Ranjau-Ranjau Takwa
Oleh: KH. Dr. A. Mustofa Bisri

Jawa Pos, Rabu, 11 Agustus 2010



SEBAGAI hamba Allah SWT yang telah berikrar "Tiada Tuhan selain Allah",
sebenarnya apa pun perintah-Nya, kita tidak perlu dan tidak pantas
bertanya-tanya mengapa, untuk apa?


Hamba yang baik justru senantiasa ber-husnuzan, berbaik sangka kepada-Nya.
Allah SWT memerintahkan atau melarang sesuatu, pastilah untuk kepentingan
kita. Karena Allah SWT Mahakaya, tidak memiliki kepentingan apa pun. Dia
mulia bukan karena dimuliakan; agung bukan karena diagungkan; berwibawa
bukan karena ditunduki. Sejak semula Dia sudah Mahamulia, sudah Mahaagung,
sudah Mahakaya, dan sudah Maha Berwibawa.


Kalau kemudian Dia menjelaskan pentingnya melaksanakan perintah-Nya atau
menjauhi larangan-Nya, semata-mata karena Dia tahu watak kita yang suka
mempertanyakan, yang selalu menonjolkan kepentingan sendiri.


Maka sebelum kita mempertanyakan mengapa kita diperintahkan berpuasa,
misalnya, Allah SWT telah berfirman: "Ya ayyuhalladziina aamanuu kutiba
'alaikumush-shiyaamu..."(Q. 2. Al-Baqarah: 183) "Wahai orang-orang yang
beriman, telah diwajibkan puasa atas kalian sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang yang sebelum kalian, agar kalian bertakwa."


Hamba mukmin di dunia ini dalam proses menuju ketakwaan kepada Allah SWT.
Karena semua kebaikan hamba di dunia dan kebahagiaan di akhirat, kuncinya
adalah ketakwaan kepada-Nya. Mulai pujian Allah SWT, dukungan dan
pertolongan-Nya, penjagaan-Nya, pengampunan-Nya, cinta-Nya, limpahan
rezeki-Nya, pematutan amal dan penerimaan-Nya terhadapnya; hingga
kebahagiaan abadi di surga, ketakwaanlah kuncinya. (Baca misalnya, Q 3: 76,
120, 133, 186; Q 5:27; Q 16: 128; Q 19: 72; Q 39: 61; Q 65: 2-3; Q 33:
70-71; Q 49: 13).


Nah puasa, sebagaimana dijelaskan Allah SWT dalam ayat 183 Al-Baqarah di
atas, merupakan sarana kita untuk mencapai ketakwaan yang berarti pada
gilirannya meraih kebahagian di dunia dan akhirat.


Takwa sendiri lebih sering diucapkan ketimbang diterangkan. Ini barangkali
karena banyaknya definisi.


Intinya -sejalan dengan maknanya secara bahasa- ialah penjagaan diri.
Penjagaan diri dari apa? Ada yang mengatakan penjagaan diri dari hukuman
Allah dengan cara menaati-Nya. Ada yang mengatakan penjagaan diri dari
mengabaikan perintah-perintah Allah dan melanggar larangan-larangan-Nya. Ada
yang mengatakan penjagaan diri dari melakukan hal-hal yang menjauhkan dari
Allah. Ada yang mengatakan penjagaan diri jangan sampai mengikuti hawa nafsu
dan tergoda setan. Ada yang mengatakan penjagaan diri jangan sampai tidak
mengikuti jejak Rasulullah SAW. Dan, masih banyak lagi pendapat yang jika
kita cermati, semuanya berujung pada satu makna.


Perbedaannya hanya pada ungkapan tentang dari apa kita mesti menjaga diri.
Orang mukmin yang menjaga dirinya terhadap seretan hawa nafsu dan atau
godaan setan, berarti dia menjaga diri dari mengabaikan perintah-perintah
Allah dan dari melakukan hal-hal yang dilarang-Nya; berarti dia menjaga diri
agar tetap mengikuti jejak Rasullah SAW; berarti menjaga diri dari hukuman
Allah dan dijauhkan dari-Nya. Ibarat berjalan di ladang ranjau, orang yang
bertakwa senantiasa berhati-hati dan waspada terhadap hal-hal yang dapat
mencelakakannya.


"Ranjau' yang paling bahaya ialah yang paling tidak terduga; seperti yang
banyak menimpa sementara kaum beragama sendiri, yakni nafsu terselubung.
Sering setan menumpang nafsu dengan membisikkan kepada yang bersangkutan
bahwa yang menggelora dalam dirinya adalah "semangat keagamaan", bukan
"kobaran nafsu"; "semangat mengagungkan Tuhan", bukan "nafsu mengagungkan
diri sendiri".


Puasa, seperti diketahui, bukanlah sekadar menahan diri untuk tidak makan
dan tidak minum. Seandainya sekadar menahan diri dari makan dan minum pun
sudah merupakan latihan untuk dapat menguasai dan menjaga diri karena Allah.
Dalam puasa, melakukan dan tidak melakukan sesuatu karena Allah secara nalar
jauh lebih mudah. Orang yang berpuasa karena orang, misalnya, bisa saja
makan atau minum di siang hari secara sembunyi-sembunyi. Makan makanannya
sendiri, minum minumannya sendiri, apa susahnya? Tapi, untuk apa? Karena
Allah-lah yang membuat orang mukmin bersedia menahan lapar, tidak makan
makanannya sendiri; menahan haus, tidak minum minumannya sendiri.


Karena Allah ini tentu saja hanya bisa disikapi oleh mereka yang iman kepada
Allah. Dan, seukur tebal-tipis, besar-kecil, atau kuat-ringkihnya iman
itulah, ketulusan orang yang melakukan atau tidak melakukan sesuatu karena
Allah. Di dalam puasa, orang mukmin digembleng untuk menjadi mukmin yang
kuat, yang dapat menguasai dan menjaga diri. Mukmin yang lubuk hatinya,
pikirannya, hingga pelupuk matanya, merupakan singgasana Allah; sehingga
tidak mudah dibuat tergiur oleh iming-iming sesaat seperti hewan; tidak
terjerumus berperilaku buas dan serakah seperti binatang.


Mukmin sejati, mukmin yang bertakwa kepada Allah. Bukan pengaku mukmin yang
lubuk hatinya, pikirannya, hingga pelupuk matanya merupakan tempat mendekam
hewan dan binatang buas; sehingga makan pun tidak peduli makan makanannya
sendiri atau milik orang lain dan menunjukkan kehebatannya dengan menerkam
ke sana-kemari. Na'udzu billah min dzalik. (*)


*) Pengasuh Ponpes Raudlatut Thalibin, Rembang


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke