[ekonomi-nasional] Buletin Elektronik SADAR Edisi 134 Tahun IV 2008

2008-06-26 Terurut Topik mundo

*Buletin Elektronik**www.Prakarsa-Rakyat.org*

*SADAR *

*Simpul Untuk Keadilan dan Demokrasi*
* Edisi: 134 Tahun IV - 2008
Sumber: www.prakarsa-rakyat.org*



*RENTETAN KEBIJAKAN SBY-JK: SEBUAH PEMBELAJARAN POLITIK *


*Oleh Achmad Rusyaidi H**


Kita pastinya masih teringat dengan gelora-gelora kampanye SBY-JK pada 
tahun 2004 kemarin, dimana jutaan Rakyat Indonesia menggantungkan 
harapannya pada sosok SBY-JK untuk membawa Indonesia ke arah perubahan 
yang lebih baik. Empat tahun sudah SBY-JK memimpin negeri ini. Sudah 
ratusan bahkan ribuan kebijakan yang diambilnya. Sudah banyak pula 
pro-kontra yang mengikuti kebijakannya, entah apakah penilaiannya 
objektif atau tidak.

Di tulisan ini tidak akan dibahas kebaikan dan keburukan kebijakan atau 
program yang diambil oleh SBY-JK, namun bagaimana melihatnya dari sudut 
pandang politik, menganalisisnya, dan menjadikan sebuah pembelajaran 
bagi rakyat sehingga nantinya akan meminimalisir penilaian subjektif dan 
primordial yang selama ini dianut oleh sebagian besar Rakyat Indonesia.

Sadar atau tidak, apa yang terjadi di negeri ini tergantung dari 
bagaimana rakyatnya mengelola negeri ini. Konsekuensi dari dianutnya 
liberalisasi politik membawa pada situasi dan kondisi dimana rakyat 
memiliki ruang yang luas untuk terlibat di setiap percaturan 
ekonomi-politik, baik di skala lokal maupun nasional. Sekilas, memang 
agak terlihat kontras dengan kenyataannya, mengingat kenyataan yang ada 
justru menutupkan pintu bagi bagi rakyat untuk berpolitik. Sebut saja 
paket UU Pemilu dan UU Parpol yang jika dianalisis, akan memperlihatkan 
bahwa yang berhak untuk berpolitik hanyalah golongan berduit atau kaum 
borjuis saja. Namun kesalahan bukan ada pada sistem atau konsep yang 
ada, melainkan sekali lagi, sadar atau tidak, bahwa semua ini adalah 
konsekuensi logis dari pilihan yang diambil oleh Rakyat Indonesia.

Kenapa ketika liberalisasi (baik di bidang ekonomi maupun politik) masuk 
ke Indonesia, jutaan rakyat masih mempercayakan nasibnya kepada 
orang-orang yang membiusnya dengan politik uang, dengan politik 
primordial atau dengan politik konservatif. Di fase liberalisasi yang 
melanda Indonesia seperti sekarang ini, orang tidak lagi berpikir 
tentang moralitas tapi orang akan berpikir bagaimana mewujudkan 
kepentingan ekonomi-politiknya, meskipun harus dengan cara mengkhianati 
janjinya sendiri.

Sekarang, yang harus dilakukan adalah bagaimana memassifkan 
organisasi-organisasi yang murni berbasis rakyat, untuk memaksimalkan 
keterlibatan seluruh kekuatan rakyat dalam pertarungan liberalisasi 
ekonomi-politik.

Kembali ke persoalan kebijakan SBY-JK sebagai suatu pembelajaran 
politik. Pada dasarnya tidak ada yang aneh dengan kebijakan yang diambil 
oleh SBY-JK, mengingat orientasi politiknya adalah orientasi pasar. 
Sehingga adalah hal yang wajar pula ketika SBY-JK harus mengurangi 
subsidi BBM sebanyak dua kali, yaitu pada tahun 2005 dan 2008. Rentetan 
kebijakan SBY-JK adalah gambaran untuk menilai arah dan kepentingan 
politik kaum-kaum yang pro pasar dengan corak kapitalistiknya. Terlepas 
dari apakah nantinya kebijakan yang diambil oleh SBY-JK akan memberikan 
dampak positif bagi kesejahteraan rakyat atau tidak, rakyat sudah harus 
mampu membaca dan menentukan arah serta sikapnya ke depan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar yang memilih SBY-JK pada 
tahun 2004 kemarin adalah massa non-ideologis, dalam arti kebanyakan 
dari mereka adalah ibu-ibu dan bapak-bapak yang menjadi /fans /terhadap 
sosok SBY. Ditambah dengan Jusuf Kalla yang sebagian besar pemilihnya 
adalah orang-orang yang memilih karena kedekatan hubungan emosional, 
memilih karena satu daerah, memilih karena satu suku, dan faktor-faktor 
subjektif serta faktor-faktor primordial lainnya.

Tidak lama lagi Indonesia akan mengadakan pemilihan umum. Tidak lama 
pula rakyat akan memilih orang-orang yang akan duduk di kursi struktur 
pemerintahan periode 2009-2014. Sudah saatnya rakyat jangan lagi mau 
dibius oleh rayuan politik uang, rayuan politik primordial dan 
konservatif di masa lalu. Kekuatan rakyat bukanlah komoditas yang 
diperjualbelikan, tapi kekuatan rakyat adalah roh bagi suatu negara 
untuk menentukan masa depannya.

Penilaian yang objektif dan rasional serta pelibatan kekuatan rakyat di 
kancah politik melalui organisasi-organisasi berbasis rakyat adalah pra 
syarat material untuk menjadikan bangsa ini, bangsa yang mandiri serta 
bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyatnya.


* Penulis adalah Koordinator Sentra Gerakan Progressif Makassar, 
sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul 
Sulawesi Selatan.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan 
sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk 
kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna 
harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal 

[ekonomi-nasional] Alasan kenaikan harga BBM: Bohong Besar!

2008-06-26 Terurut Topik Bango Samparan
“Harga minyak dunia naik gila-gilaan, jadi kami tidak bisa lagi mensubsidi 
harga BBM dalam negeri seperti waktu lalu. Harga BBM harus kami naikkan!”, 
begitulah kilah pemerintah di mana-mana. Tetapi, benarkah kondisinya seperti 
itu? Mari kita lihat Nota Keuangan  RAPBN 2008:

“Harga minyak ICP mempengaruhi APBN pada sisi pendapatan negara dan sisi 
belanja negara. Pada sisi pendapatan negara, kenaikan harga minyak ICP akan 
mengakibatkan kenaikan pendapatan negara dari kontrak production sharing (KPS) 
minyak dan gas melalui PNBP. Peningkatan harga minyak dunia juga akan 
meningkatkan pendapatan  dari PPh Migas dan penerimaan lainnya. Pada sisi 
belanja negara, peningkatan harga minyak dunia akan meningkatkan belanja 
subsidi BBM dan dana bagi hasil ke pemerintah Daerah. Untuk tahun 2007, apabila 
harga minyak dunia meningkat sebesar US$1, maka defisit APBN diperkirakan akan 
berkurang sekitar Rp48 miliar sampai dengan Rp50 miliar, yaitu sebagai akibat 
peningkatan pendapatan negara sekitar Rp3,24 triliun sampai dengan Rp3,45 
triliun dan peningkatan belanja negara sekitar Rp3,19 triliun sampai dengan 
Rp3,4 triliun.” (Nota Keuangan  RAPBN 2008, VI:55-56)

Dari dokumen resmi pemerintah ini, jelas sekali disebutkan bahwa kenaikan harga 
minyak dunia justru menguntungkan Indonesia, kenaikan per US$1, akan menaikkan 
penerimaan bersih pemerintah sebesar Rp48-Rp50 milyar.

Fakta lain adalah tulisan kerabat kandung Andi Mallarangeng (jubir SBY), yakni 
Rizal Mallarangeng, yang tentu saja adalah seorang pendukung fanatik SBY:

“Kondisi seperti itu yang mendorong pemerintah segera menghidupkan kembali 
proses perundingan Blok Cepu yang telah terbengkalai selama lebih dari lima 
tahun. Jika dikelola dengan baik, blok ini mampu memompa minyak dalam jumlah 
yang cukup fantastis, yaitu sekitar 20 persen kapasitas produksi nasional. 
Dengan ini kita akan bisa kembali menjadi net exporter, dan menggunakan 
hasilnya demi kemakmuran rakyat. Dari perhitungan kasar, nilai produksi yang 
dapat diperoleh dalam sepuluh tahun pertama bisa mencapai Rp 200-300 triliun, 
atau sekitar Rp25 triliun per tahun. Berapa sekolah, rumah sakit, dan fasilitas 
publik yang dapat dibangun dengan duit sebanyak itu setiap tahun? (”Blok Cepu: 
Mission Accomplished”, TEMPO, 05/XXXV/27 Maret - 02 April 2006)

Bayangkan, dengan harga minyak dunia waktu itu saja (seingatnya saya masih 
sekitar US$60/barrel), Rizal memperkirakan Indonesia akan mendapatkan 
keuntungan Rp25 trillun/tahun. Kini berapa besarnya keuntungan itu dengan harga 
minyak dunia, yang telah mencapai di atas US$120/barrel.

Kesimpulannya, alasan pemerintah untuk menaikkan harga BBM dalam negeri karena 
beratnya beban subsidi BBM sebagai akibat naiknya harga minyak dunia adalah 
BOHONG BESAR. [YPU]


  


[ekonomi-nasional] Re: KEMISKINAN DAN GIZI BURUK DI SERANG

2008-06-26 Terurut Topik hsuwardhi
-Mohon sharing pendapat untuk pengentasan kemiskinan dengan
 sistim Grameen dan One village one product

Himawan


-- In ekonomi-nasional@yahoogroups.com, edy mulyadi [EMAIL PROTECTED] 
wrote:

 Oleh-oleh dari Serang. Lumayan, buat ngingetin kita; bahwa 
kemiskinan memang ada di negeri kita tercinta.
 
 
 
   
 
 [Non-text portions of this message have been removed]





[ekonomi-nasional] Re: www.ipb.ac.id 24-Jun-08: Roundtable Discussion Sekolah Pascasarjana IPB

2008-06-26 Terurut Topik hsuwardhi
--- In ekonomi-nasional@yahoogroups.com, Imam Soeseno [EMAIL PROTECTED] wrote:

 
Konsep negara desa bukan membangun negara dalam Negara Kesatuan RI.

Mohon informasi lebih lanjut tentang konsep negara desa ini.

Thanks
himawan

Siapa yang sempat ikut?
 Share dong cerita2nya.
 is
 
 Roundtable Discussion Sekolah Pascasarjana IPB
 Selasa, 24 Juni 2008 Globalisasi kapitalistik menyebabkan angka
kemiskinan  struktural Indonesia meningkat. Badan Pusat Statistik
(BPS) tahun 2007 menyebutkan  angka kemiskinan Indonesia mencapai
39,05 juta jiwa. Angka kemiskinan di sektor pertanian telah mencapai
56, 07 persen. Ini jauh melampaui angka kemiskinan industri sebanyak
6,77 persen. Demikian pernyataan  Guru Besar Ekonomi Politik Institut
Pertanian Bogor (IPB), Prof. Didin S. Damanhuri dalam Roundtable
Discussion 'Pembangunan  Pertanian dan Pedesaan untuk Menanggulangi
Kemiskinan'  Senin (23/6) di Kampus IPB Darmaga.   Roundtable
Discussion ini diselenggarakan Sekolah Pascasarjana (SPs) IPB. 
 
   Belum ditambah lagi sebanyak 28 juta guru berpenghasilan tetap
rawan jatuh dalam kemiskinan ini. Kelompok berpenghasilan tetap
seperti guru, sulit menjadi  kelompok menengah. Penghasilan mereka
sebatas upah minimum regional yang cukup untuk memenuhi kebutuhan
pokok, kata Prof. Didin 
 
  Pemerintah lebih berpihak pada  kepentingan neoliberal. Ini tampak
dari kebijakan  moneter, perbankan dan kebijakan publik yang cenderung
aspiratif terhadap neoliberal. Sebanyak 19 undang-undang terkait
migas, air, hutan, budidaya, perkebunan, perikanan, pelayaran,
penanaman modal asing  tidak memihak kepentingan rakyat kecil
khususnya di desa. Selain itu, kebijakan tersebut pula malah
menyuburkan korupsi hingga 30 persen. Indonesia negara kaya
sumberdaya alam. Sayangnya, Indonesia tidak menganut kebijakan 
negara-negara kaya sumberdaya alam seperti  Skandinavia, Thailand dan
Malaysia. Tapi menganut kebijakan pengelolaan sumberdaya alam negara
setengah sukses seperti Brazil, Amerika Serikat dan Canada, tandas
Prof. Didin. 
 
  Sejak reformasi, peran pemerintah sebatas regulator semata dan
perlahan-lahan menyerahkan tanggungjawab pengentasan kemiskinan pada
pihak swasta. Impossible swasta bisa mengatasi kemiskinan. Ini mirip
kebijakan Amerika Serikat  yang membiarkan 22 persen rakyat miskinnya
ditangani pihak swasta seperti Food Foundation dan lembaga swadaya
masyarakat. Amerika Serikat mulai mengurangi program homeless bagi
warganya yang tidak memiliki tempat tinggal, jelas Prof. Didin. 
 
   Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Prof. Sri Edi
Swasono menambahkan di Indonesia masih berlaku  hubungan ekonomi tuan
hamba atau majikan kuli yang tidak emansipatori, partisipasi yang
berlaku hanyalah dalam memikul beban.  Hakikatnya Indonesia masih
menganut cultuurstelsel (tanam paksa) baru, ujar Prof. Sri Edi. 
Kasus penahanan Tukirin, petani Kediri  yang merakit dan menjual benih
jagung unggul pada sesama petani, nasib Muhajir penemu bibit ikan
mujair di jaman pendudukan Jepang. Mukibat penemu bibit singkong
unggul dan Godeng Tebo penemu karet unggul GT1 kondang menjadi bukti
cultuurstelsel gaya baru tersebut. 
 
   Tukirin sendiri ditangkap karena dianggap melanggar UU No.21 tahun
1992 tentang Budidaya.  Representasi sosio-kultural petani dipasung
oleh kapitalisme rakus dan predatorik. Menurut Prof. Sri  Edi perlu
dilakukan identifikasi persoalan untuk membangun pertanian Indonesia
diantaranya identifikasi: berbagai komoditas pertanian, sarana
pendukung,  kebutuhan petani, dan kelembagaan. 
 
  Prof. Sri Edi juga mengkritisi kurikulum pendidikan tinggi  yang
cenderung mengajarkan teori-teori ekonomi kapitalistik tidak pro
kesejahteraan dan kepentingan rakyat. Perlu ada evaluasi,
dekonstruksi  dan rekonstruksi kurikulum pendidikan tinggi di
Indonesia. Harapannya nanti dihasilkan sumberdaya manusia yang peduli
terhadap pembangunan pertanian pedesaan dan kepentingan rakyat, ujar
Prof. Sri Edi. 
 
  Pada kesempatan sama, Staf Pengajar Luar Biasa Sosial Ekonomi IPB,
Prof. Gunawan Wiradi menyampaikan salah satu tujuan  kaum neoliberal
mengubah Undang Undang Dasar  (UUD) agar mengakomodir
kepentingan-kepentingannya. Ini terjadi di Mexico. Oleh karena itu,
kita perlu waspada terhadap isu amandemen  UUD 45 yang mendorong
perubahan pasal-pasal UUD sesuai kepentingan neoliberal, kata Prof.
Wiradi. 
 
 
   Rountable discussion ini sebagai bentuk kontribusi IPB untuk 
meramu gagasan baru dalam menanggulangi kemiskinan.  Saya ingin
mengajak kita untuk memulai gagasan penanggulangan kemiskinan dengan
membangun pedesaan dan pertanian.  Maka, perlunya membangun  'negara
desa' atau desa industri berdaulat pangan dan energi, ujar Prof.
Khairil Anwar Notodiputro dalam sambutannya membuka diskusi.  Konsep
negara desa bukan membangun negara dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI), melainkan membangun kekuatan bangsa berbasis
pertanian dan pedesaan secara terintegrasi atau Rural Industrial
Complex (RICe).  

[ekonomi-nasional] Fwd: Gas could fall to $2 if Congress acts, analysts say

2008-06-26 Terurut Topik Patriawan, Carlos
FYI, now this guy is saying Speculation is the root of capitalism
after making worldwide chaos...


salam,

Carlos


-- Forwarded message --
From: [EMAIL PROTECTED] [EMAIL PROTECTED]
Date: Thu, 26 Jun 2008 21:16:13 (GMT)
Subject: Gas could fall to $2 if Congress acts, analysts say
To: [EMAIL PROTECTED] [EMAIL PROTECTED]


This story was sent to you by [EMAIL PROTECTED] with these comments:

fyi

From MarketWatch, online at:

http://www.marketwatch.com/news/story/gas-could-fall-2-if/story.aspx?guid=%7B2673C102%2D68E0%2D41D9%2D9C9A%2D10EE2E723948%7D

GAS COULD FALL TO $2 IF CONGRESS ACTS, ANALYSTS SAY




By Rex Nutting

4:24 PM ET Jun 23, 2008




WASHINGTON (MarketWatch) -- The price of retail gasoline could fall by half, to
around $2 a gallon, within 30 days of passage of a law to limit speculation in
energy-futures markets, four energy analysts told Congress on Monday.

Testifying to the House Energy and Commerce Committee, Michael Masters
of Masters
Capital Management said that the price of oil would quickly drop closer to its
marginal cost of around $65 to $75 a barrel, about half the current $135.

Fadel Gheit of Oppenheimer amp; Co., Edward Krapels of Energy
Security Analysis and
Roger Diwan of PFC Energy Consultants agreed with Masters' assessment
at a hearing on
proposed legislation to limit speculation in futures markets.

Krapels said that it wouldn't even take 30 days to drive prices lower, as fund
managers quickly liquidated their positions in futures markets.

Record oil prices are inflated by speculation and not justified by market
fundamentals, according to Gheit. Based on supply and demand fundamentals,
crude-oil prices should not be above $60 per barrel.

Futures trading in London has not been a major factor in rising oil prices,
testified Sir Bob Reid, chairman of the Chairman of London-based ICE
Futures Europe.
Rising prices are largely a function of fundamental supply and demand, not
manipulation or speculation, he said.

Energy speculation has become a growth industry and it is time for
the government
to intervene, said Rep. John Dingell, D-Mich., chairman of the full
committee. We
need to consider a full range of options to counter this rapacious
speculation.  It
was Dingell's strongest statement yet on the role of speculators.

There has been much discussion recently about how big a role
speculators have been
playing in the sharp rise in energy prices, though no consensus has
emerged on this
point.

Dingell introduced a bill on June 11 that would ask the Energy
Department to gather
the facts on energy prices, including the role played by speculators.  See full
story.

There are two kinds of speculators in the futures markets, Masters
said. Traditional
speculators are those who need to hedge because they actually take physical
possession of the commodities. Index speculators, on the other hand, are merely
allocating a portion of their portfolio to commodity futures.

Index speculation damages price-discovery mechanisms provided by
futures markets,
Masters added

The committee will likely consider legislation that would rein in
index speculation
by imposing higher-margin requirements; setting position limits for speculators;
requiring more disclosure of positions; and preventing pension funds
and investment
banks from owning commodities.

Both major presidential candidates have supported closing loopholes
that encourage
speculation in the energy markets. Read more on Election Blog.

However, other witnesses said that pure speculators have had little
impact on energy
prices, which have doubled in the past year to about $135 per barrel.
Both Treasury
Secretary Henry Paulson and Energy Secretary Samuel Bodman have
dismissed the impact
of speculators on prices paid by consumers.

Speculators now account for about 70% of all benchmark crude trading
on the New York
Mercantile Exchange, up from 37% in 2000, said Rep. Bart Stupak,
D-Mich., chairman of
the investigations subcommittee.  Stupak introduced a bill on Friday
that would limit
index speculation.

There has been much discussion recently about how big a role
speculators have been
playing in the sharp rise in energy prices, though no consensus has
emerged on this
point.

Congress, however, has grown increasingly concerned over speculative
investors' role
in the energy market in comparison with those buying futures contracts to hedge
against risk from price changes. Lawmakers are expected to consider
legislation to
set strict limits -- or in some cases, an outright ban -- on
speculative trading in
energy futures in some markets.

Dingell is looking into any legal loopholes that may have contributed
to speculation
in energy markets. In 1991, according to documents provided by the
Commodity Futures
Trading Commission to the committee's investigators, the agency
authorized the first
exemption from position limits for swap dealers with no physical
commodity exposure.
This began what Dingell said was a process that has enabled 

Re: [ekonomi-nasional] Alasan kenaikan harga BBM: Bohong Besar!

2008-06-26 Terurut Topik IrwanK
Bos Bango,

Bisa dishare ke kita artikel/link lengkap dokumen yang ente sebutkan
di bawah? Thx a lot..

Wassalam,

Irwan.K

Pada 27 Juni 2008 09:09, Bango Samparan [EMAIL PROTECTED] menulis:

   Harga minyak dunia naik gila-gilaan, jadi kami tidak bisa lagi
 mensubsidi harga BBM dalam negeri seperti waktu lalu. Harga BBM harus kami
 naikkan!, begitulah kilah pemerintah di mana-mana. Tetapi, benarkah
 kondisinya seperti itu? Mari kita lihat Nota Keuangan  RAPBN 2008:

 Harga minyak ICP mempengaruhi APBN pada sisi pendapatan negara dan sisi
 belanja negara. Pada sisi pendapatan negara, kenaikan harga minyak ICP akan
 mengakibatkan kenaikan pendapatan negara dari kontrak production sharing
 (KPS) minyak dan gas melalui PNBP. Peningkatan harga minyak dunia juga akan
 meningkatkan pendapatan dari PPh Migas dan penerimaan lainnya. Pada sisi
 belanja negara, peningkatan harga minyak dunia akan meningkatkan belanja
 subsidi BBM dan dana bagi hasil ke pemerintah Daerah. Untuk tahun 2007,
 apabila harga minyak dunia meningkat sebesar US$1, maka defisit APBN
 diperkirakan akan berkurang sekitar Rp48 miliar sampai dengan Rp50 miliar,
 yaitu sebagai akibat peningkatan pendapatan negara sekitar Rp3,24 triliun
 sampai dengan Rp3,45 triliun dan peningkatan belanja negara sekitar Rp3,19
 triliun sampai dengan Rp3,4 triliun. (Nota Keuangan  RAPBN 2008, VI:55-56)

 Dari dokumen resmi pemerintah ini, jelas sekali disebutkan bahwa kenaikan
 harga minyak dunia justru menguntungkan Indonesia, kenaikan per US$1, akan
 menaikkan penerimaan bersih pemerintah sebesar Rp48-Rp50 milyar.

 Fakta lain adalah tulisan kerabat kandung Andi Mallarangeng (jubir SBY),
 yakni Rizal Mallarangeng, yang tentu saja adalah seorang pendukung fanatik
 SBY:

 Kondisi seperti itu yang mendorong pemerintah segera menghidupkan kembali
 proses perundingan Blok Cepu yang telah terbengkalai selama lebih dari lima
 tahun. Jika dikelola dengan baik, blok ini mampu memompa minyak dalam jumlah
 yang cukup fantastis, yaitu sekitar 20 persen kapasitas produksi nasional.
 Dengan ini kita akan bisa kembali menjadi net exporter, dan menggunakan
 hasilnya demi kemakmuran rakyat. Dari perhitungan kasar, nilai produksi yang
 dapat diperoleh dalam sepuluh tahun pertama bisa mencapai Rp 200-300
 triliun, atau sekitar Rp25 triliun per tahun. Berapa sekolah, rumah sakit,
 dan fasilitas publik yang dapat dibangun dengan duit sebanyak itu setiap
 tahun? (Blok Cepu: Mission Accomplished, TEMPO, 05/XXXV/27 Maret - 02
 April 2006)

 Bayangkan, dengan harga minyak dunia waktu itu saja (seingatnya saya masih
 sekitar US$60/barrel), Rizal memperkirakan Indonesia akan mendapatkan
 keuntungan Rp25 trillun/tahun. Kini berapa besarnya keuntungan itu dengan
 harga minyak dunia, yang telah mencapai di atas US$120/barrel.

 Kesimpulannya, alasan pemerintah untuk menaikkan harga BBM dalam negeri
 karena beratnya beban subsidi BBM sebagai akibat naiknya harga minyak dunia
 adalah BOHONG BESAR. [YPU]



[Non-text portions of this message have been removed]