Syahwat Kemunafikan Kita

Ledakan berita Ariel-Luna memperjelas bahwa seksografik media kita masih
menyedot "syahwat" publik pornografis. Sebuah potret masyarakat kita yang
sedang transisi di tengah kepentingan industri ekonomi, konflik, tontonan,
tuntunan agama, manipulasi, politik dan dendam, kekerasan seksual campur
aduk tanpa terkontrol oleh peradaban, budaya, dan pendidikan kita.


Inilah keretakan moral yang semakin menampakkan titik jenuhnya. Ariel-Luna
hanyalah momentum dari deretan sepanjang ledakan kontroversi budaya pop dari
Inul, Maria Eva, hingga Dewi Persik. Namun ada magma tersembunyi yang
sengaja ditutupi oleh rasa "sok suci" publik kita, dengan seringnya
berteriak menudingkan jari telunjuk, tetapi tiga jarinya sedang menuding
diri sendiri. Kemunafikan dan keangkuhan seperti ini sangat dimanja oleh
industri hedonis yang mengelaborasi sisi lemah masyarakat untuk dijadikan
komoditas yang memabukkan.


Dalam kontroversi Inul "ngebor" beberapa tahun silam, mestinya para pemimpin
bangsa langsung berkontemplasi bahwa sudah sekian puluh tahun para pemimpin
kita tidak menggunakan akal sehatnya untuk memimpin, bukan menggunakan emosi
syahwat Inul. Bahkan para ulamanya digambarkan dalam lukisan oleh KH Mustofa
Bisri berada dalam majlis zikir yang di tengah-tengahnya ada penari yang
ngebor. Sebuah potret luapan syahwat yang pahit dalam beragama, dalam
beritual, dan hilangnya keteladanan batin anak-anak bangsa ini.


Dan pada saat ini, tidak satu pun lembaga, ormas keagamaan, ataupun tokoh
yang melihat peristiwa Ariel-Luna dengan forum kearifan, apalagi dengan
"kacamata Tuhan" yang penuh dengan pancaran kasih sayang dan kelembutan.
Semua muncul dengan nada marah, sekaligus pembenaran diri sendiri. Apakah
kita harus meminum miras, lalu mabuk lebih dahulu untuk merasakan kenapa
minuman ini diharamkan, ketika sudah mabuk kita mengharamkan miras sembari
memecahkan botol-botolnya? Apa bedanya jika berjuta-juta pengguna seluler
menghujat Ariel-Luna, pada saat yang sama mereka secara sembunyi menikmati
video yang ada?


Sebagai umat beragama --menurut dimensi spiritual Islam (sufisme)-- tingkat
kearifan seseorang harus dikedepankan dalam memandang berbagai peristiwa
segelap apa pun. Teladan dari para sufi, ada cara pandang yang lebih
berhikmah dalam melihat kasus video porno tersebut. Seperti dikatakan Ibnu
Athaillah as-Sakandary, "Terkadang Allah menakdirkan hamba-Nya berbuat dosa,
agar si hamba lebih dekat kepada-Nya...." Atau dalam hikmah lainnya,
"Maksiat yang menimbulkan remuk redam jiwa di depan Allah lebih baik
dibandingkan dengan ibadah yang melahirkan rasa sombong dan sok mulia...."


Terang dalam Gelap


Bukankah video itu sebagai "sindiran" Allah kepada bangsa ini agar tidak
munafik dengan diri sendiri? Bukankah cahaya Allah tampak semakin jelas
justru dari sisi kegelapan? Dan sebaliknya, betapa banyak kegelapan yang
subur di balik ritual ibadah, atas nama Tuhan, atas nama Nabi, atas nama
Islam? Sebagaimana dinyatakan dalam Al-Quran, "Allah memasukkan malam dalam
siang, dan memasukkan siang dalam malam." Yang ditafsirkan oleh para sufi,
"Allah memasukkan maksiat dalam ibadah, dan memasukkan ibadah dalam
maksiat"?


Nabi Adam AS dan Hawa ditakdirkan bersalah di surga, karena memang nabi,
rasul, khalifah, serta bapak manusia itu harus diangkat derajatnya ketika
ada di muka bumi. Derajat risalah dan nubuwwah justru muncul pasca-dosa di
surga. Sebuah "rahasia Ilahi" yang sangat dramatis dan kelak menjadi
pelajaran bagi anak-cucu Adam itu sendiri bahwa sebesar apa pun dosa
seseorang, tidak boleh menghalangi prasangka baiknya (husnudzon) kepada
Allah SWT.


Rasanya sudah terlalu jenuh kita dicekoki oleh informasi yang paradoks dalam
keseharian batin kita, tapi juga respons publik yang sangat konyol dan
sombong. Kelak, jika kondisi ini berlarut, akan muncul kegamangan yang
membahayakan kejujuran hati kita. Luka-luka moral bukannya disembuhkan,
melainkan dibiarkan meradang agar ada kompensasi musuh bersama yang
kekanak-kanakan seperti yang kita lihat selama ini.


Sudah terlalu lama kita kehilangan "hikmah", bahkan kejujuran batin yang
bercahaya. Jangan sampai kita terjebak pada arena yang dihuni para penjahat
yang sedang berlomba membangun peradaban jahat tanpa sedikit pun merasa
jahat, karena cahaya tak pernah muncul di kegelapannya.


Juga jangan terjebak pada arena terang benderang yang dihuni orang yang
merasa dirinya patuh pada Tuhannya, lalu membangun peradaban "cahaya" dari
kegelapan keangkuhan spiritualnya.


KH. M. Luqman Hakim

Pengajar Pesantren Ciganjur, Jakarta

[Kolom, Gatra Nomor 33 Beredar Kamis, 24 Juni 2010]


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke