Helo Rekan-rekan Milis
Yang di kasihi Tuhan,
Berikut ini saya kirimkan sebuah berita menarik dan panjang dari Vatikan yang
merupakan hasil wawancara wartawan kami (UCAN) dengan mantan Dubes Vatikan
untuk Indonesia dan Timor Timur Mgr. Albert Malcolm Ranjith.
Mgr. Ranjith kini menjabat Sekretaris Kongregasi Ibadat Ilahi dan
Sakramen-sakramen, Ia merupakan salah satu orang Asia pertama yang ditunjuk
paus untuk menduduki salah satu Kuria Roma di Vatikan.
Dalam wawancara ini Uskup Ranjit menyoroti dokumen Vatikan tentang
SACRAMENTUM CARITATIS (SAKRAMEN CINTA KASIH) yang dikeluarkan Vatikan pada 13
Maret lalu, dimana dalam dokumen tersebut Paus Benediktus menghimbau umat
Katolik (Gereja) di dunia untuk kembali menggunakan bahasa Latin dan lagu-lagu
gregorian dalam tata perayaan ekaristi.
Sehubungan dengan dokumen tersebut, Uskup Ranjit secara panjangan lebar
menjelaskan tentang arti penting penggunaan bahasa Latin dan lagu-lagu
gregorian dalam tata perayaan ekaristis khususnya di Asia.
Berita ini sangat bagus untuk diketahui oleh umat Katolik di indonesia
terlebih para imam dan suster.
Komentar-komentarnya sehubungan dengan dokumen tersebut, silakan baca pada
berita yang saya kirimkan ini.
Terima kasih, kasih dan berkat Tuhan menyertai selalu.
Hormat saya,
Vitalis
--------------
---------------------------------
Don't get soaked. Take a quick peak at the forecast
with theYahoo! Search weather shortcut.
ZY02353.535b 25 April 2007 515 baris (Tanpa hitungan kata)
VATIKAN - WAWANCARA USKUP AGUNG MALCOLM RANJITH TENTANG SACRAMENTUM
CARITATIS
Oleh Gerard O'Connell, Koresponden Khusus di Roma
KOTA VATIKAN (UCAN) -- Uskup Agung Albert Malcolm Ranjith Patabendige
Don, sekretaris Kongregasi Ibadat Ilahi dan Sakramen-Sakramen, berbicara dengan
UCA News tentang himbauan apostolik mengenai Ekaristi dan artinya bagi Gereja
di Asia.
Dokumen Sacramentum Caritatis (Sakramen Cinta Kasih) itu dikeluarkan
Vatikan pada 13 Maret. Teks versi bahasa Inggrisnya terdiri dari 25.000 kata
lebih dan lebih dari 250 catatan kaki itu. Dokumen itu menegaskan validitas
pembaruan liturgi yang dianjurkan Konsili Vatikan Kedua (1962-65). Dalam
dokumen itu paus mengesahkan rekomendasi-rekomendasi Sinode Para Uskup Tentang
Ekaristi yang diselenggarakan pada Oktober 2005.
Uskup Agung Ranjith menjadi salah satu dari orang-orang Asia pertama
yang diangkat oleh Paus Benediktus XVI untuk menduduki posisi di Kuria Roma.
Pada 10 Desember 2005, paus menugaskan prelatus asal Sri Lanka itu untuk
menduduki posnya sekarang ini. Dalam kapasitas ini, dia memang orang yang tepat
untuk mengomentari dokumen itu dan relevansi himbauan itu bagi Gereja di Asia.
Uskup Agung Ranjith, 59, belajar di Colombo dan Kandy sebelum
melanjutkan ke Universitas Kepausan Urbanianum di Roma, tempat dia memperoleh
gelar di bidang teologi. Setelah Paus Paulus VI menahbiskannya menjadi imam di
Basilika St. Petrus pada 29 Juni 1975, dia melanjutkan studinya dan meraih
lisensiat di bidang Kitab Suci dari Institut Biblicum Kepausan di Roma dan
kemudian memperoleh sertifikat khusus dalam bidang studi Kitab Suci dari
Universitas Ibrani Yerusalem.
Dia menjalankan berbagai tugas akademis dan pastoral di Colombo sampai
Paus Yohanes Paulus II mengangkatnya menjadi uskup auksilier keuskupan agung
itu tahun 1991. Tahun 1995, Paus Yohanes Paulus menunjuknya menjadi uskup
Ratnapura. Dari tahun 1995 hingga 2001, dia bertugas sebagai sekjen Konferensi
Waligereja Sri Lanka dan ketua Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Perkembangan
Manusia dari konferensi itu.
Dalam tugas terakhir ini, dia secara lebih intensif terlibat dalam
pencarian solusi atas perang saudara di Sri Lanka. Pemerintah Sri Lanka
mengangkatnya sebagai utusan dalam berbagai pembicaraan damai dengan Kelompok
Pembebasan Macan Eelam Tamil (Liberation Tigers of Tamil Eelam) di Sri Lanka.
Paus Yohanes Paulus II membawanya ke Roma pada 1 Oktober 2001 untuk
menjadi wakil sekretaris Kongregasi Evangelisasi Bangsa-Bangsa, dan pada 29
April 2004 mengangkatnya menjadi duta besar Vatikan untuk Indonesia dan Timor
Timur.
Berikut ini wawancara UCA News dengan Uskup Agung Ranjith pada awal
April. Ketika melihat kembali teksnya, Uskup Agung Ranjith memberi notasi rinci
tentang dokumen-dokumen yang dia sebut dalam wawancara:
UCA NEWS: Sejauhmana pembaruan liturgi yang telah diprakarsai Konsili Vatikan
Kedua telah dilaksanakan di Asia? Apa perubahan positif dan perubahan
negatifnya?
USKUP AGUNG RANJITH: Umumnya, telah ada banyak perubahan dalam tata cara
liturgi dirayakan di Asia sejak Konsili Vatikan Kedua. Beberapa dari kita yang
mengalami orientasi liturgi pada saat-saat sebelum konsili itu pasti tahu apa
yang menjadi perubahan-perubahan baru itu dan bagaimana perubahan-perubahan itu
berdampak pada kehidupan kita sebagai umat Katolik.
Seperti yang diindikasikan oleh pertanyaan Anda, ada setumpuk hasil yang
campur aduk. Perubahan-perubahan positif itu, saya lihat, antara lain
penggunaan bahasa-bahasa vernakular (bahasa pribumi) dalam Liturgi, yang sangat
menolong umat untuk memahami Sabda Allah dengan lebih baik, rubrik liturgi itu
sendiri, dan semakin tanggap dan terlibat dalam perayaan misteri-misteri suci.
Berbagai adaptasi terhadap praktek-praktek kebudayaan lokal juga telah
dicoba, walaupun tidak selalu berhasil baik. Penggunaan bahasa pribumi memang
banyak membantu dalam menciptakan istilah teologi dalam idiom-idiom lokal yang
sesungguhnya berguna untuk evangelisasi dan pewartaan pesan Injil kepada
penganut agama-agama non-Kristen, yang merupakan mayoritas penduduk Asia.
Beberapa aspek negatif adalah bahwa hampir semua nyanyian, tradisi, dan
bahasa Latin diabaikan; penafsiran yang terlalu dangkal terhadap
kebudayaan-kebudayaan lokal dimasukkan begitu saja ke dalam Liturgi; ada
semacam kesalahpahaman terhadap hakekat, isi dan arti yang benar dari tata
perayaan liturgi Roma, norma-normanya, dan rubriknya, yang menuntun kepada
suatu sikap eksperimentasi bebas; ada perasaan tertentu yang anti-Roma, dan
penerimaan yang tidak kritis terhadap segala macam hal baru yang dihasilkan
oleh suatu proses sekularisasi dan pola pikir liturgis dan teologis humanistik
yang mendominasi Barat.
Berbagai hal baru ini sering dimasukkan, mungkin tanpa disadari, oleh
sementara misionaris asing yang membawa semua itu dari negara asal mereka atau
oleh warga lokal yang pernah berada di negara-negara Barat ketika berkunjung
atau studi, dan membiarkan diri mereka terserap tanpa kritis ke dalam semacam
free spirit (semangat bebas) yang diciptakan oleh sejumlah mazhab di sekitar
Konsili Vatikan Kedua.
Ruang-ruang Sakral, Mistik, dan Spiritual yang diabaikan, dan diganti
dengan semacam horisontalisme empiris. Ini sangat berbahaya bagi roh kebenaran
yang mendasari Liturgi.
Sejauhmana himbauan yang baru tentang Ekaristi itu relevan bagi Gereja di Asia?
Dilihat secara menyeluruh, bagi saya, dokumen itu merupakan sesuatu yang
menyuarakan kembali -- dalam arti yang sesungguhnya - reformasi Liturgi
sebagaimana dipahami dan diinginkan oleh Konsili. Maksud saya, bukan penolakan
terhadap berbagai perkembangan positif dari reformasi liturgi yang luar biasa
dewasa ini, tetapi ekspresi kebutuhan untuk benar-benar setia kepada apa yang
dimaksud oleh Sacrosantum Concilium (Konstitusi tentang Liturgi Suci, Konsili
Vatikan Kedua, yang dipromulgasikan oleh Paus Paulus VI pada 4 Desember 1963).
Dalam arti tertentu, orang dapat saja menyatakan bahwa dokumen-dokumen
seperti Ecclesia de Eucharistia ("Gereja [muncul] dari Ekaristi," ensiklik
"Tentang Ekaristi Dalam Hubungannya Dengan Gereja," Paus Yohanes Paulus II, 17
April 2003), Liturgiam Authenticam ("Liturgi yang Otentik," instruksi "Tentang
Penggunaan Bahasa Pribumi dalam Publikasi Buku-Buku Liturgi Roma," Kongregasi
Ibadat Ilahi dan Sakramen-Sakramen, 7 Mei 2001), dan Redemptionis Sacramentum
("Sakramen Penyelamatan," instruksi "Tentang hal-hal tertentu yang harus
diperhatikan atau diabaikan berkenaan dengan Sakramen Mahakudus," Kongregasi
Ibadat Ilahi dan Sakramen-Sakramen, 23 April 2004) sudah memulai
penyesuaian-penyesuaian yang dibutuhkan sebagai refleksi atas berbagai indikasi
yang diperlihatkan Konsili.
Sacramentum Caritatis memperhatikan semua itu dengan memberi suatu
katekese mendasar, mistik, dan sangat gampang dipahami tentang Ekaristi, yang
dengan sangat bagus menghasilkan makna yang lebih utuh tentang Sakramen yang
Mahakudus ini. Paus Benediktus ingin agar kita mengerti, merayakan, dan
menghayati kepenuhan Ekaristi itu.
Saya kira, dalam konteks Asia, himbauan semacam itu sudah semestinya
diterima, dihargai, dan dihayati. Arah-arah dasar Sacramentum Caritatis
sesungguhnya mencerminkan nilai-nilai Asia seperti cinta akan keheningan dan
kontemplasi, penerimaan akan kehidupan yang lebih dalam melampaui hal yang
kasatmata, penghormatan terhadap apa yang sakral dan mistik, dan pencarian akan
kebahagiaan dalam kehidupan yang penuh kesucian dan tapa brata.
Penekanan pada aspek-aspek ini membuat Sacramentum Caritatis sebagai
suatu kontribusi yang bernilai dan penting untuk membuat umat Katolik di benua
kita menghayati Ekaristi dalam suatu cara yang benar-benar Asia.
Aspek-aspek mana dalam dokumen itu yang betul-betul sangat penting bagi para
uskup, imam, dan umat Katolik di Asia?
Secara umum, seruan untuk memperhatikan Ekaristi Suci sebagai suatu
ajakan untuk menjadi Kristus sendiri, ditarik dan teresap pada-Nya dalam
persekutuan cinta yang mendalam, sehingga menjadikan martabat kemuliaanNya
terpancar dalam diri kita, itu benar-benar sesuai dengan pencarian mistisisme
spiritual di benua Asia.
Seperti yang telah saya katakan, Asia itu pada dasarnya bersifat mistik
dan sadar akan nilai dari Yang Sakral dalam kehidupan manusia, yang
menggerakkan orang untuk mencari misteri-misteri yang lebih mendalam tentang
agama dan spiritualitas. Tendensi untuk mendangkalkan perayaan Ekaristi lewat
suatu orientasi yang horisontal, yang hanya sekedar kelihatan (visible) di
jaman modern ini, tidaklah senada dengan pencarian itu. Karena itu, orientasi
umum dokumen itu sesungguhnya sangat baik untuk Asia.
Secara rinci, saya bisa mengatakan, titik berat terpenting, tendensi
untuk selalu menekankan hakekat spiritual dan transendental dari Ekaristi
secara mendalam, pandangan yang terpusat pada Kristus, setia mengikuti rubrik
dan norma (no. 39-40), tidak berlebih-lebihan (no. 40), makna perayaan yang
bermakna dan memadai, penggunaan seni dan arsitektur serta lagu dan musik yang
sepantasnya, serta menghindari improvisasi dan keserampangan, semua itu
mencerminkan cara peribadatan dan spiritualitas Asia. Bangsa Asia adalah bangsa
yang beribadat, dengan bentuk-bentuk ibadat yang sudah berabad-abad usianya dan
bukan penemuan-penemuan individu tertentu manapun.
Dalam tradisi-tradisi agama lain di Asia, mengikuti rubrik itu sangat
tegas dituntut. Selain itu, rubrik-rubrik mereka itu secara mendalam
mencerminkan peran khusus dari Yang Sakral. Karena itu, keseriusan yang diminta
paus itu sangat senada dengan cara-cara peribadatan Asia.
Setelah Konsili Vatikan Kedua, ada banyak pembicaraan, termasuk di kalangan
para uskup Asia, tentang perlunya inkulturasi liturgi. Sejauhmana hal ini telah
berkembang di dalam Gereja-Gereja Asia? Apa yang masih harus dilakukan, atau
apakah ini merupakan suatu proses terbuka tanpa suatu batas akhir?
Seperti yang dinyatakan paus sendiri dalam Sacramentum Caritatis, prinsip
inkulturasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan nyata Gereja karena Gereja
menghayati dan merayakan satu misteri Kristus dalam berbagai situasi kultural
[Sacr. Carit. 54]. Kita tahu bahwa ada kebutuhan yang muncul baik dari himbauan
untuk evangelisasi dan inkarnasi pesan Injil dalam berbagai kebudayaan, maupun
tuntutan akan keterlibatan nyata dan sadar dari umat dalam perayaan yang mereka
ikuti.
Namun, Sacrosanctum Concilium sudah menunjukkan parameter-parameter yang
jelas bagaimana berbagai adaptasi liturgi dengan pola-pola kebudayaan lokal itu
harus dilakukan. Dokumen itu berbicara tentang bagaimana menerima ke dalam
Liturgi unsur-unsur yang sesuai dengan semangat liturgi yang pribumi dan
benar" [SC 37], memastikan bahwa "kesatuan substansial dari tata perayaan
Liturgi Roma dipertahankan" [SC 38], diandaikan bahwa semua itu diputuskan oleh
penguasa eklesial yang kompeten yaitu Takhta Suci dan, jika sesuai aturan, para
uskup [bdk. 22: 1-2]. Dokumen itu juga menuntut pertimbangan serius, dalam
memilih adaptasi-adaptasi untuk dimasukkan ke dalam Liturgi [SC 40: 1],
perlunya mengajukan adaptasi-adaptasi itu ke Takhta Suci untuk mendapatkan
pengesahan, jika perlu, ada suatu periode uji coba yang terbatas [SC 40: 2]
sebelum membuat persetujuan akhir, dan perlu adanya konsultasi dengan para
pakar dalam masalah ini [SC 40: 3].
Sacramentum Caritatis mengikuti jalur yang sama, bahwa adaptasi Liturgi
dengan tradisi-tradisi kebudayaan lokal ditangani sesuai dengan aturan dari
berbagai pedoman Gereja dan tetap mempertahankan keseimbangan antara kriteria
dan arah yang sudah dikeluarkan dengan berbagai adaptasi baru " [no. 54], dan
semua ini juga senantiasa seirama dengan Takhta Suci" [ibid. 54]. Singkatnya,
inkulturasi melalui berbagai adaptasi, ya, tapi selalu dalam parameter jelas
yang memastikan bahwa adaptasi itu bersifat mulia dan benar sesuai iman Gereja.
Seperti yang telah berlangsung hingga kini, orang tidak bisa puas
seluruhnya. Ada beberapa perkembangan positif, seperti penggunaan bahasa
pribumi secara luas dalam liturgi, yang membuat sakramen-sakramen dipahami
dengan lebih baik dan sampai tingkat tertentu terjadi keterlibatan (umat) yang
lebih baik pula. Juga penggunaan seni, musik, dan kekhasan Asia lainnya dalam
ibadat. Tetapi terlihat juga banyak hal yang dibuat-buat dan tidak konsisten.
Hal-hal yang dibuat-buat itu muncul karena segala macam percobaan diijinkan dan
pengesahan dari praktek-praktek itu dibuat tanpa adanya studi yang memadai atau
evaluasi kritis.
Saya pernah mendengar sebuah ceramah di radio dari seorang biksu Buddha
di Sri Lanka yang mencerca orang Kristen karena membiarkan adanya kebiasaan
lokal menabuh drum di gereja-gereja mereka tanpa menyadari bahwa
pukulan-pukulan itu sesungguhnya adalah nyanyian pujian kepada Sang Buddha. Ini
hanya salah satu contoh tentang memasukkan tradisi lokal secara sembrono tanpa
mempelajari bahwa tradisi-tradisi itu sendiri tidak sesuai dengan apa yang kita
rayakan.
Yang saya maksudkan dengan inkonsistensi adalah praktek-praktek yang kita
perkenalkan sebagai adaptasi, namun praktek-praktek itu pada dirinya sendiri
tidak sesuai dengan kebudayaan kita, seperti sekedar membungkuk dan bukan
berlutut atau bertiarap di depan Sakramen Mahakudus, atau komuni yang diterima
di tangan sambil berdiri, yang jauh di bawah tingkat kepantasan untuk Sesuatu
Yang Sakral dalam konteks Asia. Di beberapa negara, selain memperkenalkan
pakaian atau peralatan liturgi yang mencerminkan nilai-nilai lokal,
penggunaannya dikurangi seminimal mungkin, atau malah diabaikan. Saya banyak
kali kaget melihat para imam dan bahkan uskup yang merayakan liturgi atau
berkonselebrasi tanpa busana liturgi yang sepantasnya. Ini bukan inkulturasi
tetapi de-kulturasi, jika memang ada kata seperti itu.
Inkulturasi berarti memutuskan pakaian liturgi mana yang mulia dan penuh
penghormatan untuk realitas Yang Sakral yang dirayakan, bukan mengabaikannya.
Saya kira, Komisi-Komisi Episkopal tentang Liturgi di Asia di tingkat
kontinental, regional, atau nasional harus dengan bantuan para pakar
mempelajari masalah-masalah ini secara seksama dan mencari cara dan sarana
untuk meningkatkan makna, kemuliaan, dan kesakralan dari misteri-misteri ilahi
yang dirayakan melalui adaptasi-adaptasi yang tegas yang diseleksi secara
kritis dan diajukan ke Takhta Suci untuk disetujui.
Suatu semangat kerja sama yang akrab dengan Takhta Suci dalam masalah ini
memang dibutuhkan. Sangat tidak ada bimbingan dalam masalah ini dan bahkan ada
sikap who cares (cuek) sehingga yang terjadi adalah penafsiran bebas dan
kreativitas orang perorangan. Selain itu, saya heran, apakah ada cukup
kesadaran tentang apa yang diungkapkan Konsili tentang masalah dan pedoman
seperti yang diberikan kembali dalam Varietates Legitimae ("Perbedaan Yang
Sah," instruksi, Kongregasi untuk Ibadat Ilahi dan Sakramen-Sakramen, 25
Januari 1994) dan Ecclesia in Asia ("Gereja di Asia," himbauan apostolik
tentang Gereja di Asia, Paus Yohanes Paulus II, 6 November 1999), no. 22.
Dalam Sacramentum Caritatis, No. 54, Paus Benediktus mendukung "inkulturasi
Ekaristi dilanjutkan" dan menghimbau adanya "adaptasi-adaptasi sesuai dengan
kebudayaan dan konteks yang berbeda. Apa artinya ini di Asia?
Asia umumnya dianggap menjadi benua kontemplasi, mistisisme, dan tempat
terdapat pandangan spiritual yang mendalam tentang kehidupan. Segala orientasi
ini mungkin berasal dari atau tertuju pada asal usul agama-agama dunia di benua
ini. Usaha apapun tentang inkulturasi Liturgi atau kehidupan Kristen tidak bisa
mengabaikan orientasi-orientasi mistik yang mendasar yang menjadi kekhasan Asia
ini.
Sebagai orang Kristen, kita harus menunjukkan bahwa agama Kristen itu
pada dasarnya berasal dari Asia. Agama Kristen itu bahkan memiliki suatu makna
mistisisme yang lebih mendalam yang terkandung di dalamnya yang dapat dan ingin
di-sharing-kan kepada orang lain. Patut disayangkan jika kita berusaha
memproyeksikan iman kita sebagai sebuah apendiks dari sebuah kebudayaan global
dan sekular, suatu kebudayaan yang memberi nilai-nilai sekular dan berusaha
memperlihatkan semua ini di Asia sebagai hal yang benar. Sayangnya,
kadang-kadang dalam cara kita mengerjakan sesuatu, kita memproyeksikan suatu
citra (image) seperti itu. Inilah yang menjadikan kita orang asing di benua
kita sendiri.
Ambil contoh, dalam skala yang besar, banyak imam dan religius di Asia,
bahkan para misionaris, sudah mengabaikan jubah atau pakaian religiusnya.
Mereka sulit mengerti bahwa dalam kebudayaan Asia, pribadi-pribadi yang
mengabdikan diri kepada Allah atau agama itu selalu kelihatan dalam pakaiannya,
seperti para biksu Buddha atau sannyasi (orang suci) Hindu. Ini menunjukkan
bahwa kita tidak memahami apa arti inkulturasi itu sesungguhnya. Cukup sering,
inkulturasi itu hanya sebatas tarian, atau memasukkan perecikan bunga, arathi
(lagu setelah doa), atau menabuh drum ke dalam acara Misa Suci.
Namun, dalam pikiran dan hati, kita mengikuti cara-cara dan nilai-nilai
sekular. Jika kita benar-benar Asia, kita hendaknya lebih memusatkan perhatian
pada mistisisme Yesus, pesanNya tentang keselamatan, nilai yang luar biasa
tentang doa, kontemplasi, ketakterlekatan, simplisitas kehidupan, devosi dan
refleksi dan nilai keheningan, serta bentuk-bentuk perayaan liturgi yang
perhatian utama terpusat pada Yang Sakral dan Yang Transenden. Kita orang Asia
tidak dapat menjadi orang-orang sekular yang tidak melihat sesuatu melampaui
apa yang kasatmata dan apa yang dapat disentuh.
Demikian juga dalam Liturgi, daripada berkonsentrasi hanya pada beberapa
tanda eksternal yang nilainya seperti kosmetik, kita hendaknya memfokuskan
perhatian pada kekayaan spiritual dan mistik yang disampaikan kepada kita
(melalui Liturgi). Hal ini semakin harus disororti dalam busana dan gerakan
kita. Gereja universal akan memperoleh sesuatu dari sebuah Gereja di Asia yang
menghargai ekspresi mistisisme Kristen secara Asia.
Menyangkut inkulturasi, Paus Benediktus mendorong konferensi-konferensi
waligereja untuk berupaya mempertahankan keseimbangan antara kriteria dan arah
yang sudah dikeluarkan dengan berbagai adaptasi baru, dan senantiasa senada
dengan Takhta Suci." Apakah konferensi-konferensi waligereja di Asia sedang
bergerak seirama dengan pedoman-pedoman ini?
Umumnya, saya lihat banyak kehendak baik di pihak Konferensi Waligereja
menyangkut masalah ini. Namun, ada juga banyak persoalan. Seperti telah saya
sebutkan, mungkin lebih baik ada suatu roh yang bening mengenai koordinasi
antara FABC (Federation of Asian Bishops' Conferences = Federasi
Konferensi-Konferensi Waligereja Asia) dan Kongregasi kita dalam masalah ini.
FABC sesungguhnya memiliki badan-badan koordinasi regional untuk pengembangan
manusia, evangelisasi, inkulturasi, ekumenisme dan dialog (antaragama),
pendidikan, komunikasi sosial, dan sebagainya, tetapi saya tidak melihat sebuah
badan seperti itu untuk bidang liturgi dan peribadatan. Membentuk sebuah badan
regional seperti itu tentu bermanfaat.
Liturgi itu penting, karena "lex orandi, lex credendi" (hukum doa adalah
hukum keyakinan). Karena itu, liturgi dapat menggerakkan dan menjamin mutu,
makna, dan kesadaran yang semestinya bagi Komisi Episkopal untuk Liturgi di
tingkat nasional menyangkut komponen penting kehidupan Gereja ini. Banyak tugas
masih harus dikerjakan untuk meraih hasil yang lebih baik.
Kesimbangan yang sepantasnya yang dibicarakan oleh Bapa Suci ini
sebenarnya hanya ingin memastikan, di satu pihak, suatu semangat keterbukaan
yang sehat untuk inkulturasi dalam liturgi itu ada, dan, di pihak lain,
perlunya melindungi ciri universal liturgi Katolik, sebuah perbendaharaan yang
diwariskan kepada Gereja oleh tradisinya yang sudah berusia dua ribu tahun.
Bisakah Anda berikan contoh konkret tentang apa yang dimaksud dengan
mempertahankan suatu keseimbangan yang sepantasnya antara kriteria dan arah
dengan adaptasi-adaptasi baru itu?
Dengan "keseimbangan yang sepantasnya, Bapa Suci maksudkan, di satu
pihak, kesetiaan terhadap Tradisi Katolik dan Universal dari perayaan Ekaristi
Suci, yang terkandung dalam tata perayaan Roma itu sendiri, dan, di lain pihak,
ruang untuk berbagai adaptasi seperti terungkap dalam Sacrosanctum Concilium
dan Varietates Legitimae. Seperti yang ditunjukkan dalam No. 21 dari
Sacrosanctum Concilium, ada unsur-unsur yang terbentuk secara ilahi dan tidak
dapat diubah" dalam Liturgi. Liturgi mungkin saja diubah, dan bahkan itu sudah
dilakukan berdasarkan norma-norma yang telah ditetapkan Konsili itu sendiri
dalam bab tiga dokumen yang sama.
Dalam kasus Ekaristi, pendekatannya sama. Ekaristi itu bukan buatan
Gereja tetapi anugerah Tuhan sendiri untuk kita, sebuah perbendaharaan yang
harus dijaga. Karena itu, walaupun situasi mendesak bahwa Evangelisasi dan
Inkulturasi pesan Injil memerlukan sejumlah perbedaan tertentu, ini tidak boleh
diserahkan begitu saja kepada pikiran dan imajinasi yang melintas dari individu
yang merayakannya. Wilayah-wilayah yang terbuka terhadap keanekaragaman itu
terbatas dan terkait dengan bahasa, musik dan nyanyian, isyarat dan gerakan
tubuh, seni, dan berbagai prosesi (SC 39). Dalam wilayah-wilayah ini, adaptasi
itu mungkin dan harus dilakukan setelah diadakan studi yang mendalam, disetujui
para uskup, dan kemudian mendapat persetujuan dari Takhta Suci [SC: Bab III].
Maka, makna keseimbangan antara mempertahankan hal-hal yang esensial dan
berusaha mengintegrasikan unsur-unsur kebudayaan lokal itu sangat diperlukan
jika Gereja ingin memperoleh sesuatu secara spiritual. Pada saat yang sama,
saya ingin menekankan yang lebih esensial, bukan hanya adaptasi-adaptasi
semacam itu, tetapi perayaan yang agung dan mulia dari setiap tindakan liturgi,
yang membuat liturgi itu mencerminkan mistisisme Timur. Ini lebih penting
daripada sekedar serangkaian adaptasi eksternal, sekalipun adaptasi eksternal
telah mengikuti prosedur-prosedur yang telah ditetapkan.
Selain itu, cinta akan keheningan, suasana kontemplatif, lagu dan
nyanyian yang mencerminkan misteri ilahi yang dirayakan di altar, busana yang
agung dan santun, serta seni dan arsitektur yang mencerminkan keagungan obyek
dan tempat Sakral, semua nilai Asia ini sering tercermin dalam tempat-tempat
ibadat agama-agama lain dan lebih mengungkapkan pandangan Asia yang sebenarnya
tentang Liturgi.
Dalam no. 87 dari himbauan itu, paus mengungkapkan keprihatinan tentang
berbagai kesulitan besar yang dihadapi umat Kristen di tempat di mana mereka
hanya kelompok minoritas atau di tempat di mana kebebasan beragama ditolak dan
di tempat di mana bahkan pergi ke gereja menunjukkan suatu kesaksian heroik
karena mereka akan disingkirkan atau mengalami kekerasan.
Apakah paus merujuk pada umat Kristen di Asia?
Bapa Suci menghargai dan mendorong kesaksian heroik sejumlah orang
Kristen yang dengan mempraktekkan imannya, mereka mengalami kesulitan,
penganiayaan, dan penderitaan. Jika kita bicara situasi-situasi sulit seperti
itu, memang itu langsung tertuju ke tempat-tempat di mana hambatan dan
penganiayaan terhadap komunitas-komunitas Kristen itu eksplisit terjadi.
Kesulitan seperti itu banyak kali terjadi karena faktor-faktor politik, dan
banyak kali juga oleh faktor-faktor agama.
Sejumlah negara berusaha memaksakan atau membentuk negara yang disponsori
gereja-gereja untuk mengontrol komunitas Katolik dengan cara itu. Sikap
dengan gaya ini dimaksud untuk memutuskan ikatan hirarkis antara gereja-gereja
ini dengan Gereja St. Petrus untuk melemahkan umat Katolik dari dalam. Berbagai
upaya seperti ini tidak terlalu berhasil, karena ikatan spiritual yang tak
dapat diputuskan dengan cara itu tetap menyatukan setiap komunitas eklesial
dengan Gereja Universal, Tubuh Mistik Kristus.
Namun, bagi saya, ada suatu gaya lain yang lebih umum terjadi di Asia.
Umumnya di Asia, di mana satu agama dunia tertentu lebih dominan, terdapat
hambatan dan kontrol yang tidak langsung dikenakan pada Gereja Katolik. Dalam
situasi-situasi seperti itu, terdapat suatu bentuk yang bahkan lebih buruk
yaitu pelecehan terhadap umat Katolik secara terselubung. Para misionaris
dilarang, membangun gedung gereja dilarang dengan tidak diberi izin,
mempraktekkan iman dibatasi, pendidikan Katolik dihambat, undang-undang
terhadap perpindahan agama diajukan atau dipaksakan untuk diberlakukan, dan
segala macam tindakan diskriminasi diterapkan. Singkatnya, dalam
situasi-situasi seperti itu, orang memerlukan semangat heroik untuk mengakui
dan mempraktekkan imannya.
Saya tidak mau mengungkapkan nama negara-negara ini karena ada alasan
tertentu yang masuk akal, tetapi dunia tahu siapa mereka. Dengan mengungkapkan
situasi ini, himbauan paus untuk adanya kebebasan agama yang lebih besar di
setiap negara sehingga umat Kristen, serta penganut agama-agama lain, dapat
mengungkapkan keyakinan agamanya secara bebas, baik sebagai individu maupun
komunitas [Sacr. Cari. 87] dibutuhkan saat ini.
Dalam no. 62 dari himbauan itu, paus mengusulkan agar perayaan Misa dalam
bahasa Latin dan penggunaan lagu Gregorian dapat dilakukan dalam sejumlah
kesempatan dan sejumlah bagian liturgi. Menurut Anda, apa perasaan umat Katolik
di Asia menyangkut hal ini? Apakah Anda melihat bahwa di kalangan umat Katolik
di Asia terdapat kerinduan akan Misa dalam bahasa Latin?
Sacrosanctum Concilium tidak pernah menganjurkan agar bahasa Latin atau
lagu Gregorian diabaikan seluruhnya. Konstitusi konsili itu bahkan menyatakan
bahwa "penggunaan bahasa Latin hendaknya dipertahankan dalam tata perayaan-tata
perayaan bahasa Latin, kecuali jika ketentuan-ketentuan khusus menentukan
lain... Tetapi karena penggunaan bahasa pribumi ... dapat lebih bermanfaat
bagi umat, terutama penggunaan yang lebih meluas dalam bacaan-bacaan,
ajakan-ajakan, dan dalam sejumlah doa dan nyanyian [SC 36: 1-2]. Selain itu,
konstitusi itu ingin bahwa "bahasa pribumi dalam Misa-Misa yang dirayakan
bersama umat juga mendapat tempat yang wajar, khususnya dalam bacaan-bacaan dan
doa bersama, dan sesuai situasi lokal, bagian-bagian yang langsung menyangkut
umat" [SC 54].
Dalam nomor yang sama itu, Konsili ingin agar diperhatikan bahwa umat
juga pasti dapat bersama-sama mengucapkan atau menyanyikan dalam bahasa Latin
bagian-bagian ordinari (tetap) Misa yang menyangkut mereka" [ibid.].
Intinya adalah bahwa bahasa yang normal dipakai dalam Liturgi menurut
Sacrosanctum Concilium itu bukanlah bahasa pribumi, tetapi bahasa Latin. Izin
penggunaan bahasa pribumi diberikan untuk bagian-bagian khusus seperti
bacaan-bacaan, sejumlah doa dan nyanyian, dan bagian-bagian yang menyangkut
umat. Yang menarik untuk diperhatikan adalah bahwa bahkan dalam bagian
Ordinari Misa yang menyangkut umat, bahasa Latin digunakan [SC 54].
Disesalkan, bahasa Latin yang hampir diabaikan secara total itu terjadi
hampir di mana saja setelah Konsili, sehingga hanya generasi tua Katolik di
Asia yang tahu tentang penggunaan bahasa Latin dalam liturgi dan tentang
lagu-lagu Gregorian. Dengan penggunaan bahasa pribumi yang sedemikian dominan
dalam Liturgi dan pembinaan di seminari, penggunaan bahasa Latin hampir
seluruhnya hilang dari sebagian besar Gereja di Asia.
Ini jelas disayangkan. Saya tidak tahu apakah di Asia ada keinginan nyata
untuk kembali menggunakan bahasa Latin dalam Liturgi. Harapan saya, keinginan
itu ada. Sejumlah umat Katolik yang sadar akan keindahan bahasa Latin sungguh
mengungkapkan kerinduan semacam itu. Mereka pernah melihat dan mengalami
Liturgi-Liturgi yang dirayakan dalam bahasa Latin di Roma atau di tempat lain,
dan itu membuat mereka tercengang. Yang lain tercengang dengan tata perayaan
liturgi kuno dalam bahasa Latin, Misa Pius V, yang kini mulai dirayakan di
sejumlah tempat di Asia.
Namun bagian yang lebih besar dari umat Katolik Asia masih belum sadar
akan nilai bahasa Latin dalam Misa Kudus. Saya ingin tahu, apa yang akan mereka
katakan jika sejumlah bentuk bahasa Latin diperkenalkan kembali. Mereka mungkin
menyukainya dan, setelah menyadari semangat devosi yang banyak dilakukan umat
Katolik, itu jelas akan turut memperdalam iman mereka lebih lanjut. Umat kita
tahu bahwa tidak semua kenyataan ilahi itu dapat dipahami manusia dan bahwa
harus ada ruang untuk makna misteri spiritual di dalam peribadatan.
Kecuali itu, baik kalau Gereja di Asia tidak tetap terputus dari
tren-tren baru yang muncul secara universal, yang salah satunya adalah
penghargaan yang segar tentang warisan bahasa Latin dari Gereja 2000 tahun lalu
itu. Ini tidak berarti bahwa kita harus menolak bahasa pribumi dan kembali ke
bahasa Latin secara total. Pemakaian bahasa Latin dan bahasa pribumi secara
sehat dan sepadan, senada dengan Sacrosanctum Concilium, akan bermanfaat bagi
umat seluruhnya. Selain itu, di Asia beberapa agama lain mempertahankan bahasa
liturgis resmi mereka, seperti bahasa Sansekerta untuk agama Hindu dan bahasa
Pali untuk agama Buddha. Bahasa-bahasa kuno ini bukanlah bahasa pergaulan,
namun digunakan hanya dalam peribadatan. Apakah semua ini juga tidak bisa
menjadi pelajaran bagi kita bahwa sebuah bahasa liturgis yang walaupun tidak
dipakai secara umum toh bisa mengungkapkan suatu mistisisme batiniah akan Yang
Sakral dalam peribadatan?
Paus ingin agar para imam masa depan mempelajari bahasa Latin di
seminari-seminari, sehingga mampu membaca teks bahasa Latin dan menyanyikan
lagu-lagu Gregorian. Apakah menurut Anda himbauan itu ditanggapi positip oleh
orang-orang muda Asia yang sedang dibina untuk menjadi imam? Apakah
seminari-seminari di Asia akan menyambut baik himbauan itu?
Tidak ada persoalan tentang penerimaan (bahasa Latin). Saya kira, ini
merupakan suatu kebutuhan. Ketimbang terjerumus dalam sumur orang-orang yang
suka terisolasi yang berpikiran picik atau pendekatan murni kaum empirisis
terhadap iman yang, bagaimanapun, tidak bersifat Asia dan tidak meninggalkan
ruang untuk suatu pemahaman akan apa yang transenden, lebih baik para imam dan
calon imam didorong untuk terbuka kepada kenyataan iman mereka yang lebih luas,
yang bersifat Katolik dan Universal, perkembangan dan akar-akarnya yang sudah
berusia 2000 tahun, serta dimensi-dimensi sakral dan mistiknya. Dan karena
bahasa Latin telah menjadi akar bagi banyak perkembangan di bidang Teologi,
Liturgi, dan disiplin-disiplin eklesial selama ini, maka para imam dan calon
imam hendaknya didorong untuk mempelajari bahasa Latin dan menggunakannya.
Ini akan menolong Gereja di Asia bukan saja untuk memahami isi depositum
fidei (kekayaan iman) dan perkembangannya, tetapi juga untuk menemukan sebuah
bahasa teologis itu sendiri, agar mampu mengungkapkan iman itu kepada
bangsa-bangsa Asia secara meyakinkan [lht. Ecclesia in Asia 20]. Belajar bahasa
Latin bukan berarti kembali ke masa lalu, tetapi sebaliknya beranjak ke masa
depan. Hanya dengan itu, proses inkulturasi yang intens dapat terjadi. Apa saja
yang disebut teologi, namun tidak berakar pada bahasa Kitab Suci dan bahasa
Tradisi Gereja, tidak didukung dengan doa penuh ketekunan, dan tidak diterangi
oleh cahaya kehidupan yang suci, maka teologi macam itu tidak lebih dari canang
kosong yang gemerincing yang hanya menimbulkan kekacauan dan kebingungan.
Hal yang sama berlaku juga untuk Liturgi. Bahasa Latin merupakan bahasa
liturgis yang biasa dari Gereja. Dalam awal dan perkembangan tata perayaan
liturgi Roma, bahasa Latin berperan penting. Karena, pengetahuan yang memadai
akan bahasa ini akan mendukung pemahaman dan penghargaan yang lebih baik akan
keindahan dari apa yang dirayakan. Seperti yang dinyatakan oleh Bapa Suci,
keindahan liturgi merupakan bagian dari misteri ini; keindahan merupakan
sebuah ekspresi seni dari kemuliaan Allah, dan dalam arti tertentu, sebuah
percikan surga di bumi" [Sacr. Carit. 35].
Maka perayaan dalam bahasa Latin akan turut membangkitkan rasa kagum dan
hormat, serta keterkaitan dengan apa yang diilhamkan sendiri oleh Tuhan,
sehingga Gereja bisa menganggapnya sebagai bentuk peribadatan Gereja.
Keterbukaan terhadap bahasa Latin ini juga membantu para seminaris untuk
menghargai peran lagu Gregorian dengan lebih baik di dalam Gereja. Bapa Suci
ingin agar lagu Gregorian diyakini dan digunakan secara memadai" karena lagu
itu merupakan lagu yang pantas bagi Liturgi Roma" [Sacr. Carit. 42].
Mempelajari kesederhanaan (simplicity) dan keindahan lagu Gregorian yang agung
itu secara menyeluruh akan juga membuat para imam dan seminaris yang berbakat
musik di Asia mendapat inspirasi dan dalam menggubah bentuk-bentuk lagu yang
agung dan penuh doa yang dapat diselaraskan secara lebih baik dengan kebudayaan
lokal. Agaknya keterlaluan bila menganggap bahwa penggunaan lagu Gregorian itu
akan berakibat buruk bagi inkulturasi liturgi. Sesungguhnya, lagu Gregorian itu
berguna bagi inkulturasi.
Apakah masih ada hal-hal lain yang ingin Anda sampaikan kepada Gereja-Gereja di
Asia menyangkut himbauan tentang Ekaristi itu dan bagaimana mereka harus
menerapkannya?
Dengan mencermati Sacramentum Caritatis, saya semakin yakin bahwa dokumen
itu tidak sekedar sebuah sumber informasi, inspirasi, dan refleksi yang
benar-benar pastoral sekaligus teologis yang sangat mendalam tentang Ekaristi,
tetapi yang lebih penting dia merupakan dokumen yang ingin menyempurnakan apa
yang sesunguhnya diinginkan oleh Konsili Vatikan Kedua dan dokumen konsili itu
tentang Liturgi, Sacrosanctum Concilium. Reformasi Liturgi pasca-konsili --
walaupun sejumlah aspek patut dipuji -- tidak semuanya setia kepada semangat
Konsili Vatikan Kedua.
Sebagaimana diungkapkan oleh Ferdinando Kardinal Antonelli, anggota
Komisi yang menggarap reformasi liturgi pada waktu itu, "Saya tidak senang
dengan semangat itu. Ada semangat kritisisme dan ketidaksabaran terhadap Takhta
Suci yang tidak diprediksi dengan baik. Dan waktu itu, segala sesuatu merupakan
sebuah studi tentang rasionalitas dari liturgi dan tidak mempedulikan kesalehan
sejati. Saya kuatir bahwa suatu saat orang akan mengatakan tentang semua
reformasi ini seperti yang pernah dikatakan tentang reformasi hymne-hymne di
zaman Urbanus VIII: accepit liturgia recessit pietas (saat liturgi maju,
kesalehan mundur); dan di sini accepit liturgia recessit devotio (saat liturgi
maju, devosi mundur). Mudah-mudahan saya salah" [dari catatan harian Kardinal
Antonelli, 30 April 1965].
Kita sedang menyaksikan banyak tambal-sulam dan pengaburan aspek-aspek
mistik dan sakral dari Liturgi di banyak wilayah Gereja atas nama suatu yang
disebut "Konzilsgeist" (semangat Konsili).
Dalam sekitar 20 tahun terakhir, Gereja berusaha membuat arah reformasi
Liturgi itu lurus dan sesuai petunjuk-petunjuk Sacrosanctum Concilium.
Dokumen-dokumen seperti Liturgiam Authenticam, Varietates legitimae,
Redemptionis Sacramentum, dan Ecclesia de Eucharistia merupakan bagian dari
usaha itu, dan Sacramentum Caritatis -- yang merupakan sebuah dokumen kolegial
(yang dihasilkan bersama) karena berisi keputusan-keputusan Sinode Para Uskup
tentang Ekaristi Suci adalah momen puncak, kalau bisa saya katakan, dari
usaha pelurusan itu. Dokumen itu benar-benar merupakan sebuah koreksi dan
harus disambut, dihargai, dipelajari, dan diterapkan.
Warisan kebudayaan Asia itu secara mendalam bersifat religius dan sadar
akan nilai-nilai Yang Sakral dan Mistik dalam kehidupan manusia. Maka Gereja di
Asia hendaknya dengan sepenuh hati menyambut baik dokumen ini dan
petunjuk-petunjuknya yang sangat tertuju pada pemulihan nilai-nilai
spiritualitas dan nilai-nilai iman dalam Liturgi dan mengambil langkah-langkah
penting untuk menerapkan petunjuk-petunjuk itu sesetia dan segiat mungkin.
Inilah keinginan saya bagi Gereja di Asia, benua mistisisme.
-END-