Menyikapi Orang Awam
Oleh : Al Ustadz Muhammad Umar As Sewwed

Memang, marah karena Allah termasuk hikmah. Bahkan, tanda keimanan seseorang 
pun ditandai dengan marah dan benci karena Allah. Yaitu, marah dan benci 
terhadap kekufuran, kebid’ahan dan kemaksiatan.
 
Tetapi bersabarlah! Kendalikan emosi. Siapa tahu mereka itu orang-orang bodoh 
yang membutuhkan pelajaran. Kalau itu yang terjadi, ajarilah mereka dengan 
lemah lembut!
Anas bin Malik radhiyallahu `anhu pernah mengatakan : “Aku pernah berjalan 
bersama Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam saat beliau mengenakan jubah 
dari Najran yang kasar tepinya. Tiba-tiba datanglah seorang Arab gunung dan 
menarik jubah beliau secara keras. Akibat perbuatannya itu, aku melihat bekas 
tarikan tersebut pada sisi pundak beliau. Kemudian dia (orang Arab gunung itu) 
berucap : 'Wahai Muhammad, perintahkanlah, bahwa harta Allah yang ada padamu 
untukku.' Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam melihat kepadanya dan 
tersenyum seraya memerintahkan untuk memberikan harta kepadanya.” (HR. Bukhari 
dan Muslim)
Contoh lain adalah kisah Muawiyah bin Al-Hakam As-Sulami, yang mengatakan : 
“Ketika aku shalat bersama Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, tiba-tiba 
ada seseorang dari satu kaum yang bersin. Maka aku mengucapkan yarhamukallah. 
Ketika semua orang melemparkan pandangannya kepadaku, sehingga aku berkata : 
'Duhai ibuku yang kehilangan aku, ada apa kalian melihatku?' Mereka lalu 
menepuk tangan mereka ke pahanya. Ketika aku lihat, mereka menyuruh aku diam, 
lantas aku pun diam. Setelah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam selesai 
shalat --dengan bapak dan ibuku-- sungguh aku belum pernah melihat seorang 
pengajar pun yang lebih baik pengajarannya dari beliau shallallahu `alaihi wa 
sallam. Demi Allah, beliau tidak membentakku, tidak memukulku, dan tidak pula 
mencelaku. Beliau bersabda:
'Sesungguhnya di dalam shalat ini tidak layak sedikit pun ada ucapan manusia. 
Sesungguhnya shalat adalah tasbih, takbir dan bacaan Al Qur’an.' " (HR.. Muslim 
dalam kitab Masajid bab Tahrimul Kalam fish Shalah)
Demikian pula sikap Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam terhadap seorang 
pemuda yang meminta ijin untuk berzina. Seperti diungkapkan Abu Umamah : 
“Sesungguhnya pernah ada seorang pemuda yang datang kepada Nabi shallallahu 
`alaihi wa sallam mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, ijinkanlah aku berzina.’ Saat 
itu, orang-orang yang ada di situ membentaknya seraya mengatakan,  ‘Mah, mah!’ 
Sementara Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menyuruh pemuda itu untuk 
mendekat. ‘Mendekatlah,’ ajak beliau.  Pemuda itu pun mendekat. Kemudian 
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bertanya, ‘Sukakah engkau kalau hal 
ini terjadi pada ibumu?’ ‘Tidak, demi Allah, aku sebagai jaminanmu,’ jawabnya. 
‘Demikian pula halnya setiap manusia pasti tidak menyukai hal itu terjadi pada 
ibu-ibu mereka,’ jelas Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam kepada pemuda 
itu. Kemudian beliau ajukan pertanyaan lagi, ‘Sukakah engkau jika hal itu 
terjadi pada
 anak perempuanmu?’ Ia  Jawab, ‘Tidak, demi Allah, Allah menjadikan diriku 
sebagai jaminanmu’ Beliau jelaskan lagi, ‘Demikian pula manusia tidak menyukai 
hal itu terjadi pada anak perempuan mereka.’ Kemudian beliau tanya, ‘Sukakah 
engkau jika hal itu terjadi pada saudara perempuanmu?’ Pemuda itu menjawab, 
‘Tidak, demi Allah, Allah menjadikan aku sebagai jaminanmu’ Lalu beliau 
bersabda, ‘Tidak pula manusia menyukai hal itu terjadi pada saudara-saudara 
perempuan mereka.’ ‘Sukakah engkau jika hal itu terjadi pada bibimu (ammah / 
saudara perempuan bapak)?’ Tanya beliau kembali. Dijawabnya, ‘Tidak, demi 
Allah, Allah menjadikan aku sebagai jaminanmu’ Kemudian Rasulullah shallallahu 
`alaihi wa sallam nyatakan, ‘Tidak pula manusia menyukai hal itu terjadi pada 
bibi mereka.’ Beliau berikan lagi pertanyaan, ‘Sukakah engkau jika hal itu 
terjadi pada bibimu (khalah / saudara perempuan ibu)?’ Jawab pemuda itu, 
‘Tidak, demi
 Allah, Allah menjadikan aku sebagai jaminanmu.’ Rasulullah shallallahu `alaihi 
wa sallam menuturkan, ‘Tidak pula manusia menyukai hal itu terjadi pada bibi 
(khalah) mereka.’ ” Selanjutnya Abu Umamah menyatakan : “Maka Rasulullah 
meletakkan tangannya kepada pemuda itu seraya mengucapkan :
‘Ya Allah, ampunilah dosanya, bersihkanlah hatinya dan peliharalah 
kemaluannya.’ " (Kisah ini dinukil dari HR. Ahmad dan Thabrani, disahihkan oleh 
Al-Albani dalam Silsilah no. 370)
Kelembutan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pun ditunjukkan pula 
terhadap seorang Arab gunung lainnya yang kencing di masjid. Anas bin Malik 
mengisahkan : “Ketika kami berada di masjid bersama Rasulullah shallallahu 
`alaihi wa sallam, tiba-tiba datang seorang Arab kampung. Orang itu lantas 
berdiri dan kencing di masjid. Maka (bangkitlah) para shahabat Rasulullah 
membentaknya seraya membentak, ‘Mah, mah!’ Rasulullah shallallahu `alaihi wa 
sallam lantas mencegah para para sahabat sambil bersabda, ‘Jangan kalian 
putuskan kencingnya. Biarkan dia.’
Maka para shahabat pun membiarkannya sampai ia selesai. Kemudian Rasulullah 
shallallahu `alaihi wa sallam  memanggilnya dan menasehatinya, ‘Sesungguhnya 
masjid ini tidak patut sedikit pun untuk tempat buang air, (begitu pula) buang 
untuk kotoran. Masjid ini merupakan tempat untuk berdzikir kepada Allah, shalat 
dan membaca Al Qur’an.’ 
Kemudian beliau memerintahkan untuk mengambil seember air dan menyiramkannya.” 
(HR. Muslim)
Tidak hanya sampai di sini, kesabaran Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam 
terhadap orang-orang bodoh. Bahkan, dalam riwayat Bukhari masih berlanjut kisah 
orang Arab gunung tersebut. Yaitu, ketika Rasulullah dan para shahabat shalat 
bersamanya, maka orang tadi berdoa dalam shalatnya, “Ya Allah, rahmatilah aku 
dan Muhammad dan janganlah engkau rahmati seorang pun selain kami."
Maka ketika selesai shalat beliau bersabda, "Sungguh engkau telah mempersempit 
yang luas."
Yang dimaksud adalah rahmat Allah yang luas.
Demikianlah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menyikapi seorang yang 
memang bodoh, membutuhkan pengajaran dan pendidikan. Ketika orang Arab gunung 
itu setelah faqih (memahami agama) dia katakan, “Ayah dan ibuku sebagai 
jaminan. Sungguh Nabi shallallahu `alaihi wa sallam bangkit kepadaku tanpa 
mencela, menghardik atau pun memukulku.”
Selain itu kita juga dapati sifat ta`anni beliau shallallahu `alaihi wa sallam 
ketika para shahabat membentak si orang gunung tersebut. Beliau malah 
mengatakan, “Biarkan dia”. Hal itu karena beliau berfikir dan melihat sisi 
hikmah, yaitu jika dibentak dan diganggu ketika dia sedang buang air, akan 
membawa dampak negatif yang lebih banyak. Bisa jadi najis dari kencingnya akan 
berceceran di tempat yang lebih luas, atau najis itu bisa saja mengenai 
pakaiannya. Bahkan, justru akan menjadikan penyakit bagi orang tersebut karena 
menahan kencing dan lainnya.
Demikianlah semestinya sikap seorang mukmin, apalagi dia seorang da’i. 
Janganlah segera bersikap emosional, bersifatlah ta`anni. Perlakukanlah 
orang-orang awam dan jahil dengan sabar serta ajarilah mereka dengan lemah 
lembut.
Adapun orang-orang bodoh yang tidak mau mengerti perkataan orang, tinggalkanlah 
dan hindarilah dia dengan baik dan ucapkanlah ucapan yang baik. Allah berfirman 
dalam mengungkapkan sifat hamba-hamba-Nya :
“Hamba-hamba Allah yang Maha Rahman adalah orang-orang yang berjalan di muka 
bumi dengan rendah hati. Jika orang-orang bodoh mengajak bicara mereka, mereka 
mengucapkan kata-kata yang mengandung keselamatan.” (Al-Furqan: 63)
Saat menafsirkan ayat ini Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan, “Yaitu jika 
orang-orang bodoh mengganggu mereka dengan ucapan yang jelek, mereka tidak 
membalasnya dengan yang semisal. Bahkan mereka memaafkan dan memaklumi serta 
tidak mengucapkan selain kebaikan semata. Sebagaimana Rasulullah shallallahu 
`alaihi wa sallam tidak membalas kerasnya kejahilan seseorang melainkan dengan 
kelembutan yang amat sangat.”
Dikisahkan dalam sebuah riwayat, seorang mencela orang lain kemudian orang yang 
dicela tersebut mengatakan alaikas salam (semoga keselamatan atasmu). 
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam yang mendengar ucapan itu langsung 
menegur, “Ketahuilah, sesungguhnya malaikat (yang menyaksikan) di antara kalian 
berdua membelamu. Setiap dia mencelamu malaikat itu berkata, ‘Bahkan engkau! 
Engkau lebih berhak dengannya!’ Sedang ketika engkau mengucapkan kepadanya, 
'alaikas salam,' malaikat itu berkata, ‘bahkan atasmu! Engkau lebih berhak 
dengannya.' " (HR. Ahmad 5 / 445, Kata Ibnu Katsir sanadnya hasan. Lihat 
Al-Hikmah hal. 61)
Dalam ayat lain, Allah juga memerintahkan berpaling dari orang-orang bodoh.
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang yang mengerjakan yang ma’ruf serta 
berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (Al-A`raf: 199)
Berkenaan dengan ayat ini, kita tengok riwayat Umar bin Khattab. Dikatakan Ibnu 
Abbas : “Uyainah bin Hishn bin Huzaijah datang dan singgah di rumah saudaranya, 
Al-Har bin Qais. Beliau adalah salah seorang yang dekat dengan Umar bin 
Khattab. Pada waktu itu para pembaca Al Qur’an merupakan teman-teman duduk Umar 
dan tempat bermusyawarah, baik orang tua atau pun pemuda. Berkatalah Uyainah 
kepada anak saudaranya itu, ‘Wahai anak saudaraku, engkau memiliki kedudukan di 
sisi khalifah. Maka mintalah ijin agar aku diperkenankan menemuinya.’ 
Berkatalah Al-Har, ‘Aku akan mintakan ijin untukmu.’ " Ibnu Abbas mengungkapkan 
kisah selanjutnya : “Kemudian Al-Har bin Qais memintakan ijin kepada Umar. 
Seketika itu Umar mengijinkannya. Ketika menghadap Umar, Uyainah ucapkan, 
‘Wahai Ibnul Khattab, demi Allah, engkau tidak memberi kami banyak. Tidak pula 
menghukumi kami dengan adil.’ Lantaran itu, marahlah Umar. Nyaris dilakukan 
sesuatu oleh Umar
 terhadapnya. Tetapi Al-Har malah mengucapkan, ‘Wahai Amirul Mukminin, 
sesungguhnya Allah berfirman kepada Nabi-Nya :
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf serta 
berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (Al A'raf :199)
Sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang bodoh.”
Demi Allah, Umar radliyallahu `anhu tidak melampaui apa yang dikatakan dalam 
ayat tersebut. Beliau memang seorang yang selalu ‘berhenti’ pada apa yang 
dikatakan pada kitab Allah.” (HR. Al-Bukhari, lihat Al-Hikmah hal. 62)
Demikianlah sikap Amirul Mukminin Umar bin Khattab ketika diberitahu bahwa ia 
(yang menghadap beliau) adalah orang bodoh. Sikap beliau tidak keluar dari apa 
yang dikatakan oleh Allah :
“Jadilah pemaaf, perintahkanlah yang ma’ruf dan berpalinglah dari orang-orang 
yang bodoh.”
Wallahu ‘a’lam


      

Kirim email ke