Kuliah tentang Stereotipe dan Konser Jazz di Salihara Sabtu, 14 Maret 2009 pukul 16:00 WIB, “Orang China dalam Sastra Hindia-Belanda”, pembicara Widjajanti Dharmowijono (Dosen di Akademi Bahasa 17 Agustus 1945 Semarang) Stereotipe adalah pemberian label secara kolektif. Stereotipe bisa positif dan negatif yang dapat memicu beragam interpretasi. Namun keduanya jauh dari kebenaran. Jenis-jenis stereotipe mudah kita jumpai dalam masyarakat yang majemuk. Stereotipe yang negatif memiliki tingkatan: dari sebab pengamatan yang dangkal hingga stereotipe yang bersumber dari kebencian terhadap orang atau kelompok. Stereotipe yang rendah hanya bisa menyebabkan kesalahpahaman, namun steotipe yang disengaja dibangun untuk kepentingan tertentu—kekuasaan umpamanya—bisa menyebabkan benturan hingga kekerasan. Dalam rangkaian kuliah tentang “Stereotipe dalam Seni” ini, jenis-jenis stereotipe yang secara sengaja atau pun tidak dibangun akan diuji dan dikritik. Mulai dari sebab-musabab mengapa stereotipe itu muncul, bagaimana ia bekerja, dan untuk tujuan apa ia dibangun. Untuk konfirmasi silakan kirim ke email gun...@salihara. org atau mengirim pesan pendek ke Asty di 0817-999-5057 Gratis ============= Konser oleh Dwiki Dharmawan dkk. Topeng Jazz mendemonstrasikan serpihan “praktik perubahan” dalam kesenian yang sedang berjalan di Indonesia. Bagaimana kesenian tradisional yang menentukan ciri khas suatu lingkungan budaya mampu—atau tak mampu—menyongsong tuntutan kebangsaan baru lewat kreativitas. Dwiki Dharmawan adalah salah satu musisi yang selalu gelisah, saat ini banyak memusatkan perhatiannya pada ragam-ragam kesenian tradisional dalam mengembangkan ide dan inovasi baru. Salah satu di antaranya: mengambil tari topeng dan meramunya dengan jazz, yang menurutnya: perpaduan nasionalisme dan internasionalisme. Dalam pementasan Topeng Jazz, Dwiki Dharmawan akan melibatkan penari topeng Uum Sumiati, serta sejumlah pemusik seperti Titi Aksan (drums), Eugen Bounti (klarinet/saksofon alto), Donny Kuswinarno (saksofon tenor/flute), Bang Sa'as (suling), serta Ade Rudiana (kendang). Dwiki Dharmawan, lahir di Bandung 19 Agustus 1966. Belajar piano klasik di usia 7 tahun, di usia 13 tahun mulai belajar musik jazz. Di usia 17 tahun mendirikan Grup Krakatau yang sampai saat ini terus berkeliling dunia dan tampil pada berbagai konser dan festival internasional, seperti Montreux Jazz, North Sea Jazz, Toronto Jazz, Vancouver Jazz, Festival Cervantino, dan Sziget Festival. Tampil juga pada berbagai tempat seni pertunjukan terkemuka seperti Lincoln Center, Chicago Cultural Center, Esplanade, Beijing Concert Hall, serta Beijing National Center for the Performing Arts. Selain seorang pemusik, Dwiki juga Direktur Lembaga Pendidikan Musik Farabi dan anggota komite musik Dewan Kesenian Jakarta. Hari/tanggal: SABTU, MARET 14 , 2009 Waktu : 20:00 WIB (Tempat parkir terbatas.) Harga tiket: Umum (Rp) 50000 Mahasiswa (Rp) 25000 Reservasi dan informasi: Asty 0817-999-5057 Laly 0812-8008-9008 Nike 0818-0730-4036 Selamat berakhir pekan di Salihara :) www.salihara.org ================ Kutipan dari makalah Widjajanti: Dari Borneo sampai Batavia Seabad imaji orang Cina dalam sastra Indis-Belanda “Tanpa orang Cina kami pasti banyak kekurangan. Kendati demikian kami menganggap rendah pemakan daging anjing itu”. Kalimat itu ditulis W. A. van Rees dalam memoarnya, yang diberi judul Novellen; levensschetsen en krijgstafereelen. Herinneringen uit de loopbaan van een Indisch Officier (Novela, memoar dan adegan perang; Kenangan dari karier seorang perwira Indis-Belanda) yang diterbitkan tahun 1881. Kali pertama saya membaca kalimat ini, saya heran dan tersinggung. Heran karena tidak mengerti, karena apa orang Cina dikatakan pemakan daging anjing? Saya sendiri masih bisa dikelompokkan orang Cina―mengenai ini, marilah kita nanti berdiskusi―tetapi tidak pernah makan daging anjing, sebaliknya saya tahu ada kelompok etnis lain yang gemar makan daging anjing, karena di pesta orang Manado saya pernah disuguhi rendang daging anjing. Orang Cina tidak suka makan daging anjing. Mereka suka daging babi. Kita sudah menyinggung berbagai stereotipe di sini! Hal kedua yang saya herankan, adalah bahwa ternyata dari ungkapan Van Rees, “kami”, yang tidak lain adalah orang Belanda, ternyata menganggap rendah orang Cina. Padahal setahu saya―stereotipe lagi!―orang Cina merupakan “anak emas” orang Belanda dan selalu diberi hak-hak istimewa. Kok bisa dianggap rendah? Yang lebih mengherankan lagi, adalah bahwa sosiolog J. A. A. van Doorn, yang memuat pernyataan Van Rees dalam bukunya De laatste eeuw van Indië. Ontwikkeling en ondergang van een koloniaal project (Abad terakhir Hindia, pertumbuhan dan keruntuhan sebuah proyek kolonial, 1994) menyatakan bahwa apa yang ditulis Van Rees “mengungkapkan dengan gamblang apa yang hanya berani dipikirkan orang lain”. Berarti bahwa secara umum, orang Belanda tidak suka kepada orang Cina. Terakhir, ada kontradiksi mencolok yang termuat dalam dua kalimat tadi, sehingga membuat pembaca berpikir: orang Cina sebetulnya baik atau tidak, sih? ........ Kenapa BBM mesti naik? Apakah tidak ada solusi selain itu? Temukan jawabannya di Yahoo! Answers! http://id.answers.yahoo.com [Non-text portions of this message have been removed]