Maaf kok agak panjang snek ....

******

MITOS-MITOS TENTANG PERAYAAN NATAL BERSAMA

Written by Adian Husaini

Menjelang perayaan Hari Natal, 25 Desember, ada sebagian kalangan kaum
Muslim yang kembali menggugat fatwa MUI tentang “haramnya seorang Muslim
hadir dalam Perayaan Natal Bersama.” Ada yang menyatakan, bahwa yang
melarang Perayaan Natal Bersama (PNB) atau yang tidak mau menghadiri PNB
adalah tidak toleran, eksklusif, tidak menyadari pluralisme, tidak mau
berta’aruf, dan sebagainya. Padahal orang Islam disuruh melakukan ta’aruf
(QS 49:13). Banyak yang kemudian berdebat “boleh dan tidaknya” menghadiri
PNB, tanpa menyadari, bahwa sebenarnya telah banyak diciptakan mitos-mitos
seputar apa yang disebut PNB itu sendiri.

Pertama, mitos bahwa PNB adalah keharusan. Mitos ini seperti sudah begitu
berurat-berakar, bahwa PNB adalah enak dan perlu. Padahal, bisa
dipertanyakan, apa memang perlu diadakan PNB? Untuk apa? Jika PNB perlu,
bahkan dilakukan pada skala nasional dan dijadikan acara resmi kenegaraan,
maka perlukah juga diadakan WB (Waisak Bersama), NB (Nyepi Bersama), IFB
(Iedul Fitri Bersama), IAB (Idul Adha Bersama), MNB (Maulid Nabi Bersama),
IMB (Isra’ Mi’raj Bersama), IB (Imlek Bersama). Jika semua itu dilakukan,
mungkin demi alasan efisiensi dan pluralisme beragama, akan ada yang usul,
sebaiknya semua umat beragama
merayakan HRB (Hari Raya Bersama), yang menggabungkan hari raya semua agama
menjadi satu. Di situ diperingati bersama kelahiran Tuhan Yesus, peringatan
Nabi Muhammad SAW, dan kelahiran dewa-dewa tertentu, dan sebagainya.

Keharusan PNB sebenarnya adalah sebuah mitos. Jika kaum Kristen merayakan
Natal, mengapa mesti melibatkan kaum agama lain? Ketika itu mereka
memperingati kelahiran Tuhan Yesus, maka mengapa mesti memaksakan umat
agama lain untuk mendengarkan cerita tentang Yesus dalam versi Kristen?
Mengapa doktrin tentang Yesus sebagai juru selamat umat manusia itu tidak
diyakini diantara pemeluk Kristen sendiri?

Di sebuah negeri Muslim terbesar di dunia, seperti Indonesia, wacana
tentang perlunya PNB adalah sebuah keanehan. Kita tidak pernah mendengar
bahwa kaum Kristen di AS, Inggris, Kanada, Australia, misalnya,
mendiskusikan tentang perlunya dilaksanakan IFB (Idul Fitri Bersama), agar
mereka disebut toleran. Bahkan, mereka
tidak merasa perlu menetapkan Idul Fitri sebagai hari libur nasional.
Padahal, di Inggris, Kanada, dan Australia, mereka menjadikan 26 Desember
sebagai “Boxing Day” dan hari libur nasional. Selain Natal, hari Paskah
diberikan libur sampai dua hari (Easter Sunday dan Esater Monday). Di
Kanada dan Perancis, Hari Natal juga libur dua hari. Hari libur nasional di
AS meliputi, New Year’s Day (1 Januari), Martin Luther King Jr Birthday (17
Januari), Washingotn’s Birthday (21 Februari), Memorial Day (30 Mei), Flag
Day (14 Juni), Independence Day (4 Juli), Labour Day (5 September),
Columbus Day (10 Oktober), Veterans Day (11 November), Thanksgiving’s Day
(24 November), Christmas Day (25 Desember).

Kedua, mitos bahwa PNB membina kerukunan umat beragama. Mitos ini begitu
kuat dikampanyekan, bahwa salah satu cara membina kerukunan antar umat
beragama adalah dengan PNB. Dalam PNB biasanya dilakukan berbagai acara
yang menegaskan keyakinan
umat Kristen terhadap Yesus, bahwa Yesus adalah anak Allah yang tunggal,
juru selamat umat manusia, yang wafat di kayu salib untuk menebus dosa umat
manusia. Kalau mau selamat, manusia diharuskan percaya kepada doktrin itu.
(Yohanes, 14:16). Satu kepercayaan yang dikritik keras oleh al-Quran. (QS
5:72-73, 157; 19:89-91, dsb).

Dalam surat Maryam disebutkan, memberikan sifat bahwa Allah punya anak,
adalah satu “Kejahatan besar” (syaian iddan). Dan Allah berfirman dalam
al-Quran: “Hampir-hampir langit runtuh dan bumi terbelah serta
gunung-gunung hancur. Bahwasannya mereka mengklaim bahwa al-Rahman itu
mempunyai anak.” (QS 19:90-91).

Prof. Hamka menyebut tradisi perayaan Hari Besar Agama Bersama semacam itu
bukan menyuburkan kerukunan umat beragama atau toleransi, tetapi
menyuburkan kemunafikan. Di akhir tahun 1960-an, Hamka menulis tentang
usulan perlunya diadakan perayaan Natal dan Idul Fitri bersama, karena
waktunya
berdekatan:

“Si orang Islam diharuskan dengan penuh khusyu’ bahwa Tuhan Allah beranak,
dan Yesus Kristus ialah Allah.
Sebagaimana tadi orang-orang Kristen disuruh mendengar tentang Nabi
Muhammad saw dengan tenang, padahal mereka diajarkan oleh pendetanya bahwa
Nabi Muhammad bukanlah nabi, melainkan penjahat. Dan al-Quran bukanlah
kitab suci melainkan buku karangan Muhammad saja. Kedua belah pihak, baik
orang Kristen yang disuruh tafakur mendengarkan al-Quran, atau orang Islam
yang disuruh mendengarkan bahwa Tuhan Allah itu ialah saru ditambah dua
sama dengan satu, semuanya disuruh mendengarkan hal-hal yang tidak mereka
percayai dan tidak dapat mereka terima… Pada hakekatnya mereka itu tidak
ada yang toleransi. Mereka kedua belah pihak hanya menekan perasaan,
mendengarkan ucapan-ucapan yang dimuntahkan oleh telinga mereka.
Jiwa, raga, hati, sanubari, dan otak, tidak bisa menerima. Kalau keterangan
orang Islam bahwa
Nabi Muhammad saw adalah Nabi akhir zaman, penutup sekalian Rasul. Jiwa
raga orang Kristen akan mengatakan bahwa keterangan orang Islam ini harus
ditolak, sebab kalau diterima kita tidak Kristen lagi. Dalam hal
kepercayaan tidak ada toleransi. Sementara sang pastor dan pendeta
menerangkan bahwa dosa waris Nabi Adam, ditebus oleh Yesus Kristus di atas
kayu palang, dan manusia ini dilahirkan dalam dosa, dan jalan selamat hanya
percaya dan cinta dalam Yesus.” Demikian kutipan tulisan Prof. Hamka yang
ia beri judul: “Toleransi, Sekulerisme, atau Sinkretisme.”

Ketiga, mitos bahwa dalam PNB orang Muslim hanya menghadiri acara
non-ritual dan bukan acara ritual. Untuk menjernihkan mitos ini, maka yang
perlu dikaji adalah sejarah peringatan Natal itu sendiri, dan bagaimana
bisa dipisahkan antara yang ritual dan yang non-ritual. Sebab, tradisi ini
tidak muncul di zaman Yesus dan tidak pernah diperintahkan oleh Yesus.
Maka, bagaimana bisa
ditentukan, mana yang ritual dan mana yang tidak ritual? Yang jelas-jelas
tidak ritual adalah menghadirkan tokoh Santa Claus, karena ini adalah tokoh
fiktif yang kehadirannya dalam peringatan Natal banyak dikritik oleh
kalangan Kristen. Sebuah situs Kristen (www.sabda.org), menulis satu
artikel berjudul: “Merayakan Natal dengan Sinterklas: Boleh atau Tidak?”

“Dikatakan, dalam artikelnya yang berjudul The Origin of Santa Claus and
the Christian Response to Him (Asal-usul Sinterklas dan Tanggapan Orang
Kristen Terhadapnya), Pastor Richard P. Bucher menjelaskan bahwa tokoh
Sinterklas lebih merupakan hasil polesan cerita legenda dan mitos yang
kemudian diperkuat serta dimanfaatkan pula oleh
para pelaku bisnis.

Sinterklas yang kita kenal saat ini diduga berasal dari cerita kehidupan
seorang pastor dari Myra yang bernama Nicholas (350M). Cerita yang beredar
(tidak ditunjang oleh catatan sejarah yang bisa dipercaya) mengatakan bahwa
Nicholas dikenal sebagai pastor yang melakukan banyak perbuatan baik dengan
menolong orang-orang yang membutuhkan. Setelah kematiannya, dia dinobatkan
sebagai "orang suci" oleh gereja Katolik, dengan nama Santo Nicholas.
Nilai-nilai yang ditanamkan oleh Sinterklas sebenarnya tidak sesuai dengan
ajaran iman Kristen… Akhirnya, sebagai guru Sekolah Minggu kita harus
menyadari bahwa hal terpenting yang harus kita perhatikan adalah menjadikan
Kristus sebagai berita utama dalam merayakan Natal -- Natal adalah Yesus.”

Mitos tentang Santa Claus ini begitu hebat pengaruhnya, sampai-sampai
banyak kalangan Muslim yang bangga berpakaian ala Santa Claus.

Keempat, mitos bahwa tidak ada
unsur misi Kristen dalam PNB. Melihat PNB hanya dari sisi kerukunan dan
toleransi tidaklah tepat. Sebab, dalam PNB unsur misi Kristen juga perlu
dijelaskan secara jujur. PNB adalah salah satu media yang baik untuk
menyebarkan misi Kristen, agar umat manusia mengenal doktrin kepercayaan
Kristen, bahwa dengan mempercayai Tuhan Yesus sebagai juru selamat, manusia
akan selamat.

Sebab, misi Kristen adalah tugas penting dari setiap individu dan Gereja
Kristen. Konsili Vatikan II (1962-1965), yang sering dikatakan membawa
angin segar dalam hubungan antar umat beragama, juga mengeluarkan satu
dokumen khusus tentang misi Kristen (The Decree on the Missionary Activity)
yang disebut “ad gentes” (kepada bangsa-bangsa). Dalam dokumen nostra
aetate, memang dikatakan, bahwa mereka menghargai kaum Muslim, yang
menyembah satu Tuhan dan mengajak kaum Muslim untuk melupakan masa lalu
serta melakukan kerjasama untuk memperjuangkan keadilan sosial,
nilai-nilai moral, perdamaian, dan kebebasan. (“Upon the Moslems, too, the
Church looks with esteem. They adore one God, living and enduring, merciful
and all-powerful, Maker of heaven and earth …Although in the cause of the
centuries many quarrels and hostilities have arisen between Christians and
Moslems, this most sacred Synod urges alls to forget the past and to strive
sincerely for mutual understanding On behalf of all mankind, let them make
common cause of safeguarding and fostering social justice, moral values,
peace, and freedom.”).

Tetapi, dalam ad gentes juga ditegaskan, misi Kristen harus tetap
dijalankan dan semua manusia harus dibaptis. Disebutkan, bahwa Gereja telah
mendapatkan tugas suci untuk menjadi “sakramen universal penyelamatan umat
manusia (the universal sacrament of salvation), dan untuk memaklumkan Injil
kepada seluruh manusia (to proclaim the gospel to all men). Juga
ditegaskan, semuya manusia harus
dikonversi kepada Tuhan Yesus, mengenal Tuhan Yesus melalui misi Kristen,
dan semua manusia harus disatukan dalam Yesus dengan pembaptisan.
(Therefore, all must be converted to Him, made known by the Church's
preaching, and all must be incorporated into Him by baptism and into the
Church which is His body).

Tentu adalah hal yang normal, bahwa kaum Kristen ingin menyebarkan
agamanya, dan memandang penyebaran misi Kristen sebagai tugas suci mereka.
Namun, alangkah baiknya, jika hal itu dikatakan secara terus-terang, bahwa
acara-acara seperti PNB memang merupakan bagian dari penyebaran misi
Kristen.

Dengan memahami hakekat Natal dan PNB, seyogyanya kaum non-Muslim
menghormati fatwa Majelis Ulama Indonesia yang melarang umat Islam untuk
menghadiri PNB. MUI tidak melarang kaum Kristen merayakan Natal. Fatwa itu
adalah untuk internal umat Islam, dan sama sekali tidak merugikan pemeluk
Kristen. Fatwa itu dimaksudkan untuk menjaga
kemurnian aqidah Islam dan menghormati pemeluk Kristen dalam merayakan Hari
Natal.

Fatwa itu dikeluarkan Komisi Fatwa MUI pada 7 Maret 1981, yang isinya
antara lain menyatakan: (1) Mengikuti upacara Natal bersama bagi umat Islam
hukumnya haram (2) agar umat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan
larangan Allah SWT, dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan
Natal.

Kalangan Kristen ketika itu, melalui DGI dan MAWI, banyak mengkritik fatwa
tersebut. Mereka menilai fatwa itu berlebihan dan tidak sejalan dengan
semangat kerukunan umat beragama. Kalangan Kristen dari luar negeri juga
banyak yang berkomentar senada. Padahal, sebenarnya aneh, jika kalangan
Kristen yang meributkan fatwa ini. Lebih ajaib lagi, jika ada yang mengaku
Muslim meributkan fatwa ini, karena mungkin “kebelet” merayakan Hari Natal
dan ingin disebut toleran.

Kalau terpaksa harus merayakan Natal, tidaklah bijak jika harus menggugat
soal
hukumnya. Apalagi, kemudian, melegitimasi dengan satu atau dua ayat
al-Quran yang ditafsirkan sekehendak hatinya. Untuk memahami masalah salat,
tidaklah cukup hanya mengutip ayat al-Quran dalam surat al-Ma’un:
“Celakalah orang-orang yang shalat.” Masalah peringatan Hari Besar Agama,
sudah diberi contoh dan penjelasan yang jelas oleh Rasulullah SAW, dan
dicontohkan oleh para sahabat Rasul yang mulia. Sebaiknya hal ini dikaji
secara ilmiah dari sudut ketentuan-ketentuan Islam. Untuk berijtihad,
memutuskan mana yang halal dan mana yang haram, memerlukan kehati-hatian,
dan menghindari kesembronoan. Sebab, tanggung jawab di hadapan Allah,
sangatlah berat. Tidaklah cukup membaca satu ayat, lalu dikatakan, bahwa
masalah ini halal atau haram.

Lain halnya, jika seseorang yang memposisikan sebagai mujtahid, tidak
peduli dengan semua itu. Untuk masalah hukum-hukum seputar Hari Raya,
misalnya, bisa dibaca Kitab “Iqtidha’ as-Shirat al-Mustaqim
Mukhalifata Ashhabil Jahim”, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah).

Sejak awal mula, Islam sadar akan makna pluralitas. Islam hadir dengan
mengakui hak hidup dan beragama bagi umat beragama lain, disaat kaum
Kristen Eropa menyerukan membunuh kaum “heresy” karena berbeda agama. Karen
Armstrong memuji tindakan Umar bin Khatab dalam memberikan perlindungan dan
kebebasan beragama kepada kaum Kristen di Jerusalem, Beliau adalah penguasa
pertama yang menaklukkan Jerusalem tanpa pengrusakan dan pembantaian
manusia. Namun, Umar r.a. tidak mengajurkan kaum Muslim untuk
berbondong-bondong merayakan Natal Bersama.

Peringatan Hari Raya Keagamaan, sebaiknya tetap dipertahankan sebagai hal
yang eksklusif milik masing-masing umat beragama. Biar masing-masing
pemeluk agama meyakini keyakinan agamanya, tanpa dipaksa untuk menjadi
munafik. Masih banyak cara dan jalan untuk membangun sikap untuk saling
mengenal dan bekerjasama antar umat
beragama, seperti bersama-sama melawan kezaliman global yang menindas umat
manusia. Dan untuk itu tidak perlu menciptakan mitos tentang seorang tokoh
fiktif bernama Santa Claus untuk menjadi juru selamat manusia, khususnya
anak-anak. Wallahu a’lam. (KL, 24 Desember 2004).

http://www.mustanir.net/index.php/list/82-mitos-mitos-tentang-perayaan-natal-bersama

-- 
-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/



Kirim email ke