IMHO ada beberapa poin penting di sini..

1. Harus ada kesadaran dari masyarakat untuk tidak terpancing/terpengaruh
    pola konsumtif dan (maaf) tidak tahu diri.. Kalau tidak sanggup
membayar,
    ya jangan bertransaksi/berhutang.. baik itu berhutang uang atau gesek
kartu
    kredit..

    Sebenarnya kalau jeli, kartu kredit sendiri dapat digunakan sebagai alat
usaha..
    contoh.. dengan tarik tunai, ada bunga 3-4% per bulan.. Kalau saja dana
tersebut
    dapat diputar dengan usaha yang halal dan memberi keuntungan katakanlah
10%
    per bulan.. masih ada selisih yang lumayan.. :-p

   Tentu saja, sebisa mungkin hindari penggunaan kartu kredit hanya untuk
keperluan
   konsumtif.. Saya sendiri merasa kartu kredit cukup membantu misalnya saat
perlu
   periksa ke dokter.. kebetulan klinik keluarga 'langganan' sudah terima
kartu kredit..
   Jadi tidak perlu khawatir lagi 'bokek', misalnya..
   Atau bisa digunakan untuk mampir di executive lounge di bandara, kalau
sedang
   ada tugas ke luar kota, misalnya.. :-)

2. Publik harus disadarkan akan hak dan kewajibannya..
    Sebagai konsumen, kita (loe aja kali, gw enggak - kata Eko, Ruben & Ivan
G) harus
    jeli melihat semua peraturan yang tertera dan terkait dengan layanan
yang ada..
    Repotnya memang, produsen/penyedia jasa tidak memberi ruang negosiasi
soal ini..
    yang ada hanya 'take it or leave it'.. mau pake, gak mau ya udah..

    Dengan kondisi semacam itu, yang paling mungkin adalah
mendorong/membiasakan
    agar publik tidak asal pakai saja suatu layanan tanpa benar" mengikuti
aturan main
    yang ada.. Jangan mudah tertipu iklan yang hanya 'sekilas'.. cari tahu
info lebih detil
    di media cetak.. telepon ke call center resmi mereka dst.. kritis..
jangan nrimo dan
    malas..

    Atau kalau ada yang punya akses ke pihak terkait, perlu didorong aturan
(UU atau
    apalah) yang mampu menekan produsen untuk tidak sewenang" mengeluarkan
    aturan untuk produk yang mereka luncurkan.. Mungkinkah? :D

3. Publik harus mampu menentukan prioritas..
    Kalau memang ada banyak keinginan/kebutuhan, publik harus
didorong/diarahkan
    untuk menentukan prioritas kebutuhan/keinginan yang akan dipenuhi..

Intinya, jangan berlebihan memberi cap pada suatu produk.. publik/kita juga
perlu
introspeksi dan tidak hanya menyalahkan pihak lain.. apalagi kita punya
andil kesalahan
di sana.. Meskipun konsumen tetap perlu kritis dan jeli melihat tawaran yang
diberikan
produsen..

Mari kita berdayakan konsumen dan publik.. dalam memilih apapun..
CMIIW..

Wassalam,

Irwan.K

---------- Forwarded message ----------
From: Narliswandi Piliang <[EMAIL PROTECTED]>
Date: Tue, Mar 25, 2008 at 11:47 PM
Subject: NOL KOMA NOL NOL, tajuk2 rakyat presstalk.info 25 03 08

  Bpk/Ibu/Sdr/i, serta kawan-kawan yang budiman, satu lagi  tajuk-tajuk
rakyat dari www.presstalk.info. Kendati, agaknya kurang pas dengan milis
Anda, kiranya dapat menjadi bacaan  tambahan. Khusus untuk kalangan
perbankan dan operator telekomunikasi yang terkena ulasan di tulisan ini,
tidak ada maskud provokasi. Ini adalah sebuah hasil reportase, di mana
jurnalis memang harus berpihak kepada warga, sebagaimana Bill Kovach, di
bukunya Sembilan Elemen Jurnalisme. Selamat mebaca. Ibarat kata Rosihan
Anwar, jurnalis mesti pro poor.


Selasa, 25 Maret 2008
NOL KOMA NOL NOL

*SOSOK* pria Ambon gempal tegap itu, bagaikan tukang pukul yang hendak
menghajar lawan.

"Ini kediaman Pak Syamsul," ujarnya.

Pembantu yang menerima kehadiran pria dengan seorang kawannya bertubuh sama,
ketakutan. Syamsul yang dimaksud, sedang tidak di rumah. Isterinya menerima
sang Ambon. Baru dipersilakan masuk, kedua Ambon itu, sudah berkata kasar.

"Suami ibu, kartu kredit tidak bayar. Punya hutang harus bayar. Jangan cuma
mau pake. Cuma mau enak"

Ibu, pembantu dan dua orang anak balita, mendengar hardikan demikian,
pastilah ciut nyalinya. Ia pun dipaksa meneken perjanjian untuk tenggang
waktu membayar tunggakan kartu kredit sang suaminya.

Tiba hari yang dijanjikan, keluarga ini juga belum mampu membayar tunggakan
yang tak sampai Rp 5 juta itu. Telepon rumahnya krang-kring. Begitu
diangkat, seperti biasa, nada teror menghadang. Tak sekadar ancaman, kata
makian bertubi-tubi, hingga keluarlah kalimat, "Bila tak dilunasi saya
habisi!"

Mendengar cerita Syamsul yang mukim di Bekasi itu, saya prihatin. Dulu
ketika masih bekerja tetap, ia tentu tak masalah. Namun kemudian, terjadi
pemutusan hubungan kerja (PHK), pendapatannya per bulan menjadi serabutan.
Akibatnya hutang kartu kreditnya belum terbayar.

Prihatin akan cerita kawan itu, saya menuliskan surat pembaca di koran
untuknya. Seingat saya, Media Indonesia memuat keesokan harinya. Lantas, di
siang hari petugas Bank Panin - - kebetulan bank yang mengeluarkan kartu
kreditnya - - menelepon ramah.

Begitu saya dikabarkan, bahwa ada perubahan laku bank dari cara "bar-bar" ke
cara beradab, saya ikut senang.

Tetapi di balik kisah Syamsul di atas, saya membayangkan ribuan orang
Indonesia kala itu, bahkan hingga kini, menjadi terjebak ke dalam hutang
kartu kredit yang membuat mereka seakan sulit bernafas.

Rasio kredit macet atau Non Performaing Loan (NPL), dari kartu kredit
perbankan nasional pada Agustus 2007 meningkat tajam menjadi 12,9%, jika
dibandingkan pada Agustus 2006, yang sebesar 10%. Asumsi untuk tahun 2008
NPL kartu kredit akan menajam mencapai lebih 20%.

Memiliki kartu kredit tentu sesuatu yang baik. Apalagi untuk keperluan
transaksi, lebih-lebih jika Anda sering mundar-mandir ke luar negeri, kartu
kredit menjadi mutlak adanya. Namun di dalam dua tahun terakhir, seiring
dengan tidak tumbuhnya sektor riil, perbankan yang menjalankan usaha kartu
kredit, mengalami peningkatan jumlah kredit macet.

Syamsul, misalnya, setelah bersusah payah melunasi hutangnya bertekad bulat
untuk tidak lagi memilikinya. Ia kapok berkartu kredit.

Kapok berkartu kredit, agaknya bukan dialami Syamsul saja, tetapi juga
dirasakan oleh ratusan ribu orang Indonesia kini. Pemegang kartu kredit kini
menjadi mulai berkurang. Mereka mulai banyak yang sadar, bahwa bunga kartu
kredit, tak ubahnya bagaikan meminjam ke rentenir, dan bila ada masalah
kelambatan pembayaran, seakan berhadapan dengan preman yang tak mengenal
norma dan etika.

Mungkin cara-cara penagihan kartu kredit yang "menakuti" dan "menjajah" itu
cuma ada di negeri ini kiranya.

Di negeri yang lebih dulu beradab, yang namanya kartu kredit ada asuransi
yang meng-cover. Bila si pemakai, misalnya, terkena seperti kasus PHK atau
jika dia berusaha, bisnisnya drop. Hanya di negeri inilah orang yang sudah
susah, sekarat, bila perlu "tulang-belulangnya" pun harus dicincang.

Jika Anda jeli memperhatikan, maka para penyelenggara kartu kredit itu
kemudian kini membuat berbagai gimmick, memberikan keuntungan-keuntungan
khusus kepada pemegang kartu kredit, agar laku "menjajah" keuangan individu
melalui kartu kredit di Indonesia yang penduduknya nomor empat di dunia ini
tetap berjalan, jika perlu penggunanya kian bertambah. Hingga kini, pemakai
kartu kredit memang baru mendekati angka 10 juta orang. Para bank
penyelenggara mengasumsikan, saat ini seharusnya 40 juta orang.


*SETIAP* Jumat dan Sabtu malam di Café Olala, di Jakarta Teater, Jalan
Thamrin, Jakarta Pusat, tampak sebuah display berlogo Bank Danamon. Di sana
ada tujuh orang gadis bercelana pendek hitam, baju merah, berompi hitam.
Kepada setiap pengunjung kafe, gadis-gadis yang berdandan seksi, termasuk
bertutur kata dengan seksi, menawarkan kepada pengunjung untuk membuat kartu
kredit.
  "Bikin kartu kredit Mas. Cuma sepuluh menit langsung jadi!"

Begitu iming-imingnya.

Langsung jadi dimaksud jika Anda sudah memiliki kartu kredit sebelumnya.
Cukup dengan mengkopi kartu kredit dan KTP, maka Anda mendapatkan kartu
kredit baru, yang bisa jadi plafonnya berlipat dua dari yang sudah Anda
punya.

Terasa mudah memperolehnya.

Kini jika membeli jasa atau paket produk tertentu, dengan memiliki kartu
kredit, Anda akan diuntungkan.

Ketika membeli modem 3G Indosat M2 di Kuningan Plaza, Jalan Rasuna Said,
Jakarta Selatan, tiga bulan lalu, dengan memiliki kartu kredit, barang dapat
gratis. Anda tinggal membayar pemakian bulanan saja. Sebaliknya jika tak
punya kartu kredit, maka harus membayar cash Rp 2,5 juta. Terasa betul
indahnya punya kartu kredit, bukan?

Kini, di Jakarta, beberapa restoran memberlakukan buy on get one free, jika
memakai kartu kredit tertentu, termasuk untuk menonton bioskop.

Senin 24 Maret 2008 kemarin ketika menemani seorang kawan yang ingin
mendaftar mengikuti kursus bahasa Inggris di Wallstreet di bilangan Ratu
Plaza, Jakarta Pusat, untuk kursus 6 level berbiaya Rp 15 juta, jika
memiliki kartu kredit ia dapat mencicil. Tetapi jika tak punya kartu kredit,
maka harus membayar tunai di muka.

Begitulah hebatnya punya kartu kredit.

Namun yang paling terasa berguna, jika Anda sering bertransaksi di dunia
maya, membeli buku ke amazon.com, misalnya, memang mutlak, mau tidak mau
kudu berkartu kredit.

Sayangnya di Indonesia, tidak disosialisasikan dengan baik ke kepada publik,
orang-orang dengan kriteria pendapatan seperti apa yang dapat memperoleh
kartu kredit? Yang sering terjadi, antara pemasar kartu kredit dan juga
calon customer, berlomba mengakali, sama-sama menipu diri, terkadang secara
bersama-sama, mengakali data agar kartu kredit disetujui.

Pihak penyedia ingin mengejar target.

Pihak calon pengguna ingin mendapat plafon kartu kredit, kendati secara
hitungan ekonomi, yang bersangkutan belum tentu latyak mendapatkan.

Begitulah. Di negeri ini segala sesuatu yang sesungguhnya sangat bisa
ditakar dan diukur itu, seakan dapat selalu diakal-akali. Maka kemudian yang
terjadi adalah langgam bank berlagak preman, dengan mengirim preman, bila
pengguna kartu kreditnya macet.

Di tengah kredit perbankan yang hampir-hampir tak ada ke sektor riil kini,
perlombaan menyalurkan kredit ke sektor consumer; rumah, kendaran dan kartu
kredit itu, sudah selayaknya bagi kalangan marjinal untuk sepuluh kali
dipertimbangkan.

Berkartu kredit, bercermin ke diri sendiri, tanya apa bisa kita melunasi
hutang, bisa mencicil hutang? Bila ragu, paksakan diri Anda untuk tidak
memilikinya, sehingga terhindar jeratan mencekik. Toh, dengan tidak Anda
pakai kartu kredit itu, saban bulan tetap berbiaya.

Lebih ke depan berpikir, bila bank penyelenggara itu tidak melakukan apa
yang disebut intermediasi perbankan, tidak turut menyukses pengembangan
ekonomi riil, sektor UKM misalnya, buat apa pula Anda menjeratkan leher
memakai kartu kreditnya.

Di saat mereka semua tidak memiliki laku keberpihakan, buat apa memihak
menjadi customernya. Mungkin begitu kalimat tepat untuk bank penyelenggara
kartu kredit itu, tanpa terkecuali.



*DI SEBUAH* gang kecil di kawasan jalan Bek, Karet Belakang, Karet Kuningan,
Jakarta Selatan. Deretan 12 rumah petak ukuran 4x 6 meter di mulut gang - -
gang yang menjadi bagian proyek MH Thamrin di Jakarta di era 1970-an lalu -
- itu diramaikan oleh riuh rendah suara anak-anak saban hari. Saluran got,
dengan air hitam keruh tampak tak mengalir di kiri-kanan jalan.
  Saya perhatikan di kedua belas rumah petak itu, semua penghuninya kalangan
marjinal; ada yang penjual minyak tanah keliling, penjual bakso keliling,
tukang sol sepatu keliling, pedagang rujak dan pedagang keliling lainnya.

Saya tanya, berapa penghasilan mereka sehari-hari? Rata-rata menjawab tidak
tentu. Adakalanya mereka mendapatkan keuntungan Rp 150 ribu. Namun lebih
sering di bawah Rp 50 ribu. Jika saja dipatok rata-rata income mereka Rp 40
ribu perhari, saya perhatikan seluruh rumah petak itu memiliki hand phone.
Umumnya mereka memakai pulsa pra bayar. Setelah tanya kiri-ngobrol kanan,
rata-rata pengeluaran pulsa mereka Rp 50 ribu per minggu.

Saya tanyakan untuk komunikasi apa saja mereka memakai hand phone?
Jawabannya; hanya anak-anak mereka yang banyak menghabiskan pulsa.

Kemajuan teknologi memang harus diikuti. Tetapi bila melihat keadaan rumah
petak yang warganya berpenghasilan harian ini, saya cenderung ingin
mengatakan bahwa "penjajahan" alat komunikasi telah pula merambah mereka.

Seharusnya dengan uang Rp 200 ribu perbulan yang mereka bayarkan ke pulsa,
dapat mereka belikan ke susu untuk meningkatkan gizi balita mereka. Tetapi
faktanya, mereka membelikannya ke pulsa. Dan pulsa yang dibelanjakan itu 95%
hanya untuk komunikasi yang tidak produktif.

Sehingga menjadi tanya juga bagi saya, jika para operator selular di negeri
ini, dalam jangka waktu tertentu telah pula terindikasi menjalankan praktek
kartelnya dalam menentukan tarif sms, dan mayoritas pemakai sms adalah
kalangan marjinal macam pedagang keliling di bilngan Gg Bek di Kuningan,
Jakarta Selatan tadi, alangkah kejamnya memang laku komersialisasi.

Di tengah jutaan penduduk Jakarta, juga di atas seratus juta rakyat
Indonesia kini yang berpenghasilan harian, mulai dipaksakan pindah memakai
gas untuk memasak.

Program bantuan kompor dan tabung gas di DKI, sudah berjalan dan dibagikan
gratis ke kalangan marjinal. Langkah ini, menurut hitungan ekonomi, menurut
hitungan pemerintah yang beberapa anggota kabinetnya adalah orang yang
piawai berdagang, akan menolong APBN, karena subsidi BBM, terutama terhadap
minyak tanah setiap tahunnya triliunan rupiah.

Sebagaimana di dalam Tajuk-Tajuk Rakyat yang sudah-sudah, saya berkali-kali
menuliskan bahwa trias politika kita hanya konsen akan APBN. Melalui
permainan mengelola APBN, mereka mendapatkan keuntungan untuk kemudian
kembali berkuasa. Padahal APBN itu uang rakyat. Lebih celaka di saat
devisit, mereka pun meminjamnya, untuk kemudian hutang plus bunga dipikulkan
kepada rakyat, kepada anak dan cucunya, sebaliknya tanpa melihat
keberpihakan negara kepada rakyatnya.

Mereka yang "di atas" sana juga lupa terhadap kemampuan daya beli masyarakat
marjinal rata-rata. Mereka lupa, bagaimana misalnya bila dalam satu rumah
tangga, ayah, ibu, dan 3 orang anak sekolah, sementara uang untuk hari itu
hanya tersedia Rp 40 ribu.

Uang Rp 40 ribu itu, untuk beli beras, lauk-pauk, ongkos anak-anak sekolah.
Makanya dengan membeli setengah liter minyak tanah, tentulah dapat membuat
dapur mengepul hari itu. Akan berbeda bila mendadak gas habis, dan harus
membeli di Rp 15 ribu saja untuk tabung kecil, dipastikan dapur kalangan
marjinal itu, memang tidak mengepul.



*SAYA* tak paham apakah setiap keputusan yang dibuat negara belakangan,
khususnya untuk warga Jakarta, bertujuan agar kalangan marjinal ini mati dan
habis semua? Karena mereka semua memadati kota yang kian semrawut ini saja?
Atau dengan mereka dibikin susah, dibikin sakit, lalu bergelimpangan dan
secepatnya hijrah saja mudik ke kampung halamannya sana?!
  Entahlah!?

Di lain sisi kalangan dunia usaha yang saat ini dianggap paling oke, yakni
perbankan dan para operator telekomunikasi, kian asyik berpromosi
jasa-jasanya. Perbankan asyik berlomba jualan credit card. Operator selular
tanpa malu-malu berlomba iklan biaya Rp 0,1/detik. Operator satunya datang
dengan biaya Rp 0, 001. Ditiban lagi oleh iklan operator yang lebih sakti Rp
0,0000000001.

Makanya, untuk kalangan rakyat marjinal di negeri ini, sekali lagi saya
mengajak Anda semua, untuk mengalikan saja mereka semua dengan nol. Daripada
membaca iklan yang nol koma nol nol nol itu.


*Iwan Piliang*


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke