Re: [Keuangan] Krisis Yunani dan Stabilitas Sistem Keuangan Indonesia

2010-05-27 Terurut Topik Bali da Dave
Mudah-mudahan dibaca banyak orang artikel ini...

Moga-moga saja krisis Yunani tidak ada imbasnya ke Indonesia.
Asal perusahaan Indonesia bisa bayar utang luar negerinya, tidak ada pelarian 
modal ke luar negeri...  

Kalau ada yang gagal bayar, utang jadi non performing loan, CAR jadi turun...  
dan masyarakat jadi panik tidak percaya sistem perbankan nasional...  maka 
situasi bisa berubah dalam sekejap mata. Entah saat itu anggota DPR mana yang 
mau maju berttanggung jawab memecahkan masalah kepanikan masyarakat? Apakah 
omongan anggota DPR bisa dipercaya masyarakat? Lihat gedung miring atau tidak 
saja gak bisa jelas padahal ada di depan mata. Mau lagi lihat 'kepanikan' yang 
gak bisa kelihatan?

--- On Thu, 27/5/10, Deni Ridwan kangd...@yahoo.com wrote:

From: Deni Ridwan kangd...@yahoo.com
Subject: [Keuangan] Krisis Yunani dan Stabilitas Sistem Keuangan Indonesia
To: AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com
Received: Thursday, 27 May, 2010, 10:15 AM







 



  



  
  
  Kompas, Kamis, 27 Mei 2010 



Krisis keuangan di Yunani diperkirakan oleh berbagai kalangan tidak akan 
menimbulkan dampak yang kentara bagi Indonesia. Bank Dunia dan IMF berpendapat 
bahwa risiko untuk Indonesia relatif kecil mengingat fundamental ekonominya 
cukup kuat. 



Selain itu, IMF juga yakin bisa melokalkan dampak krisis tersebut di wilayah 
Eropa. Semoga perkiraan itu benar. Jika tidak, Indonesia saat ini tak siap 
menghadapi guncangan pada sistem keuangan seperti tahun 2008. 



Kepergian seorang Sri Mulyani adalah ongkos mahal yang harus dibayar akibat 
huru-hara kasus Century. Namun, ongkos yang lebih mahal adalah kerusakan 
fondasi untuk menjaga stabilitas sistem keuangan. Hal ini ditandai dengan 
menjadi tak jelasnya basis legal untuk tindakan penanganan krisis, melemahnya 
koordinasi, dan menipisnya saling percaya antarotoritas pada sektor keuangan, 
serta akan munculnya keengganan pejabat publik membuat keputusan penting di 
saat genting. 



Dasar hukum penanganan krisis sebetulnya sudah diatur dalam Peraturan 
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring 
Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Namun, Perppu yang dimaksudkan sebagai 
protokol manajemen krisis itu saat ini laksana zombi yang tak jelas statusnya. 



Sebagai dampak dari kasus Century, DPR telah menolak mengesahkan Perppu itu 
menjadi UU sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UUD 1945. Di sisi lain, DPR juga 
menolak mengesahkan RUU untuk pencabutan Perppu yang diajukan oleh pemerintah. 
Padahal, dalam Pasal 25 dan Pasal 36 UU No 10/2004 tentang Pembentukan 
Peraturan Perundang-undangan, Perppu yang ditolak DPR harus dicabut dengan 
sebuah UU. Akibatnya, saat ini pemerintah dan BI tak memiliki landasan hukum 
yang jelas untuk tindakan pencegahan ataupun penanganan krisis. 



Koordinasi antarotoritas di sektor keuangan juga dinilai melemah setelah tak 
berfungsinya Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Dalam kasus penalangan 
Century, DPR bukan saja ”berhasil” memberikan vonis bersalah kepada KSSK, 
tetapi juga ”membunuh” lembaga tersebut. Ketiadaan KSSK akan menyulitkan 
koordinasi antara kementerian Keuangan (selaku otoritas fiskal serta pengawas 
pasar modal dan lembaga keuangan bukan bank), BI (selaku otoritas moneter dan 
pengawas perbankan), serta Lembaga Penjamin Simpanan (selaku pelaksana 
penjaminan simpanan dan penanganan bank gagal). 



Dampak lain 



Dampak lain yang harus diwaspadai adalah menipisnya kepercayaan antara 
Kementerian Keuangan, BI, dan LPS. Proses pemeriksaan oleh BPK, Pansus DPR, dan 
KPK disadari atau tidak telah menimbulkan friksi antara lembaga tersebut. Ini 
adalah konsekuensi yang logis karena pada dasarnya tidak ada pihak yang mau 
disalahkan. Padahal, DPR dari awal menuntut BPK, Pansus, dan KPK menemukan 
pihak yang dinilai bersalah. Sulit dibayangkan suatu kebijakan terbaik bisa 
dihasilkan manakala institusi yang terlibat tidak memiliki level of trust yang 
kuat satu sama lain. 



Belajar dari pengalaman Boediono dan Sri Mulyani, dikhawatirkan timbul 
keengganan para pejabat publik mengambil keputusan penting di saat genting. 
Menurut Goran Lind (2003), keputusan pada saat krisis harus cepat dibuat karena 
berpacu dengan waktu. Akibatnya, keputusan itu pada umumnya dibuat berdasarkan 
pada informasi yang tak lengkap, tak akurat, serta tak mengikuti perkembangan. 



Selain itu, juga tak ada waktu bagi pemerintah dan bank sentral melakukan 
interpretasi ulang atas peraturan perundangan yang ada. Padahal, pada umumnya 
ketentuan itu hanya dirancang untuk menangani situasi normal, bukan kondisi 
krisis. Oleh karena itu, selain kapasitas dan integritas yang mumpuni, 
dibutuhkan juga keberanian yang besar untuk membuat keputusan pada saat krisis. 
Dalam konteks Indonesia, pejabat publik mana yang mau bernasib seperti Boediono 
dan Sri Mulyani? 



Wishful thinking bahwa Indonesia tak akan terkena dampak krisis Yunani jelas 
tidak cukup. Sumber kerentanan sistem keuangan

[Keuangan] Krisis Yunani dan Stabilitas Sistem Keuangan Indonesia

2010-05-26 Terurut Topik Deni Ridwan
Kompas, Kamis, 27 Mei 2010 

Krisis keuangan di Yunani diperkirakan oleh berbagai kalangan tidak akan 
menimbulkan dampak yang kentara bagi Indonesia. Bank Dunia dan IMF berpendapat 
bahwa risiko untuk Indonesia relatif kecil mengingat fundamental ekonominya 
cukup kuat. 

Selain itu, IMF juga yakin bisa melokalkan dampak krisis tersebut di wilayah 
Eropa. Semoga perkiraan itu benar. Jika tidak, Indonesia saat ini tak siap 
menghadapi guncangan pada sistem keuangan seperti tahun 2008. 

Kepergian seorang Sri Mulyani adalah ongkos mahal yang harus dibayar akibat 
huru-hara kasus Century. Namun, ongkos yang lebih mahal adalah kerusakan 
fondasi untuk menjaga stabilitas sistem keuangan. Hal ini ditandai dengan 
menjadi tak jelasnya basis legal untuk tindakan penanganan krisis, melemahnya 
koordinasi, dan menipisnya saling percaya antarotoritas pada sektor keuangan, 
serta akan munculnya keengganan pejabat publik membuat keputusan penting di 
saat genting. 

Dasar hukum penanganan krisis sebetulnya sudah diatur dalam Peraturan 
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring 
Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Namun, Perppu yang dimaksudkan sebagai 
protokol manajemen krisis itu saat ini laksana zombi yang tak jelas statusnya. 

Sebagai dampak dari kasus Century, DPR telah menolak mengesahkan Perppu itu 
menjadi UU sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UUD 1945. Di sisi lain, DPR juga 
menolak mengesahkan RUU untuk pencabutan Perppu yang diajukan oleh pemerintah. 
Padahal, dalam Pasal 25 dan Pasal 36 UU No 10/2004 tentang Pembentukan 
Peraturan Perundang-undangan, Perppu yang ditolak DPR harus dicabut dengan 
sebuah UU. Akibatnya, saat ini pemerintah dan BI tak memiliki landasan hukum 
yang jelas untuk tindakan pencegahan ataupun penanganan krisis. 

Koordinasi antarotoritas di sektor keuangan juga dinilai melemah setelah tak 
berfungsinya Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Dalam kasus penalangan 
Century, DPR bukan saja ”berhasil” memberikan vonis bersalah kepada KSSK, 
tetapi juga ”membunuh” lembaga tersebut. Ketiadaan KSSK akan menyulitkan 
koordinasi antara kementerian Keuangan (selaku otoritas fiskal serta pengawas 
pasar modal dan lembaga keuangan bukan bank), BI (selaku otoritas moneter dan 
pengawas perbankan), serta Lembaga Penjamin Simpanan (selaku pelaksana 
penjaminan simpanan dan penanganan bank gagal). 

Dampak lain 

Dampak lain yang harus diwaspadai adalah menipisnya kepercayaan antara 
Kementerian Keuangan, BI, dan LPS. Proses pemeriksaan oleh BPK, Pansus DPR, dan 
KPK disadari atau tidak telah menimbulkan friksi antara lembaga tersebut. Ini 
adalah konsekuensi yang logis karena pada dasarnya tidak ada pihak yang mau 
disalahkan. Padahal, DPR dari awal menuntut BPK, Pansus, dan KPK menemukan 
pihak yang dinilai bersalah. Sulit dibayangkan suatu kebijakan terbaik bisa 
dihasilkan manakala institusi yang terlibat tidak memiliki level of trust yang 
kuat satu sama lain. 

Belajar dari pengalaman Boediono dan Sri Mulyani, dikhawatirkan timbul 
keengganan para pejabat publik mengambil keputusan penting di saat genting. 
Menurut Goran Lind (2003), keputusan pada saat krisis harus cepat dibuat karena 
berpacu dengan waktu. Akibatnya, keputusan itu pada umumnya dibuat berdasarkan 
pada informasi yang tak lengkap, tak akurat, serta tak mengikuti perkembangan. 

Selain itu, juga tak ada waktu bagi pemerintah dan bank sentral melakukan 
interpretasi ulang atas peraturan perundangan yang ada. Padahal, pada umumnya 
ketentuan itu hanya dirancang untuk menangani situasi normal, bukan kondisi 
krisis. Oleh karena itu, selain kapasitas dan integritas yang mumpuni, 
dibutuhkan juga keberanian yang besar untuk membuat keputusan pada saat krisis. 
Dalam konteks Indonesia, pejabat publik mana yang mau bernasib seperti Boediono 
dan Sri Mulyani? 

Wishful thinking bahwa Indonesia tak akan terkena dampak krisis Yunani jelas 
tidak cukup. Sumber kerentanan sistem keuangan bukan hanya faktor eksternal, 
tetapi juga faktor internal. Siapa yang berani menjamin tak akan ada lembaga 
keuangan seperti Bank Century dengan CAR bisa jatuh dari 14,7 persen jadi 
negatif dalam waktu singkat? 

Kewajiban kitalah memastikan bahwa sistem keuangan Indonesia cukup tangguh 
menahan goncangan dari dalam ataupun luar negeri. Itu sebabnya, pemerintah dan 
DPR harus segera memutuskan status Perppu JPSK serta menuntaskan pembahasan RUU 
JPSK sebagai penggantinya. Presiden diharapkan segera mengisi posisi gubernur 
BI serta memberikan dukungan memadai kepada Gubernur BI dan Menteri Keuangan 
agar mereka bisa bekerja optimal. Semoga Lapangan Banteng dan Thamrin dapat 
kembali bahu-membahu sepenuh hati menjaga stabilitas sistem keuangan Indonesia. 

Deni Ridwan, Mahasiswa PhD di Universitas Victoria, Australia 

Source: 
http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/27/04540389/krisis.yunani.dan.stabilitas..indonesia



[Non-text portions of this message have been removed]