MEMBAYAR ZAKAT FITHRI, QURBAN DAN AQIQAH DENGAN UANG
Oleh
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan
http://almanhaj.or.id/content/2827/slash/0/membayar-zakat-fithri-qurban-dan-aqiqah-dengan-uang/


Pertanyaan.
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Bagaimanakah hukum menyerahkan 
uang senilai zakat fithri, senilai binatang qurban dan aqiqah untuk membeli 
makanan atau kambing yang disembelih di negara lain dan dibagikan kepada 
orang-orang faqir disana?

Jawaban.

الحمد لله وحده والصلاة والسلام على رسول الله نبينا محمد وعلى آله وصحبه وبعد‏:

Allah Azza wa Jalla berfirman : 

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا

"Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya 
bagimu, maka tinggalkanlah" [1]. 

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

‏مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا؛ فَهُوَ رَدٌّ‏

"Barangsiapa yang melakukan satu amalan yang tidak ada perintah dari kami, maka 
amalan itu tertolak". [HR Imam al Bukhari]

Pada zaman ini, ada sebagian orang yang berusaha merubah ibadah dari ketentuan 
syar’i. Dalam hal ini, terdapat banyak contoh. Misalnya, zakat fithri. 
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan agar mengeluarkan zakat 
dari makanan di negara yang seorang muslim bermukim, pada akhir bulan Ramadhan. 
Zakat itu diserahkan kepada para fakir miskin di negeri itu [2]. Lalu ada orang 
yang memberikan fatwa bolehnya menyerahkan uang sebagai ganti dari makanan. Ada 
lagi yang memberikan fatwa bolehnya menyerahkan uang untuk membeli makanan di 
negeri lain yang jauh dari negeri pemberi zakat dan dibagikan disana. Ini 
termasuk bentuk merubah ibadah dari ketentuan syari’at. 

Zakat fithri memiliki waktu tertentu untuk mengeluarkannya, yaitu malam hari 
raya atau dua hari sebelumnya, menurut para ulama. Begitu juga (zakat fithri) 
memiliki ketentuan daerah untuk membayarkannya, yaitu di tempat seorang muslim 
menghabiskan bulan (pada Ramadhan) tersebut. Dalam (membagikan) zakat, juga 
terdapat kekhususan yang berhak menerimanya. Yaitu orang-orang miskin di negeri 
tersebut. Dan (zakat fithri) juga mempunyai ketentuan jenisnya, yaitu makanan 
pokok. Oleh karena itu, haruslah terpenuhi kriteria-kriteria ini. Jika tidak, 
maka zakat itu termasuk ibadah yang benar dan juga tidak bisa melepaskan 
seseorang dari beban. 

Para imam yang empat telah sepakat tentang wajibnya mengeluarkan zakat fitrah 
di negera tempat si pemberinya berada, selama di negara itu ada orang yang 
berhak. Hai-ah Kibaril Ulama (Lembaga Ulama Besar) di Saudi juga sudah 
mengeluarkan ketetapan. Ketentuan ini seharusnya diperhatikan, dan jangan 
terpengaruh dengan seruan orang untuk melanggarnya. Karena seorang muslim 
seharusnya antusias untuk melepaskan dirinya dari beban dan berhati-hati demi 
agamanya. Demikian (juga dengan) seluruh ibadah, semuanya harus ditunaikan 
sesuai dengan ketentuan-ketentuan jenis, waktu dan pelaksanaannya. Tidak boleh 
merubah jenis ibadah yang telah disyari’atkan Allah Azza wa Jalla kepada jenis 
yang lain. 

Contoh lain, yaitu fidyah puasa yang berkaitan dengan orang yang sudah tua dan 
sakit parah, sehingga tidak bisa melaksanakan ibadah puasa. Allah Azza wa Jalla 
mewajibkan kepada mereka untuk memberikan makan satu orang fakir sebagai ganti 
puasa satu hari. Allah berfirman :

وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُونَهُ، فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍ

"Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak 
berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin". [3]

Begitu juga memberikan makanan dalam masalah kaffarah, seperti kafarah zihar 
(menyamakan punggung isteri dengan punggung ibu), kaffarah karena melakukan 
hubungan suami isteri saat siang bulan Ramadhan dan kaffarat sumpah. Begitu 
pulalah mengeluarkan makanan untuk zakat fithri. 

Semua jenis ibadah ini harus menyerahkan makanan, tidak cukup dengan cara 
mengeluarkan uang. Karena (membayar dengan uang) itu termasuk merubah ibadah 
dari jenis yang diwajibkan. Karena Allah Azza wa Jalla mengatakan "dengan 
memberikan makanan." Oleh karena itu, wajib berpegang dengannya. Barangsiapa 
yang tidak berpegang dengannya, berarti dia telah merubah ibadah dari jenis 
yang diwajibkan.

Begitu juga dalam masalah al hadyu (denda dalam ibadah haji), kurban dan aqiqah 
kelahiran. Pada ibadah-ibadah ini, pelaksanaanya ialah harus dengan menyembelih 
jenis binatang ternak yang memenuhi syarat, tidak cukup dengan mengeluarkan 
uang atau menyerahkan shadaqah senilai harganya, karena menyembelih itu 
merupakan ibadah. Allah berfirman :

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

"Maka dirikanlah shalat karena Rabb-mu, dan berkurbanlah".[4] 

Allah berfirman :

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

"Katakanlah : "Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah 
untuk Allah, Rabb semesta alam".[5] 

Memakan daging sembelihan ini, juga menyedekahkannya adalah ibadah. Allah 
berfirman :

فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ 

"Maka makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk 
dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir". [6]

Sehingga tidak boleh dan juga tidak cukup hanya dengan menyerahkan uang senilai 
atau bershadaqah dengan uang, sebagai ganti dari menyembelih. Karena ini 
termasuk merubah ibadah dari jenis yang diwajibkan oleh Allah Azza wa Jalla. 
Sedangkan hewan sembelihan ini harus disembelih di tempat yang disyari’atkan 
oleh Allah Azza wa Jalla.

Al hadyu (hewan yang dihadiahkan ke Makkah. Pemberian ini, ada kalanya karena 
melakukan pelanggaran, maka pemberian ini disebut Dam, sedangkan yang bukan 
karena pelanggaran tetap namanya Al hadyu) disembelih di al Haram (Mekkah). 
Allah berfirman :

لَكُمْ فِيهَا مَنَافِعُ إِلَىٰ أَجَلٍ مُّسَمًّى ثُمَّ مَحِلُّهَا إِلَى 
الْبَيْتِ الْعَتِيقِ

"Kemudian tempat wajib (serta akhir masa) menyembelihnya ialah setelah sampai 
ke Baitul Atiq (Baitullah)". [7] 

Allah Azza wa Jalla berfirman tentang orang-orang yang sedang mengenakan 
pakaian ihram yang membawa al hadyu :

وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ

"dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum qurban sampai ke tempat 
penyembelihannya". [8]

Sedangkan dalam masalah qurban dan aqiqah, maka keduanya disembelih di negara 
si pelaku dan di rumahnya, dia makan dan bershadaqah dengannya. Tidak 
memindahkan dengan mengirim uang yang setaraf nilainya untuk dibelikan hewan 
sembelihan di negara lain, sebagaimana yang dilontarkan sebagian penuntut ilmu 
yang baru belajar atau sebagian orang awam, dengan alasan di sebagian negara 
(lain) terdapat orang-orag miskin yang membutuhkan bantuan.

Kami katakan, menolong kaum Muslimin yang membutuhkan bantuan diperintahkan di 
manapun tempatnya. Akan tetapi, ibadah yang Allah perintahkan agar dilakukan 
pada tempat tertentu, tidak boleh dipindahkan ke tempat lain. Karena (perbuatan 
seperti) ini termasuk salah satu bentuk merubah ibadah yang telah disyari’atkan 
Allah Azza wa Jalla. Mereka membuat kegelisahan di masyarakat, sehingga sering 
menanyakan masalah ini. 

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengirimkan al hadyu agar disembelih 
di Mekkah, padahal beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam muqim (tinggal) di 
Madinah[9], dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menyembelih qurban dan 
aqiqah di rumahnya di Madinah, tidak dikirim ke Mekkah, padahal Mekkah lebih 
baik daripada Madinah. Dan di Mekkah juga banyak orang fakir, yang terkadang 
lebih membutuhkan bantuan dibandingkan orang-orang fakir di Madinah. Meski 
demikian, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berpegang dengan tempat yang 
telah Allah syari’atkan untuk melaksanakan ibadah itu. Beliau Shallallahu 
'alaihi wa sallam tidak menyembelih al hadyu di Madinah, dan tidak mengirimkan 
qurban dan aqiqah ke Mekkah. Rasulullah menyembelih masing-masing jenis pada 
tempat yang disyari’atkan.

Ya, memang tidak mengapa mengirimkan daging yang melimpah yang berasal dari 
hadyut-tamattu` dan hadyut-tathawwu`, -tapi bukan yang berasal dari hewan 
tebusan- juga bukan yang berasal dari qurban ke negeri yang membutuhkan. Akan 
tetapi penyembelihannya tetap dilakukan di tempat (daerah) yang telah 
disyari’atkan. 

Barangsiapa yang ingin membantu saudara-saudaranya yang sedang membutuhkan 
bantuan di negara lain, maka hendaklah dia membantunya dengan harta, pakaian 
dan makanan, atau segala sesuatu yang bermanfaat. Sedangkan ibadah, maka dia 
tidak boleh dirubah dari waktu dan tempatnya, (meski) dengan alasan membantu 
orang-orang di tempat lain yang membutuhkannya. Rasa kasihan tidak serta merta 
dengan (cara) merubah din (agama) dan ibadah. 

Wa shallahu 'sla Nabiyyina Muhammad wa 'alihi wa shahbihi wa sallam. 

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 7-8/Tahun X/1427/2006M. Penerbit Yayasan 
Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 
57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]
________
Footnote
[1]. al Hasyr/59 : 7.
[2]. Lihat Sunan Abi Dawud, 2/114, 115, 117, 119; lihat juga Sunan at Tirmidzi, 
3/34 dan 35; Sunan an Nasaa-i, 5/51-53 dan 55)
[3]. al Baqarah/2:184.
[4]. al Kautsar /108 : 2.
[5]. al An’aam /6 : 162.
[6]. al Hajj/22 : 28.
[7]. al Hajj/22 : 3
[8]. al Baqarah/2 : 196.
[9]. Lihat Zaadul Ma’ad, 2/313.
                                          

Kirim email ke