Kaidah Penerapan Sunnah
 
Penulis: Al Ustadz Muhammad Umar as Sewed
 
 
(Bagian 5)
 
KETIGA : MEMPERTIMBANGKAN MASLAHAT DAN MAFSADAH
 
Dalam menerapkan sunnah-sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam tidak 
boleh lepas dari kaidah maslahat (pengaruh yang baik) dan mafsadah (pengaruh 
yang jelek)nya. 

Para ulama telah meletakkan kaidah-kaidah umum yang ma’ruf dan dikenal dalam 
kitab-kitab fiqih dan ushul fiqih. Kaidah tersebut diantaranya: “Jika 
dihadapkan kepada kita dua mafsadah, maka kita harus menghindari mafsadah yang 
lebih besar dengan mengerjakan yang lebih kecil”. Atau kaidah yang sejenisnya 
yakni “Menolak mafsadah lebih diutamakan daripada mendatangkan maslahat”. 

Kaidah-kaidah yang seperti ini sesungguhnya diterapkan kalau terjadi dilematis 
antara 2 keadaan. Artinya jika dihindari yang satu, maka akan terkena yang 
lainnya. Adapun jika keadaannya tidak seperti itu, maka jelas mengamalkan 
sunnah-sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam merupakan maslahat yang 
besar.

Kaidah-kaidah para ulama tadi diambil dari dalil-dalil yang banyak dan shahih. 
Salah satu di antaranya adalah apa yang telah diriwayatkan oleh Bukhari dan 
Muslim dari hadits Aisyah: 


Aku bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam : “Apakah al-jadru 
(Hijr Ismail) itu termasuk Baitullah (Ka’bah)?”. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi 
wassalam menjawab: “Ya”. Aku katakan: “Kalau begitu mengapa tidak dimasukkan ke 
dalam Baitullah?” Beliau menjawab: “Sesungguhnya kaummu kekurangan dana”. Aku 
bertanya lagi: “Dan kenapa pintunya berada di atas?” Beliau menjawab: “Dibangun 
sedemikian rupa supaya kaummu bisa memasukkan siapa yang dikehendaki dan 
melarang siapa yang dikehendakinya. Kalau saja bukan karena kaummu yang baru 
masuk Islam dan sangat dekat dengan jahiliyah -yang aku khawatir hati-hati 
mereka akan mengingkarinya, niscaya aku akan memasukkan al-Jadru ke dalam 
bangunan Baitullah dan niscaya aku tempelkan pintunya ke bumi.” (HR. Bukhari 
dan Muslim).

Hadist ini dimasukkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya dengan diberi judul: 
”Bab meninggalkan sesuatu yang baik karena kekhawatiran kurangnya pemahaman 
manusia, hingga akan menyebabkan mereka bertambah jauh.” Ibnu Hajar dalam syarh 
hadist ini mengatakan: “Hadist ini memberikan faedah tentang bolehnya 
meninggalkan suatu maslahat karena kekhawatiran terjatuh ke dalam mafsadah”. 

Demikian pula Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Dianjurkan bagi seseorang 
untuk memiliki tujuan melembutkan hati-hati manusia dengan cara meninggalkan 
beberapa hal yang mustahab (tidak wajib). Karena maslahat menyatunya hati-hati 
kaum muslimin terhadap agamanya lebih besar daripada maslahat yang akan 
didapatkan dengan mengerjakannya. Sebagaimana Rasulullah Shalallahu ‘alaihi 
wassalam meninggalkan untuk membangun Ka’bah (dengan menyatukan Hijr Ismail 
dengan bangunan ka’bah –pent), karena dengan cara yang demikian akan terjaga 
hati-hati kaum muslimin yang baru masuk Islam pada saat itu”. 

Juga dicontohkan oleh Ibnu Mas’ud Radiyallahu ‘anhu. Ketika beliau melihat 
perbuatan khalifah Utsman ibn Affan yang tidak mengqashar shalatnya ketika 
dalam safar. Beliau mengingkarinya dengan mengucapkan: “Inna lillahi wa inna 
ilaihi raji’un, aku shalat di belakang Abu Bakar dan Umar, keduanya mengqashar 
shalatnya. Namun Utsman bin Affan menyempurnakan shalatnya”. Meskipun demikian, 
beliau tetap sholat di belakang Utsman empat rakaat. Ketika hal ini ditanyakan 
kepadanya, beliau mengatakan bahwa perselisihan adalah suatu kejelekan.

Demikian pula jawaban khalifah Utsman bin Affan ketika beliau ditanya mengapa 
beliau menyempurnakan shalat dan tidak mengqasharnya. Beliau menjawab bahwa 
karena pada saat itu banyak orang awam dan mereka yang baru masuk Islam, maka 
beliau khawatir jika mereka menganggap bahwa shalat dluhur itu dua rakaat. Ini 
menunjukkan bahwa ta’liful qulub (menjinakkan hati) lebih besar maslahatnya 
daripada mengerjakan hal yang mustahab. 

Oleh karena itu, mengerjakan suatu amalan sunnah bisa jadi pada satu keadaan 
menjadi mustahab (dianjurkan); namun dalam keadaan lain, meninggalkannya lebih 
afdhol sesuai dengan maslahat yang lebih unggul. (Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam 
Ibnu Taimiyah, juz 22, hal. 407).

Meskipun demikian, perlu diperhatikan bahwa dalam masalah ini maslahat yang 
dimaksud adalah maslahat agama atau maslahat yang syar’iyah, bukan maslahat 
pribadi atau maslahat dunia (keuntungan dunia) belaka. Dan juga kaidah ini 
berlaku pada hal-hal yang hukumnya mustahab bukan pada perkara yang wajib. 
Adapun jika perkara itu adalah perkara yang wajib, maka meninggalkannya akan 
mendapat dosa dan diancam dengan adzab api neraka. Adakah mafsadah yang lebih 
besar dari pada masuknya seseorang ke dalam api neraka?

Kaidah ini tidak bertentangan dengan kaidah asal yang memerintahkan untuk 
senantiasa menghidupkan sunnah. Karena kaidah yang sedang kita bahas ini 
bersifat sementara dan pada keadaan tertentu, bukan untuk mematikan sunnah 
selama-lamanya. 
 
(Bersambung... Insya Allah)

 
Dikutip dari Bulletin Dakwah Manhaj Salaf Edisi: 16/Th. I, tgl 8 Dulhijjah 1424 
H/30 Januari 2004 M
 
MENEBAR ILMU & TEGAKKAN SUNNAH

__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 

Kirim email ke