Sanak Andiko,

 
Terima kasih atas pertanyaan. Saya rasa memang sejarah kelahiran LKAAM -- yang 
pada saat ini sudah berusia 44 tahun lebih -- perlu dijernihkan, khususnya oleh 
karea terdapat kesimpangsiuran keterangan tentang lembaga yang penting ini.

Walau Sanak Armen Zulkarnain telah bermurah hati mengirimkan naskah tersebut 
kepada Sanak, mungkin baik jika saya posting langsung di Rantau Net ini, 
sehingga dapat dimanfaatkan oleh para sanak yang berminat. Sekedar catatan, 
naskah yang saya tulis enam tahun yang lalu ini sudah saya posting di Facebook.

Wassalam,
Saafroedin Bahar Soetan Madjolelo
(Laki-laki, Tanjung, masuk 74 th, Jakarta) 
Taqdir di tangan Allah, nasib di tangan kita.



KHITTAH LKAAM, 1966-1972
Dr. Saafroedin BAHAR
  
Seluruhnya terasa bagi saya  bagaikan terjadi kemarin sore. Awal tahun 1966 
sebagai kapten berusia 29 tahun  saya baru saja mengalami mutasi dari Korem 031 
Riau Daratan di Pekanbaru ke  Kodam III/17 Agustus di Padang.  Saya  menemukan 
daerah Sumatera Barat pasca gagalnya kudeta 1 Oktober 1965 di Jakarta  itu 
bagaikan mengalami euforia – kegembiraan luar biasa --  karena telah terbebas 
dari tekanan Pemuda  Rakyat (PR) dan Partai Komunis Indonesia (PKI), yang 
membonceng pada Kodam  III/17 Agustus untuk menguasai daerah perdesaan. 
Beberapa 
orang perwira teras  Kodam III/17 Agustus, termasuk beberapa orang komandan 
korem dan komandan  kodim,  kemudian ternyata adalah memang  pengikut PKI. Saya 
mengetahuinya kemudian sewaktu bertugas sebagai hakim  perwira.
Dalam suasana euforia itu, yang  kemudian menjadi bagian dari Orde Baru ‘jilid 
satu’, seperti juga terjadi di  daerah-daerah lainnya, massa  rakyat yang  
dipelopori oleh para pelajar dan mahasiswa, telah melakukan demonstrasi 
menghujat  tokoh-tokoh Orde Lama, baik sipil maupun militer, yang kemudian 
secara  diam-diam meninggalkan daerah Sumatera Barat, yang memungkinkan 
dibangunnya  kembali daerah yang sudah porak poranda dalam hampir segala bidang 
ini.
Memang, selama hampir  satu windu, 1958-1965, semua hal yang berbau  
Minangkabau 
dan Islam telah dicurigai oleh jajaran Kodam III/17 Agustus karena  
keterlibatannya dalam mendukung pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik  
Indonesia, PRRI, yang di-‘proklamasi’kan di Bukittinggi bulan Januari 1958.  
Walaupun secara militer, PRRI ini telah dikalahkan pada tahun 1961, namun  
dampak kekalahan tersebut ke dalam jiwa orang Minangkabau berlarut-larut dalam  
tahun-tahun sesudahnya. 

Dalam kurun yang mencengkam ini, kaum  adat ditekan, para da’I dan alim ulama 
diinteli, istana Pagaruyung dibakar.  Seluruh daerah perdesaan, tempat diam 
sebagian besar warga Minangkabau, telah  kehilangan gairah. Anak-anak yang 
lahir 
dalam kurun ini diberi nama-nama Jawa,  agar mereka bisa bertahan hidup di masa 
depan dalam suasana yang sangat  memusuhi etnik Minangkabau itu. 

Kelihatannya saat itu orang Minangkabau  sama sekali tidak menduga, bahwa 
Negara 
Kesatuan Republik Indonesia, yang  dibelanya dengan penuh kegigihan dengan 
mendukung Pemerintahan Darurat Republik  Indonesia (PDRI) pada saat Presiden 
Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta  ditawan Belanda setelah jatuhnya 
Ibukota Yogyakarta, sampai hati dengan  demikian tegar menginvasi  dan 
menduduki  
Minangkabau, justru atas perintah Presiden Soekarno sendiri. Otobiografi Drs  
Harun Zain merekam pengalaman traumatik tersebut dengan sangat rinci dan sangat 
 
mengharukan. Namun seluruhnya itu telah terjadi, dan mereka harus hidup dalam  
suasana yang sangat mencengkam itu.
Secara pribadi, sebagai perwira pewajib  militer darurat yang direkrut dari 60 
orang pegawai Kementerian Dalam Negeri  yang baru saja menyelesaikan pendidikan 
pada Universitas Gadjah Mada di  Yogyakarta, saya merasa beruntung berada pada 
posisi yang memungkinkan saya  mengikuti dan mengamati dari dekat transformasi 
sosio-kulural Minangkabau dalam  kurun sejarah daerah Sumatera Barat  yang  
amat 
traumatik itu. 

Dalam kurun sejarah yang demikian pendek,  Minangkabau telah berubah dari suatu 
masyarakat yang penuh percaya diri dan  telah memberikan andil besar dalam 
pergerakan kebangsaan serta dalam membangun  suatu Negara Kesatuan  Republik 
Indonesia  yang merdeka, menjadi suatu etnik yang merasa dikalahkan dan dihina 
oleh negara  yang dibangunnya sendiri itu,  dan karena  itu  menjadi patah 
semangat.  

Mereka bukan saja harus menghadapi suatu  komando operasi gabungan yang 
sebagian 
besar anggotanya terdiri dari etnik Jawa  yang tidak faham dengan kultur 
Minangkabau, tetapi juga orang-orang Minangkabau  sendiri, para pengikut 
komunis 
yang beringas, yang selain memegang senjata  sebagai anggota Organisasi 
Perlawanan Rakyat (OPR) juga  mempunyai kekuasaan sebagai wali nagari, yang  
saat itu bagaikan mampu menentukan hidup matinya orang di desa-desa.   

Syukurnya, tidak seluruh perwira teras  Kodam III/17 Agustus yang berasal dari 
etnik Jawa setuju dengan ‘kebijakan  operasional’ menekan etnik Minangkabau 
ini, 
dan dalam bidangnya masing-masing  berusaha keras menetralisir kebijakan yang 
bertolak belakang dengan tradisi TNI  itu. 

Nama empat orang perwira yang saya kenal  dari dekat perlu saya sebutkan di 
sini. Pertama Mayor CKH Iman Suparto,S.H.  dari Dinas Hukum Kodam III/17 
Agustus, yang berusaha keras  agar mereka yang terlibat dalam pemberontakan  
PRRI tersebut diperlakukan dengan adil. Kedua, Mayor Infanteri Wardjono, Kepala 
 
Penerangan Kodam III/17 Agustus, yang berusaha menjembatani Kodam III/17  
Agustus dengan masyarakat Minangkabau, dan sebaliknya. Ketiga, Kolonel  
Infanteri Poniman, Panglima antara tahun 1966-1968, yang mendukung pencalonan  
Drs. Harun Zain, Rektor Universitas Andalas, menghadapi Suputro Brotidiredjo,  
pejabat gubernur saat itu. Poniman juga memberikan dukungan kuat terhadap  
Strategi Harga Diri yang dilancarkan Harun Zain sebagai gubernur. Keempat,  
Brigadir Jenderal  TNI Widodo, Panglima  yang menggantikan Poniman, dan 
menjabat 
antara tahun 1968-1970, yang selain  mengizinkan dilselenggarakannya Seminar 
islam di Minangkabau di gedung Sasana  Karya, balai pertemuan milik Kodam 
III/17 
Agustus, juga merestui Sendratari  Imam Bonjol sebagai bagian dari pembinaan 
tradisi korps Kodam III/17 Agustus,  dua hal yang tidak dapat dibayangkan dapat 
terjadi dalam tahun-tahun sebelum  itu..
Orde Baru, yang didirikan sebagai  pengganti Orde Lama, harus membangun kembali 
daerah Sumatera Barat yang sudah amburadul itu, bukan hanya dalam bidang sosial 
politik dan sosial ekonomi, tetapi  juga – dan terutama – dalam bidang sosial 
budaya. Tantangan paling berat dalam  bidang sosial budaya ini adalah membangun 
kembali kepercayaan masyarakat kepada  diri mereka sendiri, yang telah hancur 
lebur di bawah tekanan oknum-oknum Kodam  III/17 Agustus yang pro PKI. 

Tugas merehablitasi kembali kepercayaan  kepada diri sendiri ini mustahil 
ditugaskan kepada jajaran Kodam III/17  Agustus, yang dari segi kejiwaan 
mempunyai jarak sosial yang masih lumayan jauh  dengan masyarakat Minangkabau. 
Tugas tersebut, mau tidak mau, harus diemban  oleh kepemimpinan masyarakat, 
yang 
sedihnya telah dihancurleburkan oleh Kodam  III/17 Agustus sendiri. 

Namun, prakarsa untuk memulai  rehabilitasi tersebut harus diambil oleh 
Panglima 
Kodam III/17 Agustus yang  baru, yang terbebas dari psikologi imperialistik 
yang 
menghinggapi jajaran  Kodam III/17 Agustus sebelumnya. Tanggungjawab ini 
terletak di atas pundak para  panglima komando teritorial, untuk seluruh pulau 
Sumatera dijabat oleh Letnan  Jenderal Ahmad Junus Mokoginta, dan di Sumatera 
Tengah dijabat oleh Kolonel  Infanteri Poniman, yang kemudian digantikan oleh 
Brigadir Jenderal TNI Widodo.  Dua kata kunci dari kebijakan para panglima 
teritorial dalam era awal Orde Baru  ini adalah ‘rehabilitasi’ dan 
‘pembangunan’.
Saya pindah ke Padang dari Pekanbaru  dalam saat-saat transisi ini. Sebagai 
perwira pertama yang belum mendapat  tugas, saya segera diminta oleh Mayor 
Infanteri Wardjono untuk membantu beliau  membuat draft pidato-pidato panglima, 
yang walaupun dengan penuh kekakuan  karena belum terbiasa, saya laksanakan 
dengan tekun. Saya juga kemudian diminta  oleh Mayor CKH Iman Soeparto,S.H. 
untuk duduk sebagai anggota Dewan Perwakilan  Rakyat Daerah Gotong Royong (DPRD 
GR) Propinsi Sumatera Barat. Dan – akhirnya –  saya diminta oleh Mayor 
Infanteri 
Ahmad Syahdin, Kepala Dinas Sejarah Militer,  untuk membantu beliau sebagai 
sekretaris menyiapkan Musyawarah Besar (Mubes)  Ninik Mamak Pemangku Adat 
Minangkabau dalam bulan Maret 1966. Seluruh  tugas-tugas sampingan ini 
mempengaruhi perkembangan karir saya dalam  tahun-tahun sesudahnya.
Saya masih ingat bahwa tidaklah mudah  untuk meminta kesediaan tokoh-tokoh 
pimpinan masyarakat Sumatera Barat sendiri,  baik untuk duduk dalam kepanitiaan 
Mubes tersebut, maupun untuk kemudian duduk  dalam kepengurusan Badan Kontak 
Perjuangan Ninik Mamak (BKP-NM), yang kemudian  secara informal menjadi Lembaga 
Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM).  Mungkin mereka masih merasa trauma 
dengan sikap Kodam III/17 Agustus sebelumnya  terhadap adat dan suku bangsa 
Minangkabau.
Akhirnya seorang tokoh bersedia tampil  sebagai ketua, yaitu Chaidir Nien 
Latief, S.H. yang saat itu menjabat sebagai  Kepala Eksploitasi Jawatan Kereta 
Api Sumatera Barat. Beliau adalah seorang  tokoh Tentara Pelajar (T.P) dalam 
masa revolusi dahulu. Setelah mutasi beliau  ke Bandung, beliau digantikan oleh 
Baharuddin Datuk Rangkayo Basa, B.A, Kepala  Jawatan Penerangan Propinsi 
Sumatera Barat. Seperti Chaidir Nien Latief, beliau  adalah juga mantan pejuang 
kemerdekaan. 

Dapat dikatakan bahwa beliau berdua  inilah yang meletakkan ‘khittah’ LKAAM 
antara tahun 1966-1972, yang saya  dampingi sebagai sekretaris ‘non-adat’ 
bersama dengan Saudara Arief Azis,  seorang staf Mayor Ahmad Syahdin pada Dinas 
 
Sejarah Militer Kodam III/17 Agustus.
Sebagai seseorang yang tidak dilahirkan  dan dibesarkan di nagari,  masalah 
adat  
Minangkabau dan ‘korps’ ninik mamak ini  praktis merupakan dua hal yang terasa 
asing bagi saya. Persepsi saya  tentang adat dan para ninik mamak ini terbentuk 
oleh bacaan saya sebelumnya,  antara lain oleh dua karangan Buya Hamka, 
Tenggelamnya Kapal van der Wijk dan Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, dan 
novel Ali Akbar Navis, Robohnya  Surau Kami. Tema tiga bacaan ini tidaklah 
terlalu positif bagi adat  Minangkabau dan para ninik mamak yang menjadi 
eksponennya. 

Namun, bagaimanapun saya telah  diperintahkan dinas untuk membantu 
penyelenggaraan Mubes tersebut, dan sesuai  dengan kebiasaan saya sejak kecil, 
saya melakukannya secara all out.  Saya harus mencoba memahami sungguh-sungguh  
bidang-bidang yang selain tidak demikian saya kenal, juga sudah lama saya  
curigai. 

Demikianlah, secara pelahan-lahan dalam  mendampingi dua Ketua LKAAM pertama, 
Chaidir Nien Latif S.H dan Baharuddin  Datuk Rangkayo Basa,  dalam kunjungan  
mereka yang amat padat ke nagari-nagari di Sumatera Barat,  saya bukan saja 
mulai mengerti masalah adat  dan ninik mamak ini, tetapi juga mulai bisa 
menghargai kandungan kearifan yang  terdapat dalam demikian banyak pepatah 
petitih yang bukan main indahnya.
Sampai sekarang saya yakin, bahwa home  base yang paling penting bagi warga 
Minangkabau memang adalah nagari, yang  dengan sedih saya saksikan pada saat 
itu 
bukan saja sebagian besar warganya  telah patah semangat, tetapi juga secara 
ekonomis bergelimang dengan  kemiskinan.  Oleh karena itulah saya  sangat 
menghargai kebijakan Panglima Ahmad Junus Mokoginta serta Panglima  Poniman, 
agar nagari-nagari ini dibangun kembali, dengan  mengaktifkan peranan ninik 
mamak pemangku  adat, yang secara normatif mempunyai wewenang dalam penggunaan 
tanah ulayat,  dan karena itu dalam bidang sosio-ekonomi.
Banyak yang dapat saya kerjakan sebagai  sekretaris LKAAM, dibantu oleh Saudara 
Arief Azis, antara lain dengan  menyiapkan rancangan keputusan-keputusan Mubes 
LKAAM, untuk memudahkan dan  memperlancar pembahasan dalam sidang-sidang yang 
berlangsung kemudian. Selain  itu saya juga memperoleh pemahaman yang lebih 
dalam tentang makna  pepatah-petitih Minangkabau, serta mengenal dari dekat 
beberapa tokoh ninik  mamak, yang karena keluasan dan kedalaman pengetahuannya 
saya pandang sebagai  tokoh luar biasa. Tanpa mengecilkan peranan dari para  
tokoh ninik mamak pemangku adat lainnya, nama  tiga orang tokoh dapat saya 
sebut 
di sini. Saya merasa amat berhutang budi  kepada ketiga beliau.
Gagasan tentang organisasi LKAAM yang  bersifat federatif saya terima dari S.J. 
Datuk Marajo, orang sekampung saya  dari Padang Panjang, yang secara informal 
memberi saran kepada saya, sewaktu  saya sedang ter-bengong-bengong menjelang 
Mubes bulan Maret 1966,  tentang bagaimana  caranya menyusun  organisasi BKP NM 
yang nantinya  menjadi  LKAAM tersebut. Beliaulah yang pertama kalinya 
menyadarkan saya, bukan saja  tentang bagaimana pentingnya nagari di 
Minangkabau, tetapi juga tentang  psikologi orang Minangkabau yang tidak suka 
diperintah oleh siapa pun juga.
Melalui kontak pribadi yang intensif  antara ketua umum dan sekretaris umum, 
pandangan Baharuddin Datuk Rangkayo  Basa, ketua umum LKAAM kedua, sangat 
mempengaruhi wawasan saya, bukan hanya  tentang kedalaman makna adat 
Minangkabau, tetapi juga tentang kehidupan  berbangsa dan bernegara. Dengan 
sangat cerdas dan indah, beliau menempatkan  adat Minangkabau, yang sebelum itu 
mempunyai citra yang sangat konversatif  bahkan reaksioner, ke dalam konteks 
Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Berikutnya, Idrus Hakimi Datuk Rajo  Penghulu, mantan Walinagari Sungayang, 
Batusangkar, yang juga alumnus Parabek,  yang tanpa bandingan mampu 
mengintegrasikan norma adat Minangkabau dengan nash Al Quran dan Hadist, 
menyuarakannya selama puluhan tahun di depan corong  RRI Padang, serta 
mengarang 
dan menerbitkan demikian banyak buku, yang sekarang  telah menjadi bagian dari 
rujukan tentang Minangkabau kontemporer. Beliau  kemudian tumbuh menjadi 
penceramah masalah adat Minangkabau yang andal, bukan  hanya di Indonesia, 
tetapi juga sampai ke Malaysia.
Pengalaman pribadi yang amat intensif  dalam upaya membangun kembali nagari 
setelah keterpurukan berlarut itu  merupakan modal yang amat kaya dalam tugas 
saya membangun Sekretariat Bersama  Golongan Karya (Sekbergolkar), yang 
kemudian 
menjadi Golongan Karya (Golkar)  ‘jilid satu’ di  daerah Sumatera Barat,  yang 
fokus kegiatannya juga terletak pada membangun kembali nagari-nagari.  Dalam 
kegiatan ini saya mendukung penuh dan mendampingi kepemimpinan Gubernur  Harun 
Zain, 1966-1976.
Dalam kurun transisi yang penting itu  jugalah saya mengenal tokoh-tokoh ninik 
mamak daerah yang amat aktif dalam  kegiatan LKAAM, seperti Datuk Sati nan 
Balapieh dan Ketua Umum LKAAM yang  sekarang, Kamardi Rais Dt Panjang Simulie 
dari Payakumbuh; Datuk Tumbijo Dirajo  dari Padang Panjang, dan Haji Zakaria 
Nur 
dari Padang Sibusuk. Memberikan  dukungan secara diam-diam dari belakang, Oei 
Ho 
Tjeng, seorang veteran pejuang  kemerdekaan R.I. dan rekan dari mantan Komandan 
Front Padang, Letnan Kolonel  Kemal Mustafa.
Dengan pengalaman itu, secara pribadi  saya berpendapat bahwa para ninik mamak 
pemangku adat di nagari serta  organisasi  LKAAM  dari tingkat kecamatan ke 
atas, dapat kembali  memainkan peranan bersejarah untuk masa kini dan 
mendatang, 
khususnya untuk  mendukung program pembangunan manusia (human development) 
 seperti yang dibahas dalam Seminar Pembangunan  Manusia di Padang tanggal 23 
dan 24 Agustus 2004 yang lalu. 

Dari berbagai data yang tampil dalam dua  kali seminar mengenai Minangkabau 
pada 
bulan Agustus 2004, di Padang dan di  Bukittinggi,  kita ketahui bahwa kondisi  
dan taraf hidup masyarakat Minangkabau yang berdiam di nagari-nagari masih  
tetap jauh lebih rendah dibandingkan dengan yang berdiam di kota-kota, padahal  
di nagari-nagari itulah terletak ajang berkiprahnya para ninik mamak dan LKAAM. 
 
Dalam seminar di Bukittinggi tanggal 27-28 Agustus itu saya amat terkejut  
sewaktu mengetahui kenyataan  bahwa  sebuah keluarga petani Minangkabau hanya 
rata-rata memiliki lahan  seluas 0,2 HA saja, sehingga menjadi petani  
termiskin 
di pulau Sumatera!  Artinya ‘khittah’ LKAAM pada tahun 1966 belum sepenuhnya 
terpenuhi setelah 40 tahun waktu  berlalu. Tidaklah berkelebihan jika dikatakan 
bahwa mau tidak mau kondisi  kehidupan yang buruk di nagari-nagari bisa 
dipandang sebagai angka merah pada  ‘rapor kepemimpinan’ para ninik mamak dan 
LKAAM.
Oleh karena itu, melalui artikel ini  izinkanlah saya menganjurkan kepada 
seluruh ninik mamak pemangku adat se  Minangkabau pada umumnya, dan kepada 
jajaran kepengurusan LKAAM di segala tingkat  pada khususnya, untuk semakin 
banyak memberikan perhatian kepada pembangunan  ekonomi nagari. Keberhasilan – 
atau ketidak berhasilan – para ninik mamak dan  LKAAM ini, bukan saja penting 
bagi eksistensi lembaga ninik mamak dan LKAAM itu  sendiri, tetapi juga untuk 
masa depan Sumatera Barat, yang 71% dari penduduknya  masih berdiam dan 
memperoleh nafkahnya di nagari-nagari.
Akhirulkalam, agar bisa selalu tersedia rujukan otentik  mengenai keruntuhan 
dan 
kebangkitan kembali adat Minangkabau serta para ninik mamak  pemangku adatnya 
dalam membangun nagari di daerah Sumatera Barat dalam zaman  kontemporer, 
izinkanlah saya mengusulkan untuk disusunnya secara lengkap buku Sejarah  
Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau, LKAAM, 1966-2006.  

Program penyusunan sejarah ini saya rasa  urgen, bukan saja mengingat  telah  
berpulangnya satu demi satu mereka yang mendirikan  dan memimpin LKAAM ini, 
tetapi juga mengingat  bahwa sukses tidaknya renaisans Minangkabau dalam 
menjawab tantangan abad ke 21  ini bergantung pada sukses tidaknya upaya para 
ninik mamak dan LKAAM dalam  mereformasi diri. Bagaimanapun, basis 
sosiokultural 
Minangkabau masih tetap  terletak di nagari, dan di dalam nagari, para ninik 
mamak pemangku adat, yang  dalam konteks Sumatera Barat berorganisasi dalam 
LKAAM.
Sumbangan saya sendiri sebagai pribadi  dalam upaya membangun kembali 
Minangkabau dan daerah Sumatera Barat yang saya  cintai ini, terletak dalam 
bidang konseptual, yang telah saya rangkum dalam  buku saya, Masih Ada Harapan: 
Posisi Sebuah Etnik Minoritas dalam Hidup  Berbangsa dan Bernegara, yang bedah 
bukunya akan dilakukan pada tanggal 18  Oktober mendatang di Studio TVRI 
Padang, 
jam 14:00 – 16:00 WIB, yang akan  disiarkan langsung oleh TVRI Studio Padang. 
Insya Allah.
Jakarta, 10 Oktober 2004. SB:sb.




________________________________
From: Armen Zulkarnain <emeneschoo...@yahoo.co.id>
To: andiko <andi.ko...@gmail.com>
Cc: saaf10...@yahoo.com
Sent: Wed, September 15, 2010 5:57:45 PM
Subject: [...@ntau-net] Kaba seputar Tawuran (Cakak Banyak) di Solok Selatan


Assalamualikum sanak Andiko, salam kenal, berikut saya sertakan literatur 
sebagai salah satu sumber referensi sejarah didirikannya LKAAM Sumbar


wasalam
AZ - 32 th Padang
Asa nagari Kubang 50 Koto
suku Caniago ambacang 



________________________________
Dari: andiko <andi.ko...@gmail.com>
Kepada: rantaunet@googlegroups.com
Terkirim: Rab, 15 September, 2010 14:18:46
Judul: Re: Bls: [...@ntau-net] Kaba seputar Tawuran (Cakak Banyak) di Solok 
Selatan

Pak, terima kasih atas keterangannya. Saya senang sejarah, ada satu pertanyaan 
saya tentang ini. Kenapa Kodam 17 Agustus mendirikan LKAAM pada saat itu, 
apakah 
latar belakangnya ?. 


Salam

Andiko


      

-- 
.
Posting yang berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan di tempat 
lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini dan kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur dan Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer dan seluruh bagian tidak perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat e-mail baru, tidak me-reply e-mail lama dan 
mengganti subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali serta ingin mengubah konfigurasi/setting-an 
keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe.

Kirim email ke