Re: [iagi-net-l] Cost Recovery Capai US$ 8,33 Miliar Selama 2007
Bung Andang, Jujur saja, saya tidak paham perhitungan PSC yang njelimet. Ketika tulisan saya tentang PSC dimuat di media, seorang kawan, panggil saja mas Budi yang 'menekuni' PSC mengomentari bahwa sistem PSC ini cukup bagus (buktinya kan diadopsi bbrp negara), hanya saja, kuncinya ada di pengawasan. Mas Budi sempat kirim fax ke Rig tempat saya bekerja sbb: Mas sh, terlampir adalah analisa sensitifitas dari biaya operasi dan biaya investasi, pengaruhnya terhadap perolehan uang pemanen mangga ([EMAIL PROTECTED]). Idealnya, grafik tersebut adalah securam mungkin, sehingga semakin besar biaya, maka pendapatan pemanen mangga akan semakin jauh berkurang. Tampak untuk sawah kita, grafiknya (khususnya untuk biaya operasi/pocost) tidak securam negara-2 tetangga, jadi mandor-2 yang jaga kebun mangga kita harus kerja ekstra keras biar hasil kebun mangga kita lumayan. Tentang mengapa di Thailand, Cambodia dan Brunei kok pemanen mangga dapat uang lebih banyak untukpengeluaran yang sama, mungkin ini karena faktor resiko di negara tersebut lebih besar (resiko geologis, sosial, politik, keamanan). Apa betul secara geologis? Selamat mandoran kebun mangga kita. (mas Budi melengkapi komentarnya dengan dua grafik, salah satu grafik Operating Cost Sensitivity: Thailand, Brunei, Cambodia, Indonesia, dan Malaysia. Dari grafik terlihat bahwa untuk Indonesia memang lebih landai). Dalam suatu obrolan, mas Budi katakan bahwa di negara tetangga yang mengadopsi PSC ada klausal: Revenue/Cost. Kalau hasilnya bagus (revenue besar, cost kecil) maka SPLIT yang diperoleh investor akan lebih bagus, tidak sekedar 85% dan 15% tetapi mungkin 80% -20% misalnya. Jadi di sini para investor akan melakukan self-effeciency. Ada juga komentar dari pakar, ...Model PSC dengan segala kelebihan dan kekurangannya perlu dievaluasi terus menerus agar tercipta situasi win-win. Kunci keberhasilan model bisnis PSC sebetulnya ada pada pengawasan. Semoga sistem PSC akan ada perubahan/perbaikan untuk kita. Salam hangat, Sugeng - Original Message - From: Andang Bachtiar [EMAIL PROTECTED] To: iagi-net@iagi.or.id Sent: Thursday, January 24, 2008 10:26 AM Subject: Re: [iagi-net-l] Cost Recovery Capai US$ 8,33 Miliar Selama 2007 Dod,... di dalam perhitungan internal perusahaan dan untuk kepentingan evaluasi prospek (ranking, risk, economics, dsb) biaya untuk usaha-usaha eksplorasi di blok yang berproduksi di Indonesia bisa juga disebut sebagai dan/atau dimasukkan kedalam kategori finding-cost, no problem at all. Tetapi, menurut pemahamanku ttg aturan kontrak PSC dan prakteknya yang terjadi selama ini, begitu suatu blok berproduksi dari suatu discovered field, maka finding-cost dari lapangan-lapangan lain akan dikonsolidasikan dalam overall block-cost. Jadi terminologi finding cost dalam PSC term kita nampaknya hanya berguna / diapresiasi pada waktu penemuan lapangan komersial yang pertama. Setelah itu, cost2 sejenis akan dimasukkan sebagai production cost dari block tersebut. Usulan sampeyan untuk tidak mengutak-atik (existing) PSC tapi meredefinisi cost-recovery dg tanpa memasukkan finding cost lapangan ke 2, 3 dst (apalagi kalau juga mencakup lapangan pertama), maka itu sama saja dengan membangkitkan macan IPA tidur (?) Mungkin untuk next PSC dalam tender2 mendatang bisa kita usulkan term-term sampeyan tersebut. Masih sangat terbuka kemungkinan berkontribusi pemikiran ke kawan2 di Migas (Ditjen, BPMigas) dalam rangka perubahan PSC (mendatang). Malah dalam bulan2 terakhir ini makin santer Pak Dirjen dan Pak Ka BPMigas dan Pak Menteri me-wacana-kan perubahan PSC tersebut. Ayo, rek . podho ngomongo Salam Andang Bachtiar Exploration Think Tank Indonesia - Original Message - From: Doddy Suryanto [EMAIL PROTECTED] To: iagi-net@iagi.or.id Sent: Thursday, January 24, 2008 9:58 AM Subject: RE: [iagi-net-l] Cost Recovery Capai US$ 8,33 Miliar Selama 2007 Sam, apakah usaha2 eksplorasi (seismik, gg, dsb) di blok-blok yang sudah berproduksi tidak bisa dimasukkan dalam finding cost? Apakah production cost yang ada di sistem sekarang mencakup finding and development cost (FD) yang dalam hal ini lifting cost masuk dalam kategori development cost? Kalo memang system PSC susah dirubahnya, apakah bisa yang finding cost ini ngga masuk cost recovery? -doddy- -Original Message- From: Andang Bachtiar [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Thursday, 24 January, 2008 9:40 AM To: iagi-net@iagi.or.id Subject: Re: [iagi-net-l] Cost Recovery Capai US$ 8,33 Miliar Selama 2007 Production cost tersebut juga bukan real secara teknis semata-mata terkait dengan proses produksi dari lapangan-lapangan yang ada, tapi juga mencakup cost dari eksplorasi di blok-blok yang sudah berproduksi. Hal ini dimungkinkan karena sistim PSC yang sekarang berjalan di Indonesia juga mengakomodasi cost-recovery dari usaha2 eksplorasi (seismik, drilling, gg, dsb) di blok-blok yang sudah berproduksi. Dengan
[iagi-net-l] Fwd: [IndoEnergy] Putusan MK atas JR jilid 2 Pada UU Migas
Barangkali ada rekan yang tertarik bagaiman akisah Judical Review (JR) UU Migas RDP -- Forwarded message -- From: Mumu Muhajir [EMAIL PROTECTED] Date: 2008/1/24 Subject: [IndoEnergy] Putusan MK atas JR jilid 2 Pada UU Migas To: indo [EMAIL PROTECTED] Ini hanya monitoring dari jauh saja sebuah kasus JR [judicial review] yang dimohonkan oleh delapan anggota DPR atas UU No 22 tahun 2001 tentang migas ke Mahkamah Konstitusi. Ini merupakan JR kedua atas UU yang sama. Jalannya Persidangan Diawali dengan permohonan dari pemohon [Zainal Arifin, Sonny Keraf, Alvin Lie, Ismayatun, Hendarso Hadiparnomo, Bambang Wuyanto, Dradjat Wibowo, Tjatur Sapto Edi] pada tanggal 9 Juli 2007. Sidang dimulai pada 1 Agustus 2007 dan pembacaan keputusan pada tanggal 17 Desember 2007. Keterangan yang didengarkan adalah dari Pemerintah, dari DPR, serta masing-masing dua ahli dari pemerintah [Hikmahanto Juwana dan Zen Purba] dan pemohon [Ryad Chairil dan Muhammad Sair Nisar]. Duduk Soal Bagi 8 anggota DPR: 1. Anggota DPR punya legal standing dan karenanya bisa mengajukan JR. 2. KKS telah bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak disetujui terlebih dahulu oleh DPR. Hal itu disebabkan karena KKS adalah salah satu contoh dari perjanjian internasional lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Ayat 2 UUD 1945 yang karenanya harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari DPR. Sementara berdasarkan Pasal 11 Ayat 2 UU Migas, KKS hanya perlu diberitahukan secara tertulis kepada DPR. 3. Ketiadaan pengawasan dari DPR itu telah menyebabkan pihak pemohon mengalami kerugian konstitusional yang spesifik dan aktual atau potensial mengalami kerugian. Bagi Pemerintah 1. KKS adalah masalah Bisnis; bukan masalah publik karenanya KKS tidaklah diatur dengan hukum internasional sehingga tidak masuk dalam pengertian perjanjian internasional lainnya. 2.Posisi sebagai anggota DPR dipertanyakan legal standingnya. Contohnya karena mereka juga terlibat dalam pembuatan UU Migas - thus seharusnya bukan JR, tetapi amandemen UU Migas atau legislatif review.-- pendapat ini diperkuat juga oleh DPR. Putusan MK No. 20/PUU-V/2007 Keputusan MK adalah Tidak Menerima Permohonan - lebih karena tidak adanya legal standing bagi anggota DPR yang mengajukan permohonan itu. Pokok Masalah itu sendiri karenanya tidak diperiksa. Tetapi ada dua keputusan berbeda atawa Dissenting Opinion [Hakim MK Harjono dan Maruarar Siahaan], yang keduanya berpendapat bahwa pemohon yang anggota DPR mempunyai legal standing mengingat bahwa UUD 1945 telah memberikan hak konstitusional baik kepada anggota DPR maupun kepada DPR-nya sendiri. Ini sama dengan keputusan MK dalam perkara JR UU Praktek Kedokteran dimana MK menerima legal standing dari anggota warga negara dalam kedudukannya sebagai dokter [karena UU itu mengatur mengenai dokter] dan menolak legal standing warga negara lain karena kedudukannya sebagai pasien. Bagi Maruarar Siahaan, UUD 1945 adalah hukum Materiil dan formilnya adalah UU MK. Sehingga jika ada ...Hak yang diberikan oleh konstitusi, maka hukum acara MK harus memberi peluang kepada subjek tersebut untuk mengajukan gugatan Dalam perkara ini adalah hak konstitusional anggota DPR dalam mengajukan pendapat. Dalam memeriksa pokok perkaranya, keputusan berbeda ini [dissenting opinion] sejalan dengan pendapat Pemerintah yang berpendapat bahwa KKS adalah masalah hukum perdata sehingga dia tidak termasuk dalam pengertian perjanjian Internasional sebagaimana ditentukan dalam Pasal 11 ayat 2 UUD 1945 atau sebagaimana disebutkan dalam konvensi Wina. Dengan demikian menolak permohonan pemohon bahwa Pasal 11 Ayat 2 UU Migas bertentangan dengan Pasal 11 Ayat 2 UUD 1945. Tetapi, keputusan berbeda ini mengabulkan keberatan pemohon dalam masalah tidak adanya kewenangan pengawasan dari DPR dalam pengurusan KKS yang berupa pemberian persetujuan DPR kepada kontrak KKS. Karena selama ini, berbeda dengan permohonan bagi KK/PKP2B yang diharuskan adanya konsultasi terlebih dahulu dengan DPR, dalam hal KKS hanya perlu dengan pemberitahuan secara tertulis kepada DPR. Padahal semua kontrak dimaksud mengatur persoalan yang sama yakni SDA yang dalam konstitusi pengurusannya didasarkan pada pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Sehingga Pasal 11 ayat 2 UU Migas bertentangan dengan UUD 1945 dalam hal ketiadaan pengawasan dari DPR atau bertentangan dengan Pasal 20A UUD 1945 tentang Hak pengawasan DPR. Selain itu Pasal 11 Ayat 2 UU Migas juga bertentangan dengan mekanisme standar pengurusan kekayaan sumberdaya alam yang dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat atau bertentangan dengan Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945. Komentar Sangat disayangkan sebenarnya kasus ini tidak diterima karena hanya masalah ketiadaan legal standing dari pihak pemohon. Padahal jika bisa diteruskan pemeriksaan pada pokok perkaranya, barangkali akan sangat menarik. Karena setidaknya akan memperjelas pengaturan/pengelolaan SDA bahan galian strategis yang dimiliki Indonesia. Memang, agak
[iagi-net-l] Petrophysics - Penentuan Transition Zone
Mungkin ada yang share bagaimana caranya menentukan transition zone di zona minyak. Saat ini yang sering saya lakukan adalah dengan membuat Kurva Swirr dari log NMR yang dioverlay dengan kurva Sw nya. Harga yang sama dari Swirr dan Swirr menunjukan kalo reservoar tersebut dalam kondisi Swirr. Sw yang mulai melengceng dari kurva Swirr merupakan awal dari zona transisi. Ini penting untuk memahami apakah nanti reservoarnya memproduksi air (movable water) atau tidak (free-water production) selama test produksi. Cara kedua adalah dengan membuat Buckle plot yaitu crossplot antara Por (axis x) dan Sw (axis y). Kalo titik titik penyebaran dua harga tersebut mendekati parabolik, berarti menunjukan zona yang dalam kondisi Swirr, kalo scattered, berarti airnya dalam kondisi movable. Apakah cara diatas reliable atau mungkin ada cara laen untuk mengetahui apakah reservoar dalam kondisi Swirr atau airnya movable? Trims sebelumnya Shofi
Re: [iagi-net-l] Fwd: [IndoEnergy] Putusan MK atas JR jilid 2 Pada UU Migas
Rekan rekan Walaupun DPR tidak secara formal harus menyetujui KKS sebelum diTT , dalam pelaksanaan operasinya pengawasan yang dilakukan oleh DPR cukup intensif kok. Coba saja baca dikoran selama Cepu menjadi head lines , berapa kali tuh anggota DPR meninjau lapangan , saking seriusnya mereka harus nginep kok di Surabaya . Kalau pake istilah pasaran sih , buat apa dibikin susah kalau bisa dibikan mudah. Sudah cukup banyak hambatan hambatan birokrasi yang sangat mengganggu lancarnya investasi dalam bidang Migas dan mineral di Indonesia ini . Yang penting yang harus diawasi adalah pelaksanaan operasinya ,termasuk bagaimana dalam operasi operasi itu dapat mencapai sebesar-besarnya keuntungan bagi bangsa Indonesia termasuk perusahaan nasional , tenaga ahli nasional dsb. Saya kok sudah bosen melihat gambar dikoran , yang menngambarkan Sidang Paripurna yang penuh dengan kursi kosong , dan kemudian menghasilkan UU - yang sebenarnya menentukan hal yang sangat penting. Jadi nanya niiih Apa perlu ada DPR ya ? hehehe gila si Abah ! Si-Abah Barangkali ada rekan yang tertarik bagaiman akisah Judical Review (JR) UU Migas RDP -- Forwarded message -- From: Mumu Muhajir [EMAIL PROTECTED] Date: 2008/1/24 Subject: [IndoEnergy] Putusan MK atas JR jilid 2 Pada UU Migas To: indo [EMAIL PROTECTED] Ini hanya monitoring dari jauh saja sebuah kasus JR [judicial review] yang dimohonkan oleh delapan anggota DPR atas UU No 22 tahun 2001 tentang migas ke Mahkamah Konstitusi. Ini merupakan JR kedua atas UU yang sama. Jalannya Persidangan Diawali dengan permohonan dari pemohon [Zainal Arifin, Sonny Keraf, Alvin Lie, Ismayatun, Hendarso Hadiparnomo, Bambang Wuyanto, Dradjat Wibowo, Tjatur Sapto Edi] pada tanggal 9 Juli 2007. Sidang dimulai pada 1 Agustus 2007 dan pembacaan keputusan pada tanggal 17 Desember 2007. Keterangan yang didengarkan adalah dari Pemerintah, dari DPR, serta masing-masing dua ahli dari pemerintah [Hikmahanto Juwana dan Zen Purba] dan pemohon [Ryad Chairil dan Muhammad Sair Nisar]. Duduk Soal Bagi 8 anggota DPR: 1. Anggota DPR punya legal standing dan karenanya bisa mengajukan JR. 2. KKS telah bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak disetujui terlebih dahulu oleh DPR. Hal itu disebabkan karena KKS adalah salah satu contoh dari perjanjian internasional lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Ayat 2 UUD 1945 yang karenanya harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari DPR. Sementara berdasarkan Pasal 11 Ayat 2 UU Migas, KKS hanya perlu diberitahukan secara tertulis kepada DPR. 3. Ketiadaan pengawasan dari DPR itu telah menyebabkan pihak pemohon mengalami kerugian konstitusional yang spesifik dan aktual atau potensial mengalami kerugian. Bagi Pemerintah 1. KKS adalah masalah Bisnis; bukan masalah publik karenanya KKS tidaklah diatur dengan hukum internasional sehingga tidak masuk dalam pengertian perjanjian internasional lainnya. 2.Posisi sebagai anggota DPR dipertanyakan legal standingnya. Contohnya karena mereka juga terlibat dalam pembuatan UU Migas - thus seharusnya bukan JR, tetapi amandemen UU Migas atau legislatif review.-- pendapat ini diperkuat juga oleh DPR. Putusan MK No. 20/PUU-V/2007 Keputusan MK adalah Tidak Menerima Permohonan - lebih karena tidak adanya legal standing bagi anggota DPR yang mengajukan permohonan itu. Pokok Masalah itu sendiri karenanya tidak diperiksa. Tetapi ada dua keputusan berbeda atawa Dissenting Opinion [Hakim MK Harjono dan Maruarar Siahaan], yang keduanya berpendapat bahwa pemohon yang anggota DPR mempunyai legal standing mengingat bahwa UUD 1945 telah memberikan hak konstitusional baik kepada anggota DPR maupun kepada DPR-nya sendiri. Ini sama dengan keputusan MK dalam perkara JR UU Praktek Kedokteran dimana MK menerima legal standing dari anggota warga negara dalam kedudukannya sebagai dokter [karena UU itu mengatur mengenai dokter] dan menolak legal standing warga negara lain karena kedudukannya sebagai pasien. Bagi Maruarar Siahaan, UUD 1945 adalah hukum Materiil dan formilnya adalah UU MK. Sehingga jika ada ...Hak yang diberikan oleh konstitusi, maka hukum acara MK harus memberi peluang kepada subjek tersebut untuk mengajukan gugatan Dalam perkara ini adalah hak konstitusional anggota DPR dalam mengajukan pendapat. Dalam memeriksa pokok perkaranya, keputusan berbeda ini [dissenting opinion] sejalan dengan pendapat Pemerintah yang berpendapat bahwa KKS adalah masalah hukum perdata sehingga dia tidak termasuk dalam pengertian perjanjian Internasional sebagaimana ditentukan dalam Pasal 11 ayat 2 UUD 1945 atau sebagaimana disebutkan dalam konvensi Wina. Dengan demikian menolak permohonan pemohon bahwa Pasal 11 Ayat 2 UU Migas bertentangan dengan Pasal 11 Ayat 2 UUD 1945. Tetapi, keputusan berbeda ini
Re: [iagi-net-l] Cost Recovery Capai US$ 8,33 Miliar Selama 2007
Kalau jadi, kontrak PSC yang akan datang (rencananya akan mulai diterapkan kepada 26 blok yang sekarang sedang ditawarkan) akan mengalami perubahan besar soal sunk cost, komersialitas blok/lapangan, cost recovery dan relinquishment. Perubahannya begitu signifikan sahingga boleh saja kalau mau kita sebut sebagai PSC generasi baru. Jadi diberlakukan atau tidak kita lihat nanti. Komersialitas blok oleh lapangan pertama tidak akan lagi menjadi tiket untuk cost recovery kegiatan2 eksplorasi berikutnya bila lapangan ke-2, ke-3 dan seterusnya tidak ditemukan dan dikembangkan. Di kontrak PSC lama, setelah lapangan pertama ditemukan dan blok menjadi komersial maka seluruh usaha eksplorasi berikutnya akan bisa di-cost recovery baik ia gagal maupun berhasil, jadi lapangan atau tidak. Apa pun yang dibelanjakan akan diganti. Sistem ini telah mendorong PSC2 melakukan eksplorasi kurang hati2, tokh biayanya akan diganti ini. Di sistem PSC baru nanti, biaya eksplorasi setelah lapangan pertama akan dianggap sebagai upaya untuk menemukan lapangan ke-dua. Bila lapangan kedua ditemukan dan dapat dikembangkan menjadi lapangan maka biaya2 eksplorasi setelah lapangan kedua itu bisa di-cost recovery; bila tidak jadi lapangan,maka biaya2 tersebut sepenuhnya menjadi tanggungan PSC. Upaya2 eksplorasi setelah lapangan kedua akan dianggap sebagai upaya menemukan lapangan ke-3. Bila gagal menemukan lapangan ke-3, maka biaya2 itu tak bisa di-cost recovery, bila lapangan ke-3 ditemukan, upaya2 eksplorasi untuk menemukannya bisa di-cost recovery, dst..dst.. Aturan baru itu disertai aturan baru relinquishment. Relinquishment terakhir akan dilakukan pada akhir tahun ke-8 dan hanya mempertahankan lapangan2 yang sudah ditemukan. Area di luar lapangan harus dikembalikan ke Pemerintah. Ini untuk mengatasi banyaknya lahan2 tidur yang tetap dimiliki PSC sementara investor baru yang berminat tidak bisa masuk. Aturan lain adalah bahwa bonus tanda-tangan kontrak akan disesuaikan dengan jumlah sumberdaya di dalam blok itu, semakin kaya semakin tinggi bonusnya. Masih ada beberapa lagi hal signifikan yang akan berubah dalam kontrak PSC kita. Itu kalau jadi diberlakukan. Untuk diberlakukan akan banyak bergantung kepada banyak faktor teknis dan nonteknis, politik dan nonpolitik. Saya pribadi berpendapat bahwa sudah saatnya diberlakukan perubahan2 signifikan atas kontrak saat ini. Pemerintah kita menjual terlalu murah untuk lahannya yang subur. Dalam investasi migas internasional pun berlaku bahwa barang bagus harganya mahal, tetapi di Indonesia sering terjadi barang bagus malah diobral, setelah itu tidak pula ada jaminan bahwa si pemilik barang mendapatkan uangnya. Menyedihkan. Sudah saatnya berubah ! salam, awang (anggota tim penilai teknis tender WKP migas CBM) Andang Bachtiar [EMAIL PROTECTED] wrote: Dod,... di dalam perhitungan internal perusahaan dan untuk kepentingan evaluasi prospek (ranking, risk, economics, dsb) biaya untuk usaha-usaha eksplorasi di blok yang berproduksi di Indonesia bisa juga disebut sebagai dan/atau dimasukkan kedalam kategori finding-cost, no problem at all. Tetapi, menurut pemahamanku ttg aturan kontrak PSC dan prakteknya yang terjadi selama ini, begitu suatu blok berproduksi dari suatu discovered field, maka finding-cost dari lapangan-lapangan lain akan dikonsolidasikan dalam overall block-cost. Jadi terminologi finding cost dalam PSC term kita nampaknya hanya berguna / diapresiasi pada waktu penemuan lapangan komersial yang pertama. Setelah itu, cost2 sejenis akan dimasukkan sebagai production cost dari block tersebut. Usulan sampeyan untuk tidak mengutak-atik (existing) PSC tapi meredefinisi cost-recovery dg tanpa memasukkan finding cost lapangan ke 2, 3 dst (apalagi kalau juga mencakup lapangan pertama), maka itu sama saja dengan membangkitkan macan IPA tidur (?) Mungkin untuk next PSC dalam tender2 mendatang bisa kita usulkan term-term sampeyan tersebut. Masih sangat terbuka kemungkinan berkontribusi pemikiran ke kawan2 di Migas (Ditjen, BPMigas) dalam rangka perubahan PSC (mendatang). Malah dalam bulan2 terakhir ini makin santer Pak Dirjen dan Pak Ka BPMigas dan Pak Menteri me-wacana-kan perubahan PSC tersebut. Ayo, rek . podho ngomongo Salam Andang Bachtiar Exploration Think Tank Indonesia - Original Message - From: Doddy Suryanto To: Sent: Thursday, January 24, 2008 9:58 AM Subject: RE: [iagi-net-l] Cost Recovery Capai US$ 8,33 Miliar Selama 2007 Sam, apakah usaha2 eksplorasi (seismik, gg, dsb) di blok-blok yang sudah berproduksi tidak bisa dimasukkan dalam finding cost? Apakah production cost yang ada di sistem sekarang mencakup finding and development cost (FD) yang dalam hal ini lifting cost masuk dalam kategori development cost? Kalo memang system PSC susah dirubahnya, apakah bisa yang finding cost ini ngga masuk cost recovery? -doddy- -Original Message-
Re: [iagi-net-l] Re: [IndoEnergy] Cost Recovery Capai US$ 8, 33 Miliar Selama 2007 (Hanya US$ 14,46/Bbl)
Vick Jangan jangan Anda sudah memakai ilmu ahli komunikasi publik , yanitu buat berita yang menyangkut kepentingan orang banyak yang SALAH , agar muncul reaksi , Apa begitu , heheheh. Mas Sugeng Sebenarnya sisitim PSC itu konsepnya sangat sederhana , hanya dalam aplikasi-nya sering sering menjadi agak kompleks . Akan menjadi bertambah kompleks lagi kalau sudah ada kepentingan kepentingan untuk mendapatkan CR se-besar2 nya dengan memasukan kegiatan diluar daerah yang sudah berproduksi dapat segera direcover, lebih kompleks lagi kalau se-banyak2nya staf dari homo office dapat dibayar oleh CR , lebih kompleks lagi kalau teknologi home office dapat dimanfaatkan di Inonesia walaupun di Indonesia sudah ada.Dan cara cara canggih lainnya. Jadi kompleksitas perhitungan akan muncul kalau bertambah banyak interest dari berbagai fihak., terutama dari Kontraktor Kontraktor. Jadi memang kuncinya adalah pada pengawasan operasi baik secara teknis , adminitrasi dan terutama keuangan. Semoga kawan kawan di BP Migas diberi kekuatan Iman agar dapat melakukan tugasnya dengan baik . Amin UU - Migas sebenarnya tidak mengharuskan sistim HARUS Production Sharing , bisa juga yang lain asal paling menguntungkan bagi negara . Nah sisitim yang lebih baik dari KPS (dengan segala kelebihandan kekurangannya mungkin beleum ketemu. Si-Abah __ Terimkasih Pak Johand, Betul saya yang ceroboh, perhitungan sederhana saya tadi semestinya memang 14 USD/bbl saja, karena saya seharusnya menghitung minyaknya saja. Walaupun begitu angka USD14USD/barrel pun itu terkesan masih terlalu tinggi. Yang sekarang banyak mengundang pertanyaan adalah perbedaan cara perhitungan Cost dalam industri migas, dimana bisa dibedakan Finding Cost, developement cost, lifting cost dsb. Nah sebenarnya cara sederhana yang kita pakai untuk sebuah negara sepertinya akan jauh berbeda dengan angka yang dipakai oleh perusahaan. Untuk negara tuan-rumah (host country), tentunya menghitung semua biaya yang ditanggungnya. Dalam hal ini termasuk biaya eksplorasi sumur-sumur eksplorasi, seismic survey, geological dll. Beberapa perusahaan ada yang memasukkan sunk cost dalam perhitungannya. Namun bagi negara tuan rumah sunk cost ini ngga pernah dihitung. Jadi membandingkan angka total cost of oil antara negara dengan perusahaan tidak mudah dilakukan. Nah mana yang lebih bagus ? Sepertinya tergantung kebutuhan, terutama kalau menginginkan bench marking dengan negara lain. Sayangnya negara lainpun memiliki PSC term yang berbeda-beda. Finding cost bisa saja dibagi beberapa jenis through exploration atau akuisisi (merger) perusahaan/block, ini bisa jauh berbeda angkanya. Dan sepertinya harga migasnya nantinya juga akan naik dengan sendirinya. Karena pengusaha yng sudah membeli harga minyak ini maunya juga untung. Kalau membeli minyaknya saja sudah mahal tentusaja jualannya harus mahal. Disini aku jadi mumeth kalau diminta membandingkan atau melihat apakah kita (negara atau perusahaan) ini sudah efisien dalam melakukan eksplorasi-produksi migas ? Ada ide bagaimana membandingkan yang lebih pas ? RDP 2008/1/24 Johand Dimalouw [EMAIL PROTECTED]: Rekan RDP yth, Saya kaget membaca itung2 Cost Recovery (CR) anda yg hasilnya menunjukkan CR per barel minyak kita adalah US$ 25/bbl. Jadi saya tepanggil menghitung CR itu dgn dasar angka2 yg sama dengan hasil CR per barel kita adalah US$ 14,46 saja. Saya hanya pakai angka CR US$ 4,8 milyar untuk minyak (anda pakai angka total MIGAS). Bagi saya angka ini lebih wajar, karena kita bisa menggunakan angka CR ini sebagai refleksi Biaya Operasi Investasi per barrel minyak kita. Iseng-isen saya coba hitung CR untuk Chevron (majikan saya dulu) yg saya dengan produksinya sekarang sekitar 500.000 bbl/hari. Dan hasilnya CR untuk Chevron itu US$ 6,21 per barel (cukup dekat dgn angka yg saya tahu dulu sekitar US$ 5 per barel. Terimakasih Johand Dimalouw . *COST RECOVERY-2007* *keterangan* *unit* *CR Total MIGAS* *CR MINYAK TOTAL* *CR PERTAMiNA* *CR CHEVRON* *Cost Recovery* *Milyar USD* *8.33* *4.80* *1.96* *1.13* *Cost Recovery* *USD* *8,330,000,000* *4,802,000,000* *1,956,000,000* *1,133,000,000* *PRODUKSI per hari* * * * * *910,000* *100,000 *)* *500,000 *)* *Produksi per tahun* * * * * *332,150,000* *36,500,000* *182,500,000* * * * * * * * * * * * * *CR/bbl* * * * * *14.46* *53.59* *6.21* Catatan: *) perkiraan kasar saja - Original Message From: Rovicky Dwi Putrohari [EMAIL PROTECTED] To: iagi-net@iagi.or.id; [EMAIL PROTECTED]; Forum Himpunan Ahli Geofisika Indonesia [EMAIL PROTECTED]; migas indonesia [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED] Sent:
Re: [iagi-net-l] Cost Recovery Capai US$ 8,33 Miliar Selama 2007
Awang Rasanya kalau ini dilaksanakan akan mirip mirip Malaysia ya ? Ndak apa ya , kan biasanya mrid lebih pintar dari gurunya Si-Abah _ Kalau jadi, kontrak PSC yang akan datang (rencananya akan mulai diterapkan kepada 26 blok yang sekarang sedang ditawarkan) akan mengalami perubahan besar soal sunk cost, komersialitas blok/lapangan, cost recovery dan relinquishment. Perubahannya begitu signifikan sahingga boleh saja kalau mau kita sebut sebagai PSC generasi baru. Jadi diberlakukan atau tidak kita lihat nanti. Komersialitas blok oleh lapangan pertama tidak akan lagi menjadi tiket untuk cost recovery kegiatan2 eksplorasi berikutnya bila lapangan ke-2, ke-3 dan seterusnya tidak ditemukan dan dikembangkan. Di kontrak PSC lama, setelah lapangan pertama ditemukan dan blok menjadi komersial maka seluruh usaha eksplorasi berikutnya akan bisa di-cost recovery baik ia gagal maupun berhasil, jadi lapangan atau tidak. Apa pun yang dibelanjakan akan diganti. Sistem ini telah mendorong PSC2 melakukan eksplorasi kurang hati2, tokh biayanya akan diganti ini. Di sistem PSC baru nanti, biaya eksplorasi setelah lapangan pertama akan dianggap sebagai upaya untuk menemukan lapangan ke-dua. Bila lapangan kedua ditemukan dan dapat dikembangkan menjadi lapangan maka biaya2 eksplorasi setelah lapangan kedua itu bisa di-cost recovery; bila tidak jadi lapangan,maka biaya2 tersebut sepenuhnya menjadi tanggungan PSC. Upaya2 eksplorasi setelah lapangan kedua akan dianggap sebagai upaya menemukan lapangan ke-3. Bila gagal menemukan lapangan ke-3, maka biaya2 itu tak bisa di-cost recovery, bila lapangan ke-3 ditemukan, upaya2 eksplorasi untuk menemukannya bisa di-cost recovery, dst..dst.. Aturan baru itu disertai aturan baru relinquishment. Relinquishment terakhir akan dilakukan pada akhir tahun ke-8 dan hanya mempertahankan lapangan2 yang sudah ditemukan. Area di luar lapangan harus dikembalikan ke Pemerintah. Ini untuk mengatasi banyaknya lahan2 tidur yang tetap dimiliki PSC sementara investor baru yang berminat tidak bisa masuk. Aturan lain adalah bahwa bonus tanda-tangan kontrak akan disesuaikan dengan jumlah sumberdaya di dalam blok itu, semakin kaya semakin tinggi bonusnya. Masih ada beberapa lagi hal signifikan yang akan berubah dalam kontrak PSC kita. Itu kalau jadi diberlakukan. Untuk diberlakukan akan banyak bergantung kepada banyak faktor teknis dan nonteknis, politik dan nonpolitik. Saya pribadi berpendapat bahwa sudah saatnya diberlakukan perubahan2 signifikan atas kontrak saat ini. Pemerintah kita menjual terlalu murah untuk lahannya yang subur. Dalam investasi migas internasional pun berlaku bahwa barang bagus harganya mahal, tetapi di Indonesia sering terjadi barang bagus malah diobral, setelah itu tidak pula ada jaminan bahwa si pemilik barang mendapatkan uangnya. Menyedihkan. Sudah saatnya berubah ! salam, awang (anggota tim penilai teknis tender WKP migas CBM) Andang Bachtiar [EMAIL PROTECTED] wrote: Dod,... di dalam perhitungan internal perusahaan dan untuk kepentingan evaluasi prospek (ranking, risk, economics, dsb) biaya untuk usaha-usaha eksplorasi di blok yang berproduksi di Indonesia bisa juga disebut sebagai dan/atau dimasukkan kedalam kategori finding-cost, no problem at all. Tetapi, menurut pemahamanku ttg aturan kontrak PSC dan prakteknya yang terjadi selama ini, begitu suatu blok berproduksi dari suatu discovered field, maka finding-cost dari lapangan-lapangan lain akan dikonsolidasikan dalam overall block-cost. Jadi terminologi finding cost dalam PSC term kita nampaknya hanya berguna / diapresiasi pada waktu penemuan lapangan komersial yang pertama. Setelah itu, cost2 sejenis akan dimasukkan sebagai production cost dari block tersebut. Usulan sampeyan untuk tidak mengutak-atik (existing) PSC tapi meredefinisi cost-recovery dg tanpa memasukkan finding cost lapangan ke 2, 3 dst (apalagi kalau juga mencakup lapangan pertama), maka itu sama saja dengan membangkitkan macan IPA tidur (?) Mungkin untuk next PSC dalam tender2 mendatang bisa kita usulkan term-term sampeyan tersebut. Masih sangat terbuka kemungkinan berkontribusi pemikiran ke kawan2 di Migas (Ditjen, BPMigas) dalam rangka perubahan PSC (mendatang). Malah dalam bulan2 terakhir ini makin santer Pak Dirjen dan Pak Ka BPMigas dan Pak Menteri me-wacana-kan perubahan PSC tersebut. Ayo, rek . podho ngomongo Salam Andang Bachtiar Exploration Think Tank Indonesia - Original Message - From: Doddy Suryanto To: Sent: Thursday, January 24, 2008 9:58 AM Subject: RE: [iagi-net-l] Cost Recovery Capai US$ 8,33 Miliar Selama 2007 Sam, apakah usaha2 eksplorasi (seismik, gg, dsb) di blok-blok yang sudah berproduksi tidak bisa dimasukkan dalam finding cost?
Re: [iagi-net-l] Cost Recovery Capai US$ 8,33 Miliar Selama 2007
PakAwang, Waduh.seandainya itu terlaksana dan bisa diimplementasi, saya akan bilang ini merupakan lompatan jauh kedepan. Lha kalau bisa diberlakukan surut (undang-undang kita kan biasanya sepertiitu ya?), hmmm, itu bener bener quantum leap... Capek ya, mengejar-ngejar komitmen? Salam, Bambang - Original Message From: Awang Satyana [EMAIL PROTECTED] To: iagi-net@iagi.or.id; Forum HAGI [EMAIL PROTECTED]; Geo Unpad [EMAIL PROTECTED] Sent: Friday, January 25, 2008 11:34:20 AM Subject: Re: [iagi-net-l] Cost Recovery Capai US$ 8,33 Miliar Selama 2007 Kalau jadi, kontrak PSC yang akan datang (rencananya akan mulai diterapkan kepada 26 blok yang sekarang sedang ditawarkan) akan mengalami perubahan besar soal sunk cost, komersialitas blok/lapangan, cost recovery dan relinquishment. Perubahannya begitu signifikan sahingga boleh saja kalau mau kita sebut sebagai PSC generasi baru. Jadi diberlakukan atau tidak kita lihat nanti. Komersialitas blok oleh lapangan pertama tidak akan lagi menjadi tiket untuk cost recovery kegiatan2 eksplorasi berikutnya bila lapangan ke-2, ke-3 dan seterusnya tidak ditemukan dan dikembangkan. Di kontrak PSC lama, setelah lapangan pertama ditemukan dan blok menjadi komersial maka seluruh usaha eksplorasi berikutnya akan bisa di-cost recovery baik ia gagal maupun berhasil, jadi lapangan atau tidak. Apa pun yang dibelanjakan akan diganti. Sistem ini telah mendorong PSC2 melakukan eksplorasi kurang hati2, tokh biayanya akan diganti ini. Di sistem PSC baru nanti, biaya eksplorasi setelah lapangan pertama akan dianggap sebagai upaya untuk menemukan lapangan ke-dua. Bila lapangan kedua ditemukan dan dapat dikembangkan menjadi lapangan maka biaya2 eksplorasi setelah lapangan kedua itu bisa di-cost recovery; bila tidak jadi lapangan,maka biaya2 tersebut sepenuhnya menjadi tanggungan PSC. Upaya2 eksplorasi setelah lapangan kedua akan dianggap sebagai upaya menemukan lapangan ke-3. Bila gagal menemukan lapangan ke-3, maka biaya2 itu tak bisa di-cost recovery, bila lapangan ke-3 ditemukan, upaya2 eksplorasi untuk menemukannya bisa di-cost recovery, dst..dst.. Aturan baru itu disertai aturan baru relinquishment. Relinquishment terakhir akan dilakukan pada akhir tahun ke-8 dan hanya mempertahankan lapangan2 yang sudah ditemukan. Area di luar lapangan harus dikembalikan ke Pemerintah. Ini untuk mengatasi banyaknya lahan2 tidur yang tetap dimiliki PSC sementara investor baru yang berminat tidak bisa masuk. Aturan lain adalah bahwa bonus tanda-tangan kontrak akan disesuaikan dengan jumlah sumberdaya di dalam blok itu, semakin kaya semakin tinggi bonusnya. Masih ada beberapa lagi hal signifikan yang akan berubah dalam kontrak PSC kita. Itu kalau jadi diberlakukan. Untuk diberlakukan akan banyak bergantung kepada banyak faktor teknis dan nonteknis, politik dan nonpolitik. Saya pribadi berpendapat bahwa sudah saatnya diberlakukan perubahan2 signifikan atas kontrak saat ini. Pemerintah kita menjual terlalu murah untuk lahannya yang subur. Dalam investasi migas internasional pun berlaku bahwa barang bagus harganya mahal, tetapi di Indonesia sering terjadi barang bagus malah diobral, setelah itu tidak pula ada jaminan bahwa si pemilik barang mendapatkan uangnya. Menyedihkan. Sudah saatnya berubah ! salam, awang (anggota tim penilai teknis tender WKP migas CBM) Andang Bachtiar [EMAIL PROTECTED] wrote: Dod,... di dalam perhitungan internal perusahaan dan untuk kepentingan evaluasi prospek (ranking, risk, economics, dsb) biaya untuk usaha-usaha eksplorasi di blok yang berproduksi di Indonesia bisa juga disebut sebagai dan/atau dimasukkan kedalam kategori finding-cost, no problem at all. Tetapi, menurut pemahamanku ttg aturan kontrak PSC dan prakteknya yang terjadi selama ini, begitu suatu blok berproduksi dari suatu discovered field, maka finding-cost dari lapangan-lapangan lain akan dikonsolidasikan dalam overall block-cost. Jadi terminologi finding cost dalam PSC term kita nampaknya hanya berguna / diapresiasi pada waktu penemuan lapangan komersial yang pertama. Setelah itu, cost2 sejenis akan dimasukkan sebagai production cost dari block tersebut. Usulan sampeyan untuk tidak mengutak-atik (existing) PSC tapi meredefinisi cost-recovery dg tanpa memasukkan finding cost lapangan ke 2, 3 dst (apalagi kalau juga mencakup lapangan pertama), maka itu sama saja dengan membangkitkan macan IPA tidur (?) Mungkin untuk next PSC dalam tender2 mendatang bisa kita usulkan term-term sampeyan tersebut. Masih sangat terbuka kemungkinan berkontribusi pemikiran ke kawan2 di Migas (Ditjen, BPMigas) dalam rangka perubahan PSC (mendatang). Malah dalam bulan2 terakhir ini makin santer Pak Dirjen dan Pak Ka BPMigas dan Pak Menteri me-wacana-kan perubahan PSC tersebut. Ayo, rek . podho ngomongo Salam Andang Bachtiar Exploration Think Tank Indonesia - Original Message - From: Doddy Suryanto
RE: [iagi-net-l] Cost Recovery Capai US$ 8,33 Miliar Selama 2007
Pak Awang dan rekan2 ysh, Permisi ikut nimbrung... Ada statement pak Awang yang saya kurang faham. Aturan lain adalah bahwa bonus tanda-tangan kontrak akan disesuaikan dengan jumlah sumberdaya di dalam blok itu, semakin kaya semakin tinggi bonusnya. Apakah yang dimaksud dengan sumberdaya tsb adalah expected HCIP dan expected recovery pada blok tertentu? Sedangkal pengetahuan saya, besaran expected HCIP dan recovery yang dihitung oleh suatu KPS (biasanya dilakukan oleh departemen explorasi atau new ventures) nilainya diperoleh dengan studi awal yang semi regional, mulai dari mapping, prospects/leads inventory, basin modeling, geomodeling, engineering, economics, dll, yang saya yakin banyak bapak/ibu disini yang jauh lebih tahu. Tidak menutup kemungkinan bahwa antara pemerintah (tim teknis BPMigas?), KPS A, KPS B, dan KPS2 lainnya yg meneliti blok ini menghasilkan besaran expected HCIP (sumberdaya blok) yang berbeda-beda, tergantung dari GG play concept, analog yang digunakan, dan parameter-parameter perhitungan yang mereka gunakan saat studi tahap awal explorasi. Ada beberapa kasus dimana 2 lapangan yang berdekatan, yang satunya kaya sedangkan yang satunya lagi miskin. Jadi pada akhirnya, menurut saya, penyesuaian antara besar bonus dan jumlah sumberdaya di blok akan sangat subjektif di mata pemerintah dan para KPS. Atau apakah mungkin bahwa signing fee bisa 'di-adjust' kembali berdasarkan hasil real yang diperoleh pada tahapan appraisal dan development? Dimana pada tahap ini, besaran HCIP bisa jauh lebih besar atau jauh lebih kecil daripada expected HCIP pada tahapan explorasi. Jika ternyata kekayaan blok tersebut lebih besar drpd yang diperkirakan saat explorasi, maka KPS harus bayar sisa bonusnya ke pemerintah berdasarkan prorata. Tapi kalau ternyata blok tersebut sangat 'miskin' atau non-commercial, apakah pemerintah harus 'mengembalikan' signing bonus yang ternyata terlalu besar? Mungkin sulit untuk melakukan hal ini. Mohon pencerahannya... Salam, Andi -Original Message- From: Awang Satyana [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Friday, January 25, 2008 11:34 AM To: iagi-net@iagi.or.id; Forum HAGI; Geo Unpad Subject: Re: [iagi-net-l] Cost Recovery Capai US$ 8,33 Miliar Selama 2007 Kalau jadi, kontrak PSC yang akan datang (rencananya akan mulai diterapkan kepada 26 blok yang sekarang sedang ditawarkan) akan mengalami perubahan besar soal sunk cost, komersialitas blok/lapangan, cost recovery dan relinquishment. Perubahannya begitu signifikan sahingga boleh saja kalau mau kita sebut sebagai PSC generasi baru. Jadi diberlakukan atau tidak kita lihat nanti. Komersialitas blok oleh lapangan pertama tidak akan lagi menjadi tiket untuk cost recovery kegiatan2 eksplorasi berikutnya bila lapangan ke-2, ke-3 dan seterusnya tidak ditemukan dan dikembangkan. Di kontrak PSC lama, setelah lapangan pertama ditemukan dan blok menjadi komersial maka seluruh usaha eksplorasi berikutnya akan bisa di-cost recovery baik ia gagal maupun berhasil, jadi lapangan atau tidak. Apa pun yang dibelanjakan akan diganti. Sistem ini telah mendorong PSC2 melakukan eksplorasi kurang hati2, tokh biayanya akan diganti ini. Di sistem PSC baru nanti, biaya eksplorasi setelah lapangan pertama akan dianggap sebagai upaya untuk menemukan lapangan ke-dua. Bila lapangan kedua ditemukan dan dapat dikembangkan menjadi lapangan maka biaya2 eksplorasi setelah lapangan kedua itu bisa di-cost recovery; bila tidak jadi lapangan,maka biaya2 tersebut sepenuhnya menjadi tanggungan PSC. Upaya2 eksplorasi setelah lapangan kedua akan dianggap sebagai upaya menemukan lapangan ke-3. Bila gagal menemukan lapangan ke-3, maka biaya2 itu tak bisa di-cost recovery, bila lapangan ke-3 ditemukan, upaya2 eksplorasi untuk menemukannya bisa di-cost recovery, dst..dst.. Aturan baru itu disertai aturan baru relinquishment. Relinquishment terakhir akan dilakukan pada akhir tahun ke-8 dan hanya mempertahankan lapangan2 yang sudah ditemukan. Area di luar lapangan harus dikembalikan ke Pemerintah. Ini untuk mengatasi banyaknya lahan2 tidur yang tetap dimiliki PSC sementara investor baru yang berminat tidak bisa masuk. Aturan lain adalah bahwa bonus tanda-tangan kontrak akan disesuaikan dengan jumlah sumberdaya di dalam blok itu, semakin kaya semakin tinggi bonusnya. Masih ada beberapa lagi hal signifikan yang akan berubah dalam kontrak PSC kita. Itu kalau jadi diberlakukan. Untuk diberlakukan akan banyak bergantung kepada banyak faktor teknis dan nonteknis, politik dan nonpolitik. Saya pribadi berpendapat bahwa sudah saatnya diberlakukan perubahan2 signifikan atas kontrak saat ini. Pemerintah kita menjual terlalu murah untuk lahannya yang subur. Dalam investasi migas internasional pun berlaku bahwa barang bagus harganya mahal, tetapi di Indonesia sering terjadi barang bagus malah diobral, setelah itu tidak pula ada jaminan bahwa si pemilik barang mendapatkan uangnya. Menyedihkan. Sudah saatnya berubah ! salam,
RE: [iagi-net-l] Cost Recovery Capai US$ 8,33 Miliar Selama 2007
Sangat sangat bagus sekali kalo terlaksana. Mungkin ini salah satu cara untuk dapat menekan cost recovery untuk sumur2 explorasi yang gagal yang dibebankan ke blok yang telah berproduksi. Apalagi kalo pengawasan yang dilakukan kurang begitu berhasil menekan cost recovery. Setuju dengan Pak Awang bahwa adanya ketentuan yang bisa mendapatkan cost recovery dari sumur2 explorasi di daerah yang berproduksi membuat PSC2 berlomba-lomba ngebor karena toh akhirnya nanti cost recovery. Sebenarnya ada positif dan negatifnya juga dalam hal ini. Positifnya kalo pengeboran explorasinya berhasil ya menambah produksi yang otomatis juga menambah umur dari blok yang berproduksi. Tetapi negatifnya ya kalo ngga berhasil sudah tentu cost recovery jadi membengkak. Buat yang mengawasi tentunya juga menjadi beban soalnya kalo sumur2 explorasi di daerah yang berproduksi ini tidak disetujui bukan tidak mungkin produksi dari blok yang sudah berproduksi jadi menurun kalo tidak menemukan cadangan baru atau bahkan tidak melakukan secondary development plan macam EOR. Jadi kalo memang aturan PSC baru tentang lapangan pertama tidak akan lagi menjadi tiket untuk cost recovery kegiatan2 eksplorasi berikutnya bisa diterapkan, ini akan membuat PSC melakukan screening yang extra agar nantinya sumur2 explorasi yang diajukan dapat bermanfaat bagi PSC sendiri maupun pemerintah. Soalnya kalo sumur explorasi gagal tidak akan dapat cost recovery lagi. Kira2 bagaimana statistic yang ada untuk sumur2 explorasi yang dibor di blok yang berproduksi? Apakah sampai saat ini tingkat success ratio nya masih tinggi? Kalo tidak, apakah kira2 penyebabnya? Untuk aturan yang baru lainnya tentang relinguishment, kira2 seberapa besar lapangan2 yang telah ditemukan bisa dipertahankan? Sebesar closure yang ada atau berupa persentase? Kalo tentang bonus mungkin ada baiknya pake sistem sliding scale rate macam royalty nya Thailand. Jadi kalo dapetnya nanti gedhe ya dapet persentase gedhe trus kalo nantinya kecil ya dapetnya kecil. Hanya sekedar urun rembug saja. We usually find oil in new places with old ideas. Sometimes, also, we find oil in an old place with a new idea, but we seldom find much oil in an old place with an old idea. Parke Dickey, 1958. -doddy- -Original Message- From: Awang Satyana [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Friday, 25 January, 2008 11:34 AM To: iagi-net@iagi.or.id; Forum HAGI; Geo Unpad Subject: Re: [iagi-net-l] Cost Recovery Capai US$ 8,33 Miliar Selama 2007 Kalau jadi, kontrak PSC yang akan datang (rencananya akan mulai diterapkan kepada 26 blok yang sekarang sedang ditawarkan) akan mengalami perubahan besar soal sunk cost, komersialitas blok/lapangan, cost recovery dan relinquishment. Perubahannya begitu signifikan sahingga boleh saja kalau mau kita sebut sebagai PSC generasi baru. Jadi diberlakukan atau tidak kita lihat nanti. Komersialitas blok oleh lapangan pertama tidak akan lagi menjadi tiket untuk cost recovery kegiatan2 eksplorasi berikutnya bila lapangan ke-2, ke-3 dan seterusnya tidak ditemukan dan dikembangkan. Di kontrak PSC lama, setelah lapangan pertama ditemukan dan blok menjadi komersial maka seluruh usaha eksplorasi berikutnya akan bisa di-cost recovery baik ia gagal maupun berhasil, jadi lapangan atau tidak. Apa pun yang dibelanjakan akan diganti. Sistem ini telah mendorong PSC2 melakukan eksplorasi kurang hati2, tokh biayanya akan diganti ini. Di sistem PSC baru nanti, biaya eksplorasi setelah lapangan pertama akan dianggap sebagai upaya untuk menemukan lapangan ke-dua. Bila lapangan kedua ditemukan dan dapat dikembangkan menjadi lapangan maka biaya2 eksplorasi setelah lapangan kedua itu bisa di-cost recovery; bila tidak jadi lapangan,maka biaya2 tersebut sepenuhnya menjadi tanggungan PSC. Upaya2 eksplorasi setelah lapangan kedua akan dianggap sebagai upaya menemukan lapangan ke-3. Bila gagal menemukan lapangan ke-3, maka biaya2 itu tak bisa di-cost recovery, bila lapangan ke-3 ditemukan, upaya2 eksplorasi untuk menemukannya bisa di-cost recovery, dst..dst.. Aturan baru itu disertai aturan baru relinquishment. Relinquishment terakhir akan dilakukan pada akhir tahun ke-8 dan hanya mempertahankan lapangan2 yang sudah ditemukan. Area di luar lapangan harus dikembalikan ke Pemerintah. Ini untuk mengatasi banyaknya lahan2 tidur yang tetap dimiliki PSC sementara investor baru yang berminat tidak bisa masuk. Aturan lain adalah bahwa bonus tanda-tangan kontrak akan disesuaikan dengan jumlah sumberdaya di dalam blok itu, semakin kaya semakin tinggi bonusnya. Masih ada beberapa lagi hal signifikan yang akan berubah dalam kontrak PSC kita. Itu kalau jadi diberlakukan. Untuk diberlakukan akan banyak bergantung kepada banyak faktor teknis dan nonteknis, politik dan nonpolitik. Saya pribadi berpendapat bahwa sudah saatnya diberlakukan perubahan2 signifikan atas kontrak saat ini. Pemerintah kita menjual terlalu murah untuk lahannya yang subur. Dalam