Wanita, Istri dan Mantan Istri

Suatu sore dipinggiran kampus, aku seperti biasa, makan nasi goreng
kesukaanku. Nasi goreng. Ya hanya nasi goreng yang biasa dijajakan melalui
gerobak dorong. Boleh di kata bahwa inilah nasi goreng kesukaannku, selain
enak juga murah. Sekian lama aku menjadi pelanggan, sedikit demi sedikit
muncul keberanianku untuk bertanya masalah yang cukup sensitif : Masalah
keluarga.

Pak Toyib (nama samaran), memang selalu mengganjal dalam fikiranku. Karena
ketika kami berinteraksi, tampak jelas dari isi pembicaraan, gaya bahasa
yang digunakan bukanlah bahasa orang yang tidak berpengalaman. Usianya
sekitar 68 tahun, meskipun rambut dan kumisnya telah memutih, tetapi tatapan
matanya sangatlah tajam, setajam tatapan mata para dosen di kampusku.
Terkadang aku kasihan melihatnya, karena tampak ia dengan sangat terpaksa
mendorong gerobak. Tubuhnya tidaklah kekar.

Waktu itu kebetulan tidak ada pembeli yang singgah, sehingga sambil
menikmati nasi goreng aku dapat mendengarkan kisah hidupnya. Seperti yang
telah beliau ceritakan, bahwa beliau memiliki lima orang anak. Dua orang
dari istri pertama, dan tiga orang dari istri kedua.

Dengan nafas sedikit tersengal dan tatapan matanya kosong, beliau bercerita
mengenai pertemuan dengan istri pertamanya. Beliau sangat tertarik dengannya
karena ia adalah wanita yang sangat baik dan taat pada agama, meskipu
wajahnya tidak cantik, toh beliau sangat bahagia. Sang istri sangat
memanjakan beliau dengan kasih sayang disamping bantuan ekonomi karena ia
juga bekerja sebagai guru SMP.

Prahara mulai datang ketika karier beliau meningkat. Perusahaan menunjuk
beliau sebagai pimpinan cabang. Keadaan ekonomi yang meningkat sangat
menentramkan hati keluarganya apalagi di keluarga baru lahir anak yang
kedua. Hati Pak Toyib merasa senang, ia sangat bersyukur pada Tuhan. Tetapi,
sore itu sepulang kantor, ia melihat sesosok wanita yang kebingungan di
lapangan banteng. Tampak jelas terlihat bahwa wanita tersebut bukanlah
penduduk Jakarta. Wajah wanita itu mengingatkan beliau pada adiknya yang
telah meninggal, sehingga pada akhirnya iapun menberikan jasa dengan
mengontrakkan sebuah rumah, sebelum si wanita mandiri.

Kesibukannya di kantor membuat beliau jarang berhubungan dengan sang istri,
sebaliknya kini beliau lebih sering bertemu dengan si wanita. Witing tresno
jalaran soko kulino, begitulah orang jawa biasa bilang: Beliaupun akhirnya
jatuh cinta pada si wanita.

Begitu mengetahui bahwa beliau memiliki WIL, sang istri menjadi sangat
frustasi. Hari-harinya berubah. Sang istri kerap singgah dari tempat bilyard
satu ke tempat bilyard yang lain. Anak pun menjadi tidak terurus. Akhirnya
keduanyapun sepakat untuk berpisah. Beliau tampak menitikkan air mata. Pak
Toyib menikah dengan si wanita, sementara sang istri menjadi single parent.
Pada mulanya kehidupan beliau cukup bahagia meskipun sang istri tidaklah
seperhatian istri pertama. Anak ketigapun lahir, semakin bahagialah keluarga
ini tetapi saat itu beliau sudah cukup berumur, sehingga harus siap-siap
pensiun. Selepas pensiun beliau sibuk mencari pekerjaan lain untuk
mensupport kebutuhan keluarga.

Sang istri yang tidak terbiasa hidup susah, tidak mau perduli dengan
perubahan ekonomi keluarga. Ia hanya pergi pada siang hari dan pulang pada
malam hari untuk kegiatan yang tidak jelas.  Anakpun demikian, mereka hanya
menganggap beliau sebagai sapi perahan. Anak yang pertama bercerai dengan
istrinya karena meskipun pengangguran, ia punya kekasih yang lain. Anak
kedua tidak jelas nasibnya, sedangkan anak ketiga ingin masuk perguruan
tinggi favourite tapi kurang motivasi, sehingga sia-sialah segala uang yang
di keluarkan untuk biaya bimbingan belajar.

Seiring dengan menurunnya kondisi keuangan, maka beliaupun menjual rumah di
Jakarta dan memilih tinggal di daerah Depok. Tetapi, kondisi buruk terus
menimpanya, ia di pecat dari perusahaan. Beliau coba telpon semua kolega,
akan tetapi tidak ada satu orangpun yang dapat membantunya, karena memang
sekarangpun mereka telah memasuki masa pensiun. "Ya, malu, sangat malu",
Kata beliau.

Berbeda dengan kondisi beliau, kondisi mantan sang istri jauh lebih baik.
Selepas cerai, mantan sang istri mati-matian berjuang untuk menghidupi
anak-anaknya. Mantan sang istri tidak hanya berhenti bermain bilyard, tetapi
juga berusaha menanamkan nilai-nilai kebaikan pada anak-anaknya. Sekarang
sang istri tampak seperti seorang "pensiunan" yang bahagia, karena kedua
anaknya telah sukses. Bahkan sesekali kedua anaknya mengirimkan uang untuk
Pak Toyib. Kini beliau hanya bisa menatap dan meratap. Ingin beliau
memeluk dan mencium mantan sang istri sambil mengucapkan seribu kata
penyesalan, namun agaknya semuanya telah berlalu dan tidak akan berulang. Di
dunia ini sepertinya syurga bukanlah diperuntukkan bagi beliau, kata beliau
menyimpulkan kisah hidup beliau.

Sumber: Wanita, Istri dan Mantan Istri oleh Lutfi Bakhtiyar


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke