Re: [Keuangan] Ladang Gas Dikuasai Asing Indonesia Tidak Berdaya Atur Pasokan Gas
Pasokan Gas, Dirjen Migas Diminta Lapor SBY VIVAnews By Heri Susanto, Elly Setyo Rini - Kamis, 21 Januar VIVAnews - Menteri Perindustrian MS Hidayat mendesak agar Dirjen Migas Kementerian ESDM Evita Herawati Legowo segera melaporkan kepada Presiden terkait kepastian jaminan pasokan gas. Menteri Perindustrian baru saja SMS, minta saya bisa tidak lapor ke Presiden siang ini. Saya bilang belum bisa karena belum selesai, kata Evita dalam Workshop Revitalisasi Industri Pupuk di Kementerian Perindustrian, Jakarta, Kamis, 21 Januari 2010. Lebih lanjut Evita menjelaskan, hingga saat ini, masih saja terjadi ketidaksepakatan penentuan harga pembelian dan penjualan gas. Dari pihak pabrik pupuk, minta reasonable saat ke bank. Tapi dari produsen gas juga ada batasan minimum ke pemerintah dan batasan minimum supaya gas bisa keluar dari dalam perut bumi, ujarnya. Sehingga, kata dia, penentuan harga gas melibatkan tiga kepentingan, yakni pemerintah, produsen gas, dan produsen pupuk. Kalau masalah harga gas ini tidak bisa diselesaikan, harus ada yang berkorban. Satu-satunya yang harus berkorban yakni pemerintah, ujarnya. Namun, pengorbanan dari pemerintah, menurutnya, harus jelas dan disepakati bersama. Untuk memastikan pasokan gas cukup bagi kebutuhan dalam negeri, pemerintah telah mengeluarkan aturan domestic market obligation (DMO). Produsen migas diwajibkan mengalokasikan 25 persen bagian dari kontraktor dari keseluruhan produksi. Karena bagian kontraktor sebanyak 30 persen, dan sisanya pemerintah maka yang harus diserahkan 17,5 persen dari produksi, kata dia. Menteri Perindustrian MS Hidayat menjelaskan, dalam rangka memenuhi kebutuhan pupuk yang meningkat, industri dituntut untuk menaikkan produktivitas. Revitalisasi industri pupuk masuk dalam program 100 hari. Dengan adanya revitalisasi, diharapkan kapasitas produksi industri pupuk urea akan meningkat dari 8,05 juta ton menjadi 10,4 juta ton, kata Hidayat dalam sambutan yang dibacakan Wakil Menteri Perindustrian Alex W Retraubun.
Re: BPK/BPKP/ Re: [Keuangan] Sampai mana Akuntan Publik bertanggung jawab?
Saya duga Anda benar. Didesa kas desa dan kas pribadi kepala desa belum tentu dipisah jelas. Sudah itu ada penghasilan aparat desa yang berbentuk hak2 atas tanah. Salam Hok An raden sutrisno schrieb: Saya rasa sebelum semua itu berjalan, terlebih dahulu para pengelola keuangan daerah harus faham mana uang yg halal dan mana yg haram. Misalnya pada tingkat desa komisi kades atas transaksi penjualan tanah masuk kas desa atau honor pribadi kades. Salam Pada 3 Februari 2010 03:32, Hok An ho...@t-online.de mailto:Hokan%40t-online.de menulis: Bung Habibie, saya rasa komentar Anda sudah benar arahnya. Yang perlu diperbaiki saya rasa memang aparat di kabupaten dulu, supaya mampu membing desa2 dalam percanaan proyek. Disamping itu memang sistem pembukaan didesa perlu ditingkatkan dari awal. Salam Hok An
Re: [Keuangan] Gotong Royong, Subsidi hingga Pasar Modern was : Ladang Gas Dikuasai Asing
Bung Rachmad, 1. Dilihat secara jumlah katanya Indonesia nomor 6 didunia. Dulu pernah ada taksiran Indonesia no2. Tetapi kalau dibagi dengan jumlah manusianya yang juga banyak, maka SDA Indonesia biasa2 saja. Tidak cukup untuk menjadi modal pokok negara kesejahteraan. Tetapi memang jumlah dan kwalitas SDA Indonesia kalau diusahakan sudah lama bisa mencukupi kehidupan yang berkwalitas. Kalau langsung dijual tentu akan memakmurkan yang beli. 2. Saya kautir sistem beras murah sudah lama umurnya dibumi kita. Subsidi ini punya tujuan yaitu upah yang murah. Mungkin bisa dibuat perbandingan sistem upah Indonesia dengan Malaysia. Disektor tertentu sudah ada penyesuaian. Setahu saya upah anggota DPR dan DPD sudah cukup tinggi. Tetapi dibawah, terutama sektor pertanian rupanya belum. 3. Sistem subsidi di Indonesia bocor dan boros, sebab barang2 bersubsidi akan diekspor/diselundupkan ke luar negeri. Salam Hok An Rachmad M schrieb: Pada dasarnya Indonesia ini adalah negara yang sangat kaya, hampir semua jenis energi tersedia di negeri ini :-) Seharusnya pola penanganannya juga berbeda sedikit dari negara lain yang apa-apanya serba terbatas. Pada hakekatnya kesejahteraan negeri ini adalah kemampuan anak bangsa Indonesia untuk dapat saling tukar menukar barang dan jasa secara adil. Ada banyak pola yang dilakukan untuk saling tukar ini. Gotong Royong : Pola 'gotong royong' adalah pola dimana tukar menukar barang dan jasa tidak dilakukan dengan ukuran 'uang'. Ukuran yang digunakan adalah kebersamaan sosial. Ada untung ruginya menerapkan hal ini. Keuntungannya adalah tersedianya kebutuhan masyarakat tanpa harus menunggu adanya 'uang' dan hal ini sangat memungkinkan di negeri yang sebenarnya segala sesuatunya telah disediakan oleh alam Indonesia yang demikian kayanya. Kerugian dari pola ini adalah masyarakat bertransaksi barang/jasa tanpa ukuran uang. Hal ini berakibat masyarakat ter'diskriminasi' pada saat ia harus masuk dalam pergaualan masyarakat yang segala pertukaran barang/jasa nya diukur dengan uang. Sebagai contoh, haji Ali yang biasa memarkir mobilnya dipasar sebuah desa tidak dipungut bayaran meskipun hal itu dilakukan seharian :-) Semua orang tahu itu mobil H. Ali dan ikut menjaga jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Hal ini tidak berlaku ketika mobilnya diparkir di Jakarta yang satu jam dipungut 2000 perak. Hal-hal semacam ini juga mengakibatkan terjadinya urbanisasi dimana masyarakat lebih berharap tenaganya diukur dengan uang dan itu berlaku dalam masyarakat modern sehingga mereka rela untuk menjadi PRT diibukota bahkan TKI :-) Subsidi : Subsidi sebenarnya adalah bentuk peralihan dari masyarakat 'gotong royong' menjadi masyarakat modern. Pertukaran barang/jasa tidak diukur penuh dengan uang yang berlaku global. Pertukaran barang/jasa dilakukan dengan 'uang' ukuran lokal karena sebagian biaya yang seharusnya dibayar penuh ditanggung oleh pemerintah. Hal ini juga berdampak buruk. Masyarakat kotapun ikut ter 'diskriminasi' karena ada kecendrungan untuk tidak dibayar dengan ukuran pasar modern mengingat sebagian kebutuhannya telah dibayar oleh Pemerintah dalam bentuk subsidi. Padahal masyarakat perkotaan yang 'modern' sebagian kebutuhannya di sediakan oleh pasar global, akibatnya gaji tidak cukup sehingga diperlukan 'obyek'an sampai hal-hal yang berbau korupsi hanya sekedar untuk pemenuhan kebutuhan standard saja. Pasar Modern : Segala pertukaran barang/jasa diukur dengan ukuran 'uang'. Hal ini terjadi akibat begitu banyak dan ruwetnya pertukaran barang dan jasa. Seperti parkir mobil H. Ali tadi sudah tidak mungkin lagi dilakukan mengingat begitu banyak jumlah mobil dan lebarnya pergerakan sehingga dibutuhkan tangan-tangan profesional untuk menjaga properti dari tangan usil :-) Karena kompleksnya pertukaran barang/jasa ini maka ketika ada subsidi yang ditarik akan terjadi penyesuaian disana sini sampai tiba pada rasa keadilan semua pihak untuk dapat saling bertukar barang/jasa dengan perasaan adil dalam ukuran uang. Pada kondisi yang demikian maka seharusnyalah negara memberikan subsidi pada konsumen yang tak berdaya dalam bentuk jaminan Sosial Nasional yang berbentuk Bantuan Tunai Langsung (BLT). Tujuannya adalah masyarakat yang terkendala karena fisik/mental/ usia atau masalah sosial lainnya tetap dapat mengakses produk berupa barang/jasa yang dihasilkan oleh mereka yang bergerak dibidang komersial tanpa mengganggu hitungan keuangan yang dilakukan. Hal ini akan lebih baik lagi jika Pemerintah juga bisa mendaya gunakan mereka yang memperoleh Jaminan Sosial Nasional untuk mengisi hal-hala kebutuhan sosial masyarakat. Jika penerima enggan untuk mengisi kebutuhan sosial masyarakat maka dipersilahkan untuk bindah ke komersial. Ketika masyarakat sudah tidak terdiskriminasi lagi, maka tidak ada alasan untuk tidak menjual produk-produk seperti CPO didalam negeri
Re: [Keuangan] Gotong Royong, Subsidi hingga Pasar Modern was : Ladang Gas Dikuasai Asing
Bung Hok An, Saya melihat di Indonesia ini, dimana 'uang' yang seharusnya hanya merupakan perantara/penghantar terciptanya barang dan jasa secara adil justru menjadi penghambat dan menciptakan rasa kurang adil:-) Penghambat disini bisa berupa cara pembayaran yang ditunda-tunda dengan harapan uang diputar dulu untuk mendapat 'bunga' atau tidak adil karena mengurangi kualitas barang/jasa demi 'uang' bahkan kalau bisa uang dipindah tangankan tanpa diimbangi barang/jasa yang ini mirip rampok. Disisi lain kita juga melihat bahwa sebagian rakyat kita menolak jika ada pejabat atau siapapun difasilitasi dengan baik berupa penggajian maupun fasilitas yang baik. Padahal yang kita inginkan sebenarnya bagaimana mereka itu membelanjakan uangnya secara adil dari rakyat penyedia barang dan jasa. Hal seperti ini yang merupakan ganjalan-ganjalan dalam mewujudkan masyarakat masuk dalam pasar modern yang segalanya dipertukarkan dengan tanda uang secara adil :-) Salam RM --- In AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com, Hok An ho...@... wrote: Bung Rachmad, 1. Dilihat secara jumlah katanya Indonesia nomor 6 didunia. Dulu pernah ada taksiran Indonesia no2. Tetapi kalau dibagi dengan jumlah manusianya yang juga banyak, maka SDA Indonesia biasa2 saja. Tidak cukup untuk menjadi modal pokok negara kesejahteraan. Tetapi memang jumlah dan kwalitas SDA Indonesia kalau diusahakan sudah lama bisa mencukupi kehidupan yang berkwalitas. Kalau langsung dijual tentu akan memakmurkan yang beli. 2. Saya kautir sistem beras murah sudah lama umurnya dibumi kita. Subsidi ini punya tujuan yaitu upah yang murah. Mungkin bisa dibuat perbandingan sistem upah Indonesia dengan Malaysia. Disektor tertentu sudah ada penyesuaian. Setahu saya upah anggota DPR dan DPD sudah cukup tinggi. Tetapi dibawah, terutama sektor pertanian rupanya belum. 3. Sistem subsidi di Indonesia bocor dan boros, sebab barang2 bersubsidi akan diekspor/diselundupkan ke luar negeri. Salam Hok An Rachmad M schrieb: Pada dasarnya Indonesia ini adalah negara yang sangat kaya, hampir semua jenis energi tersedia di negeri ini :-) Seharusnya pola penanganannya juga berbeda sedikit dari negara lain yang apa-apanya serba terbatas. Pada hakekatnya kesejahteraan negeri ini adalah kemampuan anak bangsa Indonesia untuk dapat saling tukar menukar barang dan jasa secara adil. Ada banyak pola yang dilakukan untuk saling tukar ini. Gotong Royong : Pola 'gotong royong' adalah pola dimana tukar menukar barang dan jasa tidak dilakukan dengan ukuran 'uang'. Ukuran yang digunakan adalah kebersamaan sosial. Ada untung ruginya menerapkan hal ini. Keuntungannya adalah tersedianya kebutuhan masyarakat tanpa harus menunggu adanya 'uang' dan hal ini sangat memungkinkan di negeri yang sebenarnya segala sesuatunya telah disediakan oleh alam Indonesia yang demikian kayanya. Kerugian dari pola ini adalah masyarakat bertransaksi barang/jasa tanpa ukuran uang. Hal ini berakibat masyarakat ter'diskriminasi' pada saat ia harus masuk dalam pergaualan masyarakat yang segala pertukaran barang/jasa nya diukur dengan uang. Sebagai contoh, haji Ali yang biasa memarkir mobilnya dipasar sebuah desa tidak dipungut bayaran meskipun hal itu dilakukan seharian :-) Semua orang tahu itu mobil H. Ali dan ikut menjaga jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Hal ini tidak berlaku ketika mobilnya diparkir di Jakarta yang satu jam dipungut 2000 perak. Hal-hal semacam ini juga mengakibatkan terjadinya urbanisasi dimana masyarakat lebih berharap tenaganya diukur dengan uang dan itu berlaku dalam masyarakat modern sehingga mereka rela untuk menjadi PRT diibukota bahkan TKI :-) Subsidi : Subsidi sebenarnya adalah bentuk peralihan dari masyarakat 'gotong royong' menjadi masyarakat modern. Pertukaran barang/jasa tidak diukur penuh dengan uang yang berlaku global. Pertukaran barang/jasa dilakukan dengan 'uang' ukuran lokal karena sebagian biaya yang seharusnya dibayar penuh ditanggung oleh pemerintah. Hal ini juga berdampak buruk. Masyarakat kotapun ikut ter 'diskriminasi' karena ada kecendrungan untuk tidak dibayar dengan ukuran pasar modern mengingat sebagian kebutuhannya telah dibayar oleh Pemerintah dalam bentuk subsidi. Padahal masyarakat perkotaan yang 'modern' sebagian kebutuhannya di sediakan oleh pasar global, akibatnya gaji tidak cukup sehingga diperlukan 'obyek'an sampai hal-hal yang berbau korupsi hanya sekedar untuk pemenuhan kebutuhan standard saja. Pasar Modern : Segala pertukaran barang/jasa diukur dengan ukuran 'uang'. Hal ini terjadi akibat begitu banyak dan ruwetnya pertukaran barang dan jasa. Seperti parkir mobil H. Ali tadi sudah tidak mungkin lagi dilakukan mengingat begitu banyak jumlah mobil dan lebarnya pergerakan sehingga dibutuhkan tangan-tangan profesional untuk menjaga properti dari
[Keuangan] Black list
Dear ALL, kami memiliki rekanan yang punya masalah ketika pengajuan kredit di bank X yang dikarenakan masih terdaftar di black list oleh bank sentral pada bank Y. Petugas bank X meminta biaya or imbalan or apapun bentuknya sebanyak 4 jt untuk pemutihan black list tersebut. Yang aneh lagi petugas bank X tidak bisa membuktikan atau menampilkan black list tadi dikerenakan kerahasiaan bank. Yang jadi pertanyaan nya. Apakah biaya tersebut resmi atau memang ada peraturan atau apapun itu namanya untuk pemutihan tersebut ?. Karena ketika ammount tersebut diberikan. Beberapa hari kemudian kreditnya cair. Memang ada kelemahan dari rekanan kami untuk mencek kembali ke bank Y. Apakah benar namanya di black list di bank tersebut. Serta tidak menannyakan kepada petugas lain di bank X atau pimpinannya. Kami sangat prihatin dengan rekanan tersebut jika hal yg tidak diinginkan terjadi dan dikarenakan dia menjalani bisnis dari nol dengan modal kejujuran dan kegigihan hingga menjadi besar seperti sekarang. Mudah-mudahan ada yg bisa menjelaskan. Terima kasih Selalu bersama teman-teman di Yahoo! Messenger. Tambahkan mereka dari email atau jaringan sosial Anda sekarang! http://id.messenger.yahoo.com/invite/
[Keuangan] Langkah Sulit Penyelamatan Bank Jika Terjadi Krisis
http://www.infobanknews.com/index.php?mib=mib_news.detailid=1497 Langkah Sulit Penyelamatan Bank Jika Terjadi Krisis Tanggal: 03 Februari 2010 - 12:31 WIB Sumber: infobanknews.com Jika sikap publik dan DPR terhadap penyehatan bank senantiasa diilhami konspirasi kasus BLBI, maka pada masa-masa yang akan datang jika ada bank gagal, sulit rasanya akan diambil sebuah langkah penyelamatan. Eko B. Supriyanto Sistemik dan tidak sistemik merupakan wilayah perdebatan yang tak berpangkal. Namun, hampir semua pengamat ekonomi sepakat bahwa pada saat dilakukan penyelamatan Bank Century (20 November 2008) sedang dalam kondisi krisis. Sementara, para ekonom yang tidak setuju penyehatan sekarang ini, ternyata pada saat dilakukan penyehatan hampir semua berpandangan pada waktu itu kita sedang dicekam krisis akibat krisis keuangan global. Tidak hanya itu. Kelompok yang kontra kebijakan penyehatan menilai, LPS bakal merugi ketika dilakukan divestasi. Menurut mereka, dana yang digelontorkan ke Bank Century sebesar Rp6,7 triliun jika dimasukkan ke dalam Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dengan suku bunga rata-rata 6,5% saja pada lima tahun mendatang bisa mencapai kisaran Rp9 triliun-Rp10 triliun. Hitung-hitungan itu memang tidak salah. Tapi, menyesatkan publik sebab LPS bukanlah sebuah lembaga profit atau investment bank, melainkan lembaga yang tugasnya menjamin dan menyehatkan bank. Harusnya juga dihitung, kalau ditutup, berat ongkosnya. Menurut data LPS, jika ditutup pada saat itu, biaya penjaminan sebesar Rp6,4 triliun. Itu biaya langsung. Belum biaya yang akan muncul, seperti efek domino. Jadi, penyelamatan Bank Century harusnya dilihat juga efeknya bagi perbankan nasional. Situasi perbankan sekarang ini yang relatif tidak rusak tidak serta-merta karena penyehatan Bank Century. Namun, karena kebijakan pengambilalihan bank tersebut ternyata tidak berefek buruk terhadap bank-bank lain. Bank Century yang disehatkan itu suatu saat bisa dijual dan selama hidupnya Bank Century akan memberikan kredit, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan pajak. Kenyataan itulah yang ditutupi para pengamat yang antipenyelamatan. Padahal, penyehatan perbankan bukan sebuah matematika tentang untung rugi, melainkan lebih banyak mengurangi biaya yang lebih besar. Penyelamatan bank di saat krisis bukanlah menyelamatkan sebuah bank semata, melainkan menyelamatkan ekonomi dari kehancuran. Pengalaman masa lalu, yaitu ditutupnya 16 bank yang berukuran kecil ternyata menjadi bencana yang tidak pernah terlupakan oleh perbankan. Biaya yang dibutuhkan hingga mencapai Rp650 triliun dengan menelan uang anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Harusnya Pansus Hak Angket Bank Century tidak berputar-putar pada masalah apakah penutupan Bank Century berdampak sistemik atau tidak sistemik, tapi lebih fokus pada persoalan apakah ada aliran dana yang tidak semestinya atau tidak. Sebab, kebijakan yang diambil bisa saja salah kalau toh dianggap salah. Tapi, kebijakan yang salah itu tidak bisa dikriminalisasi atau dianggap sebagai sebuah kejahatan. Jika sikap publik dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap penyehatan bank senantiasa diilhami konspirasi kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI), maka pada masa-masa yang akan datang, jika ada bank gagal, sulit rasanya akan diambil sebuah langkah penyelamatan. Bahkan, jika ada bank gagal, maka akan didor (dilikuidiasi) saja. Selesai persoalan. Jika hal itu menjadi pikiran pengambil keputusan, maka bank-bank sekarang rasanya tidak mempunyai payung jika terjadi krisis. Hati-hatilah. Kenyataan itu tentu tidak menguntungkan industri perbankan yang selama ini membayar premi atas dana nasabahnya. Penyelesaian yang berlarut-larut atas kasus Bank Century juga tidak kondusif bagi perbankan. Industri perbankan yang membayar premi atas dana nasabahnya tentunya menginginkan penyelesaian kasus Bank Century yang proporsional. Tidak harus menghukum kebijakan karena pada akhirnya perbankan yang akan merugi. (*) [Non-text portions of this message have been removed]
Re: [Keuangan] Langkah Sulit Penyelamatan Bank Jika Terjadi Krisis
Bagus juga... walaupun yang namanya penyelamatan bank harusnya diartikan lebih tepat penyelamatan dana nasabah masyarakat Bank diselamatkan bukan semata-mata menyelamatkan bank-nya, tapi lebih pada uang masyarakat yang disimpan di bank tersebut. Inipula yang mengakibatkan penyelamatannya ber-efek menyelamatkan ekonomi negara dari kehancuran. 2010/2/4 Infobank infobanknews.com infobankn...@yahoo.com http://www.infobanknews.com/index.php?mib=mib_news.detailid=1497 Langkah Sulit Penyelamatan Bank Jika Terjadi Krisis Tanggal: 03 Februari 2010 - 12:31 WIB Sumber: infobanknews.com Penyelamatan bank di saat krisis bukanlah menyelamatkan sebuah bank semata, melainkan menyelamatkan ekonomi dari kehancuran. [Non-text portions of this message have been removed]
Re: [Keuangan] Langkah Sulit Penyelamatan Bank Jika Terjadi Krisis
Saya pribadi sangat menyetujui langkah yg diambil utk menyelamatkan Bank Century saat itu, terlepas dari jumlah dana bail out yg digelontorkan. Saya juga setuju faktor psikologis pasar menjadi salah satu pertimbangan, bukan hanya mengandalkan angka-angka index parameter saja. Faktor psikologis ini pernah ditanggapi secara sinis oleh Kwik Kian Gie di depan rapat Pansus Century dengan mempertanyakan kenapa tidak melibatkan psikolog? Inilah uniknya pasar Indonesia. Tidak semua ilmu/jurus dari negara-negara maju dapat diimplementasikan begitu saja di Indonesia ini. Siapa yg menjamin apabila Bank Century tidak di-bail out lantas tidak terjadi rush thd bank-bank kita? Atau, jika tidak di-bail out lalu terjadi rush yg diikuti chaos akibat runtuhnya sistem perekonomian seperti tahun 1998, siapa yang akan dipersalahkan? Akankah DPR akan membentuk Pansus utk menyelidiki kenapa pemerintah tidak mem-bail out? Lalu para pakar akan mencari-cari teori untuk mempermasalahkan kebijakan pemerintah? Aneh... terkadang saya bingung melihat sebagian besar pakar (atau yg menamakan dirinya pakar) ini. Malah sepertinya ada beberapa yg komentarnya tailor-made (sesuai pesanan). Mari kita lihat jika aliran dana Bank Century sudah terkuak. Akan kelihatan aslinya, mana yg musang, mana yg domba, atau mana yg musang berbulu domba. http://www.infobank news.com/ index.php? mib=mib_news. detailid= 1497 Langkah Sulit Penyelamatan Bank Jika Terjadi Krisis Tanggal: 03 Februari 2010 - 12:31 WIB Sumber: infobanknews. com Jika sikap publik dan DPR terhadap penyehatan bank senantiasa diilhami konspirasi kasus BLBI, maka pada masa-masa yang akan datang jika ada bank gagal, sulit rasanya akan diambil sebuah langkah penyelamatan. Eko B. Supriyanto Sistemik dan tidak sistemik merupakan wilayah perdebatan yang tak berpangkal. Namun, hampir semua pengamat ekonomi sepakat bahwa pada saat dilakukan penyelamatan Bank Century (20 November 2008) sedang dalam kondisi krisis. Sementara, para ekonom yang tidak setuju penyehatan sekarang ini, ternyata pada saat dilakukan penyehatan hampir semua berpandangan pada waktu itu kita sedang dicekam krisis akibat krisis keuangan global. Tidak hanya itu. Kelompok yang kontra kebijakan penyehatan menilai, LPS bakal merugi ketika dilakukan divestasi. Menurut mereka, dana yang digelontorkan ke Bank Century sebesar Rp6,7 triliun jika dimasukkan ke dalam Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dengan suku bunga rata-rata 6,5% saja pada lima tahun mendatang bisa mencapai kisaran Rp9 triliun-Rp10 triliun. Hitung-hitungan itu memang tidak salah. Tapi, menyesatkan publik sebab LPS bukanlah sebuah lembaga profit atau investment bank, melainkan lembaga yang tugasnya menjamin dan menyehatkan bank. Harusnya juga dihitung, kalau ditutup, berat ongkosnya. Menurut data LPS, jika ditutup pada saat itu, biaya penjaminan sebesar Rp6,4 triliun. Itu biaya langsung. Belum biaya yang akan muncul, seperti efek domino. Jadi, penyelamatan Bank Century harusnya dilihat juga efeknya bagi perbankan nasional. Situasi perbankan sekarang ini yang relatif tidak rusak tidak serta-merta karena penyehatan Bank Century. Namun, karena kebijakan pengambilalihan bank tersebut ternyata tidak berefek buruk terhadap bank-bank lain. Bank Century yang disehatkan itu suatu saat bisa dijual dan selama hidupnya Bank Century akan memberikan kredit, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan pajak. Kenyataan itulah yang ditutupi para pengamat yang antipenyelamatan. Padahal, penyehatan perbankan bukan sebuah matematika tentang untung rugi, melainkan lebih banyak mengurangi biaya yang lebih besar. Penyelamatan bank di saat krisis bukanlah menyelamatkan sebuah bank semata, melainkan menyelamatkan ekonomi dari kehancuran. Pengalaman masa lalu, yaitu ditutupnya 16 bank yang berukuran kecil ternyata menjadi bencana yang tidak pernah terlupakan oleh perbankan. Biaya yang dibutuhkan hingga mencapai Rp650 triliun dengan menelan uang anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Harusnya Pansus Hak Angket Bank Century tidak berputar-putar pada masalah apakah penutupan Bank Century berdampak sistemik atau tidak sistemik, tapi lebih fokus pada persoalan apakah ada aliran dana yang tidak semestinya atau tidak. Sebab, kebijakan yang diambil bisa saja salah kalau toh dianggap salah. Tapi, kebijakan yang salah itu tidak bisa dikriminalisasi atau dianggap sebagai sebuah kejahatan. Jika sikap publik dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap penyehatan bank senantiasa diilhami konspirasi kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI), maka pada masa-masa yang akan datang, jika ada bank gagal, sulit rasanya akan diambil sebuah langkah penyelamatan. Bahkan, jika ada bank gagal, maka akan didor (dilikuidiasi) saja. Selesai persoalan. Jika hal itu menjadi pikiran pengambil keputusan, maka bank-bank