YANG DITUNTUT DARI ORANG YANG BERKURBAN
Oleh
Dr Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar
http://almanhaj.or.id/content/1722/slash/0/yang-dituntut-dari-orang-yang-berkurban-perkara-yang-perlu-diingat/

Jika seorang muslim ingin berkurban untuk diri dan keluarganya atau menyumbang 
kurban untuk orang yang hidup atau yang telah wafat dan masuk bulan Dzulhijjah, 
baik masuknya dengan melihat hilal atau menyempurnakan bulan Dzulqa’dah tiga 
puluh hari, maka diharamkan baginya mengambil sebagian dari rambut, kuku dan 
kulitnya sampai ia menyembelih kurbannya.

Dasarnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma 
bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِي الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ 
فَلاَ يَأْخُذْ مِنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّيَ

“Jika kalian melihat hilal Dzulhijjah dan salah seorang dari kalian ingin 
berkurban, maka janganlah mengambil (memotong) rambut dan kukunya sedikit pun 
sampai ia menyembelih kurbannya.” [1] 

HIKMAH TIDAK MEMOTONG RAMBUT, KUKU DAN BULU KULIT
Para ulama menjelaskan sedikit hikmah larangan memotong rambut dan kuku serta 
bulu, Di antaranya:

1. Ada yang mengatakan bahwa ketika orang yang berkurban berserikat dengan 
muhrim (orang yang berihram haji) dalam sebagian amalan hajinya, yaitu 
mendekatkan diri kepada Allah dengan menyembelih kurban, maka sesuailah 
sebagian hukumnya dalam larangan memotong rambut dan kuku.

2. Ada yang mengatakan bahwa hikmahnya agar seluruh anggota tubuh orang yang 
berkurban tetap lengkap untuk dibebaskan dari api Neraka.

3. Ada yang mengatakan bahwa hikmahnya membiarkan rambut dan kuku sempurna agar 
diambilnya bersama sembelihan kurban, sehingga menjadi bagian kurban disisi 
Allah dan kesempurnaan ibadah dengannya.

Tampaknya itu semua dan selainnya yang dimaksudkan sebagai hikmah. Wallaahu 
a’lam.

PERKARA YANG PERLU DIINGAT
1. Banyak terlontar pertanyaan dari orang-orang pada malam tanggal tigapuluh 
Dzulqa’dah, apakah mereka boleh memotong rambut dan kuku mereka? Kita katakan, 
“Jika belum pasti masuk bulan Dzulhijjah pada malam tiga puluh tersebut, maka 
mereka diperbolehkan untuk itu dan tidak mengapa, sebab permasalahan ini 
berhubungan dengan masuknya bulan Dzulhijjah. Bulan Dzulhijjah itu dapat 
ditetapkan dengan melihat hilal atau menyempurnakan Dzulqa’dah tigapuluh hari. 
Namun siapa yang ingin berhati-hati pun dibolehkan.

2. Jika telah masuk sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dan seorang muslim 
belum berniat menyembelih kurban lalu memotong rambut dan kukunya, kemudian 
setelah lewat dua atau tiga hari atau lebih ia ingin menyembelih kurban, maka 
wajib baginya untuk tidak memotong semenjak ia berniat, dan tidak mengapa 
baginya perkara yang telah berlalu. Walillaahil Hamd.

3. Para ulama berbeda pendapat, apakah memotong rambut dan kuku hukumnya haram, 
adalah makruh atau mubah bagi orang yang ingin berkurban? Yang rajih, hukumnya 
adalah haram, karena asal dari larangan adalah untuk pengharaman dan tidak ada 
yang memalingkan hukum tersebut dari asalnya. Namun bila seorang muslim telah 
memotong rambut dan kukunya, maka tidak dikenakan fidyah, hanya saja wajib 
baginya bertaubat dan beristighfar dari pelanggaran larangan tersebut.

4. Orang yang ingin menyembelih kurban kemudian telah memotong rambut dan 
kukunya masih diperbolehkan menyembelih kurbannya, dan memotong rambut dan 
kukunya tersebut tidak menghalanginya berkurban, sebab hal itu adalah satu 
perkara dan hal lainnya adalah perkara berbeda. Namun, orang tersebut berdosa 
dengan sebab melanggar larangan tersebut. Sedangkan apa yang diduga oleh orang 
umum bahwa itu menyebabkan kurbannya tidak diterima, maka tidak berdasar sama 
sekali secara syari’at.

5. Orang yang memiliki hajat di bolehkan memotong rambut, kuku dan sedikit 
bulunya, seperti jika kukunya sobek lalu butuh di potong atau kulitnya 
terkelupas sehingga mengganggunya, maka ia dibolehkan untuk menghilangkannya 
atau terkena luka sehingga butuh memotong bulu atau rambutnya dibolehkan.

6. Larangan memotong rambut, kuku dan kulit ditujukan khusus bagi orang yang 
ingin berkurban untuk dirinya dan keluarganya, atau menyumbang kurban untuk 
orang hidup atau yang telah wafat. Sedangkan orang yang dimasukkan dalam pahala 
kurban seperti isteri dan anak, maka tidak terkena larangan ini, karena 
larangan ini khusus bagi yang ingin berkurban saja. Sebagian ulama berpendapat 
bahwa larangan tersebut juga mengenai mereka, karena mereka berserikat dengan 
orang yang berkurban dalam masalah pahala, sehingga berserikat juga dalam 
hukum. Namun yang rajih adalah pendapat pertama. Wallaahu a’lam.

7. Perwakilan tidak ada pengarunya dalam larangan memotong rambut dan kuku 
serta kulit ini, karena yang dilarang memotongnya hanyalah orang yang ingin 
berkurban. Adapun wakil dan orang yang diwasiati maka tidak dilarang. Sedangkan 
dugaan banyak orang bahwa jika ia (orang yang berkurban) telah diwakilkan orang 
lain (penyembelihannya), maka, ia di bolehkan memotong rambut, kuku dan 
kulitnya, maka ini tidaklah benar. Hal ini harus diingat!

8. Orang yang ingin berkurban dan telah ber-tekad melaksanakan haji atau umroh, 
janganlah memotong rambut dan kukunya ketika ihram, sedangkan mencukur atau 
mengambil sebagian rambutnya karena haji dan umroh, maka itu adalah wajib 
walaupun orang yang berhaji atau umroh tersebut akan menyembelih kurban, 
ka-rena mengambil rambut atau mencukur ini adalah nusuk (bagian dari haji atau 
umroh), sehingga tidak dikenai larangan memotong rambut dan kuku ini.

9. Seorang wanita dibolehkan menyembelih kurbannya langsung. Adapun dugaan 
orang umum (awam) tentang ketidakbolehan wanita menyembelih tidak ada dasarnya 
dalam syari’at. Ibnu Qudamah berkata dalam kitab al-Mughni, “Ibnul Mundzir 
berkata, ‘Semua ulama -yang telah aku hafal- sepakat membolehkan sembelihan 
oleh wanita dan anak-anak.’” [2]

Imam al-Bukhari meriwayatkan satu hadits dengan sanadnya dari Ka’ab bin Malik, 
beliau berkata: 

أَنَّ جَارِيَةً لَهُمْ كَانَتْ تَرْعَى غَنَمًا بِسَلْعٍ فَأَبْصَرَتْ بِشَاةٍ 
مِنْ غَنَمِهَا مَوْتًا فَكَسَرَتْ حَجَرًا فَذَبَحَتْهَا فَـقَالَ ِلأَهْلِهِ لاَ 
تَأْكُلـُوا حَتَّى آتِيَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، 
فَأَسْأَلَهُ أَوْ حَتَّى أُرْسِلَ إِلَيْهِ مَنْ يَسْأَلُهُ فَأَتَى النَّبِيَّ 
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ بَعَثَ إِلَيْهِ، فَأَمَرَ النَّبِيُّ 
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِأَكْلِهَا

“Seorang jariyah (budak perempuan) milik mereka menggembalakan kambing di 
daerah Sil’a, lalu ia melihat seekor kambingnya akan mati. Kemudian ia memecah 
batu dan menyembelih kambing tersebut. Maka Ka’ab berkata kepada keluarganya: 
Jangan kalian makan dulu sampai aku mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi 
wa sallam untuk bertanya atau sampai diutus orang yang menanyakannya. Lalu 
sampailah beliau ke Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam atau mengutus 
seseorang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Lalu Rasulullah 
Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkannya untuk memakannya.”

10. Ada juga orang yang tidak memperhatikan wasiat kedua orang tuanya atau 
salah satu dari keduanya, lalu menyumbang kurban untuk kerabatnya yang telah 
meninggal dan tidak menunaikan wasiat mereka. Ini adalah tidak boleh, karena 
melaksanakan wasiat hukumnya wajib, apabila menambah dan menyumbang dari 
dirinya, maka tidak mengapa. Kami telah melihat orang yang memiliki tanggung 
jawab atas wasiat kedua orang tuanya atau salah seorang darinya memenuhi wasiat 
mereka tersebut dengan berdalih mereka menyumbangkan untuk orang tua-nya 
tersebut setiap tahun seekor kurban atau lebih. Hukum ini juga mencakup wasiat 
kerabat atau yang lainnya. Maka ingatlah hal tersebut.

11. Sebagian orang yang menyembelih kurban, mereka sengaja mengambil sedikit 
darahnya dan melumurkannya ke tembok dengan anggapan bahwa tembok ini akan 
menjadi saksi baginya di hari Kiamat dan membiarkan darah tersebut sampai 
hilang dengan sendirinya. Perbuatan ini tidak ada dalilnya dalam syari’at, 
bahkan pelakunya dikhawatirkan (menjadi sesat) kalau saja tidak bodoh.

12. Dewasa ini muncul satu perkembangan baik yang timbul dari solidaritas dan 
kerjasama kaum muslimin, yaitu pengiriman hewan kurban kepada para pengungsi 
dan muhajirin kaum muslimin di beberapa negara-negara Islam. Sebagian ulama 
melarangnya dan sebagian lain membolehkannya dan yang rajih menurut saya, di 
sana ada perbedaaan antara kurban seorang muslim untuk diri dan keluarganya 
serta yang telah diwasiatkan kepadanya dengan kurban tabarru [3]. Adapun 
sembelihan muslim untuk diri dan keluarganya, dan demikian juga yang 
diwasiatkan dengan ketentuan tempat dan orang yang dibagi yang telah 
ditentukan, maka menurut saya yang utama adalah tidak dikirimkan dan harus 
disembelih ditempat orang yang berkurban tersebut. Sedangkan hewan kurban 
tabarru’, maka perkaranya mudah saja -insya Allah-. 

Seandainya perkara ini diserahkan kepada tinjauan mufti sesuai kebutuhan 
manusia dan yang lebih kuat menurutnya dari prioritas yang ada, maka tentunya 
hal itu benar.

13. Seandainya waktu penyembelihan kurban yang sah telah lewat, padahal seorang 
muslim tersebut memiliki udzur atau udzurnya selalu ada sampai lewat waktu 
penyembelihan kurban yang sah tersebut, contohnya hewan kurbannya kabur dan 
tidak ditemukan kecuali setelah lewat waktu penyembelihan atau ia mewakilkan 
kepada orang lain untuk menyembelihnya, lalu sang wakil tersebut lupa, kemudian 
orang yang mewakilkan tersebut mengetahui bahwa wakilnya tersebut belum 
menyembelihnya, maka apakah ia boleh menyembelih (setelah waktu tersebut) dan 
menjadikan udzur tersebut sebagai pembenar keabsahan kurbannya? Hal ini masih 
menjadi perselisihan para ulama. Namun, Allah -Ta’ala- telah menghilangkan 
kesulitan umat ini dan tidak membebankan mereka dengan sesuatu di luar 
kemampuannya serta mensyari’atkan orang yang tertidur dari shalat atau lupa 
darinya untuk melaksanakan shalat ketika ingat tanpa ada kaffarat baginya.

14. Jika hewan kurbannya telah ditentukan, maka wajib menunaikannya dan tidak 
boleh menggagalkannya, serta tidak boleh menggantinya kecuali dengan yang lebih 
baik. Sedangkan apa yang dilakukan sebagian orang yang membeli hewan kurbannya 
lalu menjualnya serta meremehkan hal tersebut, maka ini adalah kesalahan yang 
perlu diperingatkan. Apabila hewan tersebut melahirkan setelah penentuan 
tersebut, maka hukum anaknya sama dengan hukum induknya. Apabila mati sebelum 
disembelih, jika disebabkan kecerobohan dari orang yang berkurban, maka ia 
harus menggantinya, dan jika disebabkan perlakuan orang lain, maka orang 
tersebut wajib menggantinya. Namun apabila hilang setelah disembelih atau 
dicuri, jika disebabkan karena kecerobohannya, maka hendaklah dia mengganti apa 
yang dishadaqahkan dari hewan tersebut saja, dan bila tidak maka tidak ada 
kewajiban menggantinya sama sekali.

15. Orang yang mendapatkan pemberian bagian dari hewan kurban atau mendapat 
shadaqah darinya, maka diperbolehkan menggunakannya sesukanya, baik dijual, 
dihadiahkan atau dishadaqahkan kembali. Tapi jangan menjualnya kepada orang 
yang memberinya atau bershadaqah kepadanya.

[Disalin dari kitab Ahkaamul Iidain wa Asyri Dzil Hijjah, Edisi Indonesia 
Lebaran Menurut Sunnah Yang Shahih, Penulis Dr Abdullah bin Muhammad bin Ahmad 
Ath-Thayyar, Penerjemah Kholid Syamhudi Lc, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. HR. Muslim dan lainnya dengan lafazh yang berbeda. Lihat Shahiih Muslim bi 
Syarh an-Nawawi (XIII/139).
[2]. Al-Mughni (VIII/581).
[3]. Yaitu kurban seseorang yang lebih dari satu. Misalnya seorang berkurban 5 
ekor kambing, maka satu adalah kurban untuk dirinya sedangkan yang lain ia 
niatkan untuk shadaqah. Keempat kambing tersebut dinamakan hewan kurban 
tabarru’.-pen                                           

Kirim email ke