Pak Kusie nah,

 

Tarimo kasih sarapan pagi ko nan berhargako.

Ambo mambaco Kisah 60 Shahabat Rasulullah alah sangaik lamo, katiko ambo
kelas 5 SD. Ciek laih nan ambo baco waktu tu Durratun Nashihin.

 

Tarimo kasih alah manyegarkan baliak

 

Wassalam

Rina, 36, Batam

 

From: rantaunet@googlegroups.com [mailto:rantaunet@googlegroups.com] On
Behalf Of Akmal Nasery Basral
Sent: Monday, March 17, 2014 1:38 PM
To: rantaunet@googlegroups.com
Subject: Re: [R@ntau-Net] Anis Matta: Selamat, Mari Kita Bertanding!

 

 

 

Wa'alaikumsalam Wr. Wb.

 

Sanak Imran Al manulih:

 

---

Khatib mengilustrasikan peristiwa saat Rasulullah wafat. Sebelum beliau
dikubur, seluruh sahabat aktif menyatakan pendapat dalam menentukan siapa
yang akan jadi pemimpin. Itu dilakukan sebelum jasad rasulullah SAW
dikubur.. 

---

 

lalu ado pertanyaan sanak Imran:

 

------

untuk pencerahan, mungkin bisa buya2 kito yang ado di milis ko,
mengilustarasikan baa bana kondisi peralihan kepemimpinan saat rasulullah
wafat berikut tafsir dan referensi nyo... 

------

 

Kendati pertanyaan di ateh sangat spesifih ("buya2 kito") dan ambo jaleh
bukan Buya, tetapi sambil menunggu jawaban dari para buya awak di palanta
ko, izinkan ambo bapandapek saketek.

 

I/

Bagi ambo, contoh kutipan khatib shalat Jum'at di atas menunjukkan tipikal
kekurangcermatan para khatib/da'i kita yang terlalu menyederhanakan proses
pemilihan pemimpin (khalifah) pasca wafatnya Rasul Saw, seakan-akan proses
pemilihan berlangsung sangat mudah, cepat, dan aklamasi (didukung penuh
seluruh sahabat). Padahal berdasarkan catatan-catatan sejarah yang valid,
peristiwa pemilihan itu sangat jauh dari sederhana, dengan beberapa catatan
sbb:

 

1. Tidak SELURUH sahabat aktif menyatakan pendapat dalam menentukan siapa
yang akan menjadi pemimpin dalam peristiwa historis yang berlangsung di
Saqifah Bani Sa'idah, sebuah "balairung" milik puak Bani Sa'idah, yang
letaknya beberapa kilometer di luar Madinah. 

 

Beberapa sahabat utama yang tidak ada di sana (dan karena itu tidak
menyatakan pendapat) adalah Ali bin Abi Thalib , Zubair bin Awwam, Salman al
Farisi, Abu Dzar al Ghiffari, paman Nabi Abbas bin Abdul Muthalib, Abu Ayyub
al Anshari radhiyallahu anhum, dll sahabat, termasuk putri Nabi Fathimah dan
para istri Nabi Saw yang sibuk mengurus jenazah Nabi.

 

2. Kisah Saqifah Bani Sa'idah ini (terpilihnya Abu Bakar r.a. sebagai
khalifah pertama) sering digambarkan para khatib/mubaligh kita begitu
sederhana, seakan-akan berlangsung hanya dalam beberapa menit di mana
seluruh sahabat yang hadir dengan mudahnya bersikap aklamasi dalam memilih
Abu Bakar. Padahal semua kitab yang menjelaskan peristiwa ini menggambarkan
peristiwa yang berlangsung SATU SETENGAH HARI ini begitu "dinamis" (penuh
argumentasi), yang mungkin lebih dahsyat dan berapi-api yang bisa kita
bayangkan dari Sidang Konstituante atau sidang-sidang DPR mana pun yang
pernah terjadi di Indonesia. 

 

Meski para sahabat yang hadir di Saqifah Bani Sa'idah adalah para sahabat
utama dari kalangan Muhajirin dan Anshar, pertentangan mereka tentang sosok
siapa yang pantas menjadi pemimpin/khalifah setelah Nabi ibarat pertentangan
minyak dan air, karena kaum Anshar begitu gigih memperjuangkan agar Sa'ad
bin 'Ubadah r.a. sebagai khalifah pertama, sementara kalangan Muhajirin yang
dimotori Umar bin Khattab  menjagokan Abu Bakar radhiyallahu anhuma sebagai
khalifah.

 

Bayangkan, padahal kedua kelompok (yang keduanya disebutkan "assabiquunal
awwalun" yang mereka ridha kepada Allah dan Allah pun ridha kepada
mereka/QS: 9:100), diajar langsung oleh Nabi Saw, kini berbeda pendapat
begitu tajam bahkan ketika jenazah Nabi Saw masih belum dikubur!

 

3.  Siapa Sa'ad bin 'Ubadah r.a? Apakah beliau "sosok pembangkang"? Tidak
sama sekali. 

 

Ketua puak Khazraj (salah satu dari dua suku utama kalangan Anshar di
Madinah) ini adalah salah seorang Anshar yang masuk Islam pertama kali, ikut
dalam setiap perang membela Nabi, dan bahkan Nabi mempercayakan
bendera/panji-panji Islam di setiap pertempuran selalu dipegang Sa'ad bin
Ubadah mewakili Anshar, dan Ali bin Abi Thalib mewakili Muhajirin. Bahkan
menurut catatan sejarawan Mesir Syekh Khalid Muhammad Khalid dalam bukunya
Rijalun Hawla Rasul (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi
Biografi 60 Sahabat Nabi), Sa'ad bin 'Ubadah adalah satu-satunya sahabat
Anshar yang mengalami langsung penyiksaan kaum kafir Quraisy di Makkah
(sebelum Nabi dan para sahabat hijrah ke Madinah), karena kaum kafir  salah
mengidentifikasi Sa'ad sebagai orang biasa. Mereka baru melepaskan
penyiksaan terhadap Sa'ad setelah tahu bahwa dia adalah salah seorang tokoh
penting Yatsrib (belum menjadi Madinah). Bagi Sa'ad bin 'Ubadah, peristiwa
pengalaman penyiksaan (meski singkat) yang dialaminya dari kafir Quraisy
membuatnya lebih paham (dibanding para sahabat Anshar lainnya), betapa
beratnya dakwah Nabi dan para sahabat Muhajirin di kota asal mereka, Makkah.


 

Dengan kata lain: Sa'ad bin 'Ubadah r.a. adalah seorang tokoh yang luar
biasa dengan kualitas istimewa. 

 

Mungkin karena pertimbangan itu, maka ketika kaum Anshar mendengar Nabi Saw
wafat, respon spontan mereka adalah segera berkumpul di Saqifah Bani Sa'idah
untuk berbaiat kepada Sa'ad bin 'Ubadah r.a. yang mereka rasakan paling
pantas sebagai pelanjut Nabi Saw. 

 

4.  Tetapi takdir Allah berkata lain. Di tengah kesibukan di rumah Nabi, ada
informasi yang sampai ke telinga Umar bin Khattab r.a bahwa para sahabat
Anshar sudah berkumpul di Saqifah Bani Sa'idah. Beliau pun memberi tahu Abu
Bakar, dan keduanya (ditemani beberapa sahabat lain seperti Abdurrahman bin
Auf r.a., Abu Ubaidah bin Al Jarrah, dll) segera menuju SBS. 

 

Pada tahap inilah, terjadi perbedaan penafsiran yang kelak mengkristal
menjadi perbedaan sikap (politik) internal umat Islam yang terus terasa
sampai sekarang. 

 

Kelompok yang menganggap Ali bin Abi Thalib r.a. sebagai penerus sah dari
Rasul Saw (dan kelak disebut Syiah) menganggap Abu Bakar dan Umar 
"menyabot" privilese yang seharusnya menjadi hak Ali. Mereka mempertanyakan,
mengapa kedua sahabat itu lebih memilih berangkat ke Saqifah Bani Sa'idah
ketimbang tetap berada di sisi Nabi Saw. yang baru wafat dan bahkan belum
dimakamkan? Apa yang berkelebat di benak kedua sahabat itu selain ambisi
kekuasaan?

 

Tetapi ambo menduga berdasarkan karakter kejiwaan para sahabat (dari
deskripsi yang sampai kepada kita) serta membayangkan suasana rumah Aisyah
r.a. yang kecil saat Nabi wafat, sulit untuk tidak berpikir bahwa ketika
masuk informasi kepada Umar bin Khattab mengenai pertemuan Saqifah Bani
Sa'idah, Umar pastilah melanjutkan informasi itu BUKAN HANYA kepada Abu
Bakar saja, melainkan juga kepada Ali dan para sahabat lain yang ada di
sana.

 

Dan sangat mungkin, dalam waktu yang juga sempit sehingga tak memungkinkan
sebuah musyawarah besar, terjadi pembicaraan dan kesepakatan antara Abu
Bakar-Umar dengan Ali-Abbas (plus sejumlah sahabat lain dalam kelompok
kecil) mengenai "pembagian tugas" menyangkut siapa ada di mana dan mengurus
apa? 

 

Dan sangat mungkin juga keputusannya demikian: mengingat Ali bin Abi Thalib
bukan hanya "sekadar" sahabat Nabi, melainkan juga sepupu bahkan menantu
beliau, yang membuat "kedekatan pangkat tiga" itu menjadi sedemikian
penting, sehingga Ali memilih (atau disepakati sahabatyang lain?) tetap
mengurusi jenazah Nabi Saw yang juga ayah mertuanya, sementara Abu
Bakar-Umar  (sekali lagi dalam dugaan ambo, disepakati atau ditugaskan)
mengikuti pertemuan Saqifah Bani Sa'idah yang sangat dramatis itu karena
akan sangat berpengaruh bagi sejarah Islam selanjutnya. Di antara dua
keputusan besar itulah, ada semacam opsi bahwa sahabat lain diperbolehkan
memilih apakah akan tetap tinggal mengurus jenazah Nabi atau mengikuti Abu
Bakar-Umar ke Saqifah Bani Sa'idah.

 

Ambo lebih percaya bahwa kepergian Abu Bakar-Umar itu sebuah pilihan yang
sangat sulit bagi mereka berdua, mengingat kedekatan keduanya yang sangat
erat dengan Nabi. Apalagi bagi Abu Bakar yang pernah hanya berdua saja
dengan Nabi Saw di Gua Tsur selama 3 hari saat menghindari kejaran kafir
Quraisy, sehingga peristiwa itu diabadikan Allah dalam QS 9:40. 

 

Dari perspektif psikologi, akan lebih mungkin Abu Bakar memilih untuk tetap
berada di samping jenazah Nabi Saw, orang yang paling dicintainya di dunia
ini, ketimbang harus menjauh dan mengurusi sebuah majelis "politik" yang
diinisiasi Anshar. Tetapi kalau pilihan tetap di samping jenazah Nabi itu
dilakukan Abu Bakar, lantas siapa lagi tokoh yang bisa melunakkan hati
orang-orang Anshar? 

 

Bahkan boleh jadi juga, Abu Bakar tak akan menyangka bahwa pertemuan itu
menjadi sedemikian alotnya, sehingga menghabiskan waktu satu setengah hari
(hampir 40 jam) sebelum sebuah kesepakatan (ba'iat) dramatis tercapai, dan
itupun tidak aklamasi. 

 

Mengapa dramatis? Karena kemudian Sa'ad bin 'Ubadah menolak berbaiat kepada
Abu Bakar, bahkan kemudian ketika Abu Bakar wafat dan Umar dipilih kaum
muslimin sebagai amirul mukminin selanjutnya, Sa'ad bin 'Ubadah r.a. pun
menolak berbaiat kepada Umar. 

 

(Bagian ini dan seterusnya ambo kutip dari Biografi 60 Sahabat Nabi, hal.
502):

 

-----

     Kepada Umar yang baru terpilih, Sa'ad mengatakan, "Demi Allah, aku
tidak senang tinggal berdampingan denganmu." 

     Dengan tenang Umar menjawab, "Orang yang tidak suka berdampingan dengan
tetangganya, tentu akan menyingkir darinya." 

     Sa'ad menjawab, "Aku akan menyingkir dan pindah ke dekat orang yang
lebih baik daripada dirimu."

     ...

     Maksud Sa'ad, yang merupakan salah seorang sahabat yang telah
dilukiskan Al Qur'an sebagai orang-orang yang saling mengasihi di antara
mereka, ialah tidak akan menunggu kedatangan situasi yang nanti mungkin
terjadi pertikaian antara dirinya dan Umar; pertikaian yang sekali-kali
tidak diinginkan dan diakuinya.

    Sa'ad kemudian menuju Syria. Namun sebelum sampai ke sana, tepatnya
ketika baru singgah di Haran, ajalnya telah datang menjemput dan
mengantarkannya ke sisi Rabb Yang Maha Pengasih.

-------

 

5. Dengan poin 1-4 di atas, ambo ingin menyampaikan urutan peristiwa sejarah
yang sangat penting itu, bukan untuk menilai kapasitas para sahabat. Sebab
mereka jelas-jelas adalah generasi terbaik yang dimiliki Islam, sementara
kita ini siapalah? Sekulit bawang kualitas keimanan mereka pun tak. 

 

Tetapi peristiwa ini sebetulnya memberikan pelajaran penting: urusan memilih
pemimpin pun TAK PERNAH MUDAH bahkan ketika melibatkan generasi terbaik yang
pernah dimiliki Islam. Generasi yang sebagian besarnya (kalau tidak
seluruhnya) alhafiz. Generasi yang melihat langsung contoh-contoh
keteladanan Nabi dengan mata kepala mereka sendiri. 

 

Tetapi karena dinamika peristiwa Saqifah Bani Sa'idah ini jarang sekali
diajarkan para guru agama kita sejak awal secara agak detail, akibatnya
muncul kesan bahwa  "musyarawah" itu diartikan sebagai sebuah proses
pengambilan keputusan yang seharusnya berjalan lancar, mudah, tidak
bertele-tele. Muncul sikap alergi jika ada pendapat-pendapat lain mengemuka
dalam sebuah musyawarah, sampai pada "pimpinan rapat selalu benar". Dan
setelah itu, "mayoritas peserta musyawarah selalu benar". Celakalah jika ada
orang yang berbeda pendapat dengan pimpinan rapat atau mayoritas peserta
rapat.

 

Menurut ambo, ini sebetulnya justru salah satu hikmah dari peristiwa Saqifah
Bani Sa'idah: musyarawah harus berdasarkan argumentasi dan hujjah, bukan
masalah siapa mayoritas. Sebab kalau suara mayoritas yang menentukan, maka
saat itu yang berhak menjadi khalifah pertama adalah yang dipilih kaum
Anshar, karena mereka lah yang (melalui para pemimpin puak-puak di dalam Aus
dan Khazraj) yang "mendominasi" kehadiran musyawarah. Kehadiran kaum
Muhajirin sama sekali tak sebanding dalam urusan jumlah. 

 

Tetapi lewat hujjah demi hujjah yang disampaikan Muhajirin, terutama Abu
Bakar dan Umar, maka pelan-pelan sikap Anshar mengendur, hingga akhirnya
tokoh Aus dan seorang tokoh Khazraj lain yang juga besan Sa'ad bin Ubadah
r.a. mencabut dukungannya untuk Sa'ad dan mengalihkan "suara" kepada Abu
Bakar, sehingga konstelasi pilihan baru terbentuk sampai akhirnya mayoritas
Anshar pun memilih dan bersedia berbai'at kepada Abu Bakar. 

 

Tak dominasi mayoritas, seperti tak adanya juga tirani minoritas dalam
sejarah "Debat Konstituante" -- yang ambo yakini -- terbesar dalam sejarah
Islam dan seharusnya menjadi acuan standar musyawarah apa pun di dalam dunia
Islam. 

 

 

II/

Sehingga, sebagai implikasi dari peristiwa Saqifah Bani Sa'idah di atas,
proses (regenerasi) kepemimpinan nasional sejak awal kemerdekaan hingga saat
ini, sebetulnya bukan soal yang rumit, karena tidak memiliki tingkat
kompleksitas setinggi peristiwa Saqifah Bani Sa'idah. 

 

Kita, rakyat Indonesia, muslim Indonesia, tidak sedang memilih mana yang
terbaik dari "golongan Muhajirin" vs "golongan Anshar". 

Sebab, bukankah kita tidak sedang berada dalam situasi dilematis tersebab
harus memilih sosok "Abu Bakar As Shiddiq r.a" atau sosok "Sa'ad bin 'Ubadah
r.a."?   

 

Sosok-sosok yang akan bertarung di pileg 9 April, bahkan pilpres nanti, saat
ini begitu mudah dilacak jejak rekamnya sbb:

 

1. Dari pernyataan mereka, terutama yang on the record, di media massa. Cek
ulang dengan kenyataan di lapangan. Misal, ada tokoh atau partai tertentu
yang mengklaim diri antikorupsi. Ceklah dari kondisi lapangan, apa betul
para kader partai itu konsisten dengan slogan yang mereka gaungkan? Ataukah
hanya "bertanam debu di bibir" saja? 

 

2. Jika terjadi bencana nasional, ceklah di lapangan profil relawan yang
bekerja keras. Selain dari pekerja sosial non-partisan (Palang Merah
Indonesia, misalnya), pengurus/anggota/simpatisan/konstituen dari partai
mana yang paling sigap, paling all out bekerja keras tanpa mementingkan
publikasi? 

Cara mengetahui hal ini: jangan terpukau pada liputan media terhadap satu
daerah bencana. Tapi tanyakan kepada warga setempat, siapa relawan yang
benar-benar menyingsingkan lengan baju mereka, bukan hanya berkomentar di
mikrofon wartawan.

 

3. Identifikasi lain yang penting di era "maju tak gentar, membela yang
bayar" sekarang ini adalah fenomena demonstrasi bayaran atau massa bayaran.
Lihatlah di lapangan manakah dari partai-partai yang ada, yang massa mereka
itu betul-betul datang dengan keikhlasan penuh sebagai anggota/simpatisan,
atau massa yang datang dengan iming-iming selembar amplop sebagai honor
transport?

 

Massa partai yang datang dengan keikhlasan dan kecintaan penuh pada visi
misi partainya, biasanya akan mengikuti acara sampai usai. Betapa pun
lamanya. Hampir tak terjadi perubahan suasana pada saat dimulainya acara
dengan berakhirnya acara. Sedangkan partai yang mengandalkan massa bayaran,
umumnya akan menampilkan pemandangan massa yang menyurut sepanjang acara
berlangsung. Mereka tak akan betah berlama-lama mengikuti acara partai,
karena yang memikat mereka memang bukan visi misi partai, melainkan amplop
melalui korlap. 

 

Dengan 3 cara menyaring itu saja, sanak Imran Al, sebetulnya kita tak perlu
pusing menentukan pilihan, siapa wakil (caleg) yang pantas kita pilih nanti.


 

Wassalam,

 

ANB

45, Cibubur

 

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ 
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi:
* DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. Email One Liner.
* Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta 
mengirimkan biodata!
* Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
* Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
* Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/
--- 
Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup "RantauNet" dari Grup 
Google.
Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim 
email ke rantaunet+unsubscr...@googlegroups.com.
Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/d/optout.

Kirim email ke