Quote:
"..
http://mediaindonesia.com/index.php?ar_id=MTY2MzU=

menurut M Djadijono (peneliti CSIS) ada dua tokoh politik yang menganjurkan
agar orang menjadi golput. Kedua tokoh tersebut adalah Megawati dan Sutjipto

(dikutip M Djadijono dari harian *Surya* 23 Mei 1997 dan *Surabaya Post* 24
Mei 1997).
..
Terjadinya perbedaan sikap Megawati yang menganjurkan orang supaya golput,
sangat berbeda dengan *statement*-nya di Ambon yang dikutip oleh *Media
Indonesia*.

..
http://irwank.blogspot.com/2008/07/memilih-tetap-lebih-baik-dari-golput.html

Iseng-iseng semalam saya menonton acara Apa Kabar Indonesia - Malam
di TvOne (08 Juli 2009, jam 9 malam). Pembawa acara (seperti biasa)
Tina Talisa, kali ini ditemani Aria Bima (Fraksi PDIP) dan Bang Hadar.

..
Sewaktu saya sampaikan komentar tersebut, awalnya Tina bertanya, maksud
saya apa, saya tambahkan kesimpulan: bahwa saat ini elit & aleg pdip pontang
panting membela dan mencari pembenaran atas 'ucapan' Ibu Megawati..
Aira Bima (jelas) tidak menerima dan awalnya Bang Hadar seperti tidak
menanggapinya..
.."

Membaca tulisan Pak Cosma Batubara di bawah, kira" pembelaan apalagi
yang bakal disampaikan para komponen (aleg, elit dan simpatisan PDIP)
terhadap pernyataan Ibu Mega tempo hari, ya? :-)

CMIIW..

-- 
Wassalam,

Irwan.K
Jakarta, Indonesia
http://irwank.blogspot.com/

----
---------- Pesan terusan ----
Dari: aries cathlea <[EMAIL PROTECTED]>
Tanggal: 17 Juli 2008 09:08
Subjek: Re: Cosmas Batubara : Megawati Suka Lupa?

 Mungkin Megawati tidak lupa tapi saat di Ambon itu mendadak terserang
"amnesia" dadakan
dan akan muncul lagi untuk mencari perhatian.....

----- Original Message -----
*Sent:* Thursday, July 17, 2008 8:50 AM
*Subject:* Cosmas Batubara : Megawati Suka Lupa?

 Kamis, 17 Juli 2008 00:01 WIB
Megawati Suka Lupa?

 EDITORIAL *Media Indonesia* 12 Juli 2008 dengan judul 'Golput versus
Megawati', menggugah hati saya untuk menuliskan sesuatu sebagai tanggapan
terhadap tajuk tersebut. Tokoh politik Megawati Soekarnoputri digambarkan
pandai dalam memilih kata-kata untuk mengemukakan pendapatnya, sehingga
menjadi pembicaraan masyarakat. Sebelumnya, birokrat seperti Kepala BIN
Syamsir Siregar mengatakan ada menteri yang sontoloyo. Dari sudut lain,
kalau politikus atau birokrat menggunakan kata-kata yang aneh, malahan
diliput media secara luas.
Kembali kepada bahasan pokok editorial, yaitu pernyataan Megawati
Soekarnoputri di Ambon, Maluku, saya kutip, "Mantan Presiden itu mengatakan
orang-orang yang menjadi golput alias golongan putih alias tidak menggunakan
hak pilih pada pilkada atau pemilu, semestinya tidak boleh menjadi warga
negara Indonesia".
Pernyataan seperti itu merupakan satu hal yang tidak benar bahwa mengaitkan
tindakan politik seseorang dengan kewarganegaraannya. Di dalam politik,
orang bebas menggunakan hak politiknya, termasuk hak memilih dalam pemilu.
Dalam teori politik tentang partisipasi politik dikemukakan ada beberapa
tingkatan partisipasi politik itu. Tingkah laku politik warga yang tidak
ikut perpolitikan disebut apolitis. Sedikit di atasnya adalah mereka yang
dikategorikan pengamat politik. Kelompok ini adalah orang yang sekadar
menghadiri rapat umum atau memberi suara dalam pemilu. Kategori partisipan
politik diberikan kepada mereka yang menjalankan kampanye, aktif dalam
partai, atau aktif dalam kelompok kepentingan. Sedangkan yang disebut
aktivis politik adalah mereka yang menjadi pejabat umum, pejabat partai
penuh waktu, dan pimpinan kelompok kepentingan *(interest group)*. Boleh
dikatakan keikutsertaan dalam pilkada atau pemilu adalah kepesertaan yang
paling rendah dalam partisipasi politik.
Dalam kaitan masalah dengan partisipasi politik, perlu diingat pendapat dari
Herbert Mc Closky, Gabriel Almond, Norman H Nil, dan Sidney Verba yang
menekankan pendapat bahwa partisipasi politik hanya terbatas pada kegiatan
sukarela saja, kegiatan yang dilaksanakan tanpa paksaan apa pun (Lihat Prof
Miriam Budiardjo, *Demokrasi di Indonesia*).

*Golput di Indonesia*
Seingat saya, istilah golput mulai muncul di perpolitikan Indonesia
menjelang Pemilu 1971. Pemilu ini merupakan perintah dari MPRS dan yang
pertama dilaksanakan di masa Presiden Soeharto. Waktu UU Pemilu dibahas di
DPR, ada dua pendapat yang berkembang. Kelompok-kelompok pembaru yang duduk
di DPR menginginkan sistem pemilu berdasarkan sistem distrik dan calon
perorangan. Pendapat ini didukung pemerintah dan ABRI. Sedangkan partai
politik terutama PNI dan NU menginginkan sistem proporsional dan *
lijstenstelsel*. Kompromi yang didapat akhirnya mengakomodasi pendapat dari
partai meskipun tiap kabupaten perlu ada satu calon yang mewakili daerahnya.

Kelompok intelektual yang kurang puas dengan hasil itu menganjurkan
orang-orang untuk tidak menggunakan haknya dalam pemilu. Arief Budiman
menggunakan istilah golongan putih. Sejak itu tiap pemilu ada yang tidak
menggunakan haknya. Dalam perkembangannya yang masuk golongan putih bukan
hanya yang tidak menggunakan hak pilihnya dengan tidak hadir di tempat
pemungutan suara (TPS), termasuk mereka yang datang ke TPS tetapi mencoblos
lebih dari satu gambar, dengan demikian suaranya tidak sah.
Kelompok intelektual ini menurut WS Rendra adalah orang yang berumah di atas
pohon, sedangkan kaum politikus adalah berumah di atas tanah. Jumlah
golongan putih sejak dulu tidak lebih dari 10% dari suara pemilih.

*Penganjur golput*
Di Pemilu 1997 berkembang hal yang baru. Kalau sebelum itu penganjur golput
adalah kaum cendekiawan, tetapi pada 1997, menurut M Djadijono (peneliti
CSIS) ada dua tokoh politik yang menganjurkan agar orang menjadi golput.
Kedua tokoh tersebut adalah Megawati dan Sutjipto (dikutip M Djadijono dari
harian *Surya* 23 Mei 1997 dan *Surabaya Post* 24 Mei 1997).
Pada waktu itu terjadi perpecahan di kalangan PDI antara grup Surjadi dan
Megawati yang didukung tokoh PDI Jawa Timur Sutjipto. Sebagai hasil akhir
suara PDI semakin merosot. Terjadinya perbedaan sikap Megawati yang
menganjurkan orang supaya golput, sangat berbeda dengan *statement*-nya di
Ambon yang dikutip oleh *Media Indonesia*. Saya tidak termasuk orang yang
menganjurkan orang untuk menjadi golput, meskipun banyak hal yang berkembang
di perpolitikan sekarang ini yang berbeda dengan persepsi saya tentang UUD
1945. Saya tetap pada pendirian bahwa orang sebaiknya menggunakan hak
pilihnya di dalam pilkada dan pemilu. Saya berpegang pada adagium. Biar
sejelek apa pun lembaga legislatif, mungkin kita tidak sependapat, tetapi
kalau sudah diputuskan oleh lembaga legislatif maka warga negara wajib
melaksanakan.


Oleh Cosmas Batubara, Dosen Tamu FISIP UI, Mantan Menteri

http://mediaindonesia.com/index.php?ar_id=MTY2MzU=
--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke