http://nasional.kompas.com/read/xml/2009/06/25/05371343/kartono.muhammad.tak.lelah.berteriak

Kartono Muhammad Tak Lelah Berteriak
KOMPAS/AGUS SUSANTO

Kamis, 25 Juni 2009 | 05:37 WIB

oleh : Try Harijono/ Evy Rachmawati

KOMPAS.com- Tulisannya kritis dan tajam. Mungkin ada pihak yang tersinggung. 
Namun, contoh-contoh di lapangan serta data-data yang dipaparkan dalam tulisan 
itu sulit dibantah. Begitulah dr Kartono Mohamad (70) menulis.

Bukan akhir-akhir ini saja ia aktif menulis. Dokter kelahiran Batang, Jawa 
Tengah 13 Juli 1939 ini sudah menulis untuk Kompas sejak 1972. Tidak kurang 
dari 234 tulisannya  dimuat di Harian Kompas.

Isi tulisannya terutama menyangkut persoalan kesehatan dalam arti luas. Selain 
persoalan kebijakan kesehatan,  pelayanan kesehatan, medis, dan obat-obatan, 
profesi dokter, etika kedokteran dan layanan rumah sakit juga diulasnya. 
Kartono mampu menjelaskan kepada pembaca, duduk persoalan dari suatu peristiwa 
secara jernih. Persoalan yang rumit, bisa dipaparkan secara sederhana sehingga 
mudah dimengerti pembaca. Begitulah Kartono.

Cita-citanya sejak awal memang ingin  meningkatkan derajat kesehatan masyarakat 
secara menyeluruh. ”Menulis sangat membantu pemahaman masyarakat terhadap 
persoalan-persoalan  kesehatan,” kata Kartono.

Bukan cuma menulis artikel di media massa, Kartono juga menulis sejumlah buku 
kesehatan, termasuk aspek hukum dan etika profesi kedokteran. Dokter  lulusan 
Universitas Indonesia 1964 ini juga sempat praktek melayani kesehatan 
masyarakat. Selain itu, ia juga mengajar Etika di Fakultas Kedokteran 
Universitas Trisakti Jakarta (1992-1996), serta menjadi Redaktur Pelaksana 
Majalah Ilmu Bedah Ropanasuri, dan Pemimpin Redaksi Majalah Kedokteran Medika.

Dokter di TNI Angkatan Laut dengan pangkat terakhir Mayor ini juga aktif di 
berbagai organisasi, termasuk sempat menjadi Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter 
Indonedia (PB IDI) 1985-1988. ”Melalui organisasi, lebih mudah memperjuangkan 
cita-cita di bidang kesehatan,” kata Kartono.

Cita-citanya di bidang kesehatan antara lain memberikan perlindungan kepada 
masyarakat sejak dalam kandungan hingga orang tua (healthy people in every 
stage of life) serta memberikan perlindungan kesehatan kepada masyarakat di 
mana pun dia berada (healthy people in healthy places), seperti yang juga 
diperjuangkan pemerintah Amerika Serikat.

”Puskesmas dulu tujuannya mulia untuk melindungi kesehatan masyarakat, tapi 
sekarang bergeser menjadi tempat pengobatan,” kata Kartono Mohamad.

Memperkuat IDI
Salah satu pencapaian bidang kesehatan yang diraih Kartono adalah membenahi 
organisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) ketika dia menjadi Ketua Pengurus 
Besar (PB) IDI 1985-1988. Di bawah kepemimpinannya, struktur organisasi IDI 
diperkuat sehingga  tidak sebatas perkumpulan yang dikelola secara  bergantian.

Di IDI misalnya, atas gagasannya, dibentuk Majelis Kehormatan Etik Kedokteran 
Indonesia (MKEKI). Majelis ini anggotanya dokter-dokter dari berbagai angkatan, 
berlatar belakang berbagai agama, budaya, etnis dan latar belakang keahlian. 
Majelis ini secara truktural tidak di bawah Ketua PB IDI, tetapi di bawah 
Kongres.

”Karena itu keputusannya bisa obyektif dan bahkan bisa menegur atau menindak 
tegas ketua umum organisasi bila terbukti melanggar disiplin kedokteran,” kata 
peraih penghargaan Satya Lancana Satya Dharma (1962) dan Satya Lancana Penegah 
(1970) ini.

Selain meletakkan tonggak awal upaya menegakkan etika kedokteran, Kartono juga 
menggagas pendirian Badan Pembelaan Anggota  PB IDI. ”Setiap dokter yang tengah 
menghadapi masalah terkait etika kedokteran akan mendapat pendampingan hingga 
dokter bersangkutan mendapat putusan apakah melanggar etika atau tidak secara 
adil dan obyektif,” ujarnya.

Adapun untuk melindungi kepentingan pasien, ia dan jajaran pengurus IDI membuat 
lembaga pengaduan. Hampir setiap surat keluhan dari masyarakat yang masuk ke PB 
IDI dijawab sendiri oleh Kartono. “Sebagian besar kasus yang diadukan adalah 
soal komunikasi. Masalah komunikasi antara dokter dan pasien memang masih harus 
terus ditingkatkan.  Namun bila ada dugaan pelanggaran etika kedokteran, saya 
akan mengajukan ke MKEK untuk diproses lebih lanjut,” ujarnya.

Di bawah kepemimpinan Kartono, PB IDI juga berani bersuara keras, bahkan kritis 
terhadap berbagai persoalan kesehatan dan kebijakan pemerintah di bidang 
kesehatan. Padahal, rezim Orde Baru saat itu sangat represif. Namun kritis 
Kartono yang disampaikan secara lisan maupun lewat tulisan di media massa, 
justru membawa berkah bagi pembangunan kesehatan. PB IDI sejak saat itu mulai 
didengar pendapatnya dalam pembangunan bidang kesehatan dan sejumlah persoalan 
kesehatan.

Tidak lelah

Di usia senja, semangatnya untuk memperjuangkan keadilan dan perbaikan bidang 
kesehatan terus menyala. Kini ia menjadi penasehat di Perkumpulan Keluarga 
Berencana Indonesia (PKBI), pengurus Yayasan Kesehatan Perempuan, pengurus 
Yayasan AIDS, ikut aktif dalam Koalisi untuk Indonesia Sehat dan gerakan 
pengendalian dampak tembakau bagi kesehatan, pengurus Bina Antar Budaya, 
tergabung dalam Forum Peduli Kesehatan Rakyat, dan aktivitas sosial lain.

Kartono juga ikut aktif dalam penyusunan Revisi Rancangan Undang Undang Nomor 
23 Tahun 1992 tentang Kesehatan tahun 2001-2004. Namun, hingga kini revisi RUU 
itu belum juga kelar. “Kadang frustrasi juga melihat perjuangan tak juga 
menampakkan hasil, banyak masalah kesehatan di Indonesia yang tidak tertangani 
dengan baik,” kata Kartono.

”Namun saya tidak lelah, saya akan terus berteriak...,” tambah Kartono di 
rumahnya yang asri  di Jatipadang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

Dari sekian banyak persoalan kesehatan yang dihadapi bangsa Indonesia, menurut 
Kartono, kunci persoalannya adalah, tidak jelasnya arah pembangunan kesehatan 
Indonesia. "Pembangunan bidang kesehatan tidak pernah dianggap sebagai 
investasi untuk membangun kualitas sumber daya manusia,” kata Kartono.

Pemerintah menginginkan kualitas pendidikan meningkat, namun tidak disertai 
dengan pembangunan kesehatan masyarakat. ”Kualitas pendidikan yang bagus akan 
sulit tercapai jika peserta didiknya kurang darah, kurang gizi, congekan, 
cacingan, dan menderita berbagai penyakit lain,” ujarnya.

Karena itu, tantangan bidang kesehatan ke depan adalah negara harus 
melaksanakan pembangunan kesehatan yang memprioritaskan upaya preventif atau 
pencegahan penyakit, bukan malah memfokuskan diri pada upaya kuratif dengan 
memperbanyak pendirian rumah sakit.

 Kebijakan membangun Puskesmas untuk mengembangkan pola hidup sehat di kalangan 
masyarakat kini berubah menjadi semacam ”rumah sakit kecil” yang mengobati 
masyarakat yang sakit. ”Karena ketidakjelasan konsep kesehatan, para dokter di 
Indonesia seperti petugas pemadam kebakaran. Dokter bertindak kuratif mengobati 
orang sakit,” kata Kartono.

 Kartono juga mengkritik tidak adanya lembaga pengawas yang mengoreksi kalau 
ada kesalahan dalam pelayanan kesehatan. ”Pemerintah yang seharusnya bertindak 
sebagai regulator dan wasit pun ikut bermain. Banyak rumah sakit milik 
pemerintah yang malah bersaing dengan rumah sakit swasta,” ujarnya.

Dalam hal harga obat, Kartono menilai pemerintah dengan sengaja menyerahkan 
kepada pasar. Tidak ada pengendalian jumlah obat, pembatasan jumlah merek obat, 
dan jumlah pabrik obat. Tidak ada pertimbangan apakah perlu ada kekhususan 
dalam produksi obat tertentu dan membatasi jumlahnya.”Jadi harga obat dan 
pemilihan obat diserahkan sepenuhnya ke pasar,” ujarnya.

Dokter TNI-AL

Kartono Mohamad dibesarkan dalam keluarga besar dengan delapan bersaudara di 
Pekalongan, sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Ayahnya, Mohamad, adalah 
pengusaha yang pada masa itu aktif dalam pergerakan untuk menentang pemerintah 
kolonial  Belanda, bahkan sempat diasingkan ke luar Jawa.

Saat ayahnya tewas ditembak pasukan Belanda, Rukayah, ibunya, menjadi tulang 
punggung keluarga dengan berjualan kue di pasar. Sebagai orang tua tunggal, 
ibunya bertekad untuk menyekolahkan anak-anaknya yang masih kecil, setinggi 
mungkin.

Berkat ketekunannya, Kartono diterima di beberapa perguruan tinggi negeri 
terkemuka. Atas saran ibunya, ia lalu memilih masuk Fakultas Kedokteran 
Universitas Indonesia (FKUI) dengan alasan bisa satu kota dengan kakaknya.

Setelah menempuh kuliah selama beberapa semester, ia mendapat beasiswa ikatan 
dinas dari TNI Angkatan Laut. Ia mengambil ikatan dinas tersebut, selain untuk 
meringankan beban ibunya, juga karena  fasilitas yang ditawarkan TNI-AL amat 
bagus. Begitu lulus kuliah, Kartono bertugas melayani kesehatan masyarakat di 
Kepulauan Seribu.

Pernah bertugas di sejumlah kapal, termasuk KR Irian yang merupakan kapal 
penjelajah terbesar di Asia saat itu, Kartono juga sempat ditugaskan menghadang 
kapal induk Inggris yang akan melintasi Laut Jawa. Saat bertugas di Angkatan 
Laut (1964-1975) itulah, Kartono menerbitkan majalah kedokteran dan aktif 
menulis berbagai persoalan kesehatan untuk membangun komunikasi di kalangan 
sesama dokter, serta menggugah semangat pengabdian para dokter. Semangat 
pengabdian itu, hingga kini masih berkobar di dada Kartono Mohamad.

Biodata Kartono Mohamad:

Nama: Dr. Kartono Mohamad
Tempat, Tanggal Lahir : Batang, Jawa Tengah, 13 Juli 1939

KELUARGA :
- Hatma Wigati (isteri)
- 1. Luki Andrini (anak)
- 2. Niko Anindita (anak)
- 3. Windu Kirana (anak)

PENDIDIKAN :
- SD Negeri ( 1951 )
- SMP Negeri I, Pekalongan ( 1954 )
- SMA Negeri I, Pekalongan ( 1954 )
- Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI), Jakarta ( 1964 )
  Khusus :
- General Management, Universitas Krisna Dwipayana Jakarta, ( 1970 )
- Hospital and Medical Management Observation Training, US Navy Hospital, San 
Diego, AS ( 1971 )
- Health and Family Planning Management Training Dubrovnik, Yugoslavia ( 1979 )
- Potential Problem Assesment and Decision Making, LPPM Jakarta ( 1981 )
- Potential Problem Assesment and Decision Making, LPPM Jakarta ( 1981 )

PERJALANAN KARIER :
- Redaktur Pelaksana Majalah Ilmu Bedah Ropanasuri
- Pemimpin Redaksi Majalah Kedokteran Medika ( 1975 )
- Dosen Etika Fakultas Kedokteran Trisakti ( 1992 - 1996 )
- Visiting Professor on Medical Sociology, Mahidol University, Bangkok ( 1996 - 
1997 )
- Dosen Luar Biasa Bioetika Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 
(FKM-UI), Jakarta ( 2000 )
  Pemerintahan :
- Dokter (Mayor) TNI-AL ( 1964 - 1975 )
  Legislatif :
- MPR dari Utusan Golongan ( 1987 - 1992 )

KEGIATAN LAIN :
- Ketua Medical Association of ASEAN
- Ketua Umum Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Pusat
- Pengurus Perhimpunan Ekonomi Kesehatan Indonesia
- Pengurus Yayasan AIDS Indonesia
- Pengurus Persatuan Pemberantasan TBC Indonesia
- Redaksi Pelaksana Majalah Ilmu Bedah Ropanasuri
- Anggota Tim Pengkaji Hukum Kesehatan BPHN/ Depkeh

-  Ketua Dewan Mahasiswa UI, Jakarta ( 1963 )
- Sekretaris IDI Cabang Jakarta ( 1977 - 1979 )
- Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) DKI Jakarta ( 1979 - 1982 )
- Ketua Pengurus Besar IDI ( 1985 - 1988 )
- Anggota Penyusun Rancangan Revisi Undang-undang No.23 /92 tentang Kesehatan ( 
2001 - 2004 )



Kirim email ke