Re: [Keuangan] Ladang Gas Dikuasai Asing Indonesia Tidak Berdaya Atur Pasokan Gas

2010-02-03 Terurut Topik dyahanggitasari

Pasokan Gas, Dirjen Migas Diminta Lapor SBY
VIVAnews
By Heri Susanto, Elly Setyo Rini - Kamis, 21 Januar



VIVAnews - Menteri Perindustrian MS Hidayat mendesak agar Dirjen Migas 
Kementerian ESDM Evita Herawati Legowo segera melaporkan kepada Presiden 
terkait kepastian jaminan pasokan gas.

Menteri Perindustrian baru saja SMS, minta saya bisa tidak lapor ke Presiden 
siang ini. Saya bilang belum bisa karena belum selesai, kata Evita dalam 
Workshop Revitalisasi Industri Pupuk di Kementerian Perindustrian, Jakarta, 
Kamis, 21 Januari 2010.

Lebih lanjut Evita menjelaskan, hingga saat ini, masih saja terjadi 
ketidaksepakatan penentuan harga pembelian dan penjualan gas.

Dari pihak pabrik pupuk, minta reasonable saat ke bank. Tapi dari produsen gas 
juga ada batasan minimum ke pemerintah dan batasan minimum supaya gas bisa 
keluar dari dalam perut bumi, ujarnya.

Sehingga, kata dia, penentuan harga gas melibatkan tiga kepentingan, yakni 
pemerintah, produsen gas, dan produsen pupuk.

Kalau masalah harga gas ini tidak bisa diselesaikan, harus ada yang berkorban. 
Satu-satunya yang harus berkorban yakni pemerintah, ujarnya.

Namun, pengorbanan dari pemerintah, menurutnya, harus jelas dan disepakati 
bersama.

Untuk memastikan pasokan gas cukup bagi kebutuhan dalam negeri, pemerintah 
telah mengeluarkan aturan domestic market obligation (DMO).

Produsen migas diwajibkan mengalokasikan 25 persen bagian dari kontraktor dari 
keseluruhan produksi.

Karena bagian kontraktor sebanyak 30 persen, dan sisanya pemerintah maka yang 
harus diserahkan 17,5 persen dari produksi, kata dia.

Menteri Perindustrian MS Hidayat menjelaskan, dalam rangka memenuhi kebutuhan 
pupuk yang meningkat, industri dituntut untuk menaikkan produktivitas.

Revitalisasi industri pupuk masuk dalam program 100 hari. Dengan adanya 
revitalisasi, diharapkan kapasitas produksi industri pupuk urea akan meningkat 
dari 8,05 juta ton menjadi 10,4 juta ton, kata Hidayat dalam sambutan yang 
dibacakan Wakil Menteri Perindustrian Alex W Retraubun.




Re: BPK/BPKP/ Re: [Keuangan] Sampai mana Akuntan Publik bertanggung jawab?

2010-02-03 Terurut Topik Hok An
Saya duga Anda benar.
Didesa kas desa dan kas pribadi kepala desa belum tentu dipisah jelas.
Sudah itu ada penghasilan aparat desa yang berbentuk hak2 atas tanah.

Salam

Hok An

raden sutrisno schrieb:
  

 Saya rasa sebelum semua itu berjalan, terlebih dahulu para pengelola
 keuangan daerah harus faham mana uang yg halal dan mana yg haram.
 Misalnya pada tingkat desa komisi kades atas transaksi penjualan tanah 
 masuk
 kas desa atau honor pribadi kades.

 Salam

 Pada 3 Februari 2010 03:32, Hok An ho...@t-online.de 
 mailto:Hokan%40t-online.de menulis:

 
 
  Bung Habibie,
 
  saya rasa komentar Anda sudah benar arahnya.
  Yang perlu diperbaiki saya rasa memang aparat di kabupaten dulu, supaya
  mampu membing desa2 dalam percanaan proyek. Disamping itu memang sistem
  pembukaan didesa perlu ditingkatkan dari awal.
 
  Salam
 
  Hok An
 
 
 




Re: [Keuangan] Gotong Royong, Subsidi hingga Pasar Modern was : Ladang Gas Dikuasai Asing

2010-02-03 Terurut Topik Hok An
Bung Rachmad,

1. Dilihat secara jumlah katanya Indonesia nomor 6 didunia. Dulu pernah 
ada taksiran Indonesia no2.
Tetapi kalau dibagi dengan jumlah manusianya yang juga banyak, maka SDA 
Indonesia biasa2 saja.
Tidak cukup untuk menjadi modal pokok negara kesejahteraan.
Tetapi memang jumlah dan kwalitas SDA Indonesia kalau diusahakan sudah 
lama bisa mencukupi kehidupan yang berkwalitas. Kalau langsung dijual 
tentu akan memakmurkan yang beli.

2. Saya kautir sistem beras murah sudah lama umurnya dibumi kita.
Subsidi ini punya tujuan yaitu upah yang murah.
Mungkin bisa dibuat perbandingan sistem upah Indonesia dengan Malaysia.
Disektor tertentu sudah ada penyesuaian. Setahu saya upah anggota DPR 
dan DPD sudah cukup tinggi.
Tetapi dibawah, terutama sektor pertanian rupanya belum.

3. Sistem subsidi di Indonesia bocor dan boros, sebab barang2 bersubsidi 
akan diekspor/diselundupkan  ke luar negeri.

Salam

Hok An


Rachmad M schrieb:
  


 Pada dasarnya Indonesia ini adalah negara yang sangat kaya, hampir 
 semua jenis energi tersedia di negeri ini :-) Seharusnya pola 
 penanganannya juga berbeda sedikit dari negara lain yang apa-apanya 
 serba terbatas.

 Pada hakekatnya kesejahteraan negeri ini adalah kemampuan anak bangsa 
 Indonesia untuk dapat saling tukar menukar barang dan jasa secara 
 adil. Ada banyak pola yang dilakukan untuk saling tukar ini.

 Gotong Royong :
 Pola 'gotong royong' adalah pola dimana tukar menukar barang dan jasa 
 tidak dilakukan dengan ukuran 'uang'. Ukuran yang digunakan adalah 
 kebersamaan sosial. Ada untung ruginya menerapkan hal ini. 
 Keuntungannya adalah tersedianya kebutuhan masyarakat tanpa harus 
 menunggu adanya 'uang' dan hal ini sangat memungkinkan di negeri yang 
 sebenarnya segala sesuatunya telah disediakan oleh alam Indonesia yang 
 demikian kayanya.

 Kerugian dari pola ini adalah masyarakat bertransaksi barang/jasa 
 tanpa ukuran uang. Hal ini berakibat masyarakat ter'diskriminasi' pada 
 saat ia harus masuk dalam pergaualan masyarakat yang segala pertukaran 
 barang/jasa nya diukur dengan uang.

 Sebagai contoh, haji Ali yang biasa memarkir mobilnya dipasar sebuah 
 desa tidak dipungut bayaran meskipun hal itu dilakukan seharian :-) 
 Semua orang tahu itu mobil H. Ali dan ikut menjaga jika terjadi 
 hal-hal yang tidak diinginkan. Hal ini tidak berlaku ketika mobilnya 
 diparkir di Jakarta yang satu jam dipungut 2000 perak.

 Hal-hal semacam ini juga mengakibatkan terjadinya urbanisasi dimana 
 masyarakat lebih berharap tenaganya diukur dengan uang dan itu berlaku 
 dalam masyarakat modern sehingga mereka rela untuk menjadi PRT 
 diibukota bahkan TKI :-)

 Subsidi :

 Subsidi sebenarnya adalah bentuk peralihan dari masyarakat 'gotong 
 royong' menjadi masyarakat modern. Pertukaran barang/jasa tidak diukur 
 penuh dengan uang yang berlaku global. Pertukaran barang/jasa 
 dilakukan dengan 'uang' ukuran lokal karena sebagian biaya yang 
 seharusnya dibayar penuh ditanggung oleh pemerintah.

 Hal ini juga berdampak buruk. Masyarakat kotapun ikut ter 
 'diskriminasi' karena ada kecendrungan untuk tidak dibayar dengan 
 ukuran pasar modern mengingat sebagian kebutuhannya telah dibayar oleh 
 Pemerintah dalam bentuk subsidi.

 Padahal masyarakat perkotaan yang 'modern' sebagian kebutuhannya di 
 sediakan oleh pasar global, akibatnya gaji tidak cukup sehingga 
 diperlukan 'obyek'an sampai hal-hal yang berbau korupsi hanya sekedar 
 untuk pemenuhan kebutuhan standard saja.

 Pasar Modern :

 Segala pertukaran barang/jasa diukur dengan ukuran 'uang'. Hal ini 
 terjadi akibat begitu banyak dan ruwetnya pertukaran barang dan jasa. 
 Seperti parkir mobil H. Ali tadi sudah tidak mungkin lagi dilakukan 
 mengingat begitu banyak jumlah mobil dan lebarnya pergerakan sehingga 
 dibutuhkan tangan-tangan profesional untuk menjaga properti dari 
 tangan usil :-)

 Karena kompleksnya pertukaran barang/jasa ini maka ketika ada subsidi 
 yang ditarik akan terjadi penyesuaian disana sini sampai tiba pada 
 rasa keadilan semua pihak untuk dapat saling bertukar barang/jasa 
 dengan perasaan adil dalam ukuran uang.

 Pada kondisi yang demikian maka seharusnyalah negara memberikan 
 subsidi pada konsumen yang tak berdaya dalam bentuk jaminan Sosial 
 Nasional yang berbentuk Bantuan Tunai Langsung (BLT). Tujuannya adalah 
 masyarakat yang terkendala karena fisik/mental/ usia atau masalah 
 sosial lainnya tetap dapat mengakses produk berupa barang/jasa yang 
 dihasilkan oleh mereka yang bergerak dibidang komersial tanpa 
 mengganggu hitungan keuangan yang dilakukan.

 Hal ini akan lebih baik lagi jika Pemerintah juga bisa mendaya gunakan 
 mereka yang memperoleh Jaminan Sosial Nasional untuk mengisi hal-hala 
 kebutuhan sosial masyarakat. Jika penerima enggan untuk mengisi 
 kebutuhan sosial masyarakat maka dipersilahkan untuk bindah ke komersial.

 Ketika masyarakat sudah tidak terdiskriminasi lagi, maka tidak ada 
 alasan untuk tidak menjual produk-produk seperti CPO didalam negeri 
 

Re: [Keuangan] Gotong Royong, Subsidi hingga Pasar Modern was : Ladang Gas Dikuasai Asing

2010-02-03 Terurut Topik Rachmad M

Bung Hok An,

Saya melihat di Indonesia ini, dimana 'uang' yang seharusnya hanya merupakan 
perantara/penghantar terciptanya barang dan jasa secara adil justru menjadi 
penghambat dan menciptakan rasa kurang adil:-) Penghambat disini bisa berupa 
cara pembayaran yang ditunda-tunda dengan harapan uang diputar dulu untuk 
mendapat 'bunga' atau tidak adil karena mengurangi kualitas barang/jasa demi 
'uang' bahkan kalau bisa uang dipindah tangankan tanpa diimbangi barang/jasa 
yang ini mirip rampok.

Disisi lain kita juga melihat bahwa sebagian rakyat kita menolak jika ada 
pejabat atau siapapun difasilitasi dengan  baik  berupa penggajian maupun 
fasilitas yang baik. Padahal yang kita inginkan sebenarnya bagaimana mereka itu 
membelanjakan uangnya secara adil dari rakyat penyedia barang dan jasa.

Hal seperti ini yang merupakan ganjalan-ganjalan dalam mewujudkan masyarakat 
masuk dalam pasar modern yang segalanya dipertukarkan dengan tanda uang secara 
adil :-)

Salam

RM





--- In AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com, Hok An ho...@... wrote:

 Bung Rachmad,
 
 1. Dilihat secara jumlah katanya Indonesia nomor 6 didunia. Dulu pernah 
 ada taksiran Indonesia no2.
 Tetapi kalau dibagi dengan jumlah manusianya yang juga banyak, maka SDA 
 Indonesia biasa2 saja.
 Tidak cukup untuk menjadi modal pokok negara kesejahteraan.
 Tetapi memang jumlah dan kwalitas SDA Indonesia kalau diusahakan sudah 
 lama bisa mencukupi kehidupan yang berkwalitas. Kalau langsung dijual 
 tentu akan memakmurkan yang beli.
 
 2. Saya kautir sistem beras murah sudah lama umurnya dibumi kita.
 Subsidi ini punya tujuan yaitu upah yang murah.
 Mungkin bisa dibuat perbandingan sistem upah Indonesia dengan Malaysia.
 Disektor tertentu sudah ada penyesuaian. Setahu saya upah anggota DPR 
 dan DPD sudah cukup tinggi.
 Tetapi dibawah, terutama sektor pertanian rupanya belum.
 
 3. Sistem subsidi di Indonesia bocor dan boros, sebab barang2 bersubsidi 
 akan diekspor/diselundupkan  ke luar negeri.
 
 Salam
 
 Hok An
 
 
 Rachmad M schrieb:
   
 
 
  Pada dasarnya Indonesia ini adalah negara yang sangat kaya, hampir 
  semua jenis energi tersedia di negeri ini :-) Seharusnya pola 
  penanganannya juga berbeda sedikit dari negara lain yang apa-apanya 
  serba terbatas.
 
  Pada hakekatnya kesejahteraan negeri ini adalah kemampuan anak bangsa 
  Indonesia untuk dapat saling tukar menukar barang dan jasa secara 
  adil. Ada banyak pola yang dilakukan untuk saling tukar ini.
 
  Gotong Royong :
  Pola 'gotong royong' adalah pola dimana tukar menukar barang dan jasa 
  tidak dilakukan dengan ukuran 'uang'. Ukuran yang digunakan adalah 
  kebersamaan sosial. Ada untung ruginya menerapkan hal ini. 
  Keuntungannya adalah tersedianya kebutuhan masyarakat tanpa harus 
  menunggu adanya 'uang' dan hal ini sangat memungkinkan di negeri yang 
  sebenarnya segala sesuatunya telah disediakan oleh alam Indonesia yang 
  demikian kayanya.
 
  Kerugian dari pola ini adalah masyarakat bertransaksi barang/jasa 
  tanpa ukuran uang. Hal ini berakibat masyarakat ter'diskriminasi' pada 
  saat ia harus masuk dalam pergaualan masyarakat yang segala pertukaran 
  barang/jasa nya diukur dengan uang.
 
  Sebagai contoh, haji Ali yang biasa memarkir mobilnya dipasar sebuah 
  desa tidak dipungut bayaran meskipun hal itu dilakukan seharian :-) 
  Semua orang tahu itu mobil H. Ali dan ikut menjaga jika terjadi 
  hal-hal yang tidak diinginkan. Hal ini tidak berlaku ketika mobilnya 
  diparkir di Jakarta yang satu jam dipungut 2000 perak.
 
  Hal-hal semacam ini juga mengakibatkan terjadinya urbanisasi dimana 
  masyarakat lebih berharap tenaganya diukur dengan uang dan itu berlaku 
  dalam masyarakat modern sehingga mereka rela untuk menjadi PRT 
  diibukota bahkan TKI :-)
 
  Subsidi :
 
  Subsidi sebenarnya adalah bentuk peralihan dari masyarakat 'gotong 
  royong' menjadi masyarakat modern. Pertukaran barang/jasa tidak diukur 
  penuh dengan uang yang berlaku global. Pertukaran barang/jasa 
  dilakukan dengan 'uang' ukuran lokal karena sebagian biaya yang 
  seharusnya dibayar penuh ditanggung oleh pemerintah.
 
  Hal ini juga berdampak buruk. Masyarakat kotapun ikut ter 
  'diskriminasi' karena ada kecendrungan untuk tidak dibayar dengan 
  ukuran pasar modern mengingat sebagian kebutuhannya telah dibayar oleh 
  Pemerintah dalam bentuk subsidi.
 
  Padahal masyarakat perkotaan yang 'modern' sebagian kebutuhannya di 
  sediakan oleh pasar global, akibatnya gaji tidak cukup sehingga 
  diperlukan 'obyek'an sampai hal-hal yang berbau korupsi hanya sekedar 
  untuk pemenuhan kebutuhan standard saja.
 
  Pasar Modern :
 
  Segala pertukaran barang/jasa diukur dengan ukuran 'uang'. Hal ini 
  terjadi akibat begitu banyak dan ruwetnya pertukaran barang dan jasa. 
  Seperti parkir mobil H. Ali tadi sudah tidak mungkin lagi dilakukan 
  mengingat begitu banyak jumlah mobil dan lebarnya pergerakan sehingga 
  dibutuhkan tangan-tangan profesional untuk menjaga properti dari 
  

[Keuangan] Black list

2010-02-03 Terurut Topik rifkianto aribowo
Dear ALL,

kami memiliki rekanan yang punya masalah ketika pengajuan kredit di bank X yang 
dikarenakan masih terdaftar di black list oleh bank sentral pada bank Y. 
Petugas bank X meminta biaya or imbalan or apapun bentuknya sebanyak 4 jt untuk 
pemutihan black list tersebut. Yang aneh lagi petugas bank X tidak bisa 
membuktikan atau menampilkan black list tadi dikerenakan kerahasiaan bank.

Yang jadi pertanyaan nya. Apakah biaya tersebut resmi atau memang ada peraturan 
atau apapun itu namanya untuk pemutihan tersebut ?. Karena ketika ammount 
tersebut diberikan. Beberapa hari kemudian kreditnya cair.

Memang ada kelemahan dari rekanan kami untuk mencek kembali ke bank Y. Apakah 
benar namanya di black list di bank tersebut. Serta tidak menannyakan kepada 
petugas lain di bank X atau pimpinannya. Kami sangat prihatin dengan rekanan 
tersebut jika hal yg tidak diinginkan terjadi dan dikarenakan dia menjalani 
bisnis dari nol dengan modal kejujuran dan kegigihan hingga menjadi besar 
seperti sekarang.

Mudah-mudahan ada yg bisa menjelaskan. 

Terima kasih


  Selalu bersama teman-teman di Yahoo! Messenger. Tambahkan mereka dari 
email atau jaringan sosial Anda sekarang! http://id.messenger.yahoo.com/invite/


[Keuangan] Langkah Sulit Penyelamatan Bank Jika Terjadi Krisis

2010-02-03 Terurut Topik Infobank infobanknews.com

http://www.infobanknews.com/index.php?mib=mib_news.detailid=1497
Langkah Sulit Penyelamatan Bank Jika Terjadi Krisis
Tanggal:  03 Februari 2010 - 12:31 WIB
Sumber: infobanknews.com

Jika sikap publik dan DPR terhadap penyehatan bank senantiasa diilhami 
konspirasi kasus BLBI, maka pada masa-masa yang akan datang jika ada bank 
gagal, sulit rasanya akan diambil sebuah langkah penyelamatan. Eko B. 
Supriyanto 

 

Sistemik dan tidak sistemik merupakan wilayah perdebatan yang tak berpangkal. 
Namun, hampir semua pengamat ekonomi sepakat bahwa pada saat dilakukan 
penyelamatan Bank Century (20 November 2008) sedang dalam kondisi krisis.

 

Sementara, para ekonom yang tidak setuju penyehatan sekarang ini, ternyata pada 
saat dilakukan penyehatan hampir semua berpandangan pada waktu itu kita sedang 
dicekam krisis akibat krisis keuangan global.

 

Tidak hanya itu. Kelompok yang kontra kebijakan penyehatan menilai, LPS bakal 
merugi ketika dilakukan divestasi. Menurut mereka, dana yang digelontorkan ke 
Bank Century sebesar Rp6,7 triliun jika dimasukkan ke dalam Sertifikat Bank 
Indonesia (SBI) dengan suku bunga rata-rata 6,5% saja pada lima tahun mendatang 
bisa mencapai kisaran Rp9 triliun-Rp10 triliun.

 

Hitung-hitungan itu memang tidak salah. Tapi, menyesatkan publik sebab LPS 
bukanlah sebuah lembaga profit atau investment bank, melainkan lembaga yang 
tugasnya menjamin dan menyehatkan bank. Harusnya juga dihitung, kalau ditutup, 
berat ongkosnya.

 

Menurut data LPS, jika ditutup pada saat itu, biaya penjaminan sebesar Rp6,4 
triliun. Itu biaya langsung. Belum biaya yang akan muncul, seperti efek domino. 

 

Jadi, penyelamatan Bank Century harusnya dilihat juga efeknya bagi perbankan 
nasional. Situasi perbankan sekarang ini yang relatif tidak rusak tidak 
serta-merta karena penyehatan Bank Century.

 

 Namun, karena kebijakan pengambilalihan bank tersebut ternyata tidak berefek 
buruk terhadap bank-bank lain. Bank Century yang disehatkan itu suatu saat bisa 
dijual dan selama hidupnya Bank Century akan memberikan kredit, mendorong 
pertumbuhan ekonomi, dan pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan pajak.

 

Kenyataan itulah yang ditutupi para pengamat yang antipenyelamatan. Padahal, 
penyehatan perbankan bukan sebuah matematika tentang untung rugi, melainkan 
lebih banyak mengurangi biaya yang lebih besar.

 

Penyelamatan bank di saat krisis bukanlah menyelamatkan sebuah bank semata, 
melainkan menyelamatkan ekonomi dari kehancuran.

 

Pengalaman masa lalu, yaitu ditutupnya 16 bank yang berukuran kecil ternyata 
menjadi bencana yang tidak pernah terlupakan oleh perbankan. Biaya yang 
dibutuhkan hingga mencapai Rp650 triliun dengan menelan uang anggaran 
pendapatan dan belanja negara (APBN). 

 

Harusnya Pansus Hak Angket Bank Century tidak berputar-putar pada masalah 
apakah penutupan Bank Century berdampak sistemik atau tidak sistemik, tapi 
lebih fokus pada persoalan apakah ada aliran dana yang tidak semestinya atau 
tidak.

 

Sebab, kebijakan yang diambil bisa saja salah kalau toh dianggap salah. Tapi, 
kebijakan yang salah itu tidak bisa dikriminalisasi atau dianggap sebagai 
sebuah kejahatan.

 

Jika sikap publik dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap penyehatan bank 
senantiasa diilhami konspirasi kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI), 
maka pada masa-masa yang akan datang, jika ada bank gagal, sulit rasanya akan 
diambil sebuah langkah penyelamatan. 

 

Bahkan, jika ada bank gagal, maka akan didor (dilikuidiasi) saja. Selesai 
persoalan. Jika hal itu menjadi pikiran pengambil keputusan, maka bank-bank 
sekarang rasanya tidak mempunyai payung jika terjadi krisis. Hati-hatilah.

 

Kenyataan itu tentu tidak menguntungkan industri perbankan yang selama ini 
membayar premi atas dana nasabahnya. Penyelesaian yang berlarut-larut atas 
kasus Bank Century juga tidak kondusif bagi perbankan.

 

Industri perbankan yang membayar premi atas dana nasabahnya tentunya 
menginginkan penyelesaian kasus Bank Century yang proporsional. Tidak harus 
menghukum kebijakan karena pada akhirnya perbankan yang akan merugi. (*)



  

[Non-text portions of this message have been removed]



Re: [Keuangan] Langkah Sulit Penyelamatan Bank Jika Terjadi Krisis

2010-02-03 Terurut Topik Wong Cilik
Bagus juga...  walaupun yang namanya penyelamatan bank harusnya diartikan
lebih tepat penyelamatan dana nasabah masyarakat

Bank diselamatkan bukan semata-mata menyelamatkan bank-nya, tapi lebih pada
uang masyarakat yang disimpan di bank tersebut. Inipula yang mengakibatkan
penyelamatannya ber-efek menyelamatkan ekonomi negara dari kehancuran.

2010/2/4 Infobank infobanknews.com infobankn...@yahoo.com


 http://www.infobanknews.com/index.php?mib=mib_news.detailid=1497
Langkah Sulit Penyelamatan Bank Jika Terjadi Krisis
 Tanggal:  03 Februari 2010 - 12:31 WIB
 Sumber: infobanknews.com


 Penyelamatan bank di saat krisis bukanlah menyelamatkan sebuah bank semata,
 melainkan menyelamatkan ekonomi dari kehancuran.





[Non-text portions of this message have been removed]



Re: [Keuangan] Langkah Sulit Penyelamatan Bank Jika Terjadi Krisis

2010-02-03 Terurut Topik Andy Porman Tambunan
Saya pribadi sangat menyetujui langkah yg diambil utk menyelamatkan Bank 
Century saat itu, terlepas dari jumlah dana bail out yg digelontorkan. Saya 
juga setuju faktor psikologis pasar menjadi salah satu pertimbangan, bukan 
hanya mengandalkan angka-angka index parameter saja. Faktor psikologis ini 
pernah ditanggapi secara sinis oleh Kwik Kian Gie di depan rapat Pansus Century 
dengan mempertanyakan kenapa tidak melibatkan psikolog?

Inilah uniknya pasar Indonesia. Tidak semua ilmu/jurus dari negara-negara maju 
dapat diimplementasikan begitu saja di Indonesia ini. Siapa yg menjamin apabila 
Bank Century tidak di-bail out lantas tidak terjadi rush thd bank-bank kita? 
Atau, jika tidak di-bail out lalu terjadi rush yg diikuti chaos akibat 
runtuhnya sistem perekonomian seperti tahun 1998, siapa yang akan 
dipersalahkan? Akankah DPR akan membentuk Pansus utk menyelidiki kenapa 
pemerintah tidak mem-bail out? Lalu para pakar akan mencari-cari teori untuk 
mempermasalahkan kebijakan pemerintah? 

Aneh... terkadang saya bingung melihat sebagian besar pakar (atau yg menamakan 
dirinya pakar) ini. Malah sepertinya ada beberapa yg komentarnya tailor-made 
(sesuai pesanan). 

Mari kita lihat jika aliran dana Bank Century sudah terkuak. Akan kelihatan 
aslinya, mana yg musang, mana yg domba, atau mana yg musang berbulu domba.









 



  



  
  
  

http://www.infobank news.com/ index.php? mib=mib_news. detailid= 1497

Langkah Sulit Penyelamatan Bank Jika Terjadi Krisis

Tanggal:  03 Februari 2010 - 12:31 WIB

Sumber: infobanknews. com



Jika sikap publik dan DPR terhadap penyehatan bank senantiasa diilhami 
konspirasi kasus BLBI, maka pada masa-masa yang akan datang jika ada bank 
gagal, sulit rasanya akan diambil sebuah langkah penyelamatan. Eko B. 
Supriyanto 



Sistemik dan tidak sistemik merupakan wilayah perdebatan yang tak berpangkal. 
Namun, hampir semua pengamat ekonomi sepakat bahwa pada saat dilakukan 
penyelamatan Bank Century (20 November 2008) sedang dalam kondisi krisis.



Sementara, para ekonom yang tidak setuju penyehatan sekarang ini, ternyata pada 
saat dilakukan penyehatan hampir semua berpandangan pada waktu itu kita sedang 
dicekam krisis akibat krisis keuangan global.



Tidak hanya itu. Kelompok yang kontra kebijakan penyehatan menilai, LPS bakal 
merugi ketika dilakukan divestasi. Menurut mereka, dana yang digelontorkan ke 
Bank Century sebesar Rp6,7 triliun jika dimasukkan ke dalam Sertifikat Bank 
Indonesia (SBI) dengan suku bunga rata-rata 6,5% saja pada lima tahun mendatang 
bisa mencapai kisaran Rp9 triliun-Rp10 triliun.



Hitung-hitungan itu memang tidak salah. Tapi, menyesatkan publik sebab LPS 
bukanlah sebuah lembaga profit atau investment bank, melainkan lembaga yang 
tugasnya menjamin dan menyehatkan bank. Harusnya juga dihitung, kalau ditutup, 
berat ongkosnya.



Menurut data LPS, jika ditutup pada saat itu, biaya penjaminan sebesar Rp6,4 
triliun. Itu biaya langsung. Belum biaya yang akan muncul, seperti efek domino. 



Jadi, penyelamatan Bank Century harusnya dilihat juga efeknya bagi perbankan 
nasional. Situasi perbankan sekarang ini yang relatif tidak rusak tidak 
serta-merta karena penyehatan Bank Century.



Namun, karena kebijakan pengambilalihan bank tersebut ternyata tidak berefek 
buruk terhadap bank-bank lain. Bank Century yang disehatkan itu suatu saat bisa 
dijual dan selama hidupnya Bank Century akan memberikan kredit, mendorong 
pertumbuhan ekonomi, dan pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan pajak.



Kenyataan itulah yang ditutupi para pengamat yang antipenyelamatan. Padahal, 
penyehatan perbankan bukan sebuah matematika tentang untung rugi, melainkan 
lebih banyak mengurangi biaya yang lebih besar.



Penyelamatan bank di saat krisis bukanlah menyelamatkan sebuah bank semata, 
melainkan menyelamatkan ekonomi dari kehancuran.



Pengalaman masa lalu, yaitu ditutupnya 16 bank yang berukuran kecil ternyata 
menjadi bencana yang tidak pernah terlupakan oleh perbankan. Biaya yang 
dibutuhkan hingga mencapai Rp650 triliun dengan menelan uang anggaran 
pendapatan dan belanja negara (APBN). 



Harusnya Pansus Hak Angket Bank Century tidak berputar-putar pada masalah 
apakah penutupan Bank Century berdampak sistemik atau tidak sistemik, tapi 
lebih fokus pada persoalan apakah ada aliran dana yang tidak semestinya atau 
tidak.



Sebab, kebijakan yang diambil bisa saja salah kalau toh dianggap salah. Tapi, 
kebijakan yang salah itu tidak bisa dikriminalisasi atau dianggap sebagai 
sebuah kejahatan.



Jika sikap publik dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap penyehatan bank 
senantiasa diilhami konspirasi kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI), 
maka pada masa-masa yang akan datang, jika ada bank gagal, sulit rasanya akan 
diambil sebuah langkah penyelamatan. 



Bahkan, jika ada bank gagal, maka akan didor (dilikuidiasi) saja. Selesai 
persoalan. Jika hal itu menjadi pikiran pengambil keputusan, maka bank-bank