Assalamualaikum w.w. para sanak sa palanta,Saya rasa artikel di bawah ini 
penting untuk dijawab dan dirumuskan baik-baik. Kalau bisa selesai sebelum 
dimulainya KKMP bulan Juli yang akan datang.
Sambah ambo taruihkan ka pak Farhan Dt Bagindo jo pak Azmi Dt Bagindo.
Wassalam,
Saafroedin Bahar(Laki-laki, masuk 73 th, Jakarta) 


--- On Fri, 2/5/10, Harman <harman_ira...@yahoo.com> wrote:

From: Harman <harman_ira...@yahoo.com>
Subject: Re: [...@ntau-net] Batagak Penghulu --> Posisi Datuk dalam Budaya  
Merantau
To: rantaunet@googlegroups.com
Date: Friday, February 5, 2010, 11:01 AM

ini ada artikel lama terkait penganugerahan gelar Datuk
kepada tokoh masyarakat.

Tak
ketinggalan para broker (calo) gelar yang juga memanfaatkan
kedekatannya dengan tokoh yang bermain tersebut

wah ada lahan bisnis baru ternyata

wassalam,
harman St.Idris-Koto


http://saniangbaka.org/2009/08/24/posisi-datuk-dalam-budaya-merantau/


    Posisi Datuk dalam Budaya Merantau
    
      
“Penghulu adalah  Raja dalam Negara, Katonyo didanga, pangajarannyo di turuti, 
maanjuang jauh manggantuang tinggi”

Beberapa waktu yang lalu, nagari Saniangbaka mengadakan alek gadang
malewakan gala penghulu/datuk baru dari suku koto, yaitu Bapak Suryadi
Asmi dengan gelar Datuk Rajo Nan Sati. Acara batagak gala tersebut
berlangsung cukup meriah dengan dihadiri oleh tokoh-tokoh penting di
Sumatera Barat.

Ditengah semaraknya acara tersebut, kembali muncul pertanyaan yang
selama ini menghantui pikiran penulis. Apa sebenarnya tujuan dan
motivasi orang (utamanya perantau) untuk diangkat menjadi penghulu?
Karena pada tahun 2007 yang lalu, dimana pada saat itu juga diadakan
prosesi malewakan gala datuk secara masal, dimana sebagian dari mereka
yang diangkat adalah perantau. Bukan maksud penulis menggugat
pengangkatan penghulu yang baru saja diadakan, akan tetapi penulis
melihat kondisi ini terjadi hampir menyeluruh di Minangkabau.

Sebagaimana kita ketahui Datuk merupakan gelar adat tertinggi di
Minangkabau, seseorang ketika sudah diangkat menjadi datuk oleh suku
atau kaumnya ditempatkan pada posisi yang terhormat dan mempunyai
tanggung jawab yang cukup besar terhadap sanak kemenakan/kaumnya.
Sebagai pemimpin adat, seorang Datuk jamaknya tentu harus mengetahui
dan mengerti serta memahami nilai-nilai adat. Layaknya ulama yang juga
harus paham akan nilai-nilai agama.

Menurut Sumpah Satie Marapalam “Rapat Besar Marapekkan Alam/Sakato
Alam  yang dihadiri oleh tokoh adat, ulama dan cadiak pandai seluruh
Alam Minangkabau” yang diadakan di Bukik Marapalam atau Puncak Pato
Kab. Tanah Datar, “Penghulu adalah  Raja dalam Negara, Katonyo didanga, 
pangajarannyo di turuti, maanjuang jauh manggantuang tinggi”. (Penghulu adalah 
pemimpin katanya didengarkan, petunjuknya diikuti, dan menjatuhkan hukuman 
serta memberikan penghargaan).

Dalam pelaksanaan tugasnya, seperti yang disampaikan oleh Prof.
Damsar Datuk Nan Beco, “Guru Besar Sosiologi Universitas Andalas”
selain sebagi pemimpin adat, seorang datuk mempunyai tugas paripurna
dalam kaumnya, mulai dari mengurus masalah perkawinan, perceraian,
perselisihan, mengelola harta pusaka, mendidik dan membina serta
membantu menafkahi sanak kemenakannya.

Melihat besarnya tanggung jawab dari seorang datuk, apakah mungkin
peran yang begitu besar bisa dijalankan oleh mereka yang ada
dirantau/perkotaan yang identik dengan nilai-nilai modernisasi yang
lebih berorientasi pada simbol-simbol lahiriah dan material “yang
bertolak belakang dengan adat Minangkabau”. Sejauhmana sebenarnya
fungsi-fungsi itu bisa dijalankan, dan sejauhmana usaha mereka berusaha
untuk memposisikan diri mereka sebagai seorang penghulu, utamanya bagi
mereka yang berdomisili di perantauan.  Sebelum pertanyaan tersebut
terjawab, menarik bila kita coba cari tahu terlebih dahulu, apa
sebenarnya yang mendorong seseorang untuk menjadi datuk.

Seperti yang kita ketahui dalam dua dekade terakhir, sebagian besar
penghulu (datuk) yang diangkat, adalah mereka yang sudah sukses
diperantauan. Mereka yang berdomisili dan berkiprah di rantau, dan
sudah mapan secara finansial serta memiliki keturunan/tunggua datuk
memiliki peluang yang besar untuk diangkat. Ada juga gelar datuk yang
dilewakan kepada bukan orang Minangkabau, contohnya pemberian gelar
datuk kepada tokoh-tokoh penting atau tokoh politik seperti suami
mantan presiden Megawati, Taufik Kiemas, Presiden SBY, dan yang terbaru
adalah Gubernur Sumatera Selatan Alex Nurdin. Dengan mencari-cari
asal-usul atau tali darahnya, tokoh tersebut diangkat menjadi ninik
mamak.

Kalau pada zaman dahulu, tujuan seseorang diangkat menjadi datuk
masih jelas dan sesuai dengan fungsi yang sesungguhnya, walaupun motif
harta pusaka sering mengemuka, akan tetapi targetnya jelas. Faktor
pendukungnya pun kuat, sepereti Datuk yang diangkat umumnya berdomisili
di kampung, begitupun dengan sanak kemenakan yang akan dipimpinnya,
harta pusaka yang akan dikelola-pun tersedia.

Sedangkan untuk saat ini tujuannya sudah agak menyimpang dari
faktor-faktor yang dikemukakan diatas. Kasus tokoh-tokoh politik yang
diangkat menjadi datuk, mungkin tidak terlalu sulit bagi kita untuk
menebak tujuan mereka, seperti seorang calon gubernur Sumbar periode
2005-2010, yang diangkat menjadi datuk tiga bulan sebelum pemilihan
gubernur diadakan. Begitu pula dengan Taufik Kiemas yang diangkat
menjadi Datuk pada saat istrinya masih menjabat sebagai Presiden,
setali tiga uang dengan kasus SBY dan Alex Nurdin. Semua itu jelas
bermuatan politis dan hanya untuk kepentingan sesaat. Untuk kasus ini
menurut Yunarti “antropolog Univ. Andalas” merupakan permainan para
elite dari suku atau nagari yang mempunyai afiliasi politik/kepentingan
dengan tokoh-tokoh tersebut diatas, dengan mengatasnamakan kaum atau
nagari untuk mengambil keuntungan dari pemberian gelar tersebut. Tak
ketinggalan para broker (calo) gelar yang juga memanfaatkan
kedekatannya dengan tokoh yang bermain tersebut. Ditambah lagi dengan
perilaku Ninik mamak urang Minang nan suko tagak dinan manang, “Salero condoang 
ka nan lamak, tuah condoang ka nan manang,”
siapa yang berkuasa akan dirangkul, dengan mencari-cari
karik/kedekatan, salah satunya adalah dengan malewakan gala datuk tadi.

Dari sisi pewaris datuk sendiri dalam hal ini penulis memilih datuk
yang berdomisili dirantau, dan digolongkan kedalam masyarakat modern.
Seperti yang diutarakan oleh salah seorang datuk yang tidak mau
disebutkan namanya mengatakan, secara pribadi sebenarnya beliau tidak
mempunyai keinginan untuk menjadi penghulu, akan tetapi dorongan kuat
dari ninik mamak dan keluarga-lah yang memaksanya untuk memangku
jabatan tersebut. Tunggua datuk yang memang sudah ada sejak dahulu, dan
sudah lama tidak dilanjutkan, atau sesuai kesepakatan para ninik mamak
dahulu, gelar datuk dalam kaumnya digilir antara paruik yang ada dalam
kaum tersebut.

Prof. Damsar sendiri dalam kapasitasnya sebagai seorang datuk secara
gamblang mengatakan, bahwasanya dirinya diangkat menjadi datuk karena
dipaksa oleh ninik mamak dan keluarga, karena dirinya memang tidak
punya keinginan dan menyadari tidak dalam kapasitasnya untuk menjabat
sebagai penghulu dikaumnya. Mereka yang berdomisili di kampuang dan
mempunyai pengetahuan yang baik mengenai adatlah yang lebih pantas
untuk menyandang gelar tersebut.

Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwasanya ninik mamak atau
keluargalah sebenarnya yang mempunyai keinginan besar untuk mengangkat
gelar datuk dikaumnya. Bagi mereka tuah datuk merupakan sebuah
kebanggaan yang tetap harus dipertahankan, terlepas dari ada atau
tidaknya harta pusaka yang akan dikelola, dan tanpa mempertimbangkan
kapasitas sanak kemenakannya apakah memang pantas atau mempunyai
kemampuan untuk itu. Akibatnya penghulu yang diangkat tidak bisa
menjalankan fungsinya dengan maksimal, karena semua itu bukan atas
kehendak pribadinya.

Fungsi dan Peranan yang semakin tergerus
Saat ini terjadi sedikit pergeseran peran dari para penghulu,
terutama yang berdomisili dirantau, mereka lebih mengarahkan kepada
peran intelektual dalam pembinaan sanak kemenakannya, berupa pendidikan
dan ekonomi. Ruang lingkupnya sedikit meluas, bukan hanya sebatas kaum
atau suku, tapi nagari. Sedangkan untuk peran yang sesungguhnya,
seperti pembinaan sanak kemenakan dan pengelolaan harta pusaka sangat
sulit diharapkan, karena sebagian dari para penghulu belum tentu tahu
sampai dimana batas ulayat kaumnya serta berapa jumlah sanak
kemenakannya.

Prof. Damsar menambahkan, bahwasanya untuk saat ini fungsi datuk
sebenarnya sudah jauh berkurang, justru yang nampak itu hanya sebatas
untuk acara seremonial saja, seperti baralek, batagak penghulu, serta
rapat-rapat adat. Tugas peripurna seperti yang disampaikannya
sebelumnya untuk saat ini hanya sebatas teoritis belaka.

Budaya masyarakat Minangkabau yang suka merantau merupakan salah
satu faktor penyebab tergerusnya fungsi ninik mamak didalam kaumnya.
pepatah minang mengatakan: Karatau madang dihulu, babuah baungo balun, Marantau 
bujang dahulu, dikampuang paguno balun. Para
generasi muda sebagian besar mempunyai orientasi merantau, sehingga
mereka yang potensial lebih memilih pergi merantau, setelah mapan
mereka berkiprah dan menetap diperantauan. Mereka inilah sebenarnya
yang akan mewarisi pusako dari kaumnya masing-masing.

Budaya merantau mengakibatkan sebaran penduduk suatu kamu menjadi
tinggi. Kondisi ini dengan sendirinya akan mengurangi peran ninik mamak
didalam kaum, terutama dalam hal peran mendidik dan membina serta
membantu nafkah sanak kemenakannya. Sebagaimana kita ketahui, dalam
adat Minangkabau, seorang suami/urang sumando hanyalah sebagai tamu
dalam suatu kaum, diibaratkan sebagai abu diateh tunggua sehingga
tidak mempunyai tanggung jawab dalam mendidik dan menafkahi anak,
tanggung jawab itu melainkan berada ditangan mamak. Bagi mereka yang
dirantau apakah mungkin fungsi itu bisa berjalan, “dikampung saja
sangat sulit untuk dilaksanakan” akhirnya tentu tanggung jawab itu akan
diambil alih oleh ayah, “yang memang seharusnya paling bertanggung
jawab mendidik dan menafkahi anak dan istrinya, dan sesuai dengan
ajaran islam.”

Begitupun dalam hal pengelolaan harta pusaka. Saat ini hanya sedikit dari 
penghulu yang masih mengelola harta pusaka kaum(harato kagadangan),
seiring berkembangnya sanak kemenakan, tentu harta tersebut sudah habis
dibagi-bagi, atau ada juga yang sudah digadaikan atau dijual oleh ninik
mamak sebelumnya.

Selain budaya merantau orang minang, kultur masyarakat yang dinamis
dan cenderung kearah modernitas secara tidak langsung ikut pula
memarginalkan fungsi dan peran datuk, yang selama ini memang akrab
dengan berbagai macam protokoler.

Akan tetapi tergerusnya fungsi dan peranan Datuk, apakah sampai
memudarkan pesona gelar penghulu tersebut? Ternyata tidak, karena pada
kenyataannya sampai saat ini tetap saja banyak orang berlomba-lomba
untuk meraih gelar terhormat di ranah minang tersebut, terlepas dari
apa kepentingan yang ada dibelakangnya.
          
  
      Agustus 24th, 2009      
      Posted by andisaputra 
          in
      
      Barito Nagari       | 








       

 

 




      

-- 
.
Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat 
lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali serta ingin merubah konfigurasi/settingan 
keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe

Kirim email ke