendapat kredit, dan kemudian tak mampu
membayar hutangnya itu. Lantas? Desa mengumpulkan uang
untuk membayar kredit macet wargabya itu, karena
ternyata Bali juga mengenal ajaran bahwa tanah ulayat
tidak boleh dijual atau digadaikan kepada orang luar. 

Bagaimanapun, perjalanan saya beserta staf ke desa
Tenganan ini sungguh asyik. Saya ingin mempelajarinya
lebih dalam. Lain kali.

Wassalam,
Saafroedin Bahar.




       
____________________________________________________________________________________
Sucker-punch spam with award-winning protection. 
Try the free Yahoo! Mail Beta.
http://advision.webevents.yahoo.com/mailbeta/features_spam.html

--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
Berhenti (unsubscribe), kirim email ke: [EMAIL PROTECTED]

Konfigurasi dan Webmail Mailing List: http://groups.google.com/group/RantauNet
Daftar dulu di: https://www.google.com/accounts/NewAccount
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke