Re: [iagi-net-l] Cost Recovery Capai US$ 8,33 Miliar Selama 2007

2008-01-24 Terurut Topik Sugeng Hartono
Bung Andang,

Jujur saja, saya tidak paham perhitungan PSC yang njelimet. Ketika tulisan
saya tentang PSC dimuat di media,
seorang kawan, panggil saja mas Budi yang 'menekuni' PSC mengomentari bahwa
sistem PSC ini
cukup bagus (buktinya kan diadopsi bbrp negara), hanya saja, kuncinya ada di
pengawasan.
Mas Budi sempat kirim fax ke Rig tempat saya bekerja sbb:
Mas sh, terlampir adalah analisa sensitifitas dari biaya operasi dan biaya
investasi, pengaruhnya terhadap
perolehan uang pemanen mangga ([EMAIL PROTECTED]). Idealnya, grafik tersebut 
adalah
securam mungkin,
sehingga semakin besar biaya, maka pendapatan pemanen mangga akan semakin
jauh berkurang.
Tampak untuk sawah kita, grafiknya (khususnya untuk biaya operasi/pocost)
tidak securam negara-2
tetangga, jadi mandor-2 yang jaga kebun mangga kita harus kerja ekstra keras
biar hasil kebun mangga kita lumayan.
Tentang mengapa di Thailand, Cambodia dan Brunei kok pemanen mangga dapat
uang lebih banyak
untukpengeluaran yang sama, mungkin ini karena faktor resiko di negara
tersebut lebih besar (resiko geologis,
sosial, politik, keamanan). Apa betul secara geologis?
Selamat mandoran kebun mangga kita.
(mas Budi melengkapi komentarnya dengan dua grafik, salah satu grafik
Operating Cost Sensitivity:
Thailand, Brunei, Cambodia, Indonesia, dan Malaysia. Dari grafik terlihat
bahwa untuk Indonesia memang
lebih landai). Dalam suatu obrolan, mas Budi katakan bahwa di negara
tetangga yang mengadopsi PSC
ada klausal: Revenue/Cost. Kalau hasilnya bagus (revenue besar, cost kecil)
maka SPLIT yang diperoleh
investor akan lebih bagus, tidak sekedar 85% dan 15% tetapi mungkin 80% -20%
misalnya. Jadi di sini
para investor akan melakukan self-effeciency.

Ada juga komentar dari pakar, ...Model PSC dengan segala kelebihan dan
kekurangannya perlu dievaluasi terus
menerus agar tercipta situasi win-win. Kunci keberhasilan model bisnis PSC
sebetulnya ada pada pengawasan.

Semoga sistem PSC akan ada perubahan/perbaikan untuk kita.
Salam hangat,
Sugeng

- Original Message - 
From: Andang Bachtiar [EMAIL PROTECTED]
To: iagi-net@iagi.or.id
Sent: Thursday, January 24, 2008 10:26 AM
Subject: Re: [iagi-net-l] Cost Recovery Capai US$ 8,33 Miliar Selama 2007


 Dod,... di dalam perhitungan internal perusahaan dan untuk kepentingan
 evaluasi prospek (ranking, risk, economics, dsb) biaya untuk
usaha-usaha
 eksplorasi di blok yang berproduksi di Indonesia bisa juga disebut sebagai
 dan/atau dimasukkan kedalam kategori finding-cost, no problem at all.
 Tetapi, menurut pemahamanku ttg aturan kontrak PSC dan prakteknya yang
 terjadi selama ini, begitu suatu blok berproduksi dari suatu discovered
 field, maka finding-cost  dari lapangan-lapangan lain akan
dikonsolidasikan
 dalam overall block-cost. Jadi terminologi finding cost dalam PSC term
kita
 nampaknya hanya berguna / diapresiasi pada waktu penemuan lapangan
komersial
 yang pertama. Setelah itu, cost2 sejenis akan dimasukkan sebagai
production
 cost dari block tersebut.

 Usulan sampeyan untuk tidak mengutak-atik (existing) PSC tapi
meredefinisi
 cost-recovery dg tanpa memasukkan finding cost lapangan ke 2, 3 dst
(apalagi
 kalau juga mencakup lapangan pertama), maka itu sama saja dengan
 membangkitkan macan IPA tidur (?)

 Mungkin untuk next PSC dalam tender2 mendatang bisa kita usulkan term-term
 sampeyan tersebut. Masih sangat terbuka kemungkinan berkontribusi
pemikiran
 ke kawan2 di Migas (Ditjen, BPMigas) dalam rangka perubahan PSC
(mendatang).
 Malah dalam bulan2 terakhir ini makin santer Pak Dirjen dan Pak Ka BPMigas
 dan Pak Menteri me-wacana-kan perubahan PSC tersebut.

 Ayo, rek . podho ngomongo

 Salam

 Andang Bachtiar
 Exploration Think Tank Indonesia


 - Original Message - 
 From: Doddy Suryanto [EMAIL PROTECTED]
 To: iagi-net@iagi.or.id
 Sent: Thursday, January 24, 2008 9:58 AM
 Subject: RE: [iagi-net-l] Cost Recovery Capai US$ 8,33 Miliar Selama 2007


 Sam, apakah usaha2 eksplorasi (seismik, gg, dsb) di blok-blok yang
 sudah berproduksi tidak bisa dimasukkan dalam finding cost?

 Apakah production cost yang ada di sistem sekarang mencakup finding and
 development cost (FD) yang dalam hal ini lifting cost masuk dalam
 kategori development cost?

 Kalo memang system PSC susah dirubahnya, apakah bisa yang finding cost
 ini ngga masuk cost recovery?



 -doddy-



 -Original Message-
 From: Andang Bachtiar [mailto:[EMAIL PROTECTED]
 Sent: Thursday, 24 January, 2008 9:40 AM
 To: iagi-net@iagi.or.id
 Subject: Re: [iagi-net-l] Cost Recovery Capai US$ 8,33 Miliar Selama
 2007





 Production cost tersebut juga bukan real secara teknis semata-mata
 terkait

 dengan proses produksi dari lapangan-lapangan yang ada, tapi juga
 mencakup

 cost dari eksplorasi di blok-blok yang sudah berproduksi. Hal ini

 dimungkinkan karena sistim PSC yang sekarang berjalan di Indonesia juga

 mengakomodasi cost-recovery dari usaha2 eksplorasi (seismik, drilling,
 gg,

 dsb) di blok-blok yang sudah berproduksi. Dengan 

[iagi-net-l] Fwd: [IndoEnergy] Putusan MK atas JR jilid 2 Pada UU Migas

2008-01-24 Terurut Topik Rovicky Dwi Putrohari
Barangkali ada rekan yang tertarik bagaiman akisah Judical Review (JR) UU Migas

RDP

-- Forwarded message --
From: Mumu Muhajir [EMAIL PROTECTED]
Date: 2008/1/24
Subject: [IndoEnergy] Putusan MK atas JR jilid 2 Pada UU Migas
To: indo [EMAIL PROTECTED]

Ini hanya monitoring dari jauh saja sebuah kasus JR [judicial review]
yang dimohonkan oleh delapan anggota DPR atas UU No 22 tahun 2001
tentang migas ke Mahkamah Konstitusi. Ini merupakan JR kedua atas UU
yang sama.

Jalannya Persidangan

Diawali dengan permohonan dari pemohon [Zainal Arifin, Sonny Keraf,
Alvin Lie, Ismayatun, Hendarso Hadiparnomo, Bambang Wuyanto, Dradjat
Wibowo, Tjatur Sapto Edi] pada tanggal 9 Juli 2007. Sidang dimulai
pada 1 Agustus 2007 dan pembacaan keputusan pada tanggal 17 Desember
2007. Keterangan yang didengarkan adalah dari Pemerintah, dari DPR,
serta masing-masing dua ahli dari pemerintah [Hikmahanto Juwana dan
Zen Purba] dan pemohon [Ryad Chairil dan Muhammad Sair Nisar].

Duduk Soal

Bagi 8 anggota DPR:
1. Anggota DPR punya legal standing dan karenanya bisa mengajukan JR.
2. KKS telah bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak disetujui
terlebih dahulu oleh DPR. Hal itu disebabkan karena KKS adalah salah
satu contoh dari perjanjian internasional lainnya sebagaimana diatur
dalam Pasal 11 Ayat 2 UUD 1945 yang karenanya harus terlebih dahulu
mendapatkan persetujuan dari DPR. Sementara berdasarkan Pasal 11 Ayat
2 UU Migas, KKS hanya perlu diberitahukan secara tertulis kepada DPR.
3. Ketiadaan pengawasan dari DPR itu telah menyebabkan pihak pemohon
mengalami kerugian konstitusional yang spesifik dan aktual atau
potensial mengalami kerugian.

Bagi Pemerintah
1. KKS adalah masalah Bisnis; bukan masalah publik karenanya KKS
tidaklah diatur dengan hukum internasional sehingga tidak masuk dalam
pengertian perjanjian internasional lainnya.
2.Posisi sebagai anggota DPR dipertanyakan legal standingnya.
Contohnya karena mereka juga terlibat dalam pembuatan UU Migas - thus
seharusnya bukan JR, tetapi amandemen UU Migas atau legislatif
review.-- pendapat ini diperkuat juga oleh DPR.

Putusan MK No. 20/PUU-V/2007

Keputusan MK adalah Tidak Menerima Permohonan - lebih karena tidak
adanya legal standing bagi anggota DPR yang mengajukan permohonan itu.
Pokok Masalah itu sendiri karenanya tidak diperiksa.

Tetapi ada dua keputusan berbeda atawa Dissenting Opinion [Hakim MK
Harjono dan Maruarar Siahaan], yang keduanya berpendapat bahwa pemohon
yang anggota DPR mempunyai legal standing mengingat bahwa UUD 1945
telah memberikan hak konstitusional baik kepada anggota DPR maupun
kepada DPR-nya sendiri. Ini sama dengan keputusan MK dalam perkara JR
UU Praktek Kedokteran dimana MK menerima legal standing dari anggota
warga negara dalam kedudukannya sebagai dokter [karena UU itu mengatur
mengenai dokter] dan menolak legal standing warga negara lain karena
kedudukannya sebagai pasien. Bagi Maruarar Siahaan, UUD 1945 adalah
hukum Materiil dan formilnya adalah UU MK. Sehingga jika ada ...Hak
yang diberikan oleh konstitusi, maka hukum acara MK harus memberi
peluang kepada subjek tersebut untuk mengajukan gugatan Dalam
perkara ini adalah hak konstitusional anggota DPR dalam mengajukan
pendapat.

Dalam memeriksa pokok perkaranya, keputusan berbeda ini [dissenting
opinion] sejalan dengan pendapat Pemerintah yang berpendapat bahwa KKS
adalah masalah hukum perdata sehingga dia tidak termasuk dalam
pengertian perjanjian Internasional sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 11 ayat 2 UUD 1945 atau sebagaimana disebutkan dalam konvensi
Wina. Dengan demikian menolak permohonan pemohon bahwa Pasal 11 Ayat 2
UU Migas bertentangan dengan Pasal 11 Ayat 2 UUD 1945.

Tetapi, keputusan berbeda ini mengabulkan keberatan pemohon dalam
masalah tidak adanya kewenangan pengawasan dari DPR dalam pengurusan
KKS yang berupa pemberian persetujuan DPR kepada kontrak KKS. Karena
selama ini, berbeda dengan permohonan bagi KK/PKP2B yang diharuskan
adanya konsultasi terlebih dahulu dengan DPR, dalam hal KKS hanya
perlu dengan pemberitahuan secara tertulis kepada DPR. Padahal semua
kontrak dimaksud mengatur persoalan yang sama yakni SDA yang dalam
konstitusi pengurusannya didasarkan pada pasal 33 ayat 3 UUD 1945.
Sehingga Pasal 11 ayat 2 UU Migas bertentangan dengan UUD 1945 dalam
hal ketiadaan pengawasan dari DPR atau bertentangan dengan Pasal 20A
UUD 1945 tentang Hak pengawasan DPR. Selain itu Pasal 11 Ayat 2 UU
Migas juga bertentangan dengan mekanisme standar pengurusan kekayaan
sumberdaya alam yang dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat atau bertentangan dengan Pasal 33 Ayat 3 UUD
1945.

Komentar

Sangat disayangkan sebenarnya kasus ini tidak diterima karena hanya
masalah ketiadaan legal standing dari pihak pemohon. Padahal jika bisa
diteruskan pemeriksaan pada pokok perkaranya, barangkali akan sangat
menarik. Karena setidaknya akan memperjelas pengaturan/pengelolaan SDA
bahan galian strategis yang dimiliki Indonesia. Memang, agak 

[iagi-net-l] Petrophysics - Penentuan Transition Zone

2008-01-24 Terurut Topik Shofiyuddin
Mungkin ada yang share bagaimana caranya menentukan transition zone di zona
minyak. Saat ini yang sering saya lakukan adalah dengan membuat Kurva Swirr
dari log NMR yang dioverlay dengan kurva Sw nya. Harga yang sama dari Swirr
dan Swirr menunjukan kalo reservoar tersebut dalam kondisi Swirr. Sw yang
mulai melengceng dari kurva Swirr merupakan awal dari zona transisi. Ini
penting untuk memahami apakah nanti reservoarnya memproduksi air (movable
water) atau tidak (free-water production) selama test produksi.

Cara kedua adalah dengan membuat Buckle plot yaitu crossplot antara Por
(axis x) dan Sw (axis y). Kalo titik titik penyebaran dua harga tersebut
mendekati parabolik, berarti menunjukan zona yang dalam kondisi Swirr, kalo
scattered, berarti airnya dalam kondisi movable.

Apakah cara diatas reliable atau mungkin ada cara laen untuk mengetahui
apakah reservoar dalam kondisi Swirr atau airnya movable?

Trims sebelumnya

Shofi


Re: [iagi-net-l] Fwd: [IndoEnergy] Putusan MK atas JR jilid 2 Pada UU Migas

2008-01-24 Terurut Topik yrsnki



Rekan rekan

Walaupun DPR tidak secara  formal harus
menyetujui KKS sebelum diTT , dalam pelaksanaan operasinya
pengawasan  yang dilakukan oleh DPR cukup intensif kok.

Coba saja baca dikoran selama Cepu menjadi head lines , berapa
kali tuh anggota DPR meninjau lapangan , saking seriusnya mereka harus
nginep kok di Surabaya .

Kalau pake istilah pasaran
sih , buat apa dibikin susah kalau bisa dibikan mudah.

Sudah
cukup banyak hambatan hambatan birokrasi yang sangat mengganggu lancarnya
investasi dalam bidang Migas dan  mineral di Indonesia ini .
Yang penting yang harus diawasi adalah pelaksanaan operasinya ,termasuk
bagaimana dalam operasi operasi itu dapat mencapai sebesar-besarnya
keuntungan bagi bangsa Indonesia termasuk perusahaan nasional , tenaga
ahli nasional dsb.

Saya kok sudah bosen melihat 
gambar  dikoran , yang menngambarkan Sidang Paripurna yang penuh
dengan kursi kosong , dan kemudian menghasilkan UU - yang sebenarnya
menentukan hal yang sangat penting.

Jadi nanya niiih Apa
perlu ada DPR ya ? hehehe gila si Abah !


Si-Abah




 Barangkali ada rekan yang tertarik bagaiman akisah
Judical Review (JR) UU 
 Migas 
 
 RDP 
 
 -- Forwarded message -- 
 
From: Mumu Muhajir [EMAIL PROTECTED] 
 Date:
2008/1/24 
 Subject: [IndoEnergy] Putusan MK atas JR jilid 2 Pada
UU Migas 
 To: indo [EMAIL PROTECTED] 
 
 Ini hanya monitoring dari jauh saja sebuah kasus JR [judicial
review] 
 yang dimohonkan oleh delapan anggota DPR atas UU No 22
tahun 2001 
 tentang migas ke Mahkamah Konstitusi. Ini merupakan
JR kedua atas UU 
 yang sama. 
 
 Jalannya
Persidangan 
 
 Diawali dengan permohonan dari pemohon
[Zainal Arifin, Sonny Keraf, 
 Alvin Lie, Ismayatun, Hendarso
Hadiparnomo, Bambang Wuyanto, Dradjat 
 Wibowo, Tjatur Sapto Edi]
pada tanggal 9 Juli 2007. Sidang dimulai 
 pada 1 Agustus 2007
dan pembacaan keputusan pada tanggal 17 Desember 
 2007.
Keterangan yang didengarkan adalah dari Pemerintah, dari DPR, 

serta masing-masing dua ahli dari pemerintah [Hikmahanto Juwana dan 
 Zen Purba] dan pemohon [Ryad Chairil dan Muhammad Sair Nisar]. 
 
 Duduk Soal 
 
 Bagi 8 anggota DPR: 
 1. Anggota DPR punya legal standing dan karenanya bisa mengajukan
JR. 
 2. KKS telah bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak
disetujui 
 terlebih dahulu oleh DPR. Hal itu disebabkan karena
KKS adalah salah 
 satu contoh dari perjanjian
internasional lainnya sebagaimana diatur 
 dalam Pasal 11
Ayat 2 UUD 1945 yang karenanya harus terlebih dahulu 

mendapatkan persetujuan dari DPR. Sementara berdasarkan Pasal 11 Ayat 
 2 UU Migas, KKS hanya perlu diberitahukan secara tertulis kepada
DPR. 
 3. Ketiadaan pengawasan dari DPR itu telah menyebabkan
pihak pemohon 
 mengalami kerugian konstitusional yang spesifik
dan aktual atau 
 potensial mengalami kerugian. 
 
 Bagi Pemerintah 
 1. KKS adalah masalah Bisnis; bukan
masalah publik karenanya KKS 
 tidaklah diatur dengan hukum
internasional sehingga tidak masuk dalam 
 pengertian
perjanjian internasional lainnya. 
 2.Posisi sebagai
anggota DPR dipertanyakan legal standingnya. 
 Contohnya karena
mereka juga terlibat dalam pembuatan UU Migas - thus 
 seharusnya
bukan JR, tetapi amandemen UU Migas atau legislatif 

review.-- pendapat ini diperkuat juga oleh DPR. 
 

Putusan MK No. 20/PUU-V/2007 
 
 Keputusan MK adalah
Tidak Menerima Permohonan - lebih karena tidak 
 adanya legal
standing bagi anggota DPR yang mengajukan permohonan itu. 
 Pokok
Masalah itu sendiri karenanya tidak diperiksa. 
 

Tetapi ada dua keputusan berbeda atawa Dissenting Opinion [Hakim MK 
 Harjono dan Maruarar Siahaan], yang keduanya berpendapat bahwa
pemohon 
 yang anggota DPR mempunyai legal standing mengingat
bahwa UUD 1945 
 telah memberikan hak konstitusional baik kepada
anggota DPR maupun 
 kepada DPR-nya sendiri. Ini sama dengan
keputusan MK dalam perkara JR 
 UU Praktek Kedokteran dimana MK
menerima legal standing dari anggota 
 warga negara dalam
kedudukannya sebagai dokter [karena UU itu mengatur 
 mengenai
dokter] dan menolak legal standing warga negara lain karena 

kedudukannya sebagai pasien. Bagi Maruarar Siahaan, UUD 1945 adalah 
 hukum Materiil dan formilnya adalah UU MK. Sehingga jika ada
...Hak 
 yang diberikan oleh konstitusi, maka hukum acara
MK harus memberi 
 peluang kepada subjek tersebut untuk
mengajukan gugatan Dalam 
 perkara ini adalah hak
konstitusional anggota DPR dalam mengajukan 
 pendapat. 
 
 Dalam memeriksa pokok perkaranya, keputusan berbeda ini
[dissenting 
 opinion] sejalan dengan pendapat Pemerintah yang
berpendapat bahwa KKS 
 adalah masalah hukum perdata sehingga dia
tidak termasuk dalam 
 pengertian perjanjian
Internasional sebagaimana ditentukan dalam 
 Pasal 11 ayat
2 UUD 1945 atau sebagaimana disebutkan dalam konvensi 
 Wina.
Dengan demikian menolak permohonan pemohon bahwa Pasal 11 Ayat 2 
 UU Migas bertentangan dengan Pasal 11 Ayat 2 UUD 1945. 


 Tetapi, keputusan berbeda ini 

Re: [iagi-net-l] Cost Recovery Capai US$ 8,33 Miliar Selama 2007

2008-01-24 Terurut Topik Awang Satyana
Kalau jadi, kontrak PSC yang akan datang (rencananya akan mulai diterapkan 
kepada 26 blok yang sekarang sedang ditawarkan) akan mengalami perubahan besar 
soal sunk cost, komersialitas blok/lapangan, cost recovery dan relinquishment. 
Perubahannya begitu signifikan sahingga boleh saja kalau mau kita sebut sebagai 
PSC generasi baru. Jadi diberlakukan atau tidak kita lihat nanti.
   
  Komersialitas blok oleh lapangan pertama tidak akan lagi menjadi tiket untuk 
cost recovery kegiatan2 eksplorasi berikutnya bila lapangan ke-2, ke-3 dan 
seterusnya tidak ditemukan dan dikembangkan. Di kontrak PSC lama, setelah 
lapangan pertama ditemukan dan blok menjadi komersial maka seluruh usaha 
eksplorasi berikutnya akan bisa di-cost recovery baik ia gagal maupun berhasil, 
jadi lapangan atau tidak. Apa pun yang dibelanjakan akan diganti. Sistem ini 
telah mendorong PSC2 melakukan eksplorasi kurang hati2, tokh biayanya akan 
diganti ini. 
   
  Di sistem PSC baru nanti, biaya eksplorasi setelah lapangan pertama akan 
dianggap sebagai upaya untuk menemukan lapangan ke-dua. Bila lapangan kedua 
ditemukan dan dapat dikembangkan menjadi lapangan maka biaya2 eksplorasi 
setelah lapangan kedua itu bisa di-cost recovery; bila tidak jadi lapangan,maka 
biaya2 tersebut sepenuhnya menjadi tanggungan PSC.  Upaya2 eksplorasi setelah 
lapangan kedua akan dianggap sebagai upaya menemukan lapangan ke-3. Bila gagal 
menemukan lapangan ke-3, maka biaya2 itu tak bisa di-cost recovery, bila 
lapangan ke-3 ditemukan, upaya2 eksplorasi untuk menemukannya bisa di-cost 
recovery, dst..dst..
   
  Aturan baru itu disertai aturan baru relinquishment. Relinquishment terakhir 
akan dilakukan pada akhir tahun ke-8 dan hanya mempertahankan lapangan2 yang 
sudah ditemukan. Area di luar lapangan harus dikembalikan ke Pemerintah. Ini 
untuk mengatasi banyaknya lahan2 tidur yang tetap dimiliki PSC sementara 
investor baru yang berminat tidak bisa masuk.
   
  Aturan lain adalah bahwa bonus tanda-tangan kontrak akan disesuaikan dengan 
jumlah sumberdaya di dalam blok itu, semakin kaya semakin tinggi bonusnya. 
   
  Masih ada beberapa lagi hal signifikan yang akan berubah dalam kontrak PSC 
kita. Itu kalau jadi diberlakukan. Untuk diberlakukan akan banyak bergantung 
kepada banyak faktor teknis dan nonteknis, politik dan nonpolitik.
   
  Saya pribadi berpendapat bahwa sudah saatnya diberlakukan perubahan2 
signifikan atas kontrak saat ini. Pemerintah kita menjual terlalu murah untuk 
lahannya yang subur. Dalam investasi migas internasional pun berlaku bahwa 
barang bagus harganya mahal, tetapi di Indonesia sering terjadi barang bagus 
malah diobral, setelah itu tidak pula ada jaminan bahwa si pemilik barang 
mendapatkan uangnya. Menyedihkan.
   
  Sudah saatnya berubah !
   
  salam,
  awang 
  (anggota tim penilai teknis tender WKP migas  CBM)
   
   
  Andang Bachtiar [EMAIL PROTECTED] wrote:
  Dod,... di dalam perhitungan internal perusahaan dan untuk kepentingan 
evaluasi prospek (ranking, risk, economics, dsb) biaya untuk usaha-usaha 
eksplorasi di blok yang berproduksi di Indonesia bisa juga disebut sebagai 
dan/atau dimasukkan kedalam kategori finding-cost, no problem at all. 
Tetapi, menurut pemahamanku ttg aturan kontrak PSC dan prakteknya yang 
terjadi selama ini, begitu suatu blok berproduksi dari suatu discovered 
field, maka finding-cost dari lapangan-lapangan lain akan dikonsolidasikan 
dalam overall block-cost. Jadi terminologi finding cost dalam PSC term kita 
nampaknya hanya berguna / diapresiasi pada waktu penemuan lapangan komersial 
yang pertama. Setelah itu, cost2 sejenis akan dimasukkan sebagai production 
cost dari block tersebut.

Usulan sampeyan untuk tidak mengutak-atik (existing) PSC tapi meredefinisi 
cost-recovery dg tanpa memasukkan finding cost lapangan ke 2, 3 dst (apalagi 
kalau juga mencakup lapangan pertama), maka itu sama saja dengan 
membangkitkan macan IPA tidur (?)

Mungkin untuk next PSC dalam tender2 mendatang bisa kita usulkan term-term 
sampeyan tersebut. Masih sangat terbuka kemungkinan berkontribusi pemikiran 
ke kawan2 di Migas (Ditjen, BPMigas) dalam rangka perubahan PSC (mendatang). 
Malah dalam bulan2 terakhir ini makin santer Pak Dirjen dan Pak Ka BPMigas 
dan Pak Menteri me-wacana-kan perubahan PSC tersebut.

Ayo, rek . podho ngomongo

Salam

Andang Bachtiar
Exploration Think Tank Indonesia


- Original Message - 
From: Doddy Suryanto 
To: 
Sent: Thursday, January 24, 2008 9:58 AM
Subject: RE: [iagi-net-l] Cost Recovery Capai US$ 8,33 Miliar Selama 2007


Sam, apakah usaha2 eksplorasi (seismik, gg, dsb) di blok-blok yang
sudah berproduksi tidak bisa dimasukkan dalam finding cost?

Apakah production cost yang ada di sistem sekarang mencakup finding and
development cost (FD) yang dalam hal ini lifting cost masuk dalam
kategori development cost?

Kalo memang system PSC susah dirubahnya, apakah bisa yang finding cost
ini ngga masuk cost recovery?



-doddy-



-Original Message-

Re: [iagi-net-l] Re: [IndoEnergy] Cost Recovery Capai US$ 8, 33 Miliar Selama 2007 (Hanya US$ 14,46/Bbl)

2008-01-24 Terurut Topik yrsnki


 Vick

Jangan jangan Anda sudah memakai ilmu
ahli komunikasi publik  , yanitu buat berita  yang menyangkut
kepentingan orang banyak yang SALAH  , agar muncul reaksi ,
Apa
begitu , heheheh.

Mas Sugeng 

Sebenarnya
sisitim PSC itu konsepnya sangat sederhana , hanya dalam aplikasi-nya
sering sering menjadi agak kompleks .
Akan menjadi bertambah
kompleks lagi kalau sudah ada kepentingan kepentingan untuk
mendapatkan CR se-besar2 nya dengan memasukan  kegiatan diluar daerah
yang sudah berproduksi  dapat segera direcover,
lebih kompleks lagi kalau se-banyak2nya staf dari homo office dapat
dibayar oleh CR , lebih kompleks lagi kalau teknologi home office dapat
dimanfaatkan di Inonesia walaupun di Indonesia sudah ada.Dan cara cara
canggih lainnya.

Jadi kompleksitas perhitungan akan muncul
kalau bertambah banyak interest dari berbagai fihak., terutama dari
Kontraktor Kontraktor.

Jadi  memang kuncinya adalah pada
pengawasan operasi baik secara teknis , adminitrasi dan terutama
keuangan.

Semoga kawan kawan di BP Migas diberi kekuatan Iman
agar dapat melakukan tugasnya dengan baik  . Amin 

UU -
Migas sebenarnya tidak mengharuskan sistim HARUS  Production Sharing
, bisa juga  yang lain asal paling menguntungkan bagi negara  .
Nah  sisitim yang lebih baik dari KPS (dengan segala kelebihandan
kekurangannya mungkin beleum ketemu.

Si-Abah

__


   Terimkasih Pak Johand, 
 Betul saya
yang ceroboh, perhitungan sederhana saya tadi semestinya memang 

14 USD/bbl saja, karena saya seharusnya menghitung minyaknya saja. 
 Walaupun 
 begitu angka USD14USD/barrel pun itu terkesan
masih terlalu tinggi. 
 Yang sekarang banyak mengundang
pertanyaan adalah perbedaan cara 
 perhitungan 
 Cost
dalam industri migas, dimana bisa dibedakan Finding Cost, 

developement 
 cost, lifting cost dsb. 
 Nah sebenarnya
cara sederhana yang kita pakai untuk sebuah negara 
 sepertinya

 akan jauh berbeda dengan angka yang dipakai oleh perusahaan.
Untuk negara 
 tuan-rumah (host country), tentunya menghitung
semua biaya yang 
 ditanggungnya. Dalam hal ini
termasuk biaya eksplorasi sumur-sumur 
 eksplorasi, seismic
survey, geological dll. Beberapa perusahaan ada yang 
 memasukkan
sunk cost dalam perhitungannya. Namun bagi negara tuan rumah

 sunk cost ini ngga pernah dihitung. Jadi
membandingkan angka total cost 
 of oil antara negara
dengan perusahaan tidak mudah dilakukan. 
 Nah mana yang lebih
bagus ? Sepertinya tergantung kebutuhan, terutama 
 kalau 
 menginginkan bench marking dengan negara lain.
Sayangnya negara lainpun 
 memiliki PSC term yang berbeda-beda.

 Finding cost bisa saja dibagi beberapa jenis through
exploration atau 
 akuisisi (merger) perusahaan/block, ini
bisa jauh berbeda angkanya. Dan 
 sepertinya harga migasnya
nantinya juga akan naik dengan sendirinya. 
 Karena 

pengusaha yng sudah membeli harga minyak ini maunya juga untung. Kalau 
 membeli minyaknya saja sudah mahal tentusaja jualannya harus mahal.

 
 Disini aku jadi mumeth kalau diminta membandingkan
atau melihat apakah 
 kita (negara atau perusahaan)
ini sudah efisien dalam melakukan 
 eksplorasi-produksi migas ?

 
 Ada ide bagaimana membandingkan yang lebih pas ? 
 
 
 
 RDP 
 

2008/1/24 Johand Dimalouw [EMAIL PROTECTED]: 
 
 Rekan RDP yth, 
 Saya kaget membaca itung2 Cost
Recovery (CR) anda yg hasilnya 
 menunjukkan 

CR per barel minyak kita adalah US$ 25/bbl. 
 Jadi saya
tepanggil menghitung CR itu dgn dasar angka2 yg sama dengan 

hasil CR per barel kita adalah US$ 14,46 saja. Saya hanya pakai angka CR

 US$ 
 4,8 milyar untuk minyak (anda pakai
angka total MIGAS). Bagi saya angka 
 ini 

lebih wajar, karena kita bisa menggunakan angka CR ini sebagai refleksi

 Biaya Operasi  Investasi per barrel minyak
kita. 
 Iseng-isen saya coba hitung CR untuk Chevron (majikan
saya dulu) yg saya 
 dengan produksinya sekarang sekitar
500.000 bbl/hari. Dan hasilnya CR 
 untuk Chevron itu US$
6,21 per barel (cukup dekat dgn angka yg saya tahu 
 dulu
sekitar US$ 5 per barel. 
 
 Terimakasih 
 Johand Dimalouw 
 
 . 


 *COST RECOVERY-2007* 
 

*keterangan* 
 
 *unit* 
 
 *CR Total MIGAS* 
 
 *CR MINYAK
TOTAL* 
 
 *CR PERTAMiNA* 
 
 *CR CHEVRON* 
 
 *Cost Recovery* 
 
 *Milyar USD* 
 

*8.33* 
 
 *4.80* 
 

*1.96* 
 
 *1.13* 
 

*Cost Recovery* 
 
 *USD* 
 
 *8,330,000,000* 
 
 *4,802,000,000*

 
 *1,956,000,000* 
 
 *1,133,000,000* 
 
 *PRODUKSI per
hari* 
 
 * * 
 
 * *

 
 *910,000* 
 

*100,000 *)* 
 
 *500,000 *)* 
 
 *Produksi per tahun* 
 
 * * 
 
 * * 
 
 *332,150,000*

 
 *36,500,000* 
 

*182,500,000* 
 
 * * 
 
 * * 
 
 * * 
 
 * * 
 
 * * 
 
 * * 
 
 *CR/bbl* 
 
 * * 
 
 * * 
 
 *14.46* 
 
 *53.59* 


 *6.21* 
 Catatan: 
 *) perkiraan
kasar saja 
 - Original Message  
 
From: Rovicky Dwi Putrohari [EMAIL PROTECTED] 
 To:
iagi-net@iagi.or.id; [EMAIL PROTECTED]; Forum Himpunan Ahli 
 Geofisika Indonesia [EMAIL PROTECTED]; migas indonesia
 
 [EMAIL PROTECTED];
[EMAIL PROTECTED] 
 Sent: 

Re: [iagi-net-l] Cost Recovery Capai US$ 8,33 Miliar Selama 2007

2008-01-24 Terurut Topik yrsnki


 Awang 

Rasanya kalau ini dilaksanakan akan mirip
mirip Malaysia ya ?
Ndak apa  ya , kan biasanya mrid lebih
pintar dari gurunya 

Si-Abah

_


   Kalau jadi, kontrak PSC yang akan datang
(rencananya akan mulai diterapkan 
 kepada 26 blok yang sekarang
sedang ditawarkan) akan mengalami perubahan 
 besar soal sunk
cost, komersialitas blok/lapangan, cost recovery dan 

relinquishment. Perubahannya begitu signifikan sahingga boleh saja kalau

 mau kita sebut sebagai PSC generasi baru. Jadi diberlakukan
atau tidak 
 kita lihat nanti. 
 

Komersialitas blok oleh lapangan pertama tidak akan lagi menjadi tiket 
 untuk cost recovery kegiatan2 eksplorasi berikutnya bila lapangan
ke-2, 
 ke-3 dan seterusnya tidak ditemukan dan dikembangkan. Di
kontrak PSC 
 lama, setelah lapangan pertama ditemukan dan blok
menjadi komersial maka 
 seluruh usaha eksplorasi berikutnya akan
bisa di-cost recovery baik ia 
 gagal maupun berhasil, jadi
lapangan atau tidak. Apa pun yang 
 dibelanjakan akan diganti.
Sistem ini telah mendorong PSC2 melakukan 
 eksplorasi kurang
hati2, tokh biayanya akan diganti ini. 
 
 Di sistem PSC
baru nanti, biaya eksplorasi setelah lapangan pertama akan 

dianggap sebagai upaya untuk menemukan lapangan ke-dua. Bila lapangan 
 kedua ditemukan dan dapat dikembangkan menjadi lapangan maka biaya2

 eksplorasi setelah lapangan kedua itu bisa di-cost recovery;
bila tidak 
 jadi lapangan,maka biaya2 tersebut sepenuhnya
menjadi tanggungan PSC. 
 Upaya2 eksplorasi setelah lapangan
kedua akan dianggap sebagai upaya 
 menemukan lapangan ke-3. Bila
gagal menemukan lapangan ke-3, maka biaya2 
 itu tak bisa di-cost
recovery, bila lapangan ke-3 ditemukan, upaya2 
 eksplorasi untuk
menemukannya bisa di-cost recovery, dst..dst.. 
 

Aturan baru itu disertai aturan baru relinquishment. Relinquishment 
 terakhir akan dilakukan pada akhir tahun ke-8 dan hanya
mempertahankan 
 lapangan2 yang sudah ditemukan. Area di luar
lapangan harus dikembalikan 
 ke Pemerintah. Ini untuk mengatasi
banyaknya lahan2 tidur yang tetap 
 dimiliki PSC sementara
investor baru yang berminat tidak bisa masuk. 
 
 Aturan
lain adalah bahwa bonus tanda-tangan kontrak akan disesuaikan 

dengan jumlah sumberdaya di dalam blok itu, semakin kaya semakin tinggi

 bonusnya. 
 
 Masih ada beberapa lagi hal
signifikan yang akan berubah dalam kontrak 
 PSC kita. Itu kalau
jadi diberlakukan. Untuk diberlakukan akan banyak 
 bergantung
kepada banyak faktor teknis dan nonteknis, politik dan 

nonpolitik. 
 
 Saya pribadi berpendapat bahwa sudah
saatnya diberlakukan perubahan2 
 signifikan atas kontrak saat
ini. Pemerintah kita menjual terlalu murah 
 untuk lahannya yang
subur. Dalam investasi migas internasional pun 
 berlaku bahwa
barang bagus harganya mahal, tetapi di Indonesia sering 
 terjadi
barang bagus malah diobral, setelah itu tidak pula ada jaminan 

bahwa si pemilik barang mendapatkan uangnya. Menyedihkan. 
 
 Sudah saatnya berubah ! 
 
 salam, 

awang 
 (anggota tim penilai teknis tender WKP migas  CBM)

 
 
 Andang Bachtiar
[EMAIL PROTECTED] wrote: 
 Dod,... di dalam
perhitungan internal perusahaan dan untuk kepentingan 
 evaluasi
prospek (ranking, risk, economics, dsb) biaya untuk 

usaha-usaha 
 eksplorasi di blok yang berproduksi di Indonesia
bisa juga disebut sebagai 
 dan/atau dimasukkan kedalam kategori
finding-cost, no problem at all. 
 Tetapi, menurut pemahamanku
ttg aturan kontrak PSC dan prakteknya yang 
 terjadi selama ini,
begitu suatu blok berproduksi dari suatu discovered 
 field, maka
finding-cost dari lapangan-lapangan lain akan dikonsolidasikan 

dalam overall block-cost. Jadi terminologi finding cost dalam PSC term 
 kita 
 nampaknya hanya berguna / diapresiasi pada waktu
penemuan lapangan 
 komersial 
 yang pertama. Setelah
itu, cost2 sejenis akan dimasukkan sebagai 
 production 
 cost dari block tersebut. 
 
 Usulan
sampeyan untuk tidak mengutak-atik (existing) PSC tapi 
 meredefinisi 
 cost-recovery dg tanpa memasukkan finding
cost lapangan ke 2, 3 dst 
 (apalagi 
 kalau juga
mencakup lapangan pertama), maka itu sama saja dengan 

membangkitkan macan IPA tidur (?) 
 

Mungkin untuk next PSC dalam tender2 mendatang bisa kita usulkan term-term

 sampeyan tersebut. Masih sangat terbuka kemungkinan
berkontribusi 
 pemikiran 
 ke kawan2 di Migas (Ditjen,
BPMigas) dalam rangka perubahan PSC 
 (mendatang). 

Malah dalam bulan2 terakhir ini makin santer Pak Dirjen dan Pak Ka BPMigas

 dan Pak Menteri me-wacana-kan perubahan PSC tersebut. 
 
 Ayo, rek . podho ngomongo 
 

Salam 
 
 Andang Bachtiar 
 Exploration Think
Tank Indonesia 
 
 
 - Original Message
- 
 
From: Doddy Suryanto 
 To: 
 Sent: Thursday, January 24, 2008 9:58 AM 
 Subject: RE:
[iagi-net-l] Cost Recovery Capai US$ 8,33 Miliar Selama 2007 


 
 Sam, apakah usaha2 eksplorasi (seismik, gg,
dsb) di blok-blok yang 
 sudah berproduksi tidak bisa dimasukkan
dalam finding cost? 
 
 

Re: [iagi-net-l] Cost Recovery Capai US$ 8,33 Miliar Selama 2007

2008-01-24 Terurut Topik Bambang Satya Murti
PakAwang,
Waduh.seandainya itu terlaksana dan bisa diimplementasi, saya akan bilang ini 
merupakan lompatan jauh kedepan. Lha kalau bisa diberlakukan surut 
(undang-undang kita kan biasanya sepertiitu ya?), hmmm, itu bener bener 
quantum leap...
Capek ya, mengejar-ngejar komitmen?
Salam,
Bambang


- Original Message 
From: Awang Satyana [EMAIL PROTECTED]
To: iagi-net@iagi.or.id; Forum HAGI [EMAIL PROTECTED]; Geo Unpad [EMAIL 
PROTECTED]
Sent: Friday, January 25, 2008 11:34:20 AM
Subject: Re: [iagi-net-l] Cost Recovery Capai US$ 8,33 Miliar Selama 2007

Kalau jadi, kontrak PSC yang akan datang (rencananya akan mulai diterapkan 
kepada 26 blok yang sekarang sedang ditawarkan) akan mengalami perubahan besar 
soal sunk cost, komersialitas blok/lapangan, cost recovery dan relinquishment. 
Perubahannya begitu signifikan sahingga boleh saja kalau mau kita sebut sebagai 
PSC generasi baru. Jadi diberlakukan atau tidak kita lihat nanti.
  
  Komersialitas blok oleh lapangan pertama tidak akan lagi menjadi tiket untuk 
cost recovery kegiatan2 eksplorasi berikutnya bila lapangan ke-2, ke-3 dan 
seterusnya tidak ditemukan dan dikembangkan. Di kontrak PSC lama, setelah 
lapangan pertama ditemukan dan blok menjadi komersial maka seluruh usaha 
eksplorasi berikutnya akan bisa di-cost recovery baik ia gagal maupun berhasil, 
jadi lapangan atau tidak. Apa pun yang dibelanjakan akan diganti. Sistem ini 
telah mendorong PSC2 melakukan eksplorasi kurang hati2, tokh biayanya akan 
diganti ini. 
  
  Di sistem PSC baru nanti, biaya eksplorasi setelah lapangan pertama akan 
dianggap sebagai upaya untuk menemukan lapangan ke-dua. Bila lapangan kedua 
ditemukan dan dapat dikembangkan menjadi lapangan maka biaya2 eksplorasi 
setelah lapangan kedua itu bisa di-cost recovery; bila tidak jadi lapangan,maka 
biaya2 tersebut sepenuhnya menjadi tanggungan PSC.   Upaya2 eksplorasi setelah 
lapangan kedua akan dianggap sebagai upaya menemukan lapangan ke-3. Bila gagal 
menemukan lapangan ke-3, maka biaya2 itu tak bisa di-cost recovery, bila 
lapangan ke-3 ditemukan, upaya2 eksplorasi untuk menemukannya bisa di-cost 
recovery, dst..dst..
  
  Aturan baru itu disertai aturan baru relinquishment. Relinquishment terakhir 
akan dilakukan pada akhir tahun ke-8 dan hanya mempertahankan lapangan2 yang 
sudah ditemukan. Area di luar lapangan harus dikembalikan ke Pemerintah. Ini 
untuk mengatasi banyaknya lahan2 tidur yang tetap dimiliki PSC sementara 
investor baru yang berminat tidak bisa masuk.
  
  Aturan lain adalah bahwa bonus tanda-tangan kontrak akan disesuaikan dengan 
jumlah sumberdaya di dalam blok itu, semakin kaya semakin tinggi bonusnya. 
  
  Masih ada beberapa lagi hal signifikan yang akan berubah dalam kontrak PSC 
kita. Itu kalau jadi diberlakukan. Untuk diberlakukan akan banyak bergantung 
kepada banyak faktor teknis dan nonteknis, politik dan nonpolitik.
  
  Saya pribadi berpendapat bahwa sudah saatnya diberlakukan perubahan2 
signifikan atas kontrak saat ini. Pemerintah kita menjual terlalu murah untuk 
lahannya yang subur. Dalam investasi migas internasional pun berlaku bahwa 
barang bagus harganya mahal, tetapi di Indonesia sering terjadi barang bagus 
malah diobral, setelah itu tidak pula ada jaminan bahwa si pemilik barang 
mendapatkan uangnya. Menyedihkan.
  
  Sudah saatnya berubah !
  
  salam,
  awang 
  (anggota tim penilai teknis tender WKP migas  CBM)
  
  
  Andang Bachtiar [EMAIL PROTECTED] wrote:
  Dod,... di dalam perhitungan internal perusahaan dan untuk kepentingan 
evaluasi prospek (ranking, risk, economics, dsb) biaya untuk usaha-usaha 
eksplorasi di blok yang berproduksi di Indonesia bisa juga disebut sebagai 
dan/atau dimasukkan kedalam kategori finding-cost, no problem at all. 
Tetapi, menurut pemahamanku ttg aturan kontrak PSC dan prakteknya yang 
terjadi selama ini, begitu suatu blok berproduksi dari suatu discovered 
field, maka finding-cost dari lapangan-lapangan lain akan dikonsolidasikan 
dalam overall block-cost. Jadi terminologi finding cost dalam PSC term kita 
nampaknya hanya berguna / diapresiasi pada waktu penemuan lapangan komersial 
yang pertama. Setelah itu, cost2 sejenis akan dimasukkan sebagai production 
cost dari block tersebut.

Usulan sampeyan untuk tidak mengutak-atik (existing) PSC tapi meredefinisi 
cost-recovery dg tanpa memasukkan finding cost lapangan ke 2, 3 dst (apalagi 
kalau juga mencakup lapangan pertama), maka itu sama saja dengan 
membangkitkan macan IPA tidur (?)

Mungkin untuk next PSC dalam tender2 mendatang bisa kita usulkan term-term 
sampeyan tersebut. Masih sangat terbuka kemungkinan berkontribusi pemikiran 
ke kawan2 di Migas (Ditjen, BPMigas) dalam rangka perubahan PSC (mendatang). 
Malah dalam bulan2 terakhir ini makin santer Pak Dirjen dan Pak Ka BPMigas 
dan Pak Menteri me-wacana-kan perubahan PSC tersebut.

Ayo, rek . podho ngomongo

Salam

Andang Bachtiar
Exploration Think Tank Indonesia


- Original Message - 
From: Doddy Suryanto 

RE: [iagi-net-l] Cost Recovery Capai US$ 8,33 Miliar Selama 2007

2008-01-24 Terurut Topik Salahuddin, Andi
Pak Awang dan rekan2 ysh,

Permisi ikut nimbrung...
Ada statement pak Awang yang saya kurang faham.
Aturan lain adalah bahwa bonus tanda-tangan kontrak akan disesuaikan
dengan jumlah sumberdaya di dalam blok itu, semakin kaya semakin tinggi
bonusnya.

Apakah yang dimaksud dengan sumberdaya tsb adalah expected HCIP dan
expected recovery pada blok tertentu?
Sedangkal pengetahuan saya, besaran expected HCIP dan recovery yang
dihitung oleh suatu KPS (biasanya dilakukan oleh departemen explorasi
atau new ventures) nilainya diperoleh dengan studi awal yang semi
regional, mulai dari mapping, prospects/leads inventory, basin modeling,
geomodeling, engineering, economics, dll, yang saya yakin banyak
bapak/ibu disini yang jauh lebih tahu.
Tidak menutup kemungkinan bahwa antara pemerintah (tim teknis BPMigas?),
KPS A, KPS B, dan KPS2 lainnya yg meneliti blok ini menghasilkan besaran
expected HCIP (sumberdaya blok) yang berbeda-beda, tergantung dari GG
play concept, analog yang digunakan, dan parameter-parameter perhitungan
yang mereka gunakan saat studi tahap awal explorasi. Ada beberapa kasus
dimana 2 lapangan yang berdekatan, yang satunya kaya sedangkan yang
satunya lagi miskin. 
Jadi pada akhirnya, menurut saya, penyesuaian antara besar bonus dan
jumlah sumberdaya di blok akan sangat subjektif di mata pemerintah dan
para KPS.

Atau apakah mungkin bahwa signing fee bisa 'di-adjust' kembali
berdasarkan hasil real yang diperoleh pada tahapan appraisal dan
development? Dimana pada tahap ini, besaran HCIP bisa jauh lebih besar
atau jauh lebih kecil daripada expected HCIP pada tahapan explorasi.
Jika ternyata kekayaan blok tersebut lebih besar drpd yang diperkirakan
saat explorasi, maka KPS harus bayar sisa bonusnya ke pemerintah
berdasarkan prorata. Tapi kalau ternyata blok tersebut sangat 'miskin'
atau non-commercial, apakah pemerintah harus 'mengembalikan' signing
bonus yang ternyata terlalu besar? Mungkin sulit untuk melakukan hal
ini.

Mohon pencerahannya...

Salam,
Andi

-Original Message-
From: Awang Satyana [mailto:[EMAIL PROTECTED] 
Sent: Friday, January 25, 2008 11:34 AM
To: iagi-net@iagi.or.id; Forum HAGI; Geo Unpad
Subject: Re: [iagi-net-l] Cost Recovery Capai US$ 8,33 Miliar Selama
2007

Kalau jadi, kontrak PSC yang akan datang (rencananya akan mulai
diterapkan kepada 26 blok yang sekarang sedang ditawarkan) akan
mengalami perubahan besar soal sunk cost, komersialitas blok/lapangan,
cost recovery dan relinquishment. Perubahannya begitu signifikan
sahingga boleh saja kalau mau kita sebut sebagai PSC generasi baru. Jadi
diberlakukan atau tidak kita lihat nanti.
   
  Komersialitas blok oleh lapangan pertama tidak akan lagi menjadi tiket
untuk cost recovery kegiatan2 eksplorasi berikutnya bila lapangan ke-2,
ke-3 dan seterusnya tidak ditemukan dan dikembangkan. Di kontrak PSC
lama, setelah lapangan pertama ditemukan dan blok menjadi komersial maka
seluruh usaha eksplorasi berikutnya akan bisa di-cost recovery baik ia
gagal maupun berhasil, jadi lapangan atau tidak. Apa pun yang
dibelanjakan akan diganti. Sistem ini telah mendorong PSC2 melakukan
eksplorasi kurang hati2, tokh biayanya akan diganti ini. 
   
  Di sistem PSC baru nanti, biaya eksplorasi setelah lapangan pertama
akan dianggap sebagai upaya untuk menemukan lapangan ke-dua. Bila
lapangan kedua ditemukan dan dapat dikembangkan menjadi lapangan maka
biaya2 eksplorasi setelah lapangan kedua itu bisa di-cost recovery; bila
tidak jadi lapangan,maka biaya2 tersebut sepenuhnya menjadi tanggungan
PSC.  Upaya2 eksplorasi setelah lapangan kedua akan dianggap sebagai
upaya menemukan lapangan ke-3. Bila gagal menemukan lapangan ke-3, maka
biaya2 itu tak bisa di-cost recovery, bila lapangan ke-3 ditemukan,
upaya2 eksplorasi untuk menemukannya bisa di-cost recovery, dst..dst..
   
  Aturan baru itu disertai aturan baru relinquishment. Relinquishment
terakhir akan dilakukan pada akhir tahun ke-8 dan hanya mempertahankan
lapangan2 yang sudah ditemukan. Area di luar lapangan harus dikembalikan
ke Pemerintah. Ini untuk mengatasi banyaknya lahan2 tidur yang tetap
dimiliki PSC sementara investor baru yang berminat tidak bisa masuk.
   
  Aturan lain adalah bahwa bonus tanda-tangan kontrak akan disesuaikan
dengan jumlah sumberdaya di dalam blok itu, semakin kaya semakin tinggi
bonusnya. 
   
  Masih ada beberapa lagi hal signifikan yang akan berubah dalam kontrak
PSC kita. Itu kalau jadi diberlakukan. Untuk diberlakukan akan banyak
bergantung kepada banyak faktor teknis dan nonteknis, politik dan
nonpolitik.
   
  Saya pribadi berpendapat bahwa sudah saatnya diberlakukan perubahan2
signifikan atas kontrak saat ini. Pemerintah kita menjual terlalu murah
untuk lahannya yang subur. Dalam investasi migas internasional pun
berlaku bahwa barang bagus harganya mahal, tetapi di Indonesia sering
terjadi barang bagus malah diobral, setelah itu tidak pula ada jaminan
bahwa si pemilik barang mendapatkan uangnya. Menyedihkan.
   
  Sudah saatnya berubah !
   
  salam,
  

RE: [iagi-net-l] Cost Recovery Capai US$ 8,33 Miliar Selama 2007

2008-01-24 Terurut Topik Doddy Suryanto
Sangat sangat bagus sekali kalo terlaksana. Mungkin ini salah satu cara
untuk dapat menekan cost recovery untuk sumur2 explorasi yang gagal yang
dibebankan ke blok yang telah berproduksi.

Apalagi kalo pengawasan yang dilakukan kurang begitu berhasil menekan
cost recovery.

Setuju dengan Pak Awang bahwa adanya ketentuan yang bisa mendapatkan
cost recovery dari sumur2 explorasi di daerah yang berproduksi membuat
PSC2 berlomba-lomba ngebor karena toh akhirnya nanti cost recovery.

Sebenarnya ada positif dan negatifnya juga dalam hal ini. Positifnya
kalo pengeboran explorasinya berhasil ya menambah produksi yang otomatis
juga menambah umur dari blok yang berproduksi.

Tetapi negatifnya ya kalo ngga berhasil sudah tentu cost recovery jadi
membengkak. Buat yang mengawasi tentunya juga menjadi beban soalnya kalo
sumur2 explorasi di daerah yang berproduksi ini tidak disetujui bukan
tidak mungkin produksi dari blok yang sudah berproduksi jadi menurun
kalo tidak menemukan cadangan baru atau bahkan tidak melakukan secondary
development plan macam EOR.

Jadi kalo memang aturan PSC baru tentang lapangan pertama tidak akan
lagi menjadi tiket untuk cost recovery kegiatan2 eksplorasi berikutnya
bisa diterapkan, ini akan membuat PSC melakukan screening yang extra
agar nantinya sumur2 explorasi yang diajukan dapat bermanfaat bagi PSC
sendiri maupun pemerintah. Soalnya kalo sumur explorasi gagal tidak akan
dapat cost recovery lagi.

Kira2 bagaimana statistic yang ada untuk sumur2 explorasi yang dibor di
blok yang berproduksi? Apakah sampai saat ini tingkat success ratio nya
masih tinggi?

Kalo tidak, apakah kira2 penyebabnya? 

Untuk aturan yang baru lainnya tentang relinguishment, kira2 seberapa
besar lapangan2 yang telah ditemukan bisa dipertahankan? Sebesar closure
yang ada atau berupa persentase?

Kalo tentang bonus mungkin ada baiknya pake sistem sliding scale rate
macam royalty nya Thailand. Jadi kalo dapetnya nanti gedhe ya dapet
persentase gedhe trus kalo nantinya kecil ya dapetnya kecil.

Hanya sekedar urun rembug saja.

We usually find oil in new places with old ideas. Sometimes, also, we
find oil in an old place with a new idea, but we seldom find much oil in
an old place with an old idea. Parke Dickey, 1958. 

-doddy-

 

-Original Message-
From: Awang Satyana [mailto:[EMAIL PROTECTED] 
Sent: Friday, 25 January, 2008 11:34 AM
To: iagi-net@iagi.or.id; Forum HAGI; Geo Unpad
Subject: Re: [iagi-net-l] Cost Recovery Capai US$ 8,33 Miliar Selama
2007

 

Kalau jadi, kontrak PSC yang akan datang (rencananya akan mulai
diterapkan kepada 26 blok yang sekarang sedang ditawarkan) akan
mengalami perubahan besar soal sunk cost, komersialitas blok/lapangan,
cost recovery dan relinquishment. Perubahannya begitu signifikan
sahingga boleh saja kalau mau kita sebut sebagai PSC generasi baru. Jadi
diberlakukan atau tidak kita lihat nanti.

   

  Komersialitas blok oleh lapangan pertama tidak akan lagi menjadi tiket
untuk cost recovery kegiatan2 eksplorasi berikutnya bila lapangan ke-2,
ke-3 dan seterusnya tidak ditemukan dan dikembangkan. Di kontrak PSC
lama, setelah lapangan pertama ditemukan dan blok menjadi komersial maka
seluruh usaha eksplorasi berikutnya akan bisa di-cost recovery baik ia
gagal maupun berhasil, jadi lapangan atau tidak. Apa pun yang
dibelanjakan akan diganti. Sistem ini telah mendorong PSC2 melakukan
eksplorasi kurang hati2, tokh biayanya akan diganti ini. 

   

  Di sistem PSC baru nanti, biaya eksplorasi setelah lapangan pertama
akan dianggap sebagai upaya untuk menemukan lapangan ke-dua. Bila
lapangan kedua ditemukan dan dapat dikembangkan menjadi lapangan maka
biaya2 eksplorasi setelah lapangan kedua itu bisa di-cost recovery; bila
tidak jadi lapangan,maka biaya2 tersebut sepenuhnya menjadi tanggungan
PSC.  Upaya2 eksplorasi setelah lapangan kedua akan dianggap sebagai
upaya menemukan lapangan ke-3. Bila gagal menemukan lapangan ke-3, maka
biaya2 itu tak bisa di-cost recovery, bila lapangan ke-3 ditemukan,
upaya2 eksplorasi untuk menemukannya bisa di-cost recovery, dst..dst..

   

  Aturan baru itu disertai aturan baru relinquishment. Relinquishment
terakhir akan dilakukan pada akhir tahun ke-8 dan hanya mempertahankan
lapangan2 yang sudah ditemukan. Area di luar lapangan harus dikembalikan
ke Pemerintah. Ini untuk mengatasi banyaknya lahan2 tidur yang tetap
dimiliki PSC sementara investor baru yang berminat tidak bisa masuk.

   

  Aturan lain adalah bahwa bonus tanda-tangan kontrak akan disesuaikan
dengan jumlah sumberdaya di dalam blok itu, semakin kaya semakin tinggi
bonusnya. 

   

  Masih ada beberapa lagi hal signifikan yang akan berubah dalam kontrak
PSC kita. Itu kalau jadi diberlakukan. Untuk diberlakukan akan banyak
bergantung kepada banyak faktor teknis dan nonteknis, politik dan
nonpolitik.

   

  Saya pribadi berpendapat bahwa sudah saatnya diberlakukan perubahan2
signifikan atas kontrak saat ini. Pemerintah kita menjual terlalu murah
untuk lahannya yang subur. Dalam