Kiai-Kiai
Oleh: KH. Dr. A. Mustofa Bisri

Meskipun Arief Budiman bukan dari kalangan pesantren dan tidak begitu dekat
dengan kiai, pandangannya tentang kiai sungguh terbilang jeli. Dia membuat
kategorisasi menarik: kiai itu ada tiga. 1. Kiai produk masyarakat. 2. Kiai
produk pemerintah. 3. Kiai produk pers.



Mula-mula tentu kiai produk masyarakat. Orang yang sangat dihormati
masyarakat dan karenanya mereka menyebutnya kiai. Seperti diketahui, istilah
kiai itu berasal dari Jawa. Orang Jawa biasa memberi sebutan kiai untuk apa
atau siapa pun yang sangat mereka hormati dan pundi-pundi. Kiai Sabuk Inten
dan Nagasasra, misalnya, adalah keris. Kiai Pleret tombak. Di pewayangan,
Arjuna punya panah yang disebut Kiai Pasopati; Dasamuka punya kendaraan
garuda yang disebut Kiai Kolo Marico. Di Keraton Sala, bahkan kerbau disebut
Kiai Slamet.


Kiai jenis yang pertama inilah yang diketahui memiliki ilmu agama karena
memang mengamalkan dan tidak hanya menyiarkannya. Ada yang berusaha
mencontoh Nabi Muhammad SAW dari sisi *nubuwwah*, kenabiannya; maka jadilah
ia panutan di masyarakat dalam perilaku hamba yang saleh. Ia baik dengan
Al-Khalik dan baik dengan makhluk. Ada yang berusaha meneladani Rasulullah
SAW dari sisi risalahnya; maka tampak sekali hidupnya dihabiskan untuk
masyarakat. Mengawani masyarakat; mendidik dan membimbing mereka. Membela
dan menolong mereka. Ada -meski sangat sedikit jumlahnya- yang berusaha
melaksanakan kedua peran kenabian dan kerasulan sekaligus; maka inilah
sebenarnya yang patut disebut pewaris nabi, *min Waratsatil Anbiyaa.*


Karena itulah, tentu saja, kiai jenis ini mempunyai pengaruh di masyarakat.
Besar-kecil atau luas-sempitnya pengaruh kiai ini tergantung tingkat
keilmuan, amaliah, dan kedekatannya kepada Tuhan dan masyarakatnya. Lalu,
pemerintah yang selalu memerlukan dukungan untuk kebijakan-kebijakan yang
diambilnya bagi masyarakat pun senantiasa berusaha memanfaatkan kiai yang
memiliki pengaruh ini. Kiai yang berhasil digandeng pemerintah tidak selalu
tergandeng sepenuh hati. Karena itu, pemerintah -terutama di zaman Orde Baru
dulu- selain menggunakan kiai yang setengah hati ini, juga melakukan upaya
penahbisan kiai; salah satu caranya mungkin melalui lembaga semacam MUI itu.
Maka sering terjadi, ketika kebijaksanaan pemerintah tidak sesuai atau
apalagi bertentangan dengan kehendak rakyat, kiai-kiai yang dekat dengan
pemerintah pun menjadi kurban: dijauhi masyarakatnya sendiri.


Sudah diketahui bahwa pers merupakan pembentuk opini paling ampuh. Karena
itu, tidak heran bila pers juga bisa memproduk kiai. Apalagi setelah
popularitas kiai sudah mulai menyaingi selebriti. Bukan hanya itu, pers
-entah kerja sama dengan siapa saja- dapat membuat kiainya lebih dari
kiai-kiai jenis lain dengan memberikan embel-embel tambahan seperti kiai
karismatik, kiai khas dan sebagainya. Boleh jadi, ketenaran kiai *made
in*pers ini jauh melebihi kiai produk masyarakat.


Kalau mau lebih detail, sebenarnya masih ada dua jenis kiai lagi; yaitu kiai
produk politisi dan kiai produk sendiri. Mula-mula -seperti halnya
pemerintah- politisi atau pimpinan partai berusaha mendekati kiai melalui
broker-broker kiai yang bisa saja dari orang *ndalem* (anak, menantu, atau
santri kiai) atau orang luar yang dekat dengan sang kiai.  Tapi, lama-lama
mereka ini berusaha dan ternyata mampu -tentu saja dengan bantuan pers-
memproduk kiai sendiri. Bahkan, sekaligus membuatkan wadah untuk para kiai
itu. Kiai produk sendiri, mungkin, ini yang termurah. Modalnya hanya
kemampuan akting, menghafal beberapa ayat dan hadis, busana kelengkapan
seperti sorban (yang lebih wibawa yang berwarna hijau, tapi memang agak
mahal sedikit), baju koko atau lebih afdol lagi jubah. Kalau mau lebih
sukses, ya harus mengeluarkan lebih banyak lagi dana; paling tidak untuk
menggaji manajer dan kaki-tangan-kaki-tangan.


Nah, di musim pemilu, saat dukungan sangat diperlukan untuk meraih suara
sebanyak-banyaknya, jenis-jenis kiai itu semua tentu ikut meramaikan dan
menyemarakkan perhelatan nasional ini. Karena itu, Anda tak perlu kaget atau
bingung. Berharap saja, mudah-mudahan di antara mereka itu masih banyak kiai
yang tetap istiqamah memikirkan Indonesia dan bangsa Indonesia. Paling
tidak, mengawani rakyat dengan kearifan dan doa mereka. Amien.



KH. Dr. A. Mustofa Bisri, Pengajar di Pondok Pesantren Taman Pelajar
Raudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah.


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke