I Love You Full Indonesia

Oleh: Cucuk Suparno

Lagi-lagi kakek penyanyi /reggae/ Mbah Surip bikin ulah! Kali ini,
lontaran kalimat khasnya,/ I love you full/,/ /menggelitik pikiran
saya.

Kalimat tersebut diucapkan pada setiap kesempatan tanpa peduli konteks
pertanyaan atau suasananya.
/I love you full /yang identik dengan Mbah Surip itu merupakan jargon
ambigu yang multitafsir. Karena itu, saya ingin menyeretnya ke dalam
tafsir kekinian: /I love you full Indonesia/.

Masih banggakah kita mengatakan /I love you full/ /Indonesia/? Seiring
perkembangan segala lini kehidupan karena gelombang modernitas berbaju
globalisasi, tak dimungkiri sebutan Indonesia tidak lagi dihayati
sebagai ''negara-bangsa'' yang patut dibanggakan.

Diakui atau tidak, banyak bukti menunjukkan generasi kekinian telah
menempatkan ke-Indonesia-annya cukup dalam wilayah formalitas.
Misalnya, di ruang seminar, perkuliahan, buku-buku pelajaran, hingga
ruang debat
publik. Celakanya, tak jarang sebutan Indonesia sekadar dicomot dan
dijadikan komoditas politik serta komersialisasi kebudayaan. Sekadar
gambaran, bila menyebut Indonesia, yang saya maksud adalah
keseluruhan perilaku sosial, politik, agama, kebudayaan, hingga
strategi pengelolaan bangsa ini. Bahkan, termasuk segala potensi alam
dan manusia yang hidup mulai Sabang hingga Merauke. Indonesia secara
holistis!

Masihkah kita memiliki rasa bangga dan peduli terhadap bangsa ini yang
identitas atau jati dirinya perlahan tergerus besarnya arus
globalisasi, kapitalisasi, dan liberalisasi? Ambil contoh, ada sebuah
penelitian oleh komunitas LSM dari Jogjakarta yang menyebar wawancara
dengan sejumlah responden anak muda tentang
Pancasila dan wawasan kebangsaan. Sangat ironis, hampir 60 persen
anak-anak muda yang tersebar di lima
kota besar, yakni Jogjakarta, Solo, Semarang, Surabaya, dan Malang,
tidak hafal Pancasila -apalagi penjabarannya- dan celingukan ketika
ditanya tentang wawasan kebangsaan. Padahal, negeri ini bisa disebut
NKRI yang berdaulat karena memiliki Pancasila dan wawasan kebangsaan
sebagai spirit kehidupan berbangsa.
Implikasi ketidakpahaman terhadap spirit kehidupan berbangsa mewujud
dalam tindakan yang tidak sesuai karakter bangsa. Misalnya, tak ada
lagi kesantunan antargenerasi. Perilaku menyimpang -merugikan bangsa
dan
negara- semakin dianggap wajar. Misalnya, korupsi, kolusi, anarkisme,
hingga ''proyek materialisasi'' segala bentuk kegiatan sosial.
Indonesia yang dulu terkesan santun, penuh adab, kini bagaikan negara
tanpa
keutuhan penghayatan budaya. Kita kehilangan identitas!

Fenomena paling kontekstual adalah euforia kampanye menjelang pilpres
yang terasa sangat banal dan sarat /lips service/. Kemiskinan,
pengangguran, kriminalitas, hak asasi manusia, pendidikan, serta
kesehatan dijadikan komoditas untuk menarik simpati. Hingga
detik-detik terakhir pemungutan suara, di antara ketiga pasangan
capres-cawapres, belum ada yang berani melontarkan langkah teknis dan
holistis dalam rangka membangun karakter bangsa. Semua berlomba
membuat visi yang sangat materialistis. Memang, hal-hal kebendaan
sangat penting. Tapi, yang lebih penting adalah strategi membangun
mentalitas
bangsa, terutama mental anak-anak muda.

Indonesia semakin kehilangan karakter atau jati diri. Cita-cita
universal sesuai amanat UUD 1945, yakni menyejahterakan seluruh
rakyat, ternyata diingkari demi kepentingan sesaat. Ketika biaya
pendidikan
makin tinggi dan ongkos kesehatan melambung, para /decision maker/
hanya bermain istilah untuk ''membesarkan hati rakyat kecil'',
sehingga kesejahteraan hanya tinggal mimpi.

Karakter gotong royong, musyawarah, atau padat karya sekarang telah
diganti dengan individualisme, kepentingan komunal, dan kekuatan
modal. Bukan tidak mungkin, Indonesia akan hilang dari peta kultural
dunia!

*Tafsir Mbah Surip*
Ketika mencermati kenyataan sosial, politik, hukum, dan budaya yang
makin memprihatinkan, Indonesia pada masa depan sangat membutuhkan
pemimpin yang berani dan bangga menyatakan /I love you full/
/Indonesia/. Tidak sekadar mengumbar kritik tentang kebocoran aset
negara, bobroknya sistem pemerintahan, serta buruknya perilaku hukum
dan politik, tapi pemimpin yang memiliki komitmen mengembalikan
semangat
cinta Indonesia.

Sekadar bahan perbandingan, jika Mahatma Ghandi di India berani
mengatakan tidak terhadap invasi kultur asing dan memulai gerakan
Swadesi untuk kembali mencintai potensi lokal, tak ada salahnya
Swadesi ala India kita transformasi ke Indonesia.

Sayangnya, kita belum memiliki figur sehebat Mahatma Gandhi yang
politikus, negarawan, sekaligus seniman dan budayawan. Tapi, spirit
Gandhi patut diteladani sebagai spirit menuju Indonesia baru. Di sisi
lain, ketika bangsa ini bingung menentukan pemimpin yang bervisi dan
berkomitmen kuat menyejahterakan rakyat, celetukan satir/ I love you
full/ /Indonesia/ menginspirasi untuk dikontekstualisasikan dengan
situasi kekinian. Saya membayangkan, seandainya seluruh elemen  bangsa
ini spontan menyerukan/ I love you full Indonesia/ dan menjadikannya
sebagai sikap batin, tentu segala krisis dan konflik di negeri ini
akan
teratasi. Mungkin tidak ada lagi para pemimpin atau calon pemimpin
yang sekadar ''jual mimpi'' dan ''teken kontrak politik abal-abal''.
Maaf, bukan berarti saya menuding segala perilaku dan janji manis
politisi adalah
palsu. Tapi, indikasi ke arah itu cukup kuat.

Membangun Indonesia yang telah sakit ini diperlukan kemauan yang
tangguh. Kemauan yang saling bersambut antara pemimpin dan rakyat.
Juga, anasir budaya sebagai pilar utama mentalitas bangsa perlu segera
diperbaiki. Betapa indahnya hidup di Indonesia, jika antara pemimpin
dan rakyat dengan tulus mengatakan, /I love you full/ /Indonesia/!
Mbah Surip pun tertawa bangga. /Ha... ha... ha/... *(*)*

*) Cucuk Suparno, /humas Lembaga Baca-Tulis Indonesia, alumnus Fakultas
Sastra Universitas Negeri Malang
http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=81330
http://media-klaten.blogspot.com/
http://seizetheday-cloth.blogspot.com/

Kirim email ke