[ekonomi-nasional] Buletin Elektronik SADAR Edisi 134 Tahun IV 2008
*Buletin Elektronik**www.Prakarsa-Rakyat.org* *SADAR * *Simpul Untuk Keadilan dan Demokrasi* * Edisi: 134 Tahun IV - 2008 Sumber: www.prakarsa-rakyat.org* *RENTETAN KEBIJAKAN SBY-JK: SEBUAH PEMBELAJARAN POLITIK * *Oleh Achmad Rusyaidi H** Kita pastinya masih teringat dengan gelora-gelora kampanye SBY-JK pada tahun 2004 kemarin, dimana jutaan Rakyat Indonesia menggantungkan harapannya pada sosok SBY-JK untuk membawa Indonesia ke arah perubahan yang lebih baik. Empat tahun sudah SBY-JK memimpin negeri ini. Sudah ratusan bahkan ribuan kebijakan yang diambilnya. Sudah banyak pula pro-kontra yang mengikuti kebijakannya, entah apakah penilaiannya objektif atau tidak. Di tulisan ini tidak akan dibahas kebaikan dan keburukan kebijakan atau program yang diambil oleh SBY-JK, namun bagaimana melihatnya dari sudut pandang politik, menganalisisnya, dan menjadikan sebuah pembelajaran bagi rakyat sehingga nantinya akan meminimalisir penilaian subjektif dan primordial yang selama ini dianut oleh sebagian besar Rakyat Indonesia. Sadar atau tidak, apa yang terjadi di negeri ini tergantung dari bagaimana rakyatnya mengelola negeri ini. Konsekuensi dari dianutnya liberalisasi politik membawa pada situasi dan kondisi dimana rakyat memiliki ruang yang luas untuk terlibat di setiap percaturan ekonomi-politik, baik di skala lokal maupun nasional. Sekilas, memang agak terlihat kontras dengan kenyataannya, mengingat kenyataan yang ada justru menutupkan pintu bagi bagi rakyat untuk berpolitik. Sebut saja paket UU Pemilu dan UU Parpol yang jika dianalisis, akan memperlihatkan bahwa yang berhak untuk berpolitik hanyalah golongan berduit atau kaum borjuis saja. Namun kesalahan bukan ada pada sistem atau konsep yang ada, melainkan sekali lagi, sadar atau tidak, bahwa semua ini adalah konsekuensi logis dari pilihan yang diambil oleh Rakyat Indonesia. Kenapa ketika liberalisasi (baik di bidang ekonomi maupun politik) masuk ke Indonesia, jutaan rakyat masih mempercayakan nasibnya kepada orang-orang yang membiusnya dengan politik uang, dengan politik primordial atau dengan politik konservatif. Di fase liberalisasi yang melanda Indonesia seperti sekarang ini, orang tidak lagi berpikir tentang moralitas tapi orang akan berpikir bagaimana mewujudkan kepentingan ekonomi-politiknya, meskipun harus dengan cara mengkhianati janjinya sendiri. Sekarang, yang harus dilakukan adalah bagaimana memassifkan organisasi-organisasi yang murni berbasis rakyat, untuk memaksimalkan keterlibatan seluruh kekuatan rakyat dalam pertarungan liberalisasi ekonomi-politik. Kembali ke persoalan kebijakan SBY-JK sebagai suatu pembelajaran politik. Pada dasarnya tidak ada yang aneh dengan kebijakan yang diambil oleh SBY-JK, mengingat orientasi politiknya adalah orientasi pasar. Sehingga adalah hal yang wajar pula ketika SBY-JK harus mengurangi subsidi BBM sebanyak dua kali, yaitu pada tahun 2005 dan 2008. Rentetan kebijakan SBY-JK adalah gambaran untuk menilai arah dan kepentingan politik kaum-kaum yang pro pasar dengan corak kapitalistiknya. Terlepas dari apakah nantinya kebijakan yang diambil oleh SBY-JK akan memberikan dampak positif bagi kesejahteraan rakyat atau tidak, rakyat sudah harus mampu membaca dan menentukan arah serta sikapnya ke depan. Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar yang memilih SBY-JK pada tahun 2004 kemarin adalah massa non-ideologis, dalam arti kebanyakan dari mereka adalah ibu-ibu dan bapak-bapak yang menjadi /fans /terhadap sosok SBY. Ditambah dengan Jusuf Kalla yang sebagian besar pemilihnya adalah orang-orang yang memilih karena kedekatan hubungan emosional, memilih karena satu daerah, memilih karena satu suku, dan faktor-faktor subjektif serta faktor-faktor primordial lainnya. Tidak lama lagi Indonesia akan mengadakan pemilihan umum. Tidak lama pula rakyat akan memilih orang-orang yang akan duduk di kursi struktur pemerintahan periode 2009-2014. Sudah saatnya rakyat jangan lagi mau dibius oleh rayuan politik uang, rayuan politik primordial dan konservatif di masa lalu. Kekuatan rakyat bukanlah komoditas yang diperjualbelikan, tapi kekuatan rakyat adalah roh bagi suatu negara untuk menentukan masa depannya. Penilaian yang objektif dan rasional serta pelibatan kekuatan rakyat di kancah politik melalui organisasi-organisasi berbasis rakyat adalah pra syarat material untuk menjadikan bangsa ini, bangsa yang mandiri serta bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyatnya. * Penulis adalah Koordinator Sentra Gerakan Progressif Makassar, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Sulawesi Selatan. ** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal
[ekonomi-nasional] Alasan kenaikan harga BBM: Bohong Besar!
“Harga minyak dunia naik gila-gilaan, jadi kami tidak bisa lagi mensubsidi harga BBM dalam negeri seperti waktu lalu. Harga BBM harus kami naikkan!”, begitulah kilah pemerintah di mana-mana. Tetapi, benarkah kondisinya seperti itu? Mari kita lihat Nota Keuangan RAPBN 2008: “Harga minyak ICP mempengaruhi APBN pada sisi pendapatan negara dan sisi belanja negara. Pada sisi pendapatan negara, kenaikan harga minyak ICP akan mengakibatkan kenaikan pendapatan negara dari kontrak production sharing (KPS) minyak dan gas melalui PNBP. Peningkatan harga minyak dunia juga akan meningkatkan pendapatan dari PPh Migas dan penerimaan lainnya. Pada sisi belanja negara, peningkatan harga minyak dunia akan meningkatkan belanja subsidi BBM dan dana bagi hasil ke pemerintah Daerah. Untuk tahun 2007, apabila harga minyak dunia meningkat sebesar US$1, maka defisit APBN diperkirakan akan berkurang sekitar Rp48 miliar sampai dengan Rp50 miliar, yaitu sebagai akibat peningkatan pendapatan negara sekitar Rp3,24 triliun sampai dengan Rp3,45 triliun dan peningkatan belanja negara sekitar Rp3,19 triliun sampai dengan Rp3,4 triliun.” (Nota Keuangan RAPBN 2008, VI:55-56) Dari dokumen resmi pemerintah ini, jelas sekali disebutkan bahwa kenaikan harga minyak dunia justru menguntungkan Indonesia, kenaikan per US$1, akan menaikkan penerimaan bersih pemerintah sebesar Rp48-Rp50 milyar. Fakta lain adalah tulisan kerabat kandung Andi Mallarangeng (jubir SBY), yakni Rizal Mallarangeng, yang tentu saja adalah seorang pendukung fanatik SBY: “Kondisi seperti itu yang mendorong pemerintah segera menghidupkan kembali proses perundingan Blok Cepu yang telah terbengkalai selama lebih dari lima tahun. Jika dikelola dengan baik, blok ini mampu memompa minyak dalam jumlah yang cukup fantastis, yaitu sekitar 20 persen kapasitas produksi nasional. Dengan ini kita akan bisa kembali menjadi net exporter, dan menggunakan hasilnya demi kemakmuran rakyat. Dari perhitungan kasar, nilai produksi yang dapat diperoleh dalam sepuluh tahun pertama bisa mencapai Rp 200-300 triliun, atau sekitar Rp25 triliun per tahun. Berapa sekolah, rumah sakit, dan fasilitas publik yang dapat dibangun dengan duit sebanyak itu setiap tahun? (”Blok Cepu: Mission Accomplished”, TEMPO, 05/XXXV/27 Maret - 02 April 2006) Bayangkan, dengan harga minyak dunia waktu itu saja (seingatnya saya masih sekitar US$60/barrel), Rizal memperkirakan Indonesia akan mendapatkan keuntungan Rp25 trillun/tahun. Kini berapa besarnya keuntungan itu dengan harga minyak dunia, yang telah mencapai di atas US$120/barrel. Kesimpulannya, alasan pemerintah untuk menaikkan harga BBM dalam negeri karena beratnya beban subsidi BBM sebagai akibat naiknya harga minyak dunia adalah BOHONG BESAR. [YPU]
[ekonomi-nasional] Re: KEMISKINAN DAN GIZI BURUK DI SERANG
-Mohon sharing pendapat untuk pengentasan kemiskinan dengan sistim Grameen dan One village one product Himawan -- In ekonomi-nasional@yahoogroups.com, edy mulyadi [EMAIL PROTECTED] wrote: Oleh-oleh dari Serang. Lumayan, buat ngingetin kita; bahwa kemiskinan memang ada di negeri kita tercinta. [Non-text portions of this message have been removed]
[ekonomi-nasional] Re: www.ipb.ac.id 24-Jun-08: Roundtable Discussion Sekolah Pascasarjana IPB
--- In ekonomi-nasional@yahoogroups.com, Imam Soeseno [EMAIL PROTECTED] wrote: Konsep negara desa bukan membangun negara dalam Negara Kesatuan RI. Mohon informasi lebih lanjut tentang konsep negara desa ini. Thanks himawan Siapa yang sempat ikut? Share dong cerita2nya. is Roundtable Discussion Sekolah Pascasarjana IPB Selasa, 24 Juni 2008 Globalisasi kapitalistik menyebabkan angka kemiskinan struktural Indonesia meningkat. Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2007 menyebutkan angka kemiskinan Indonesia mencapai 39,05 juta jiwa. Angka kemiskinan di sektor pertanian telah mencapai 56, 07 persen. Ini jauh melampaui angka kemiskinan industri sebanyak 6,77 persen. Demikian pernyataan Guru Besar Ekonomi Politik Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Didin S. Damanhuri dalam Roundtable Discussion 'Pembangunan Pertanian dan Pedesaan untuk Menanggulangi Kemiskinan' Senin (23/6) di Kampus IPB Darmaga. Roundtable Discussion ini diselenggarakan Sekolah Pascasarjana (SPs) IPB. Belum ditambah lagi sebanyak 28 juta guru berpenghasilan tetap rawan jatuh dalam kemiskinan ini. Kelompok berpenghasilan tetap seperti guru, sulit menjadi kelompok menengah. Penghasilan mereka sebatas upah minimum regional yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok, kata Prof. Didin Pemerintah lebih berpihak pada kepentingan neoliberal. Ini tampak dari kebijakan moneter, perbankan dan kebijakan publik yang cenderung aspiratif terhadap neoliberal. Sebanyak 19 undang-undang terkait migas, air, hutan, budidaya, perkebunan, perikanan, pelayaran, penanaman modal asing tidak memihak kepentingan rakyat kecil khususnya di desa. Selain itu, kebijakan tersebut pula malah menyuburkan korupsi hingga 30 persen. Indonesia negara kaya sumberdaya alam. Sayangnya, Indonesia tidak menganut kebijakan negara-negara kaya sumberdaya alam seperti Skandinavia, Thailand dan Malaysia. Tapi menganut kebijakan pengelolaan sumberdaya alam negara setengah sukses seperti Brazil, Amerika Serikat dan Canada, tandas Prof. Didin. Sejak reformasi, peran pemerintah sebatas regulator semata dan perlahan-lahan menyerahkan tanggungjawab pengentasan kemiskinan pada pihak swasta. Impossible swasta bisa mengatasi kemiskinan. Ini mirip kebijakan Amerika Serikat yang membiarkan 22 persen rakyat miskinnya ditangani pihak swasta seperti Food Foundation dan lembaga swadaya masyarakat. Amerika Serikat mulai mengurangi program homeless bagi warganya yang tidak memiliki tempat tinggal, jelas Prof. Didin. Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Prof. Sri Edi Swasono menambahkan di Indonesia masih berlaku hubungan ekonomi tuan hamba atau majikan kuli yang tidak emansipatori, partisipasi yang berlaku hanyalah dalam memikul beban. Hakikatnya Indonesia masih menganut cultuurstelsel (tanam paksa) baru, ujar Prof. Sri Edi. Kasus penahanan Tukirin, petani Kediri yang merakit dan menjual benih jagung unggul pada sesama petani, nasib Muhajir penemu bibit ikan mujair di jaman pendudukan Jepang. Mukibat penemu bibit singkong unggul dan Godeng Tebo penemu karet unggul GT1 kondang menjadi bukti cultuurstelsel gaya baru tersebut. Tukirin sendiri ditangkap karena dianggap melanggar UU No.21 tahun 1992 tentang Budidaya. Representasi sosio-kultural petani dipasung oleh kapitalisme rakus dan predatorik. Menurut Prof. Sri Edi perlu dilakukan identifikasi persoalan untuk membangun pertanian Indonesia diantaranya identifikasi: berbagai komoditas pertanian, sarana pendukung, kebutuhan petani, dan kelembagaan. Prof. Sri Edi juga mengkritisi kurikulum pendidikan tinggi yang cenderung mengajarkan teori-teori ekonomi kapitalistik tidak pro kesejahteraan dan kepentingan rakyat. Perlu ada evaluasi, dekonstruksi dan rekonstruksi kurikulum pendidikan tinggi di Indonesia. Harapannya nanti dihasilkan sumberdaya manusia yang peduli terhadap pembangunan pertanian pedesaan dan kepentingan rakyat, ujar Prof. Sri Edi. Pada kesempatan sama, Staf Pengajar Luar Biasa Sosial Ekonomi IPB, Prof. Gunawan Wiradi menyampaikan salah satu tujuan kaum neoliberal mengubah Undang Undang Dasar (UUD) agar mengakomodir kepentingan-kepentingannya. Ini terjadi di Mexico. Oleh karena itu, kita perlu waspada terhadap isu amandemen UUD 45 yang mendorong perubahan pasal-pasal UUD sesuai kepentingan neoliberal, kata Prof. Wiradi. Rountable discussion ini sebagai bentuk kontribusi IPB untuk meramu gagasan baru dalam menanggulangi kemiskinan. Saya ingin mengajak kita untuk memulai gagasan penanggulangan kemiskinan dengan membangun pedesaan dan pertanian. Maka, perlunya membangun 'negara desa' atau desa industri berdaulat pangan dan energi, ujar Prof. Khairil Anwar Notodiputro dalam sambutannya membuka diskusi. Konsep negara desa bukan membangun negara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), melainkan membangun kekuatan bangsa berbasis pertanian dan pedesaan secara terintegrasi atau Rural Industrial Complex (RICe).
[ekonomi-nasional] Fwd: Gas could fall to $2 if Congress acts, analysts say
FYI, now this guy is saying Speculation is the root of capitalism after making worldwide chaos... salam, Carlos -- Forwarded message -- From: [EMAIL PROTECTED] [EMAIL PROTECTED] Date: Thu, 26 Jun 2008 21:16:13 (GMT) Subject: Gas could fall to $2 if Congress acts, analysts say To: [EMAIL PROTECTED] [EMAIL PROTECTED] This story was sent to you by [EMAIL PROTECTED] with these comments: fyi From MarketWatch, online at: http://www.marketwatch.com/news/story/gas-could-fall-2-if/story.aspx?guid=%7B2673C102%2D68E0%2D41D9%2D9C9A%2D10EE2E723948%7D GAS COULD FALL TO $2 IF CONGRESS ACTS, ANALYSTS SAY By Rex Nutting 4:24 PM ET Jun 23, 2008 WASHINGTON (MarketWatch) -- The price of retail gasoline could fall by half, to around $2 a gallon, within 30 days of passage of a law to limit speculation in energy-futures markets, four energy analysts told Congress on Monday. Testifying to the House Energy and Commerce Committee, Michael Masters of Masters Capital Management said that the price of oil would quickly drop closer to its marginal cost of around $65 to $75 a barrel, about half the current $135. Fadel Gheit of Oppenheimer amp; Co., Edward Krapels of Energy Security Analysis and Roger Diwan of PFC Energy Consultants agreed with Masters' assessment at a hearing on proposed legislation to limit speculation in futures markets. Krapels said that it wouldn't even take 30 days to drive prices lower, as fund managers quickly liquidated their positions in futures markets. Record oil prices are inflated by speculation and not justified by market fundamentals, according to Gheit. Based on supply and demand fundamentals, crude-oil prices should not be above $60 per barrel. Futures trading in London has not been a major factor in rising oil prices, testified Sir Bob Reid, chairman of the Chairman of London-based ICE Futures Europe. Rising prices are largely a function of fundamental supply and demand, not manipulation or speculation, he said. Energy speculation has become a growth industry and it is time for the government to intervene, said Rep. John Dingell, D-Mich., chairman of the full committee. We need to consider a full range of options to counter this rapacious speculation. It was Dingell's strongest statement yet on the role of speculators. There has been much discussion recently about how big a role speculators have been playing in the sharp rise in energy prices, though no consensus has emerged on this point. Dingell introduced a bill on June 11 that would ask the Energy Department to gather the facts on energy prices, including the role played by speculators. See full story. There are two kinds of speculators in the futures markets, Masters said. Traditional speculators are those who need to hedge because they actually take physical possession of the commodities. Index speculators, on the other hand, are merely allocating a portion of their portfolio to commodity futures. Index speculation damages price-discovery mechanisms provided by futures markets, Masters added The committee will likely consider legislation that would rein in index speculation by imposing higher-margin requirements; setting position limits for speculators; requiring more disclosure of positions; and preventing pension funds and investment banks from owning commodities. Both major presidential candidates have supported closing loopholes that encourage speculation in the energy markets. Read more on Election Blog. However, other witnesses said that pure speculators have had little impact on energy prices, which have doubled in the past year to about $135 per barrel. Both Treasury Secretary Henry Paulson and Energy Secretary Samuel Bodman have dismissed the impact of speculators on prices paid by consumers. Speculators now account for about 70% of all benchmark crude trading on the New York Mercantile Exchange, up from 37% in 2000, said Rep. Bart Stupak, D-Mich., chairman of the investigations subcommittee. Stupak introduced a bill on Friday that would limit index speculation. There has been much discussion recently about how big a role speculators have been playing in the sharp rise in energy prices, though no consensus has emerged on this point. Congress, however, has grown increasingly concerned over speculative investors' role in the energy market in comparison with those buying futures contracts to hedge against risk from price changes. Lawmakers are expected to consider legislation to set strict limits -- or in some cases, an outright ban -- on speculative trading in energy futures in some markets. Dingell is looking into any legal loopholes that may have contributed to speculation in energy markets. In 1991, according to documents provided by the Commodity Futures Trading Commission to the committee's investigators, the agency authorized the first exemption from position limits for swap dealers with no physical commodity exposure. This began what Dingell said was a process that has enabled
Re: [ekonomi-nasional] Alasan kenaikan harga BBM: Bohong Besar!
Bos Bango, Bisa dishare ke kita artikel/link lengkap dokumen yang ente sebutkan di bawah? Thx a lot.. Wassalam, Irwan.K Pada 27 Juni 2008 09:09, Bango Samparan [EMAIL PROTECTED] menulis: Harga minyak dunia naik gila-gilaan, jadi kami tidak bisa lagi mensubsidi harga BBM dalam negeri seperti waktu lalu. Harga BBM harus kami naikkan!, begitulah kilah pemerintah di mana-mana. Tetapi, benarkah kondisinya seperti itu? Mari kita lihat Nota Keuangan RAPBN 2008: Harga minyak ICP mempengaruhi APBN pada sisi pendapatan negara dan sisi belanja negara. Pada sisi pendapatan negara, kenaikan harga minyak ICP akan mengakibatkan kenaikan pendapatan negara dari kontrak production sharing (KPS) minyak dan gas melalui PNBP. Peningkatan harga minyak dunia juga akan meningkatkan pendapatan dari PPh Migas dan penerimaan lainnya. Pada sisi belanja negara, peningkatan harga minyak dunia akan meningkatkan belanja subsidi BBM dan dana bagi hasil ke pemerintah Daerah. Untuk tahun 2007, apabila harga minyak dunia meningkat sebesar US$1, maka defisit APBN diperkirakan akan berkurang sekitar Rp48 miliar sampai dengan Rp50 miliar, yaitu sebagai akibat peningkatan pendapatan negara sekitar Rp3,24 triliun sampai dengan Rp3,45 triliun dan peningkatan belanja negara sekitar Rp3,19 triliun sampai dengan Rp3,4 triliun. (Nota Keuangan RAPBN 2008, VI:55-56) Dari dokumen resmi pemerintah ini, jelas sekali disebutkan bahwa kenaikan harga minyak dunia justru menguntungkan Indonesia, kenaikan per US$1, akan menaikkan penerimaan bersih pemerintah sebesar Rp48-Rp50 milyar. Fakta lain adalah tulisan kerabat kandung Andi Mallarangeng (jubir SBY), yakni Rizal Mallarangeng, yang tentu saja adalah seorang pendukung fanatik SBY: Kondisi seperti itu yang mendorong pemerintah segera menghidupkan kembali proses perundingan Blok Cepu yang telah terbengkalai selama lebih dari lima tahun. Jika dikelola dengan baik, blok ini mampu memompa minyak dalam jumlah yang cukup fantastis, yaitu sekitar 20 persen kapasitas produksi nasional. Dengan ini kita akan bisa kembali menjadi net exporter, dan menggunakan hasilnya demi kemakmuran rakyat. Dari perhitungan kasar, nilai produksi yang dapat diperoleh dalam sepuluh tahun pertama bisa mencapai Rp 200-300 triliun, atau sekitar Rp25 triliun per tahun. Berapa sekolah, rumah sakit, dan fasilitas publik yang dapat dibangun dengan duit sebanyak itu setiap tahun? (Blok Cepu: Mission Accomplished, TEMPO, 05/XXXV/27 Maret - 02 April 2006) Bayangkan, dengan harga minyak dunia waktu itu saja (seingatnya saya masih sekitar US$60/barrel), Rizal memperkirakan Indonesia akan mendapatkan keuntungan Rp25 trillun/tahun. Kini berapa besarnya keuntungan itu dengan harga minyak dunia, yang telah mencapai di atas US$120/barrel. Kesimpulannya, alasan pemerintah untuk menaikkan harga BBM dalam negeri karena beratnya beban subsidi BBM sebagai akibat naiknya harga minyak dunia adalah BOHONG BESAR. [YPU] [Non-text portions of this message have been removed]