Islam di Papua, Sejarah yang Terlupakan
Oleh : Redaksi 10 May 2007 - 5:30 pm

Islam masuk lebih awal sebelum agama lainnya di Papua. Namun, banyak upaya
pengaburan, seolah-olah, Papua adalah pulau Kristen. Bagaimana sejarahnya?

Upaya-upaya pengkaburan dan penghapusan sejarah dakwah Islam berlangsung
dengan cara sistematis di seantero negeri ini. Setelah Sumetera Utara,
Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, dan Maluku diklaim
sebagai kawasan Kristen, dengan berbagai potensi menariknya, Papua merupakan
jualan terlaris saat ini. Papua diklaim milik Kristen!

Ironis, karena hal itu mengaburkan fakta dan data sebenarnya di mana Islam
telah hadir berperan nyata jauh sebelum kedatangan mereka (agama Kristen
Missionaris). :foto

Berikut catatan Ali Atwa, wartawan Majalah Suara Hidayatullah dan juga
penulis buku “Islam Atau Kristen Agama Orang Irian (Papua)” tentang Islam di
Bumi Cenderawasih bagian pertama:


Menurut HJ. de Graaf, seorang ahli sejarah asal Belanda, Islam hadir di Asia
Tenggara melalui tiga cara: Pertama, melalui dakwah oleh para pedagang
Muslim dalam alur perdagangan yang damai; kedua, melalui dakwah para dai dan
orang-orang suci yang datang dari India atau Arab yang sengaja ingin
mengislamkan orang-orang kafir; dan ketiga, melalui kekuasan atau peperangan
dengan negara-negara penyembah berhala.

Dari catatan-catatan yang ada menunjukkan bahwa kedatangan Islam di tanah
Papua, sesungguhnya sudah sanggat lama. Islam datang ke sana melalui
jalur-jalur perdagangan sebagaimana di kawasan lain di nusantara.


Sayangnya hingga saat ini belum ditentukan secara persis kapan hal itu
terjadi. Sejumlah seminar yang pernah digelar seperti di Aceh pada tahun
1994, termasuk yang dilangsungkan di ibukota provinsi Kabupaten Fakfak dan
di Jayapura pada tahun 1997, belum menemukan kesepakatan itu. Namun yang
pasti, jauh sebelum para misionaris menginjakkan kakinya di kawasan ini,
berdasarkan data otentik yang diketemukan saat ini menunjukkan bahwa
muballigh-muballigh Islam telah lebih dahulu berada di sana.

Aktivitas dakwah Islam di Papua merupakan bagian dari rangkaian panjang
syiar Islam di Nusantara. Menurut kesimpulan yang ditarik di dalam sebuah
seminar tentang masuknya Islam ke Indonesia, Medan 1963, Islam masuk ke
Indonesia sudah sejak abad ke-7 dan ke-8 Masehi. Di mana daerah pertama yang
didatangi oleh Islam adalah pesisir Utara Sumatera, dan setelah
berkembangnya para pemeluk Islam, maka kerajaan Islam yang pertama di
Indonesia ialah Kerajaaan Perlak, tahun 840.

Perkembangan agama Islam bertambah pesar pada masa Kerajaan Samudera Pasai,
sehingga menjadi pusat kajian Agama Islam di Asia Tenggara. Saat itu dalam
pengembangan pendidikan Islam mendapatkan dukungan dari pimpinan kerajaan,
sultan, uleebalang, panglima sagi dan lain-lain. Setelah kerajaan Perlak,
berturut-turut muncul Kerajaan Islam Samudera Pasai (1042), Kerajaan Islam
Aceh (1025), Kerajaan Islam Benua Tamiah (1184), Kerajaan Islam
Darussalam(1511).

Sebagian ahli sejarah berpendapat bahwa sebelum tahun 1416 Islam sudah masuk
di Pulau Jawa. Penyiaran Islam pertama di tanah jawa dilakukan oleh Wali
Songo (Wali Sembilan). Yang terkenal sebagai orang yang mula-mula memasukkan
Islam ke Jawa ialah Maulana Malik Ibrahim yang meninggal tahun 1419. Ketika
Portugis mendaratkan kakinya di pelabuhan Sunda Kelapa tahun 1526, Islam
sudah berpengaruh di sini yang dipimpin oleh Falatehan. Putera Falatehan,
Hasanuddin, pada tahun 1552 oleh ayahnya diserahi memimpin banten.

Di bawah pemerintahannya agama Islam terus berkembang. Dari Banten menjalar
ke Sumatera Selatan, Lampung dan Bengkulu. Juga di pula Madura agama Islam
berkembang.

Pada pertengahan abad ke-16 penduduk Minangkabau memeluk Islam begitu juga
di Gayo Sumatera Utara. Ketika Sultan Malaka terakhir diusir oleh Portugis,
ia menetap di Pulau Bintan, yang kala itu sudah menjadi negeri Islam (1511).

Pada tahun 1514, sebagian penduduk Brunai di Kalimantan sudah memeluk agama
Islam. Bahkan pada tahun 1541, raja Brunai sendiri masuk Islam. Di
Kalimantan Barat, Sambar, yang menjadi bawahan negeri johor, penduduknya
sudah masuk Islam pada pertengahan abad ke-16. Di bagian selatan Kalimantan
yang tadinya merupakan wilayah kekuasaan Kejaraan Majapahit, setelah
Majapahit ditaklukan oleh Kerajaan Islam Demak. Masuknya Islam di
Banjarmasin sekitar tahun 1550, dan pada tahun 1620 di Kotawaringin telah
terdapat seorang raja yang memeluk agama Islam.

Pada tahun 1600 Kerajaan Pasir dan Kutai telah menjadi daerah Islam. Seabad
kemudian menyusul Kerajaan Berau dan Bulungan. Di Sulawesi raja Goa tahun
1603 masuk Islam. Selanjutnya raja Goa mengislamkan daerah-daerah di
sekitarnya seperti Bone [1606], Soppeng [1609], Bima (1626), Sumbawa (1626)
juga Luwu, Palopo, mandar, Majene menjadi daerah Islam.

Di wilayah Sulawesi Utara mulai dari Mandar sampai Manado pada pertengahan
abad ke -16 menjadi bawahan Kerajaan Ternate yang rajanya adalah seorang
Muslim. Atas ajakan raja Ternate, raja Bolaang Mongondow memeluk Islam.
Terus ke timur di kepulauan Maluku pada mula abad ke-16 telah memiliki
kerajaan Islam yakni Kerajaan Bacan. Muballigh dari kerajaan Ini terus
mendakwahkan Islam ke kawasan tetangganya di Papua melalui jalur perdagangan


Sejak Zaman Kerajaan Majapahit
Seorang Guru Besar Bidang Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Negeri
Malang, Dr. Moehammad Habib Mustofo, yang sekaligus Ketua Asosiasi Ahli
Epigrafi Indonesia (AAEI) Jawa Timur menjelaskan bahwa dakwah Islam sudah
ada sejak zaman Kerajaan Majapahit.

Apalagi dengan diketemukanya data artefakt yang waktunya terentang antara
1368-1611M yang membuktikan adanya komunitas Muslim di sikitar Pusat Keraton
Majapahit, di Troloyo, yakni sebuah daerah bagian selatan Pusat Keraton
Majapahit yang waktu itu terdapat di Trowulan.

Situs Islam di Troloyo sudah dikenal sejak abad XIX, namun para ilmuwan
meragukan kepentingan nisan-nisan itu sebagai salah satu sumber primer yang
penting berkaitan dengan islamisasi di Jawa.

L.W.C. van den Berg, pada laporannya tertanggal 1 Februari 1887 tentang data
epigrafi Arab di Situs Troloyo meragukan keasliannya, karena tulisan Arabnya
yang kasar dan banyak salah tulis. Selanjutnya ia berpendapat bahwa
inskripsi Arabnya sengaja ditambahkan kemudian pada artefak yang berisi
tahun saka itu (Damais, 1957:365).

Pendapat lain dikemukakan oleh Veth, yang memperkirakan bahwa nisan-nisan
tersebut berasal dari bagu candi. N.J. Krom menyatakan sittus Troloyo tidak
mempunyai nilai arkeologis(Krom, 1923:184).

Sikap para sarjana terhadap temuan di Troloyo tersebut mulai berubah sejak
tahun 1942. W.F. Stuterheim yang menjabat sebagai kepala Oudheidkundig Diens
 menjelang penduddukan Jepang di Indonesia mengajak L.C. Damais ke Situs
Troloyo. Stuterhem mengharapkan temuan Damais, yang seorang antropolog
berkebangsaan Perancis itu akan menambah pengetahuan baru dalam arkeologi
Islam. Hasil penelitian Damais itu baru dipublikasikan pada tahun 1957.


Dari hasil penelitian Damais didapat pandangan yang menarik karena di sana
didapati suatu interaksi antara komunitas Muslim saat itu dengan para
penganut Hindu-Budha di bawah pemerintahan Majapahit.


Kesimpulan tersebut didasarkan atas studi huruf Jawa kuno dalam konteks
makam Islam di daerah Troloyo tertulis tahun 1368-1611M. Kajian tentang
huruf yang terdapat pada nisan Islam di Troloyo tersebut dapat disimpulkan
bahwa bentuk angka Jawa kuno dipengaruhi oleh bentuk tulisan Arab yang serba
tebal dan besar.

Kajian oleh L.C. Damais dan de Casparis dari sudut paleografi membuktikan
bahwa telah terjadi saling pengaruh antara dua kebudayaan yang berbeda
(yakni antara Hindu-Budha-Islam) pada awal perkembangan Islam di Jawa Timur.
Melalui data-data tersebut, Habib ingin menjelaskan bahwa sesungguhnya
dakwah Islam sudah terjadi terjadi jauh sebelum keruntuhan total kerajaan
Majapahit yakni tahun 1527M. Dengan kata lain, ketika kerajaan Majapahit
berada di puncak kejayaannya, syiar Islam juga terus menggeliat melalui
jalur-jalur perdagangan di daerah-daerah yang menjadi kekuasaan Majapahit di
delapan mandala (meliputi seluruh nusantara) hingga malaysia, Brunei
Darussalam, hingga di seluruh kepulauan Papua.

Masa antara abad XIV-XV memiliki arti penting dalam sejarah kebudayaan
Nusantara, di mana pada saat itu ditandai hegemoni Majapahit sebagai
Kerajaan Hindu-Budha mulai pudar. Se-zaman dengan itu, muncul jaman baru
yang ditandai penyebaran Islam melalui jalar perdagangan Nusantara.

Melalui jalur damai perdagangan itulah, Islam kemudian semakin dikenal di
tengah masyarakat Papua. Kala itu penyebaran Islam masih relatif terbatas di
kota-kota pelabuhan. Para pedagang dan ulama menjadi guru-guru yang sangat
besar pengaruhnya di tempat-tempat baru.

Sebagai kerajaan tangguh masa itu, kekuasaan Kerajaan Majapahit meliputi
seluruh wilayah Nusantara, termasuk Papua. Beberapa daerah di kawasan
tersebut bahkan disebut-sebut dalam kitab Negarakertagama, sebagai wilayah
Yurisdiksinya. Keterangan mengenai hal itu antara disebutkan sebagai
berikut:

"Muwah tang i Gurun sanusanusa mangaram ri Lombok Mirah lawan tikang i
Saksakadi nikalun kahaiyan kabeh nuwati tanah i bantayan pramuka Bantayan
len luwuk teken Udamakatrayadhi nikang sanusapupul".

"Ikang sakasanusasanusa Makasar Butun Banggawai Kuni Ggaliyao mwang i [ng]
Salaya Sumba Solot Muar muwah tigang i Wandan Ambwan Athawa maloko Ewanin ri
Sran ini Timur ning angeka nusatutur".

Dari keterangan yang diperoleh dalam kitab klasik itu, menurut sejumlah ahli
bahasa yang dimaksud "Ewanin" adalah nama lain untuk daerah "Onin" dan "Sran
 adalah nama lain untuk "Kowiai". Semua tempat itu berada di Kaimana,
Fak-Fak. Dari data tersebut menjelaskan bahwa pada zaman Kerajaan Majapahit
sejumlah daerah di Papua sudah termasuk wilayah kekuasaan Majapahit.

Menurut Thomas W. Arnold : "The Preaching of Islam”, setelah kerajaan
Majapahit runtuh, dikalahkan oleh kerajaan Islam Demak, pemegang kekuasan
berikutnya adalah Demak Islam. Dapat dikatakan sejak zaman baru itu,
pengaruh kerajaan Islam Demak juga menyebar ke Papua, baik langsung maupun
tidak.

Dari sumber-sumber Barat diperoleh catatan bahwa pada abad ke XVI sejumlah
daerah di Papua bagian barat, yakni wilayah-wilayah Waigeo, Missool, Waigama
 dan Salawati, tunduk kepada kekuasaan Sultan Bacan di Maluku.

Catatan serupa tertuang dalam sebuah buku yang dikeluarkan oleh Periplus
Edition, di buku “Irian Jaya”, hal 20 sebuah wadah sosial milik misionaris
menyebutkan tentang daerah yang terpengaruh Islam. Dalam kitab
Negarakertagama, di abad ke 14 di sana ditulis tentang kekuasaan kerajaan
Majapahit di Jawa Timur, di mana di sana disebutkan dua wilayah di Irian
yakni Onin dan Seran

Bahkan lebih lanjut dijelaskan: Namun demikian armada-armada perdagangan
yang berdatangan dari Maluku dan barangkali dari pulau Jawa di sebelah barat
kawasan ini, telah memiliki pengaruh jauh sebelumnya.

....Pengaruh ras austronesia dapat dilihat dari kepemimpinan raja di antara
keempat suku, yang boleh jadi diadaptasi dari Kesultanan Ternate, Tidore dan
Jailolo. Dengan politik kontrol yang ketat di bidang perdagangan pengaruh
kekuasaan Kesultanan Ternate di temukan di raja Ampat di Sorong dan di
seputar Fakfak dan diwilayah Kaimana

Sumber cerita rakyat mengisahkan bahwa daerah Biak Numfor telah menjadi
bagian dari wilayah kekuasaan Sultan Tidore.

Sejak abad ke-XV. Sejumlah tokoh lokal, bahkan diangkat oleh Sultan Tidore
menjadi pemimpin-pemimpin di Biak. Mereka diberi berbagai macam gelar, yang
merupakan jabatan suatu daerah. Sejumlah nama jabatan itu sekarang ini dapat
ditemui dalam bentuk marga/fam penduduk Biak Numfor.

Kedatangan Orang Islam Pertama
Berdasarkan keterangan di atas jelaslah bahwa, masuknya Islam ke Papua,
tidak bisa dilepaskan dengan jalur dan hubungan daerah ini dengan daerah
lain di Indonesia. Selain faktor pengaruh kekuasaan Kerajaan Majapahit,
masuknya Islam ke kawasan ini adalah lewat Maluku, di mana pada masa itu
terdapat kerajaan Islam berpengaruh di kawasan Indonesia Timur, yakni
kerajaan Bacan.

Bahkan keberadaan Islam Bacan di Maluku sejak tahun 1520 M dan telah
menguasai beberapa daerah di Papua pada abad XVI telah tercatat dalam
sejarah. Sejumlah daerah seperti Waigeo, Misool, Waigama dan Salawati pada
abad XVI telah mendapat pengaruh dari ajaran Islam. Melalui pengaruh Sultan
Bacan inilah maka sejumlah pemuka masyarakat di pulau-pulau tadi memeluk
agama Islam, khususnya yang di wilayah pesisir. Sementara yang dipedalaman
masih tetap menganut faham animisme.


Thomas Arnold yang seorang orientalis berkebangsaan Inggris memberi catatan
kaki dalam kaitannya dengan wilayah Islam tersebut: “…beberapa suku Papua di
pulau Gebi antara Waigyu dan Halmahera telah diislamkan oleh kaum pendatang
dari Maluku"

Tentang masuk dan berkembangnya syi'ar Islam di daerah Papua, lebih lanjut
Arnold menjelaskan: “Di Irian sendiri, hanya sedikit penduduk yang memeluk
Islam. Agama ini pertama kali dibawa masuk ke pesisir barat [mungkin
semenanjung Onin] oleh para pedagang Muslim yang berusaha sambil berdakwah
di kalangan penduduk, dan itu terjadi sejak tahun 1606. Tetapi nampaknya
kemajuannya berjalan sangat lambat selama berabad-abad kemudian..."


Bila ditinjau dari laporan Arnold tersebut, maka berarti masuknya Islam ke
daerah Papua terjadi pada awal abad ke XVII, atau dua abad lebih awal dari
masuknya agama Kristen Protestan yang masuk pertama kali di daerah Manokwari
pada tahun 1855, yaitu ketika dua orang missionaris Jerman bernama C.W.
Ottow dan G.J. Geissler mendarat dan kemudian menjadi pelopor kegiatan
missionaris di sana. (Ali Atwa, penulis buku “Islam Atau Kristen Agama Orang
Irian (Papua).” (Hidayatullah)

Kirim email ke