Beginilah Seharusnya Seorang Salafy

Sebagian orang berpandangan bahwasanya dakwah Salafiyah atau Ahlus Sunnah wal 
Jama'ah di negeri kita ini terkesan sebagai dakwahnya orang-orang yang gemar 
bikin ribut dan tidak pernah akur, bahkan di antara sesama mereka sendiri. 
Mereka saling menjatuhkan. Kelompok yang satu mencela dan mendiskreditkan 
kelompok yang lain.

 Padahal mereka sama-sama mengaku Salafi (pengikut Sahabat Nabi). Buku-buku 
mereka pun sama, para ulama yang mereka jadikan rujukan juga sama. Namun 
ternyata mereka justru saling gontok-gontokan. Anggapan ini tidaklah seratus 
persen benar.

 Akan tetapi itulah sebagian fakta yang ada di dalam pandangan masyarakat.

Saudaraku, kita semua perlu bercermin kembali. Penisbatan kepada Salaf adalah 
penisbatan yang sangat mulia. Salaf bukanlah sebuah pabrik atau yayasan, yang 
dengan mudah pihak atasan memecat anak buahnya yang dinilai bandel dan ngeyelan 
(suka ngotot dan membantah).

 Oleh sebab itulah pada kesempatan ini kami ingin menyampaikan sebuah fatwa 
salah seorang Imam Ahlus Sunnah wal Jama'ah pada masa kini yaitu Syaikh 
Muhammad bin Shalih Al `Utsaimin rahimahullah sebagai pelajaran dan koreksi 
bagi kita semua. Semoga Allah memberikan taufik kepada kita untuk menggapai apa 
yang dicintai dan diridhai-Nya.

Pertanyaan:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al `Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, "Apakah 
karakteristik paling menonjol dari Golongan Yang Selamat (Al Firqah An 
Najiyah)? Dan apakah adanya kekurangan (yang ada pada diri seseorang) dalam 
salah satu di antara karakter ini lantas mengeluarkan orang tersebut dari 
Golongan Yang Selamat?"

Jawaban:
Beliau rahimahullah menjawab, "Karakter paling menonjol yang dimiliki oleh 
Golongan Yang Selamat adalah berpegang teguh dengan ajaran Nabi shallallahu 
`alaihi wa sallam dalam hal akidah (keyakinan), ibadah (ritual), akhlak (budi 
pekerti), dan mu'amalah (interaksi sesama manusia). Dalam keempat perkara 
inilah anda dapatkan Golongan Yang Selamat sangat tampak menonjol ciri mereka:

Adapun dalam hal akidah: Anda bisa jumpai mereka senantiasa berpegang teguh 
dengan keterangan dalil Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu `alaihi wa 
sallam yaitu meyakini tauhid yang murni dalam hal Uluhiyah Allah, Rububiyah-Nya 
serta Nama-Nama dan Sifat-Sifat- Nya.

Adapun dalam hal ibadah: Anda jumpai golongan ini tampak istimewa karena sikap 
mereka yang begitu berpegang teguh dan berusaha keras menerapkan ajaran-ajaran 
Nabi shallallahu `alaihi wa sallam dalam menunaikan ibadah, yang meliputi 
jenis-jenisnya, cara-caranya, ukuran-ukurannya, waktu-waktunya dan 
sebab-sebabnya.

 Sehingga anda tidak akan menjumpai adanya perbuatan menciptakan kebid'ahan 
dalam agama Allah di antara mereka. Akan tetapi mereka adalah orang-orang yang 
sangat beradab terhadap Allah dan Rasul-Nya, mereka tidak mendahului Allah dan 
Rasul-Nya dengan menyusupkan suatu bentuk ibadah yang tidak diijinkan oleh 
Allah.

Sedangkan dalam hal akhlak: Anda pun bisa menjumpai ciri mereka juga seperti 
itu. Mereka tampil istimewa dibandingkan selain mereka dengan akhlak yang 
mulia, seperti contohnya: mencintai kebaikan bagi umat Islam, sikap lapang 
dada, bermuka ramah, berbicara baik dan pemurah, pemberani dan sifat-sifat lain 
yang termasuk bagian dari kemuliaan akhlak dan keluhurannya.

Dan dalam hal mu'amalah: Anda bisa jumpai mereka menjalin hubungan dengan 
sesama manusia dengan sifat jujur dan suka menerangkan kebenaran.

 Dua sifat inilah yang diisyaratkan oleh Nabi shallallahu `alaihi wa sallam di 
dalam sabdanya, "Penjual dan pembeli mempunyai hak pilih selama keduanya belum 
berpisah. Apabila mereka berdua bersikap jujur dan menerangkan apa adanya 
niscaya akan diberkahi jual beli mereka. Dan apabila mereka berdusta dan 
menyembunyikan (cacat barangnya) maka akan dicabut barakah jual beli mereka 
berdua." (HR. Bukhari dan Muslim)

Adanya kekurangan pada sebagian karakter ini tidak lantas mengeluarkan individu 
tersebut dari keberadaannya sebagai bagian dari Golongan Yang Selamat, namun 
setiap tingkatan orang akan mendapatkan balasan sesuai amal yang mereka 
perbuat. Sedangkan kekurangan dalam sisi tauhid terkadang bisa mengeluarkan 
dirinya dari Golongan Yang Selamat, seperti contohnya hilangnya keikhlasan. 
Demikian pula dalam masalah bid'ah, terkadang dengan sebab bid'ah-bid'ah yang 
diperbuatnya membuatnya keluar dari keberadaannya sebagai bagian dari Golongan 
Yang Selamat.

Adapun dalam masalah akhlak dan mu'amalah maka tidaklah seseorang dikeluarkan 
dari Golongan Yang Selamat ini semata-mata karena kekurangan dirinya dalam dua 
masalah ini, meskipun hal itu menyebabkan kedudukannya menjadi turun.

Kita perlu untuk memperinci permasalahan akhlak karena salah satu faidah dari 
akhlak ialah terwujudnya kesatuan kata dan bersatu padu di atas kebenaran yang 
diperintahkan Allah ta'ala kepada kita di dalam firman-Nya (yang artinya), 
"Allah mensyari'atkan kepada kalian ajaran agama yang juga diwasiatkan kepada 
Nuh dan yang Kami wasiatkan kepadamu dan Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa 
dan Isa yaitu agar kalian tegakkan agama dan janganlah berpecah belah di 
dalamnya." (QS. Asy Syura: 13).

Dan Allah memberitakan bahwasanya Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam lepas 
tanggung jawab dari perbuatan orang-orang yang memecah belah agama mereka 
sehingga mereka menjadi bergolong-golongan.

 Allah `azza wa jalla berfirman (yang artinya), "Sesungguhnya orang-orang yang 
memecah belah agama mereka maka tidak ada tanggung jawabmu atas mereka." (QS. 
Al An'am: 159).

Sehingga kesatuan kata dan keterikatan hati merupakan salah satu karakter 
paling menonjol yang dimiliki oleh Golongan Yang Selamat -Ahlus Sunnah wal 
Jama'ah- Oleh sebab itu apabila muncul perselisihan di antara mereka yang 
bersumber dari ijtihad dalam berbagai perkara ijtihadiyah maka hal itu tidaklah 
membangkitkan rasa dengki, permusuhan ataupun kebencian di antara mereka.

 Akan tetapi mereka meyakini bahwasanya mereka adalah bersaudara meskipun 
terjadi perselisihan ini di antara mereka. Sampai-sampai salah seorang di 
antara mereka mau shalat di belakang imam yang menurutnya dalam status tidak 
wudhu sementara si imam berpendapat bahwa dirinya masih punya status wudhu.

Atau contoh lainnya adalah orang yang tetap mau shalat bermakmum kepada imam 
yang baru saja memakan daging onta. Si imam berpendapat bahwa hal itu tidak 
membatalkan wudhu. Sedangkan si makmum berpendapat bahwa hal itu membatalkan 
wudhu. Namun dia tetap berkeyakinan bahwa shalat bermakmum kepada imam tersebut 
adalah sah.

 Walaupun seandainya jika dia sendiri yang shalat maka dia menilai shalatnya 
dalam keadaan seperti itu tidak sah. Ini semua bisa terwujud karena mereka 
memandang bahwa perselisihan yang bersumber dari ijtihad dalam persoalan yang 
diijinkan untuk ijtihad pada hakikatnya bukanlah perselisihan. Alasannya adalah 
karena masing-masing individu dari dua orang yang berbeda pendapat ini sudah 
berusaha mengikuti dalil yang harus diikuti olehnya dan dia tidak boleh untuk 
meninggalkannya.

 Oleh sebab itu, apabila mereka melihat saudaranya berbeda pendapat dengannya 
dalam suatu perbuatan karena mengikuti tuntutan dalil maka sebenarnya 
saudaranya itu telah sepakat dengan mereka, karena mereka mengajak untuk 
mengikuti dalil dimanapun adanya. Sehingga apabila dengan menyelisihi mereka 
itu menjadikan dirinya sesuai dengan dalil yang ada (dalam pandangannya) , maka 
pada hakikatnya dia telah bersepakat dengan mereka, karena dia sudah meniti 
jalan yang mereka serukan dan tunjukkan yaitu keharusan untuk berhukum dengan 
Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam.

Dan terjadinya perbedaan pendapat dalam masalah-masalah seperti ini di kalangan 
para sahabat tidaklah tersembunyi di kalangan banyak ulama, bahkan sudah ada 
juga di jaman Nabi shallallahu `alaihi wa sallam. Dan ternyata tidak ada 
seorangpun di antara mereka yang bersikap keras kepada yang lainnya. Ketika 
Nabi shallallahu `alaihi wa sallam pulang dari perang Ahzab dan Jibril datang 
kepada beliau menyuruh beliau agar memberangkatkan para sahabat ke Bani 
Quraizhah yang telah membatalkan perjanjian.

 Nabi shallallahu `alaihi wa sallam pun berpesan kepada para sahabatnya, 
"Janganlah kalian shalat `Ashar kecuali di Bani Quraizhah." (HR. Bukhari dan 
Muslim), maka mereka berangkat dari Madinah menuju Bani Quraizhah namun di 
tengah perjalanan mereka waktu shalat `Ashar sudah hampir habis. Di antara 
mereka ada yang mengakhirkan shalat `Ashar sampai tiba di Bani Quraizhah 
sesudah keluar waktu. Mereka beralasan karena Nabi shallallahu `alaihi wa 
sallam telah bersabda, "Janganlah kalian shalat `Ashar kecuali di Bani 
Quraizhah."

Dan ada juga di antara mereka yang mengerjakan shalat pada waktunya. Mereka ini 
mengatakan bahwa yang dimaksud oleh Rasul shallallahu `alaihi wa sallam ialah 
perintah agar mereka bersegera berangkat ke sana dan bukan bermaksud agar kita 
mengakhirkan shalat di luar waktunya -dan mereka inilah yang benar- akan tetapi 
meskipun demikian Nabi shallallahu `alaihi wa sallam tidak bersikap keras 
terhadap salah satu di antara kedua kelompok tersebut.

Dan hal itu tidaklah membuat mereka memusuhi dan membenci shahabat lain 
semata-mata karena perbedaan mereka dalam memahami dalil ini.

Oleh sebab itulah saya berpandangan bahwa menjadi kewajiban kaum muslimin yang 
menisbatkan dirinya kepada Sunnah supaya menjadi umat yang bersatu padu dan 
janganlah terjadi tahazzub (tindakan bergolong-golongan) . Yang ini membela 
suatu kelompok, sedangkan yang lain membela kelompok lainnya, dan pihak ketiga 
membela kelompok ketiga dan seterusnya, yang mengakibatkan mereka saling 
bergontok-gontokan dan melontarkan ucapan-ucapan yang menyakitkan, saling 
memusuhi dan membenci gara-gara perselisihan dalam masalah-masalah yang 
diperbolehkan untuk berijtihad di dalamnya.

 Dan saya tidak perlu untuk menyebutkan tiap-tiap kelompok itu secara detail, 
akan tetapi orang yang berakal pasti bisa memahami dan memetik kejelasan 
perkaranya.

Saya juga berpandangan bahwasanya Ahlus Sunnah wal Jama'ah wajib untuk bersatu, 
bahkan meskipun mereka berbeda pendapat dalam hal-hal yang mereka 
perselisihkan, selama hal itu memang dibangun berdasarkan dalil-dalil menurut 
pemahaman yang mereka capai. Karena hal ini (perbedaan pendapat dalam masalah 
ijtihadiyah, red) sesungguhnya adalah perkara yang lapang, dan segala puji 
hanya bagi Allah.

 Maka yang terpenting adalah terwujudnya keterikatan hati dan kesatuan kalimat 
(di antara sesama Ahlus Sunnah, red). Dan tidaklah perlu diragukan bahwasanya 
musuh-musuh umat Islam sangat senang apabila di antara umat Islam saling 
berpecah belah, entah mereka itu musuh yang terang-terangan maupun musuh yang 
secara lahiriyah menampakkan pembelaan terhadap kaum muslimin atau mengaku 
loyal kepada agama Islam padahal sebenarnya mereka tidak demikian. Maka wajib 
bagi kita untuk menonjolkan karakter istimewa ini, sebuah karakter yang menjadi 
ciri keistimewaan kelompok yang selamat; yaitu bersepakat di atas satu 
kalimat." (Fatawa Arkanul Islam, Daruts Tsuraya, hal. 22-26).

Demikianlah fatwa seorang alim yang sudah sama-sama kita akui kedalaman ilmu 
dan ketakwaannya. Duhai, alangkah jauhnya sifat-sifat kita dengan sifat-sifat 
elok yang beliau gambarkanÂ… Kalau saja masing-masing dari kita bisa menerapkan 
dengan baik isi nasihat beliau di atas maka niscaya tidak akan terjadi baku 
hantam di antara sesama Ahlus Sunnah.

Sebagaimana para sahabat radhiyallahu ta'ala `anhum bisa bersikap arif tatkala 
menyaksikan saudaranya menyelisihi dirinya demi mengikuti tuntutan dalil yang 
sampai kepada mereka. Selain itu umat Islam di negeri ini tentu akan lebih 
merasa gembira dan tenang dalam menerima dakwah, karena mereka bisa menyaksikan 
sosok-sosok da'i yang pandai menyikapi keadaan, tidak grusah-grusuh dan terlalu 
cepat mengambil tindakan tanpa kenal perhitungan.

 Apa salahnya jika kebenaran itu berada di pihak lain di luar kelompok kita? 
Apa salahnya jika yang menyampaikan kebenaran itu bukan ustadz kita? Bukankah 
hikmah itu adalah barangnya orang beriman yang hilang? Apakah semata-mata 
karena kebenaran itu datang dari selain kelompok kita lantas kebenaran itu 
boleh kita tolak. Lalu apakah bedanya kita dengan orang-orang yang taklid buta 
dan mengagung-agungkan kyai-kyainya? Renungkanlah saudarakuÂ… Terkadang musuh 
yang cerdas itu jauh lebih bermanfaat bagi kita daripada teman-teman yang 
bungkam dari ketergelinciran kita.

Bagaimana bisa kita menyerukan umat Islam untuk kembali bersatu di atas 
pangkuan manhaj Salaf sementara kita sendiri justru memporakporandakan 
persatuan itu dengan menerkam saudara-saudara kita sesama Ahlus Sunnah dengan 
dalih menyelamatkan umat dan membantah Ahlul bida' wal ahwa'? Sedangkan para 
ulama mewasiatkan kepada kita untuk memperbaiki akhlak demi terjalinnya 
persatuan dan keterkaitan hati.

 Adakah yang mau mengambil pelajaran? Hamba memohon kepada-Mu ya Allah, 
bukakanlah hati-hati kami untuk menerima kebenaran. Engkau lah Yang Maha tahu 
kekurangan dan dosa-dosa kami. Kami mengakuinya dan kami mohon ampunan 
kepada-Mu, ya Rabbi.

 Kembalikanlah persatuan dakwah yang mulia ini di atas kebenaran dan bimbingan 
para ulama yang Rabbani. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa dan Maha Mengabulkan 
do'a. Semoga shalawat dan keselamatan senantiasa terlimpah kepada panutan kita 
Nabi Muhammad, keluarga, para sahabat dan seluruh pengikut mereka kaum 
Salafiyin yang ada di sepanjang masa hingga tegaknya hari kiamat. Dan akhirnya 
segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam.

 Reposted by jokamers
***
Penyusun: Abu Muslih Ari Wahyudi



Kirim email ke