TANDA-TANDA HAJI MABRUR
Oleh
Ustadz Anas Burhanuddin
http://almanhaj.or.id/content/3370/slash/0/tanda-tanda-haji-mabrur/

PEMBUKA
Ajaran Islam dalam semua aspeknya memiliki hikmah dan tujuan tertentu. Hikmah 
dan tujuan ini diistilahkan oleh para Ulama dengan maqâshid syarî'ah, yaitu 
berbagai maslahat yang bisa diraih seorang hamba, baik di dunia maupun di 
akhirat. 

Adapun maslahat akhirat, orang-orang shaleh ditunggu oleh kenikmatan tiada tara 
yang terangkum dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam(hadits qudsi): 

قَالَ اللَّه: أَعْدَدْتُ لِعِبَادِيْ الصَّالِحِيْنَ مَا لاَ عَيْنَ رَأَتْ ، 
وَلاَ أُذُنَ سَمِعَتْ ، وَلاَ خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ

Allah berfirman: “Telah Aku siapkan untuk hamba-hamba-Ku yang shaleh kenikmatan 
yang tidak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar telinga, dan tidak pernah 
terbetik di hati manusia." [1] 

Untuk ibadah haji, secara khusus Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam 
bersabda: 

وَالْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ

Haji yang mabrûr tidak lain pahalanya adalah surga. [2]

Adapun di dunia, banyak maslahat yang bisa diperoleh umat Islam dengan 
menjalankan ajaran agama mereka. Dan untuk ibadah haji khususnya, ada beberapa 
contoh yang bisa kita sebut; seperti menambah teman, bertemu dengan Ulama dan 
keuntungan berdagang. 

Di samping itu, Allah Azza wa Jalla juga memberikan tanda-tanda diterimanya 
amal seseorang, sehingga Allah Azza wa Jalla bisa menyegerakan kebahagiaan di 
dunia sebelum akhirat dan agar ia semakin bersemangat untuk beramal.

TIDAK SEMUA ORANG MERAIH HAI MABRUR
Setiap orang yang pergi berhaji mencita-citakan haji yang mabrûr. Haji mabrûr 
bukanlah sekedar haji yang sah. Mabrûr artinya diterima oleh Allah Azza wa 
Jalla , dan sah artinya menggugurkan kewajiban. Bisa jadi haji seseorang sah 
sehingga kewajiban berhaji baginya telah gugur, namun belum tentu hajinya 
diterima oleh Allah Azza wa Jalla . 

Jadi, tidak semua yang hajinya sah terhitung sebagai haji mabrûr. Ibnu Rajab 
al-Hanbali mengatakan: "Yang hajinya mabrûr sedikit, tapi mungkin Allah Azza wa 
Jalla memberikan karunia kepada jama`ah haji yang tidak baik dikarenakan 
jama’ah haji yang baik."[3] 

TANDA-TANDA HAJI MABRUR
Bagaimanakah mengetahui mabrûrnya haji seseorang? Apa perbedaan antar haji yang 
mabrûr dengan yang tidak mabrûr? Tentunya yang menilai mabrûr tidaknya haji 
seseorang adalah Allah Azza wa Jalla semata. Kita tidak bisa memastikan bahwa 
haji seseorang adalah haji yang mabrûr atau tidak. Para Ulama menyebutkan ada 
tanda-tanda mabrûrnya haji, berdasarkan keterangan al-Qur`ân dan Hadits. Namun, 
itu tidak bisa memberikan kepastian mabrûr tidaknya haji seserang. 

Sebagian dari tanda-tanda ini barangkali berhubungan dengan pembahasan cara 
meraih haji mabrûr, karena cara kita menjalankan ibadah haji juga bisa 
dijadikan cermin dalam hal ini. 

Di antara tanda-tanda haji mabrûr yang telah disebutkan para Ulama adalah:

Pertama: Harta yang dipakai untuk haji adalah harta yang halal, karena Allah 
Azza wa Jalla tidak menerima kecuali yang halal, sebagaimana ditegaskan oleh 
sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: 

إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا

Sungguh Allah baik, tidak menerima kecuali yang baik.[4] 

Orang yang ingin hajinya mabrûr harus memastikan bahwa seluruh harta yang ia 
pakai untuk haji adalah harta yang halal, terutama bagi mereka yang selama 
mempersiapkan biaya pelaksanaan ibadah haji tidak lepas dari transaksi dengan 
bank. Jika tidak, maka haji mabrûr bagi mereka hanyalah jauh panggang dari api. 

Ibnu Rajab rahimahullah berkata dalam sebuah syair[5] : 
Jika anda berhaji dengan harta tak halal asalnya.
Maka anda tidak berhaji, yang berhaji hanya rombongan anda.
Allah Azza wa Jalla tidak menerima kecuali yang halal saja.
Tidak semua yang berhaji mabrûr hajinya. 

Kedua: Amalan-amalannya dilakukan dengan baik, sesuai dengan tuntunan Nabi 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Paling tidak, rukun-rukun dan kewajibannya 
dijalankan, dan semua larangan ditinggalkan. Jika terjadi kesalahan, maka 
hendaknya segera melakukan penebusan yang telah ditentukan.

Di samping itu, haji yang mabrûr juga memperhatikan keikhlasan hati, yang 
seiring dengan majunya zaman semakin sulit dijaga. Mari merenungkan perkataan 
Syuraih al-Qâdhi: "Yang (benar-benar) berhaji sedikit, meski jama`ah haji 
banyak. Alangkah banyak orang yang berbuat baik, tapi alangkah sedikit yang 
ikhlas karena Allah Azza wa Jalla ."[6] 

Pada zaman dahulu ada orang yang menjalankan ibadah haji dengan berjalan kaki 
setiap tahun. Suatu malam ia tidur di atas kasurnya dan ibunya memintanya untuk 
mengambilkan air minum. Ia merasakan berat untuk bangkit memberikan air minum 
kepada sang ibu. Ia pun teringat perjalanan haji yang selalu ia lakukan dengan 
berjalan kaki tanpa merasa berat. Ia mawas diri dan berpikir bahwa pandangan 
dan pujian manusialah yang telah membuat perjalanan itu ringan. Sebaliknya saat 
meyendiri, memberikan air minum untuk orang paling berjasa pun terasa berat. 
Akhirnya, ia pun menyadari bahwa dirinya telah bersalah.[7] 

Ketiga: Hajinya dipenuhi dengan banyak amalan baik, seperti dzikir, shalat di 
Masjidil Haram, shalat pada waktunya, dan membantu teman seperjalanan. 

Ibnu Rajab rahimahullah berkata: "Maka haji mabrûr adalah yang terkumpul di 
dalamnya amalan-amalan baik, plus menghindari perbuatan-perbuatan dosa.[8] 

Di antara amalan khusus yang disyariatkan untuk meraih haji mabrûr adalah 
bersedekah dan berkata-kata baik selama haji. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa 
sallampernah ditanya tentang maksud haji mabrûr, maka beliau menjawab:

إِطْعَامُ الطَّعَامِ وَطِيْبُ الْكَلاَمِ

Memberi makan dan berkata-kata baik.[9] 

Keempat: Tidak berbuat maksiat selama ihram.
Maksiat dilarang dalam agama kita dalam semua kondisi. Dalam kondisi ihram, 
larangan tersebut menjadi lebih tegas, dan jika dilanggar, maka haji mabrûr 
yang diimpikan akan lepas.

Di antara yang dilarang selama haji adalah rafats, fusûq dan jidâl. Allah Azza 
wa Jalla berfirman:

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ 
وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ

(Musim) haji adalah beberapa bulan yang diketahui. Barang siapa yang menetapkan 
niatnya dalam bulan-bulan itu untuk mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, 
fusûq dan berbantah-bantahan selama mengerjakan haji.[10] 

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda: 

مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ 
وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

Barang siapa yang haji dan ia tidak rafats dan tidak fusûq, ia akan kembali 
pada keadaannya saat dilahirkan ibunya."[11] 

Rafats adalah semua bentuk kekejian dan perkara yang tidak berguna. Termasuk di 
dalamnya bersenggama, bercumbu atau membicarakannya, meskipun dengan pasangan 
sendiri selama ihrâm.

Fusûq adalah keluar dari ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla , apapun 
bentuknya. Dengan kata lain, segala bentuk maksiat adalah fusûq yang 
dimaksudkan dalam hadits di atas. 

Jidâl adalah berbantah-bantahan secara berlebihan. 

Ketiga hal ini dilarang selama ihrâm. Adapun di luar waktu ihrâm, bersenggama 
dengan pasangan kembali diperbolehkan, sedangkan larangan yang lain tetap tidak 
boleh. 

Demikian juga, haji yang mabrûr juga harus meninggalkan semua bentuk dosa 
selama perjalanan ibadah haji, baik berupa syirik, bid'ah maupun maksiyat. 

Kelima: Pulang dari haji dengan keadaan lebih baik.
Salah satu tanda diterimanya amal seseorang di sisi Allah Azza wa Jalla adalah 
diberikan taufik untuk melakukan kebaikan lagi setelah amalan tersebut. 
Sebaliknya, jika setelah beramal shaleh melakukan perbuatan buruk, maka itu 
adalah tanda bahwa Allah Azza wa Jalla tidak menerima amalannya.[12] 

Ibadah haji adalah madrasah. Selama kurang lebih satu bulan para jama`ah haji 
disibukkan oleh berbagai ibadah dan pendekatan diri kepada Allah Azza wa Jalla 
. Untuk sementara, mereka terjauhkan dari hiruk pikuk urusan duniawi yang 
melalaikan. Di samping itu, mereka juga berkesempatan untuk mengambil ilmu 
agama yang murni dari para Ulama tanah suci dan melihat praktik menjalankan 
agama yang benar. 

Logikanya, setiap orang yang menjalankan ibadah haji akan pulang dari tanah 
suci dalam keadaan yang lebih baik. Namun yang terjadi tidak demikian, apalagi 
setelah tenggang waktu yang lama dari waktu berhaji. Banyak yang tidak terlihat 
lagi pengaruh baik haji pada dirinya. Karena itu, bertaubat setelah haji, 
berubah menjadi lebih baik, memiliki hati yang lebih lembut dan bersih, ilmu 
dan amal yang lebih mantap dan benar, kemudian istiqâmah di atas kebaikan itu 
adalah salah satu tanda haji mabrûr. 

Orang yang hajinya mabrûr menjadikan ibadah haji sebagai titik tolak untuk 
membuka lembaran baru dalam menggapai ridha Allah Azza wa Jalla ; ia akan 
semakin mendekat ke akhirat dan menjauhi dunia. Al-Hasan al-Bashri rahimahullah 
mengatakan: "Haji mabrûr adalah pulang dalam keadaan zuhud terhadap dunia dan 
mencintai akhirat."[13] Ia juga mengatakan: "Tandanya adalah meninggalkan 
perbuatan-perbuatan buruk yang dilakukan sebelum haji."[14] 

Ibnu Hajar al-Haitami rahimahullah mengatakan: "Dikatakan bahwa tanda 
diterimanya haji adalah meninggalkan maksiat yang dahulu dilakukan, mengganti 
teman-teman yang buruk menjadi teman-teman yang baik, dan mengganti majlis 
kelalaian menjadi majlis dzikir dan kesadaran." 

PENUTUP
Sekali lagi, yang menilai mabrûr tidaknya haji seseorang hanya Allah Azza wa 
Jalla. Para Ulama hanya menjelaskan tanda-tandanya sesuai dengan ilmu yang 
telah Allah Azza wa Jalla berikan kepada mereka. Jika tanda-tanda ini ada dalam 
ibadah haji anda, maka hendaknya anda bersyukur atas taufik dari Allah Azza wa 
Jalla . Anda boleh berharap ibadah anda diterima oleh Allah Azza wa Jalla , dan 
teruslah berdoa agar ibadah anda benar-benar diterima. Adapun jika tanda-tanda 
itu tidak ada, maka anda harus mawas diri, istighfâr dan memperbaiki amalan 
anda. Wallâhu a'lam.


Referensi: 
1. Al-Qur`ân al-Karîm.
2. Shahîh al-Bukhâri, Tahqîq Musthafa al-Bugha, Dâr Ibn Katsîr.
3. Shahîh Muslim, Tahqîq Muhammad Fuâd `Abdul Bâqi, Dâr Ihyâ' Turâts.
4. Musnad Imam Ahmad, Tahqîq Syu'aib al-Arnauth, Muassasah Qurthûbah.
5. Sunan al-Baihâqi al-Kubra, Cetakan Hyderabad, India.
6. Silsilah al-Ahadîts ash-Shahîhah, Muhammad Nâshiruddin al-Albâni, Maktabah 
al-Ma'ârif.
7. At-Târîkh al-Kabîr, al-Bukhâri, Tahqîq Sayyid Hâsyim an-Nadawi, Dârul Fikr.
8. Lathaiful Ma'ârif fîma li Mawâsil 'Am minal Wazhâif, Ibnu Rajab al-Hanbali, 
al-Maktabah asy-Syâmilah.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XIII/Dzulqa'adah 1430/2009M. 
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton 
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. HR. al-Bukhâri 3073) dan Muslim 2824.
[2]. HR. al-Bukhâri 1683) dan Muslim 1349.
[3]. Lathâiful Ma'ârif Fîma Li Mawâsimil 'Am Minal Wazhâif 1/68. 
[4]. HR. Muslim 1015.
[5]. Lathâiful Ma'ârif 2/49. 
[6]. Lathâiful Ma'ârif 1/257 
[7]. Ibid. 
[8]. Lathâiful Ma'ârif 1/67.
[9]. HR. al-Baihaqi 2/413 (no. 10693), dihukumi shahîh oleh al-Hâkim dan 
al-Albâni dalam Silsilah al-Ahâdits ash-Shahîhah 3/262 (no. 1264)
[10]. al-Baqarah 197.
[11]. HR. Muslim (1350) dan yang lain, dan ini adalah lafazh Ahmad di Musnad 
(7136)
[12]. Lathâiful Ma'ârif 1/68. 
[13]. At-Târîkh al-Kabîr 3/238.
[14]. Lathâiful Ma'ârif 1/67.                                     

Kirim email ke