Kok ngeri banget bos, fundamental ekonomi negara kita
Sent from my BlackBerry�
powered by Sinyal Kuat INDOSAT
-Original Message-
From: Bali da Dave [EMAIL PROTECTED]
Date: Sat, 28 Jun 2008 17:13:35
To: AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com
Subject: [Keuangan] Soal Inflasi kenaikan BBM - Analisanya??
Setelah baca-baca artikel lain, berkaitan dengan inflasi dan kebijakan moneter,
ada artikel yang bilang: kalau central bank (BI) berkomitmen untuk menjaga
inflasi terkendali, maka tidak semua inflasi yang tercatat memiliki bobot yang
sama dalam hal naik turunnya suku bunga Lalu sektor apa saja yang penting
untuk diperhatikan, dan mana yang tidak?
Kebijakan moneter pada dasarnya berupaya supaya perkembangan kapasitas produksi
dan kemampuan konsumsi (demand dan supply) berkembang sejalan, stabil dan tidak
terlalu banyak shock (secara keseluruhan). Jadi dari misalnya 2000 komponen
inflasi, tidak semuanya memiliki bobot yang sama (secara konsumtif), dan
pembobotan ini efeknya terhadap kebijakan moneter tidak sama. Jadi ada sektor
atau industri yang memiliki bobot konsumsi besar, tapi dalam hal efek terhadap
stabilitas ekonomi dan kebijakan moneter tidak terlalu besar. Verbatimnya: Yet
the price index designed to measure the cost of living is not necessarily the
best one to serve as a target for monetary policy
Dan setelah melalui beberapa model matematis, penulisnya yang lulusan harvard,
menyimpulkan bahwa SALAH SATU (untuk AMERIKA) yang penting adalah level gaji
nominal, dalam perbandingan dengan kenaikan harga-harga.
Artinya, gaji yang naiknya lambat dibandingkan harga-harga lain yang naik cepat
menunjukkan adanya penurunan aktivitas ekonomi (downturn), dan sebaliknya jika
gaji naek terlalu cepat dibanding harga-harga, berarti overheating. Di satu
sisi kalimat ini menunjukkan bahwa konsumsi dalam negeri yang meningkat
berbarengan dengan produksi yang meningkat menunjukkan kesuksesan ekonomi.
Konsumsi yang meningkat (YANG MERATA) menunjukkan keberhasilan pemerintah sebab
berarti daya beli masyarakat naek.
Akan tetapi, jika kita lihat bahwa negara kita termasuk negara kuli, apakah
selama-lamanya kuli yang makan gaji ini harus selalu pada level yang
segini-gini saja? Gaji secara nominal naek 5% tapi harga-harga naek 5% juga kan
berarti sami mawon, tidak ada peningkatan taraf hidup. Dari dulu sampai
sekarang cuma sanggup makan tempe. Sekarang malah harga tempe naek lebih banyak
dari kenaikan gaji. Dimana peningkatan taraf hidupnya?
Yang lebih lucu lagi, saya pernah baca ada yang berupaya menaikkan (memperkuat
mata uang rupiah dengan manipilasi pasar). Maksudnya baik supaya impor barang
murah, dan rakyat bisa beli ini-itu. Tapi konsekuensinya apa? Impor murah
berarti bakal terjadi defisit neraca perdagangan (impor ekspor) yang artinya
negara kita bakalan nombok utang sana sini dari negara lain. Lah mau bayarnya
bagaimana? Jaman Suharto dulu sudah kejadian gagal bayar utang-utang sampe
rupiah tembus 16000. Susah payah baru bisa dibawa turun ke 9000. Apakah mau
diturunkan jadi 3000 supaya waktu krisis nanti satu dolar jadi 100,000 rupiah
macam di Zimbabwe atau liberia? Mau minum kopi tubruk keluar uang tiga juta
rupiah???
[Non-text portions of this message have been removed]
[Non-text portions of this message have been removed]