First Erasmus Lecture on Humanism

“Humanism in the thoughts of prominent Indonesians: Soekarno, Hatta, Sjahrir, 
Tan Malaka and Pramoedya Ananta Toer”

Wednesday, 28 October 2009, 19.30 hrs.

Goenawan Mohamad, Budayawan (publicist on culture and philosophy)  

Erasmus Huis

On this day, the birthday of the Dutch philosopher Desiderius Erasmus, more 
than 550 years ago, the Erasmus Huis wants to draw attention to the 
philosophical heritage of Erasmus and its relevance to the present time by 
organising a lecture and discussion: in the spirit of Erasmus’ own words ‘Civis 
mundi sum’ / I am a world citizen.

Erasmus is often referred to as ‘the humanist’; he has given an important 
impulse to the development and spreading of this body of thought. The concept 
‘humanism’ does not have a univocal meaning and will have different 
interpretations and relevance depending on time and place. For Erasmus it was 
foremost the conviction that the spiritual strength, that is needed to take 
life to its highest potential, is evoked by entering discussion with great 
thinkers, who have those strengths. Beside that, time and time again he pleaded 
for tolerance between the different beliefs. He placed common sense above 
dogmatic standpoints.

At Erasmus Huis Mr Goenawan Mohamad will present the English version of his 
lecture on humanism in the thoughts of a number of prominent Indonesians: 
Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka and Pramoedya Ananta Toer. Mr Goenawan 
Mohamad has for long been a key figure in the political and cultural world of 
Indonesia as an editor, curator and publicist, always presenting his own 
independent views.

Erasmus Huis
Jl. H.R. Rasuna Said Kav. S-3, Kuningan Jakarta 12950

----------------


Erasmus

Senin, 26 Oktober 2009

Ini akhir pekan Erasmus. Saya diminta bicara tentang humanisme dalam pandangan 
Indonesia untuk ulang tahun tokoh humanisme Eropa yang lahir 27 Oktober 1466 
itu di Erasmus Huis, Jakarta. Saya tak tahu banyak tentang humanisme abad ke-15 
Eropa, dan yang pertama kali saya ingat tentang Erasmus adalah apa yang 
dikatakan Luther tentang dia. Bagi Luther, pemula Protestantisme yang pada 
akhirnya mengambil posisi yang tegas keras menghadapi Gereja itu, Erasmus 
ibarat ”belut”. Licin, sukar ditangkap.

Erasmus memang tak selamanya mudah masuk kategori, tak mudah menunjukkan di 
mana ia berpihak, ketika zaman penuh hempasan pertentangan keyakinan theologis. 
Pada mulanya ia membela Luther, ketika pembangkang ini diserang dan diancam, 
tapi kemudian ia menentangnya, ketika Luther dianggapnya semakin mengganas 
dalam menyerang Roma. Dalam sepucuk suratnya kepada Paus Adrianus VI, Erasmus 
sendiri mengatakan, ”Satu kelompok mengatakan hamba bersetuju dengan Luther 
karena hamba tak menentangnya; kelompok lain menyalahkan hamba karena hamba 
menentangnya….”

Bagi Erasmus, sikapnya menunjukkan apa yang disebut di zamannya sebagai 
civilitas. Dalam kata-kata sejarawan Belanda terkemuka, Huizinga, itulah 
”kelembutan, kebaikan hati, dan moderasi”.

Perangai tokoh humanisme abad ke-15 ini agaknya seperti sosok tubuhnya. Kita 
hanya bisa melihat wajahnya melalui kanvas Holbein di Museum Louvre: kurus, 
pucat, wajah filosof yang meditatif dan sedikit melankolis. Tetapi ia—yang 
merupakan pengarang terlaris di masanya ini (seorang penjual buku di Oxford 
pada 1520 mengatakan, sepertiga bukunya yang terjual adalah karya-karya 
Erasmus)—juga seorang yang suka dipuji. Dan di balik sikapnya yang santun, ada 
kapasitas untuk menulis satire yang sangat berat sebelah yang menyerang Paus 
Julius II. Dalam satire ini, Santo Petrus bertanya kepada Julius di gerbang 
akhirat: ”Apa ada cara mencopot seorang Paus yang jahat?” Jawab Julius: 
”Absurd!”

Pada akhirnya memang tak begitu jelas bagaimana ia harus diperlakukan. Ia 
meninggal di Basel, Swiss, pada 1536, tanpa disertai seorang pastor, tanpa 
sakramen Gereja. Tapi ia dapat kubur di katedral kota itu.

Agaknya itu menggambarkan posisinya: seorang yang meragukan banyak hal dalam 
agama Kristen, tapi setia kepada Gereja. ”Aku menanggungkan Gereja,” katanya, 
”sampai pada suatu hari aku akan menyaksikan Gereja yang jadi lebih baik.”

Mungkin itulah sebabnya yang selalu dikagumi orang tentang pemikir ini adalah 
seruannya untuk menghadapi perbedaan pikiran dengan sikap toleran dan 
mengutamakan perdamaian. ”Tak ada damai, biarpun yang tak adil sekalipun, yang 
tak lebih baik ketimbang kebanyakan perang.”

Dari sini agaknya orang berbicara tentang ”humanisme Kristen” bila berbicara 
tentang Erasmus—atau, dalam perumusan lain, ”rasionalisme religius”. Dalam 
jenis ”rasionalisme” ini, skeptisisme dan rasa ingin tahu, curiositas, diolah 
dengan baik, tapi pada akhirnya tetap dibatasi oleh apa yang ditentukan agama. 
Tak mengherankan bila Ralf Dahrendorf menyebut posisi Erasmus sebagai ”leise 
Passion der Vernunft”, gairah yang lembut untuk akal budi.

Dalam hal itu, Erasmus memang tak bisa diharapkan akan mengatasi pikiran yang 
umum di zamannya—yang tak amat leluasa dan luas. Di abad ke-21 sekarang, rasa 
ingin tahu yang dikendalikan oleh iman bukanlah sikap ilmiah maupun filsafat. 
Itu hanya sikap yang membuat pemikiran buntu.

Dalam kasus lain, Erasmus juga bisa tidak konsisten. Pernah untuk menghadapi 
kritik pedas Ulrich von Hutten—seorang tokoh Reformasi Jerman yang teguh tapi 
sengsara—Erasmus ikut bersama para tokoh Gereja di Basel untuk mengusir orang 
itu dari kota. Dalam kasus lain, Erasmus memang penganjur jalan damai 
menghadapi Turki, tapi ia tetap memandang ”Turki” sebagai yang tak setara 
dengan Eropa yang Kristen.

Pendek kata, pada diri Erasmus ada nilai-nilai yang mengagumkan dari humanisme, 
tapi juga ada unsur yang menyebabkan humanisme itu dikecam. Humanisme ini sejak 
mula—dengan kegairahannya mempelajari khazanah yang tak hanya terbatas pada 
kitab agama, tapi juga karya-karya Yunani kuno yang ”kafir”—yakin bahwa kita, 
sebagai manusia, dapat menangkap dunia obyektif dengan menggunakan akal budi. 
Di dalamnya tersirat asumsi bahwa (tiap) manusia adalah identitas yang tetap, 
atau ”diri” dan ”subyek” yang utuh dan tak berubah. Subyek ini menentukan makna 
dan kebenaran. Pikiran manusia menangkap dunia sebagaimana adanya dan bahwa 
bahasa merupakan representasi dari realitas yang obyektif.

Dalam perkembangannya kemudian, pandangan seperti ini terbentur kepada apa yang 
jadi tajam sejak abad ke-19 Eropa. Dan itu ketika manusia, sebagai subyek yang 
ulung, jadi penakluk ”yang-lain” di sekitarnya. Ternyata sang subyek tak 
seluruhnya bisa dikatakan utuh, tetap, dan rasional. Tak berarti manusia 
sia-sia.

Erasmus sendiri menulis sebuah karya satire yang termasyhur, Encomium Moriae, 
yang dalam bahasa Inggris terkenal sebagai The Praise of Folly. Di dalamnya, 
folly atau laku yang gebleg, yang tak masuk akal, dipujikan. ”Tak ada 
masyarakat, tak ada kehidupan bersama, yang dapat jadi nyaman dan awet tanpa 
sikap gebleg.” Dengan sikap gebleg itulah manusia mencintai, bertindak berani, 
termasuk berani menikah, apalagi cuma sekali, dan dengan sikap yang tak masuk 
akal pula ia percaya kepada apa yang diajarkan agama.

Mungkin manusia selalu harus mengakui ada yang lain yang menyertai satu sisi 
dari dirinya dan satu bagian dari dunianya. Yang lain dan yang tak cocok bahkan 
tak senonoh itu tak dapat dibungkam—atau manusia hilang dalam kepongahan dan 
ketidakadilan.

Goenawan Mohamad

http://www.tempointeraktif.com/hg/caping//2009/10/26/mbm.20091026.CTP131796.id.html




      Buat sendiri desain eksklusif Messenger Pingbox Anda sekarang! Membuat 
tempat chat pribadi di blog Anda sekarang sangatlah mudah. 
http://id.messenger.yahoo.com/pingbox/

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke