www.salihara. org

Kami mengundang anda untuk hadir pada Kuliah
Umum Adonis yang bertema "Kebenaran, Agama dan Sastra". Pada kesempatan
ini, Adonis, seorang penyair ternama dunia Arab modern dan nomine Nobel Sastra 
sejak tahun 2005 sampai 2008 akan memberikan kuliah
berjudul "Kebenaran Agama dan Kebenaran Puisi". Acara tersebut akan
dilaksakan pada :

Hari Senin, 3 November 2008, pukul 19.00 WIB
Tempat, Teater Salihara, Jl Salihara No 16--dekat Universitas Nasional--Pasar 
Minggu, Jakarta Selatan

==========

Petikan dari makalah Adonis yang akan disampaikan nanti:

...

Puisi dan kebenaran puisi sepenuhnya bertolak belakang dengan agama dan
kebenaran agama. Kebenaran dalam puisi tidak tetap, tidak pernah final dan
senantiasa samar. Puisi dalam makna ini berada di luar kebenaran agama dan
menembus batasnya. Dalam posisi ini puisi seperti suatu karakter yang tidak
lazim atau bebas. Tidak ada yang tidak berubah dalam kebenaran puisi. Puncak
kreativitas dalam puisi adalah keterputusan dan kesinambungan. Artinya
kreativitas tersebut berada dalam suatu proses ketegangan: persambungan dan
pemutusan. Situasi puisi berbeda dengan agama. Puisi berproses dalam situasi
yang terus berubah dan menjadi, sedangkan agama berada dalam situasi yang
pasti, abadi, dan tanpa perubahan.

Agama adalah jawaban. Sedangkan puisi adalah pertanyaan. Sebab itu agama
tidak akan bisa menjadi rujukan puisi. Bahasa puisi adalah dialog antara
yang terlihat dan yang tak terlihat, antara alam nyata dan alam gaib. Puisi
adalah objek pertanyaan dan keraguan, bukan objek keimanan dan kepasrahan.
Oleh karena itu, kita melihat kebenaran puisi dicari dalam yang tak
diketahui dan non-rasional, berbeda dari kebenaran agama.

...

==============
Adonis (Ali Ahmad Said Esber) adalah seorang penyair Arab kelahiran di
desa al-Qassabin, dekat Kota Lakasia Syria pada tahun 1930. Meskipun ia
baru bersekolah ketika berumur 13, anak seorang petani yang juga imam
masjid ini sudah belajar menulis dan membaca dari seorang guru desa
serta telah hafal al-Quran. 

Pada tahun 1944, Adonis membacakan
puisi-puisi heroik karyanya sendiri di depan Presiden Syria Shukri
al-Kuwatli waktu itu yang membuat Presiden terpesona dan mengirimkan
Adonis masuk ke sebuah sekolah Prancis di kota Tartus, saking cerdasnya
Adonis sering melompat tingkat-tingkat kelas. Adonis lulus dari
Universitas Damaskus tahun 1954 dengan spesifikasi filsafat.

Di
masa muda itu kegelisahannya sudah kelihatan: ia menerbitkan kumpulan
sajak pertamanya dan ia dipenjara karena pandangan politiknya (1955). 

Pada
1956 ia meninggalkan tanahairnya dan pindah ke Lebanon bersama
istrinya. Sampai lebih 20 tahun ia tinggal dan jadi warga negara di
tanah jiran itu. 

Di negeri Cedar ini Adonis mendirikan Jurnal
Syi’ir (Puisi) tahun 1957—sebuah jurnal yang memuat dan menelaah
puisi-puisi Arab baik yang klasik dan modern—dan jurnal kebudayaan
mawaqif (sikap) tahun 1968. Di pertengahan tahun 70-an, Lebanon perang
saudara pecah dan tentara Israel memasuki Lebanon di tahun 1980-an. Di
tahun 1986 Adonis pindah ke Paris.

Adonis telah menulis karya:
puisi dan prosa kurang lebih 30 buku dan telah diterjemahkan dalam
pelbagai bahasa. Beberapakali namanya disebut sebagai calon terkuat
peraih hadiah Nobel Sastra (2005, 2006, 2007). 

Ia memiliki
karya baik prosa dan puisi dengan gaya bahasa yang jernih dan memukau,
sekaligus rumit. Puisi-puisinya adalah simbol kemodernan syair Arab.
Simbol yang terus menjadi kontroversi: dipuja sekaligus dikecam karena
mendobrak pakem-pakem puisi Arab yang telah mapan selama
berkurun-kurun. Inti ide Adonis memang mendobrak, dan mendorong
pembaharuan. .Di sinilah letak urgensi karya Adonis, menggedor-gedor
yang sudah dianggap mapan, dan menguatkan pembaharuan dalam dua ranah
sekaligus: sastra dan agama.

Di Indonesia Adonis dikenal melalui
sebuah karya yang monumental berjudul al-Tsawâbit wal Mutahawwil (Yang
Tetap dan Yang Berubah). Dalam buku yang terdiri empat jilid ini—LKiS
Yogyakarta baru menerbitkan dua jilid pertama dengan judul Arkeologi
Sejarah-Pemikiran Arab-Islam—Adonis menyajikan pembacaan yang sangat
luas tentang pertarungan dua kubu di ranah sastra, teologi, politik,
dan budaya Arab-Islam. 

Kubu yang ingin menguatkan kemapanan
dengan berlindung di balik kekudusan dan kekuasaan Teks untuk
memaksakan satu versi tafsir yang sahih dan kubu yang bergairah
melakukan perubahan dengan menjadikan Teks sebagai khazanah tafsir yang
terus mengalami pembaharuan dan penyesuaian, atau tak menganggap lagi
Teks sebagai sumber pengetahuan karena telah berasaskan pada akal. 

Kubu
pertama menggunakan kekuasaan politik (khilâfah) dan agama (sunnah,
fiqh) untuk menihilkan capaian-capaian kreativitas (ibdâ) dengan
menjadikan sastra sebagai perkakas bagi kekuasaan dan agama. Teks
adalah tuan, sedangkan akal jadi pelayan, dan kedudukan sastra hanya
hamba bagi agama bukan kebebasan untuk mencipta. Dan sepanjang sejarah
Islam kubu kemapanan merupakan golongan mayoritas yang menindas kubu
perubahan. Sebagai pembaca yang berpihak sekaligus sastrawan yang
mengidamkan capaian ciptaan Adonis melakukan perlawanan dan
pembongkaran terhadap kubu kemapanan. 

Walhasil buku ini yang
asalnya disertasi Adonis di Universitas St Joseph Beirut, Lebanon,
dituding sebagai karya seorang “atheis khas Timur”—bukan tidak mengakui
secara langsung adanya Tuhan seperti atheisme di Barat, tapi tidak
meyakini perantara (wasilah) antara Tuhan dan manusia: baik manusia
sempurna yang dikirim oleh Tuhan yang disebut nabi atau rasul, hingga
muatan yang dibawa rasul Tuhan itu: agama atau syariat. Tiadanya
wasilah itu berarti tidak adanya Tuhan.

Antologi Puisi Adonis
yang terkenal adalah, Aghânî Mihyâr Dimasyqî diterjemahkan ke bahasa
Inggris “Songs of Mihyar the Damamscene”, Al-A'mâl al Syi'riyyah
(kumpulan karya lengkap puisi-puisi Adonis, 3 jilid) diterjemahkan ke
bahasa Inggris “If Only the Sea Could Sleep”.

Beberapa studi
Adonis tentang puisi Arab, al-Shûfiyah wal Suryâniyah diterjemahkan ke
bahasa Inggris “Sufism and Surrealism”, Muqaddimah li Syi’ir Arabi
diterjemahkan “An Introduction to Arab Poetics”.

Dalam rangkaian
Festival Salihara November 2008, Adonis akan memberikan ceramah umum
berjudul “Kebenaran Agama dan Kebenaran Puisi”.

====================
Adonis

Seorang eksil adalah seorang yang
ditundung. Ia hidup di luar negerinya sendiri, terusir, seperti puluhan
orang Indonesia yang tak bisa pulang setelah 1965 karena paspor mereka
dicabut tanpa dipastikan apa alasannya. Seorang tundungan pada dasarnya
hidup dalam perpindahan yang belum sampai ke mana pun juga: di dalam
dirinya tersemat sebuah negeri yang tak terlupakan namun harus
ditinggalkan, sementara itu ia menemukan sebuah negeri lain yang kini
jadi alamat tinggal namun bukan sebuah tempat pulang.
Tak mengherankan bila ada yang retak di situ. Seperti ditulis dalam
puisi Adonis, yang mengambil kiasan tokoh epos Yunani kuno, Odiseus,
pendekar perang yang pulang dari Troya dan menempuh wilayah-wilayah
yang ganjil dan mengancam:

Namaku Odiseus

datang dari negeri tanpa batas

dipanggul orang ramai.

Aku sesat di sini, sesat di sana

dengan sajakku

Dan kini aku di sini, cemas dan jadi alum

tak tahu bagaimana tinggal

tak tahu bagaimana pulang

Adonis adalah Ali Ahmad Said, sastrawan yang lahir pada tahun 1930
di Al-Qassabin, dekat kota Lakasia, Suriah. Meskipun ia baru bersekolah
ketika berumur 12, anak seorang petani yang juga imam masjid ini sudah
belajar menulis dan membaca dari seorang guru desa. Pada 1944 ia masuk
sebuah sekolah Prancis di kota Tartus dan lulus pada 1950.
Di masa muda itu kegelisahannya sudah kelihatan: ia menerbitkan
kumpulan sajak pertamanya dan ia dipenjara karena pandangan politiknya.
Pada 1956 ia meninggalkan tanahairnya dan pindah ke Lebanon bersama
istrinya. Sampai lebih 20 tahun ia tinggal dan jadi warga negara di
tanah jiran itu, sampai perang saudara pecah dan tentara Israel
memasuki Lebanon di tahun 1980-an. Di tahun 1986 Adonis pindah ke Paris.

”Saya akui bila saya dengar kata ’perbatasan’, saya rasakan ia
berubah jadi rantai yang berdencing dalam diri saya. Bila saya
bayangkan ia dalam citra perang, dalam citra pagar kawat berduri, dan
saya lihat bagaimana ia mulur memanjang ke dalam diri dan pikiran orang
banyak sebagaimana ia meregang di atas tanah, rasa ngeri mencengkam
saya dari segala penjuru.”

Itu kata-katanya di tahun 2001. Pada saat itu ia sudah mengatasi
”rasa ngeri”-nya. Sebab ia menemukan dalam kata ”perbatasan” sesuatu
yang lain: ”bukan sebuah tembok atau ujung, melainkan sebuah jendela
dan sebuah awal dari jalan lain, pengetahuan lain, pencarian lain, dan
ikatan lain”….

Tundungan itu telah berubah jadi tampungan, bahkan kesempatan.
Adonis punya argumen untuk itu, sesuatu yang menurut pendapatnya sudah
tercantum dalam karya puisi lama Arab, yang menaruh pengertian tanahair
bukan dalam kerangka geografis, melainkan dalam kaitannya dengan
hakikat kemanusiaan: sebuah tanahair adalah tempat menumbuhkan
kehormatan, seperti kata al-Mutanabi. Adonis bahkan mengutip kearifan
Kalif keempat, Ali bin Abu Thalib: ”Tak ada negeri yang lebih patut
bagimu ketimbang negeri lain. Tanah utama adalah yang melahirkan kamu
dengan baik.”

Kutipan itu agak kurang pada tempatnya. Sebab tanah yang ”melahirkan
dengan baik” tak sepenuhnya dapat dengan pas ditemukan. Adonis sendiri
mengatakan, dalam imajinasi orang Arab ada sebuah wilayah yang tak bisa
diketahui; ia ada bahkan dalam negeri yang diketahui dan dihuni.
”Seakan-akan ada dua bagian, yang satu tampak dan yang lain tidak.
 Yang
pertama diperintah oleh institusi, yang kedua oleh imajinasi. Yang
terakhir ini kita kenal melalui mimpi, intuisi, imajinasi dan
pengharapan, sedemikian rupa hingga ia seolah-olah penuh sesak dengan
manusia yang tersembunyi, dalam bentuk jin, malaikat, penenung,
pencinta, orang gila, dan petualang seperti Sinbad yang semua mencari
yang baharu dan tak lazim.”

Identitas kota yang tak tampak dan terletak di lapis bawah ini
seakan-akan berasal ”bukan dari awal atau akar, melainkan dari apa yang
akan datang—dari sebuah masa depan yang dicitakannya.” Inilah kota yang
mewujudkan ”pintu keluar yang dinamis, eksit dari diri sendiri ke
pertemuan dengan sesuatu atau seseorang lain.”

Tampak bahwa sang penyair—sudah tentu ia bagian dari penghuni kota
di bawah, bersama pencinta, orang gila dan petualang—merayakan eksit,
bukan esensi. Esensi berkait-an dengan apa yang disangka sebagai ”akar”
dan ”awal”, masa lalu. Saya kira Adonis termasuk yang menampik
esensialisme: ia tak percaya bahwa ada ”sifat Arab” (atau ”sifat
Timur”, ”sifat Barat”) yang hakiki, tak berubah, dan dapat dirumuskan.
Ia lebih percaya kepada apa yang tak menetap, dan baginya, penderitaan
Odiseus—kalaupun terdengar sebagai sesuatu yang pedih—justru sesuatu
yang heroik dan dipujikan:

Meski kau pulang, ah, Odiseus

meski kau terbendung ruang,

dan pemandumu punah terbakar

di parasmu yang kehilangan

atau rasa ngerimu yang akrab

kau akan tetap sebuah cerita kelana

kau akan tetap di negeri yang tak berjanji

kau akan tetap di negeri yang tak kembali

Tapi bisakah kita hidup, juga sebagai orang tundungan, dalam eksit
terus-menerus? Saya kira bisa. Namun saya merasa, dalam keadaan
retak—antara asal yang telah jadi nostalgia dan ”negeri yang tak
berjanji”—seorang tundungan justru bahkan tak dapat mengklaim seperti
yang dinyatakan Adonis: membuat frontier—yang sebenarnya memang berarti
”wilayah depan”—bukan lagi tapal batas. Ia sendiri pernah menulis: ke
sebuah rumah yang tanahnya kubawa sepanjang kembara, kutundukkan
kepalaku.

Tiap ”wilayah depan” selalu mengandung ”wilayah belakang”, tiap
pantai selalu punya pedalaman. Ketegangan antara keduanya bukanlah
sesuatu yang mengasyikkan. Itulah sebabnya tundungan adalah peristiwa
yang mengandung luka. Tiap eksit mengandung trauma.

Adonis agak mengabaikan luka itu pada akhirnya. Tapi ia memang dapat
memberi inspirasi bagi kegairahan di dunia para orang gila dan penenung
dan Sinbad, tempat yang baharu dan tak lazim senantiasa dicari. Hidup
akan mati berkali-kali hanya dengan institusi.

Goenawan Mohamad 

~Majalah Tempo, Edisi. 47/XXXV/15 - 21 Januari 2007~




      
___________________________________________________________________________
Dapatkan nama yang Anda sukai!
Sekarang Anda dapat memiliki email di @ymail.com dan @rocketmail.com.
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/id/

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke