Re: [ekonomi-nasional] Fwd: Apa Salahnya....Mallarangeng
waduh dahsyatnya. Luar biasa. --- On Tue, 6/2/09, IrwanK irwank...@gmail.com wrote: From: IrwanK irwank...@gmail.com Subject: [ekonomi-nasional] Fwd: Apa SalahnyaMallarangeng To: ilun...@yahoogroups.com, il...@yahoogroups.com Date: Tuesday, June 2, 2009, 4:06 AM Quote: .. Pada saat penghitungan suara Pilpres putaran II, Celi menemani Mega mengikuti perhitungan cepat yang dilakukan oleh lembaga riset dan televise. Tanda-tanda kekalahan Mega mulai terlihat, esok harinya Celi sudah menyambangi Cikeas. Duduk berdampingan dengan calon presiden terpilih SBY. Celi melupakan Mega, lupa kalau TK pernah membantu operasi jantungnya; inilah bagian dari Mafiaceli, politik yang licik. Tidak ada balas budi, yang penting menyelamatkan diri sendiri. Hal serupa dilakukan abangnya, Anto, sebagai pimpinan Partai Demokrasi Kebangsaan yang mendukung Wiranto, dia tiba-tiba menyeberang pula mendukung SBY. ... Mafiaceli masih menggurita. Trio bersaudara menguasai istana. Anto lebih berkuasa dibandingkan menteri. Celi lebih berkuasa dibandingkan petinggi partai demokrat. Dan Choel tentu saja menguasai lembaga-lembaga survey dan wartawan-wartawan PPK. ... Hm.. butuh waktu 5 tahun untuk 'membongkar' permainan survey dan pembentukan opini.. CMIIW.. -- Wassalam, Irwan.K Better team works could lead us to better results -- Pesan terusan -- Dari: anugrah anugrah_ga...@yahoo.com Tanggal: 2 Juni 2009 12:27 Subjek: Re: Apa SalahnyaMallarangeng MAFIACELI Dia datang dengan bekal ilmu segudang. Di dalamnya dia menyimpan setumpuk rencana. Pada saat dia kembali ke Indonesia, angin politik tengah berubah. Soeharto telah jatuh, reformasi tengah melanda negeri. Celi muda tentu bukan yang dulu lagi. Delapan tahun menghabiskan masa studi di Amerika, Celi telah berubah. Dia bukan lagi Celi sebagaimana kenangan para dosennya di UGM seperti Arief Budiman dan Ashari Hadi. Dia juga bukan Celi yang begitu bersemangat ingin memiliki buku Mao Ze Dong sehingga temannya memberi satu kopian pada masa-masa sulit studi S1 nya di UGM pada tahun 80-an. Celi adalah seorang mahasiswa sejati. Dia tahu betul apa artinya menjadi dewasa. Baginya, tidak punya hati bila pada usia di bawah tiga puluh tidak menjadi sosialis. Tetapi tidak punya otak bila usia sudah di atas kepala tiga tetapi masih sosialis. Hidup perlu realistis. Di Ohio State University, Celi menemukan jawabannya. Menjadi Liberal di tengah dunia yang unipolar ini adalah satu-satunya pilihan. Untuk kenyangnya perut, untuk tentramnya hati dan tentu saja untuk berkuasanya otak. Celi, mahasiswa Sosialis UGM, pulang dari Amerika sebagai seorang neoliberal pro kapitalis. Empat tahun sebelum mendirikan Freedom Institute, Celi telah memberikan isyarat dari Amerika sana tentang bagaimana dia mengagumi pikiran Niccolo Machiaveli lewat artikelnya di Kompas pada 6 Oktober 1997. Disitu Celi menulis, ……Dengan kata lain, ajaran Machiavelli misalnya, Sang Penguasa, dalam mempertahankan kekuasaannya, harus berbohong, menipu, menindas haruslah dimengerti bukan sebagai nasehat politik dalam pengertian yang umum. Ia adalah sebuah pernyataan faktual bahwa dunia kekuasaan memang tidak semurni dunia mitologi surgawi jaman pra-Renaisans. Dunia kekuasaan, sebagaimana adanya, adalah sebuah dunia yang penuh intrik, kekejian, ambisi, dan ketololan. Ya, 12 tahun yang silam, pada saat mematangkan konsep neoliberalismenya, Celi memahami politik sebagai dunia kekuasaan yang yang penuh intrik, kekejian, ambisi dan ketololan. Tentunya sebelum kembali ke Indonesia, Celi telah menyiapkan diri untuk mengakali dunia kekuasaan yang digambarkannya sesuai konsep pemikiran Machiavelli tersebut. Dan Realitas dunia Celi yang kejam mengajarkan,dia harus lebih cepat dalam adu intrik, dia harus lebih keji terhadap lawan, dia harus sangat ambisius dan tentu saja dia harus bisa menjadikan politik sebagai parade ketololan. Dalam dunia kekuasaan, Etika akan menjadi sesuatu yang sangat langka. Celi sangat percaya dengan itu. Sebenarnya Celi bukan lahir dari keluarga sembarangan, Kakeknya , Andi Patoppoi adalah mantan Bupati di Grobogan. Sedangkan ayahnya, adalah walikota Pare-Pare pada tahun 1968 dan kemudian meninggal karena jantung tahun 1976. Jadi sebenarnya, untuk berkiprah dalam politik, Celi sebenarnya sudah punya modal dari awal. Setidaknya dia tahu apa yang dikerjakan oleh Kakek dan Bapaknya dalam dunia yang penuh intrik, keji, ambisius dan penuh ketololan itu. Pada saat kembali ke Indonesia, sebenarnya Celi belum memiliki jaringan yang cukup untuk mempraktekkan ilmunya yang kelak kita kenal sebagai Mafiacelli. Pasca reformasi, satu-satunya petunjuk keberadaan keluarganya dalam percaturan politik nasional adalah keberadaan saudaranya Anto sebagai pengamat politik. Kebetulan Anto lebih dahulu pulang dari Amerika dibanding Celi. Untunglah Celi tidak perlu menunggu lama untuk berkiprah di Jakarta. Dia bertemu dengan Aburizal Bakrie. Ical sepertinya melihat Celi sebagai anak muda penuh talenta. Celi melihat Ical
[ekonomi-nasional] Fwd: Apa Salahnya....Mallarangeng
Quote: .. Pada saat penghitungan suara Pilpres putaran II, Celi menemani Mega mengikuti perhitungan cepat yang dilakukan oleh lembaga riset dan televise. Tanda-tanda kekalahan Mega mulai terlihat, esok harinya Celi sudah menyambangi Cikeas. Duduk berdampingan dengan calon presiden terpilih SBY. Celi melupakan Mega, lupa kalau TK pernah membantu operasi jantungnya; inilah bagian dari Mafiaceli, politik yang licik. Tidak ada balas budi, yang penting menyelamatkan diri sendiri. Hal serupa dilakukan abangnya, Anto, sebagai pimpinan Partai Demokrasi Kebangsaan yang mendukung Wiranto, dia tiba-tiba menyeberang pula mendukung SBY. .. Mafiaceli masih menggurita. Trio bersaudara menguasai istana. Anto lebih berkuasa dibandingkan menteri. Celi lebih berkuasa dibandingkan petinggi partai demokrat. Dan Choel tentu saja menguasai lembaga-lembaga survey dan wartawan-wartawan PPK. .. Hm.. butuh waktu 5 tahun untuk 'membongkar' permainan survey dan pembentukan opini.. CMIIW.. -- Wassalam, Irwan.K Better team works could lead us to better results -- Pesan terusan -- Dari: anugrah anugrah_ga...@yahoo.com Tanggal: 2 Juni 2009 12:27 Subjek: Re: Apa SalahnyaMallarangeng MAFIACELI Dia datang dengan bekal ilmu segudang. Di dalamnya dia menyimpan setumpuk rencana. Pada saat dia kembali ke Indonesia, angin politik tengah berubah. Soeharto telah jatuh, reformasi tengah melanda negeri. Celi muda tentu bukan yang dulu lagi. Delapan tahun menghabiskan masa studi di Amerika, Celi telah berubah. Dia bukan lagi Celi sebagaimana kenangan para dosennya di UGM seperti Arief Budiman dan Ashari Hadi. Dia juga bukan Celi yang begitu bersemangat ingin memiliki buku Mao Ze Dong sehingga temannya memberi satu kopian pada masa-masa sulit studi S1 nya di UGM pada tahun 80-an. Celi adalah seorang mahasiswa sejati. Dia tahu betul apa artinya menjadi dewasa. Baginya, tidak punya hati bila pada usia di bawah tiga puluh tidak menjadi sosialis. Tetapi tidak punya otak bila usia sudah di atas kepala tiga tetapi masih sosialis. Hidup perlu realistis. Di Ohio State University, Celi menemukan jawabannya. Menjadi Liberal di tengah dunia yang unipolar ini adalah satu-satunya pilihan. Untuk kenyangnya perut, untuk tentramnya hati dan tentu saja untuk berkuasanya otak. Celi, mahasiswa Sosialis UGM, pulang dari Amerika sebagai seorang neoliberal pro kapitalis. Empat tahun sebelum mendirikan Freedom Institute, Celi telah memberikan isyarat dari Amerika sana tentang bagaimana dia mengagumi pikiran Niccolo Machiaveli lewat artikelnya di Kompas pada 6 Oktober 1997. Disitu Celi menulis, Dengan kata lain, ajaran Machiavelli misalnya, Sang Penguasa, dalam mempertahankan kekuasaannya, harus berbohong, menipu, menindas haruslah dimengerti bukan sebagai nasehat politik dalam pengertian yang umum. Ia adalah sebuah pernyataan faktual bahwa dunia kekuasaan memang tidak semurni dunia mitologi surgawi jaman pra-Renaisans. Dunia kekuasaan, sebagaimana adanya, adalah sebuah dunia yang penuh intrik, kekejian, ambisi, dan ketololan. Ya, 12 tahun yang silam, pada saat mematangkan konsep neoliberalismenya, Celi memahami politik sebagai dunia kekuasaan yang yang penuh intrik, kekejian, ambisi dan ketololan. Tentunya sebelum kembali ke Indonesia, Celi telah menyiapkan diri untuk mengakali dunia kekuasaan yang digambarkannya sesuai konsep pemikiran Machiavelli tersebut. Dan Realitas dunia Celi yang kejam mengajarkan,dia harus lebih cepat dalam adu intrik, dia harus lebih keji terhadap lawan, dia harus sangat ambisius dan tentu saja dia harus bisa menjadikan politik sebagai parade ketololan. Dalam dunia kekuasaan, Etika akan menjadi sesuatu yang sangat langka. Celi sangat percaya dengan itu. Sebenarnya Celi bukan lahir dari keluarga sembarangan, Kakeknya , Andi Patoppoi adalah mantan Bupati di Grobogan. Sedangkan ayahnya, adalah walikota Pare-Pare pada tahun 1968 dan kemudian meninggal karena jantung tahun 1976. Jadi sebenarnya, untuk berkiprah dalam politik, Celi sebenarnya sudah punya modal dari awal. Setidaknya dia tahu apa yang dikerjakan oleh Kakek dan Bapaknya dalam dunia yang penuh intrik, keji, ambisius dan penuh ketololan itu. Pada saat kembali ke Indonesia, sebenarnya Celi belum memiliki jaringan yang cukup untuk mempraktekkan ilmunya yang kelak kita kenal sebagai Mafiacelli. Pasca reformasi, satu-satunya petunjuk keberadaan keluarganya dalam percaturan politik nasional adalah keberadaan saudaranya Anto sebagai pengamat politik. Kebetulan Anto lebih dahulu pulang dari Amerika dibanding Celi. Untunglah Celi tidak perlu menunggu lama untuk berkiprah di Jakarta. Dia bertemu dengan Aburizal Bakrie. Ical sepertinya melihat Celi sebagai anak muda penuh talenta. Celi melihat Ical seperti orang tolol yang ingin tampak besar dengan nama belakang keluarga. Praktek pertama politik, Mafiaceli, manfaatkanlah ketololan orang dengan sebesar-besarnya untuk kepentingan diri sendiri. Celi mengajukan proposal mendirikan sebuah lembaga swadaya masyarakat yang ingin