Re: [Keuangan] Re: RUU pengaturan dan pengelolaan utang II

2009-08-03 Terurut Topik Hok An
Bung Dave Anda mengajukan 3 masalah:

1. Beban bunga:
Saat ini total hutang negara yang tercatat Rp 1700 triliun.
Menurut anggaran bayar bunga yang disetujui 2009 DPR adalah Rp. 109,6 
trilliun.
Anggaran ini sebenarnya rendah. Kalau hutang itu sumbernya dari dalam 
negeri diperlukan anggaran Rp 170 trilliun dengan syarat bunga SUN bisa 
ditekan sampai 10%.

Sebab itu pinjam di luar negeri bisa jauh lebih murah dari didalam 
negeri. Untuk proyek2 infrastruktur
jangka panjang kadang2 ada negara yang cuma mematok bunga 2%.

Dengan kata lain  hutang dalam negeri juga subvensi kepada pemilik uang 
dalam negeri sebab saat ini BI dan negara masih rebutan Rupiah sehingga 
bunga Rupiah melambung tinggi.
Barangkali bunga Rupiah bisa turun kalau BI mengurangi penjualan SBI. 
Dipihak lain perlu ada semacam lembaga hutang negara yang aktiv menyerap 
Rupiah dari pasar.

2. Pencetakan uang.

Sekarang nampaknya cuma BI yang punya otoritas cetak uang. Penyimpangan 
seperti waktu krisis di Timtim dimana TNI juga cetak uang tidak terjadi 
lagi.
Tetapi kadang2 ada instrumen2 lain penerbitan uang misalnya terbitnya 
SUN untuk dana rekap perbankan pada saat krisis, atau perubahan garansi2 
hutang BUMN menjadi kewajiban pemerintah. Hal ini terjadi waktu krismon. 
Dalam kasus PLTU Paiton II apa yang namanya letter of intent 
mengalihkan hutang PLN menjadi kewajiban negara.

Di US saat ini pencetakan uang deras sekali. Tadinya strategi ini 
dirancang dalam rangka pembangunan infrastruktur industri energi yang 
berkelanjutan dan pembangunan jaringan sosial, tetapi ternyata ratusan 
milyard dollar tiba2 terserap dalam program rekap sektor keuangan.

Dilema ini cukup besar, sebab pada saat dana kurang  hanya satu  usaha  
yang bisa dilaksanakan dengan baik. Sebab itu  ada bahaya bahwa  sektor 
keuangan sembuh tetapi struktur ekonomi dan sosial malah stagnan.

Ekonom2 Indonesia sendiri yang saat ini naik daun kelihatannya lebih 
suka untuk berhemat ikat pinggang sebab banyaknya korupsi yang mengancam 
proyek2 yang tujuannya baik mubasir. Tetapi kalau cetak uang 
penggunaanya diutamakan untuk membersihkan negara dari struktur2 yang 
memungkinkan korupsi mengapa tidak. Proyek reformasi birokrasi yang 
sungguh2 bukan proyek yang murah.

3. net ekspor

Kira2 setahun yang lalu tampak gejala bahwa impor Indonesia mulai 
mengejar angka ekspor. Hal ini pernah terjadi sebelum krismon. Salah 
satu sebabnya adalah tingginya kadar komponen impor dari produksi barang 
ekspor kita. Untuk sepatu bisa sampai 90%. Hal ini hanya bisa diatasi 
dengan litbang yang insensif dan tidak menghasilkan kertas pesanan yang 
isinya keliru. Untuk itu juga diperlukan budaya yang bersih KKN, dimana 
kertas2 kerja dibuat secara jujur.



Bali da Dave schrieb:
  

 Pak Hok An, terima kasih sudah kirim artikelnya...

 Menurut pendapat saya, berhutang itu perlu, cuma ada TAPI nya.
 - sebaiknya diutamakan dengan dana dalam negeri
 - tidak dilakukan dengan mencetak uang gila-gilaan (independensi Bank 
 Indonesia harus tetap ada, tidak dipengaruhi oleh unsur politik 
 pemerintahan) -- supaya tidak menjadi seperti Zimbabwe yang 
 inflasinya jutaan persen pertahun
 - Utang luar negeri harus seimbang dengan peningkatan net export. (net 
 export naik, utang luar negeri juga boleh naik tapi proporsional).

 Silahkan dikoreksi atau ditambahkan





Re: [Keuangan] Re: RUU pengaturan dan pengelolaan utang II

2009-07-31 Terurut Topik Bali da Dave
Pak Hok An, terima kasih sudah kirim artikelnya...

Menurut pendapat saya, berhutang itu perlu, cuma ada TAPI nya.
- sebaiknya diutamakan dengan dana dalam negeri
- tidak dilakukan dengan mencetak uang gila-gilaan (independensi Bank Indonesia 
harus tetap ada, tidak dipengaruhi oleh unsur politik pemerintahan) -- supaya 
tidak menjadi seperti Zimbabwe yang inflasinya jutaan persen pertahun
- Utang luar negeri harus seimbang dengan peningkatan net export. (net export 
naik, utang luar negeri juga boleh naik tapi proporsional).

Silahkan dikoreksi atau ditambahkan

--- On Wed, 29/7/09, Jerry Matanari jerr_f...@yahoo.com wrote:

From: Jerry Matanari jerr_f...@yahoo.com
Subject: [Keuangan] Re: RUU pengaturan dan pengelolaan utang II
To: AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com
Received: Wednesday, 29 July, 2009, 9:35 PM






 





  Dear Pak Hok An,

 

Kiranya berkenan, saya ingin menyampaikan pendapat.

 

Menurut saya pribadi, berhutang tidak masalah. Secara kacamata individu maupun 
pengusaha orang-orang sering mengatakan hutang itu bisa mengungkit manfaat 
modal yang dimiliki saat ini. Ada pemeo mengatakan, selama kreditur masih 
percaya untuk ngasih ngutang, dan kira-kira si peminjam sanggup bayar 
cicilannya, ya ngutang saja.



Ada juga yang mengatakan, kita mesti boleh ngutang kalau imbal hasil proyek 
infrasktur yg dibiayai lebih besar dari bunga pinjaman. Karna itu adanya 
korupsi jelas-jelas akan menimbulkan uang yg 'idle' atau tidak bermanfaat, 
sementara bunga utang jalan terus. Karna itu korupsi harus diberantas. Saya 
terima pendapat ini ada benarnya juga.

 

 *Tolok Ukur Utang*

 

 Berkenaan dengan masalah tolok ukur, manakah yang paling tepat, apakah 

 terhadap PDB atau PNB? Perlu diketahui bahwa pendapatan yang dihitung 

 dengan konsep PDB adalah dengan menjumlahkan seluruh pendapatan yang ada 

 di Indonesia, baik yang dihasilkan oleh warga negara Indonesia maupun 

 warga negara asing yang ada di Indonesia. Sementara itu, pendapatan yang 

 dihitung dengan konsep PNB adalah pendapatan seluruh warga negara 

 Indonesia, baik di negara sendiri maupun yang bekerja di negara lain, 

 dikurangi dengan pendapatan warga negara asing di Indonesia.

 

 Setiap negara berbeda-beda dalam mengukur rasio utang ini, tergantung 

 pada kondisi dan kepentingan. Amerika Serikat, misalnya, menggunakan 

 konsep PNB karena lebih menguntungkan. Perlu diketahui bahwa di Amerika 

 Serikat seluruh warga negara telah memiliki /single identity/ yang 

 dipakai seumur hidup. Dengan /single identity/ ini, pendapatan warga 

 negara di mana pun bekerja, baik di dalam maupun di luar negeri, dapat 

 diakses oleh negara sehingga pajak dengan mudah dapat ditarik. Dengan 

 konsep PNB ini, tentunya pendapatan negara akan jauh lebih tinggi 

 dibandingkan dengan konsep PDB, sehingga utang negara yang dirasiokan 

 terhadap PNB akan menguntungkan negara.

 
 

















  

Access Yahoo!7 Mail on your mobile. Anytime. Anywhere.
Show me how: http://au.mobile.yahoo.com/mail

[Non-text portions of this message have been removed]



[Keuangan] Re: RUU pengaturan dan pengelolaan utang II

2009-07-29 Terurut Topik Jerry Matanari
Dear Pak Hok An,
 
Kiranya berkenan, saya ingin menyampaikan pendapat.
 
Menurut saya pribadi, berhutang tidak masalah. Secara kacamata individu maupun 
pengusaha orang-orang sering mengatakan hutang itu bisa mengungkit manfaat 
modal yang dimiliki saat ini. Ada pemeo mengatakan, selama kreditur masih 
percaya untuk ngasih ngutang, dan kira-kira si peminjam sanggup bayar 
cicilannya, ya ngutang saja.

Ada juga yang mengatakan, kita mesti boleh ngutang kalau imbal hasil proyek 
infrasktur yg dibiayai lebih besar dari bunga pinjaman. Karna itu adanya 
korupsi jelas-jelas akan menimbulkan uang yg 'idle' atau tidak bermanfaat, 
sementara bunga utang jalan terus. Karna itu korupsi harus diberantas. Saya 
terima pendapat ini ada benarnya juga.
 
Pendapat ketiga yg ekstrim mengatakan sebuah negara harus berdikari alias 
berdiri di atas kaki sendiri. Idealnya sih memang begitu Pak. Namun di dunia 
yang disebut para nabi sebagai penuh dosa ini, tidak ada yang ideal. 
Orang-orang pengen capai hasil maksimal, tapi selalu ada constraint atau 
keterbatasan sumber daya. Karna itulah orang-orang tidak bisa capai yang 
maksimal, harus hitung-hitung dulu pakai model matematika, karena hasil yang 
hanya bisa dicapai adalah hasil yang optimal.
 
Mungkin untuk solusi ke depannya saya pikir pertanyaannya bukan kita mesti 
ngutang atau ngga, atau ngutangnya ke siapa, tapi lebih ke arah seberapa besar 
sih kira-kira level hutang yang 'optimal'. Jawabannya gak bisa dengan 'feeling' 
aja Pak tapi benar2 harus dihitung para expert untuk mencari solusi yg optimal, 
dengan mengingat tujuan2 (goals) yg harus dicapai , dan aneka keterbatasan 
(constraints) yang dihadapi.
 
Sekedar pendapat pribadi saya saja Pak. Kurang dan lebih nya mungkin Bapak Hok 
An dan Rekan-Rekan lainnya dapat menambahkan.
 

Salam,

Jerry









--- In AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com, Hok An ho...@... wrote:

   Kawan2,
 
 dibawah ada pendapat dari pihak Departemen Keuangan mengenai masalah utang.
 Silahkan dibahas.
 
 Hok An
 
 Warta ekonomi: Selasa, 28 Juli 2009 12:04 Redaksi-1
 Sejak masa kampanye para capres dimulai, salah satu topik yang ramai 
 dibicarakan adalah masalah utang pemerintah. Mereka yang saling serang 
 di media massa, ada yang mengatasnamakan pengamat ekonomi, tetapi ada 
 juga yang terang-terangan mengatasnamakan anggota tim sukses capres 
 tertentu. Perang argumen ini makin diperkaya dengan hadirnya Koalisi 
 Anti Utang (KAU).
 file:///index.php?option=com_contentview=articleid=2677%3Adebat-kusir-seputar-utang-pemerintahcatid=53%3Aaumumshowall=1
 
 Subtopik yang diangkat, di antaranya, adalah penambahan jumlah utang 
 baik pada masa pemerintahan dipegang oleh Megawati Soekarnoputri maupun 
 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) beserta tolok ukur dalam menentukan batas 
 aman jumlah utang, masalah ketergantungan pada utang, dan masalah 
 transparansi penggunaan utang.
 
 
 *Tiga Masalah Utama *
 
 /Pertama, /sebagaimana diketahui, berdasarkan data pada Departemen 
 Keuangan, total utang pemerintah pada akhir 2008 mencapai Rp1.636 
 triliun dan per 29 Mei 2009 telah mencapai Rp1.700 triliun. Dengan 
 demikian, dalam tempo lima bulan, jumlah utang pemerintah mengalami 
 peningkatan sebesar Rp64 triliun. Besarnya utang pemerintah ini telah 
 menempatkan Indonesia sebagai negara pengutang terbesar keempat di 
 negara berkembang. Setidaknya inilah hasil kajian yang dilakukan 
 Committee for Abolition Third World Debt, yang/ /menempatkan Indonesia 
 sebagai negara berkembang pengutang terbesar setelah Meksiko, Brasil, 
 dan Turki.
 
 Sementara itu, perang prestasi keberhasilan para capres dalam menurunkan 
 jumlah utang pemerintah diukur dengan rasio utang terhadap Produk 
 Domestik Bruto (PDB). Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid-Megawati, 
 rasio utang terhadap PDB mencapai 100% (1999) lalu turun menjadi 89% 
 (2000). Pada masa pemerintahan Megawati-Hamzah Haz turun dari 77% (2001) 
 menjadi 57% (2004) dan pada masa SBY-JK diprediksi turun dari 47% (2005) 
 menjadi 32% (2009).
 
 Tolok ukur penurunan jumlah utang terhadap PDB ini mendapat reaksi yang 
 cukup keras. Ada yang berpendapat bahwa perekonomian Indonesia masih 
 didominasi asing, sehingga kalau tolok ukur PDB yang dipakai, 
 seolah-olah rasio utang pemerintah masih aman. Padahal, kalau dilihat 
 dari utang per kapita mengalami kenaikan dari Rp5,5 juta menjadi Rp8,5 
 juta, artinya tanggungan per orang atas utang pemerintah mengalami 
 kenaikan. Sebagai solusinya, ditawarkan pendekatan Produk Nasional Bruto 
 (PNB). Pendapat ini mendapatkan reaksi bahwa selama utang tersebut 
 digunakan untuk kegiatan produktif sebenarnya tidak menjadi masalah. 
 Argumen yang digunakan adalah, pada 2004 dengan utang per kapita Rp5 
 juta, mampu menghasilkan pendapatan per kapita Rp10 juta, dan pada 2008 
 dengan utang per kapita Rp7 juta, pendapatan per kapitanya meningkat 
 menjadi Rp21 juta. Di sisi lain, ada juga yang memberikan solusi untuk 
 meminta negara-negara pemberi utang agar 

Re: [Keuangan] Re: RUU pengaturan dan pengelolaan utang II

2009-07-29 Terurut Topik Hok An
Bung Jerry,

Mungkin kita bisa setuju bahwa masalahnya adalah hasil (kinerja) dari 
suatu proyek.
Kalau hasilnya optimal mengapa tidak. Masalahnya bukan sumber dana 
(misalnya hutang) tetapi manfaat penggunaan dana.

Yang mungkin bisa jadi pertanyaan adalah penggunaan hutang luar negeri 
untuk menutup defisit anggaran. Memang secara umum harusnya sebab 
defisit anggaran itu dulu yang harus dibedah dengan tajam dan sebab2nya 
diatasi dengan tuntas. Dikita salah satu sebabnya memang adalah korupsi 
yang demikian hebatnya sehingga ada keraguan akan kwalitas proyek, jadi 
apakah masih ada proyek yang berguna dan apakah ada BUMN yang tidak korupsi.
Masalah2 ini harusnya dipantau dengan keras dan bilamana perlu dibikin 
sistem yang mengukur effektivitas kerja aparat pemerintah. Jadi kita 
perlu indeks kinerja aparat negara yang jelas sebagai tambahan dari 
indeks transparansi internasional dan ICOR (yang membandingkan investasi 
dengan pertumbuhan ekonomi).

Di RUU ini setahu saya ada usul pembatasan defisit sebesar 3% PDB. Kalau 
kita melihat kebutuhan2 pada saat krismon atau program2 penyelamatan 
bank di Eropa dan USA maka batas2 seperti ini terlalu kaku, tidak sesuai 
dengan keadaan kritis saat itu. Kita perlu kriteria2 lain untuk mengukur 
kelayakan suatu proyek dan anggarannya.

Salam

Hok An

Jerry Matanari schrieb:

 Dear Pak Hok An,

 Kiranya berkenan, saya ingin menyampaikan pendapat.

 Menurut saya pribadi, berhutang tidak masalah. Secara kacamata 
 individu maupun pengusaha orang-orang sering mengatakan hutang itu 
 bisa mengungkit manfaat modal yang dimiliki saat ini. Ada pemeo 
 mengatakan, selama kreditur masih percaya untuk ngasih ngutang, dan 
 kira-kira si peminjam sanggup bayar cicilannya, ya ngutang saja.

 Ada juga yang mengatakan, kita mesti boleh ngutang kalau imbal hasil 
 proyek infrasktur yg dibiayai lebih besar dari bunga pinjaman. Karna 
 itu adanya korupsi jelas-jelas akan menimbulkan uang yg 'idle' atau 
 tidak bermanfaat, sementara bunga utang jalan terus. Karna itu korupsi 
 harus diberantas. Saya terima pendapat ini ada benarnya juga.

 Pendapat ketiga yg ekstrim mengatakan sebuah negara harus berdikari 
 alias berdiri di atas kaki sendiri. Idealnya sih memang begitu Pak. 
 Namun di dunia yang disebut para nabi sebagai penuh dosa ini, tidak 
 ada yang ideal. Orang-orang pengen capai hasil maksimal, tapi selalu 
 ada constraint atau keterbatasan sumber daya. Karna itulah orang-orang 
 tidak bisa capai yang maksimal, harus hitung-hitung dulu pakai model 
 matematika, karena hasil yang hanya bisa dicapai adalah hasil yang 
 optimal.

 Mungkin untuk solusi ke depannya saya pikir pertanyaannya bukan kita 
 mesti ngutang atau ngga, atau ngutangnya ke siapa, tapi lebih ke arah 
 seberapa besar sih kira-kira level hutang yang 'optimal'. Jawabannya 
 gak bisa dengan 'feeling' aja Pak tapi benar2 harus dihitung para 
 expert untuk mencari solusi yg optimal, dengan mengingat tujuan2 
 (goals) yg harus dicapai , dan aneka keterbatasan (constraints) yang 
 dihadapi.

 Sekedar pendapat pribadi saya saja Pak. Kurang dan lebih nya mungkin 
 Bapak Hok An dan Rekan-Rekan lainnya dapat menambahkan.


 Salam,

 Jerry

 --- In AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com 
 mailto:AhliKeuangan-Indonesia%40yahoogroups.com, Hok An ho...@... 
 wrote:
 
  Kawan2,
 
  dibawah ada pendapat dari pihak Departemen Keuangan mengenai masalah 
 utang.
  Silahkan dibahas.
 
  Hok An
 
  Warta ekonomi: Selasa, 28 Juli 2009 12:04 Redaksi-1
  Sejak masa kampanye para capres dimulai, salah satu topik yang ramai
  dibicarakan adalah masalah utang pemerintah. Mereka yang saling serang
  di media massa, ada yang mengatasnamakan pengamat ekonomi, tetapi ada
  juga yang terang-terangan mengatasnamakan anggota tim sukses capres
  tertentu. Perang argumen ini makin diperkaya dengan hadirnya Koalisi
  Anti Utang (KAU).
  
 file:///index.php?option=com_contentview=articleid=2677%3Adebat-kusir-seputar-utang-pemerintahcatid=53%3Aaumumshowall=1
  
 file:///index.php?option=com_contentview=articleid=2677%3Adebat-kusir-seputar-utang-pemerintahcatid=53%3Aaumumshowall=1
 
  Subtopik yang diangkat, di antaranya, adalah penambahan jumlah utang
  baik pada masa pemerintahan dipegang oleh Megawati Soekarnoputri maupun
  Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) beserta tolok ukur dalam menentukan 
 batas
  aman jumlah utang, masalah ketergantungan pada utang, dan masalah
  transparansi penggunaan utang.
 
 
  *Tiga Masalah Utama *
 
  /Pertama, /sebagaimana diketahui, berdasarkan data pada Departemen
  Keuangan, total utang pemerintah pada akhir 2008 mencapai Rp1.636
  triliun dan per 29 Mei 2009 telah mencapai Rp1.700 triliun. Dengan
  demikian, dalam tempo lima bulan, jumlah utang pemerintah mengalami
  peningkatan sebesar Rp64 triliun. Besarnya utang pemerintah ini telah
  menempatkan Indonesia sebagai negara pengutang terbesar keempat di
  negara berkembang. Setidaknya inilah hasil kajian yang dilakukan
  Committee for Abolition Third World Debt,