[iagi-net-l] OOT : Cintailah Bahasa Indonesia (Teladan Konsistensi Yus Badudu)
Saat saya seorang murid SMP pada tahun 1977-1980, sekitar 30 tahun yang lalu, saya menjadi penggemar acara Pembinaan Bahasa Indonesia yang ditayangkan satu-satunya stasiun televisi saat itu TVRI. Guru Bahasa Indonesia saya memberikan tugas kepada murid-muridnya untuk memperhatikan acara televisi tersebut dan mencatatnya. Maka, setiap Selasa malam pukul 20.00 saya siap di depan televisi untuk meringkas pembahasan Yus Badudu -ahli Bahasa Indonesia kala itu - yang mengupas kesalahan penggunaan bahasa Indonesia. Tugas sekolah ini telah memupuk kecintaan akan Bahasa Indonesia. Sampai saat ini pun, di TVRI masih ada acara tersebut dalam format wawancara antara ahli bahasa Indonesia dengan pembawa acara Susan Bachtiar membahas persoalan-persoalan kebahasaan. Di mana Yus Badudu (Prof. Dr. Jusuf Syarif Badudu) sekarang ? Yus Badudu (82 tahun) sudah lama pensiun, tinggal bersama isterinya tercinta di Bandung di wilayah Bukit Dago, kini Yus Badudu adalah seorang kakek dengan 23 cucu dari 9 anak dan 9 menantu. Meskipun demikian, sebuah buku baru diterbitkannya seminggu yang lalu (!). Mengapa saya tiba-tiba menulis tentang Yus Badudu ? Saya mengagumi konsistensinya, itu dibuktikan dengan semua pekerjaan dan karya tulisnya dalam bidang bahasa Indonesia. Sebagai seorang pengagumnya, saya mengumpulkan hampir semua buku yang pernah ditulisnya (mengumpulkan dalam hal ini artinya adalah mengumpulkan buku-buku lama yang kebetulan saya temukan di tukang buku bekas) dan membeli semua buku baru yang ditulisnya. Saya barusan saja membeli buku barunya itu, sebuah buku yang berhasil ditulis dan diselesaikannya pada saat usianya 82 tahun. Buku baru ini baru saja (April 2008) diterbitkan Kompas. Judulnya adalah Kamus Peribahasa : Memahami Arti dan Kiasan Peribahasa, Pepatah, dan Ungkapan. Hingga kini peribahasa masih dipergunakan dan diajarkan di sekolah. Tetapi, seringkali para pengguna hanya mampu mengerti arti kiasannya tanpa memahami arti sebenarnya kalimat yang dipergunakan. Dengan membaca buku ini, kita akan lebih memahami latar belakang dan arti peribahasa itu secara lebih mendalam, sehingga kita akan lebih yakin menggunakannya. Sebelum buku ini, lima tahun yang lalu saya pun membeli buku Yus Badudu yang saat itu baru diterbitkan (Maret 2003) oleh Kompas berjudul, Kamus Kata-Kata Serapan Asing dalam Bahasa Indonesia. Buku ini diselesaikan Yus Badudu saat usianya 77 tahun. Buku ini akan menolong kita memahami kata-kata serapan asing dan menggunakannya secara benar. Saat membeli buku kamus kata serapan asing itu, saya pun membeli buku Yus Badudu paling tabal yang pernah ditulisnya Kamus Umum Bahasa Indonesia Badudu-Zain (Pustaka Sinar Harapan, 2001) setebal 1646 halaman. Kamus Badudu-Zain merupakan revisi besar atas Kamus Moderen Bahasa Indonesia susunan Sutan Mohammad Zain (1954). Disebut revisi besar karena jumlah lema (entry) menjadi bertambah sekitar dua kali (dari 12.645 lema menjadi 24.500 lema). Pewaris Zain, yaitu anaknya, meminta Yus Badudu merevisi kamus Zain ini dan menerbitkannya. Maka, Yus Badudu mengerjakannya selama 13 tahun dan berhasil menyelesaikannya pada tahun 2001 saat Yus Badudu berusia 75 tahun. Perlu diperhatikan bahwa Yus Badudu mengerjakannya seorang diri bukan tim seperti halnya penyusunan Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan Nasional, 2007, edisi ketiga). Kamus Besar Bahasa Indonesia disusun oleh 38 ahli bahasa Indonesia dan memang luar biasa hasilnya sebab bisa mengumpulkan 72.000 lema kata bahasa Indonesia dalam edisi ketiganya. Kembali kepada Yus Badudu, dengan tiga karya utamanya yang dihasilkannya saat usianya 75-82 tahun itu jelas mencerminkan suatu konsistensi yang luar biasa. Sebuah teladan bagi kita semua bahwa siapa saja yang menggunakan akalnya dengan rajin, akan tetap terlatih, tajam sekalipun usianya sudah di atas 80 tahun. Dan saya pikir hanya cinta yang mendalam kepada bahasa Indonesia sajalah yang menyebabkan Yus Badudu tetap berkarya dalam bidangnya. Cinta memang penggerak utama banyak hal. Sekalipun Yus Badudu menjadi sarjana (S1) Bahasa Indonesia pada saat usianya sudah 37 tahun (Fakultas Sastra UNPAD, 1963) termasuk terlambat daripada umumnya sungguh bukan suatu keterlambatan sebab ia tetap berkarya sampai usianya di atas 80 tahun pun. Yus Badudu memang dilahirkan untuk menjadi guru. Ia telah menjadi guru selama 65 tahun. Sejak umurnya 15 tahun ia telah menjadi guru. Delapan tahun menjadi guru SD, 4 tahun guru SMP, 10 tahun guru SMA, dan 42 tahun menjadi dosen di Perguruan Tinggi (UNPAD dan UPI Bandung-dulu IKIP Bandung). Yus Badudu pun mengajar guru-guru bahasa Indonesia sampai ke pelosok-pelosok wilayah Indonesia dalam program penataran guru bahasa Indonesia. Rekannya, Prof. Dr. Anton Moeliono menggelarinya Gurunya Guru Bahasa. Dan, siapa saja yang pernah membaca majalah bulanan Intisari, pasti pernah menemukan rubrik Inilah
RE: [iagi-net-l] OOT : Cintailah Bahasa Indonesia (Teladan Konsistensi Yus Badudu)
Pak Awang, Trimakasih atas ulasannya mengenai Pak Yus Badudu. Beliau itu kan dulu sering membawakan acara Bahasa Indonesia di TVRI, juga menulis di majalah Intisari: Inilah bahasa Indonesia yang benar. Tulisannya hanya dua halaman tetapi isinya padat, informatif dan sangat bagus. Tulisan-2 ini juga sudah dibukukan lho, dan saya pernah membelinya beberapa untuk dihadiahkan kepada kawan, saudara yang menjadi guru Bahasa Indonesia di SMP dan SMA. Tentu saja mereka sangat gembira. Mas Edwin Latuihamalo, salah satu menantunya adalah teman saya ketika masih jadi mudlogger, karena dia sebagai teknisi lumpur pemboran. Saya pernah tanya, bagaimana kalau saya sowan dan minta tanda-tangan beliau pada buku yang saya miliki? Jawab mas Edwin, wah beliau pasti dengan senang hati. Bagi saya, beliau ini sangat konsisten dengan ilmu keahliannya. Walaupun sudah sepuh tetapi tetap rajin menulis dan tetap enerjik, seperti halnya para sesepuh kita di bidang Geologi yang telah Pak Awang sebutkan. Semoga setelah pulang dari Rig, saya dapat membeli buku beliau, lalu kalau dolan ke Bandung dapat sowan untuk minta tanda-tangan. Pokoknya alamat rumahnya di daerah Dago yha? Rasanya uraian Pak Awang benar sekali; walaupun kita sudah cukup umur, dan bekerja bukan di bidang bahasa, tetapi tetap harus belajar dan mencintai Bahasa Indonesia. Rasanya tidak enak kalau menulis tetapi susunan kata atau bahasanya masih berlepotan. Saat ini saya sedang di lokasi sumur eksplorasi. Tentu saja saya sempat main ke perkampungan sebelah. Saya agak prihatin dengan kemampuan bahasa dan menulis anak-2 SD di sini. Kemarin ketika sempat pulang bbrp hari ke Jakarta, mereka saya bawakan buku-2 bacaan, cerita rakyat berbagai daerah dan majalah Bobo bekas. Mereka suka main ke belakang cabin saya; sekarang mereka mandi dan keramas dulu sebelum main :) Salam hangat, Sugeng From: Awang Satyana [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Minggu 04/05/2008 2:03 To: Geo Unpad; Eksplorasi BPMIGAS; Forum HAGI; IAGI Subject: [iagi-net-l] OOT : Cintailah Bahasa Indonesia (Teladan Konsistensi Yus Badudu) Saat saya seorang murid SMP pada tahun 1977-1980, sekitar 30 tahun yang lalu, saya menjadi penggemar acara Pembinaan Bahasa Indonesia yang ditayangkan satu-satunya stasiun televisi saat itu - TVRI. Guru Bahasa Indonesia saya memberikan tugas kepada murid-muridnya untuk memperhatikan acara televisi tersebut dan mencatatnya. Maka, setiap Selasa malam pukul 20.00 saya siap di depan televisi untuk meringkas pembahasan Yus Badudu -ahli Bahasa Indonesia kala itu - yang mengupas kesalahan penggunaan bahasa Indonesia. Tugas sekolah ini telah memupuk kecintaan akan Bahasa Indonesia. Sampai saat ini pun, di TVRI masih ada acara tersebut dalam format wawancara antara ahli bahasa Indonesia dengan pembawa acara Susan Bachtiar membahas persoalan-persoalan kebahasaan. Di mana Yus Badudu (Prof. Dr. Jusuf Syarif Badudu) sekarang ? Yus Badudu (82 tahun) sudah lama pensiun, tinggal bersama isterinya tercinta di Bandung di wilayah Bukit Dago, kini Yus Badudu adalah seorang kakek dengan 23 cucu dari 9 anak dan 9 menantu. Meskipun demikian, sebuah buku baru diterbitkannya seminggu yang lalu (!). Mengapa saya tiba-tiba menulis tentang Yus Badudu ? Saya mengagumi konsistensinya, itu dibuktikan dengan semua pekerjaan dan karya tulisnya dalam bidang bahasa Indonesia. Sebagai seorang pengagumnya, saya mengumpulkan hampir semua buku yang pernah ditulisnya (mengumpulkan dalam hal ini artinya adalah mengumpulkan buku-buku lama yang kebetulan saya temukan di tukang buku bekas) dan membeli semua buku baru yang ditulisnya. Saya barusan saja membeli buku barunya itu, sebuah buku yang berhasil ditulis dan diselesaikannya pada saat usianya 82 tahun. Buku baru ini baru saja (April 2008) diterbitkan Kompas. Judulnya adalah Kamus Peribahasa : Memahami Arti dan Kiasan Peribahasa, Pepatah, dan Ungkapan. Hingga kini peribahasa masih dipergunakan dan diajarkan di sekolah. Tetapi, seringkali para pengguna hanya mampu mengerti arti kiasannya tanpa memahami arti sebenarnya kalimat yang dipergunakan. Dengan membaca buku ini, kita akan lebih memahami latar belakang dan arti peribahasa itu secara lebih mendalam, sehingga kita akan lebih yakin menggunakannya. Sebelum buku ini, lima tahun yang lalu saya pun membeli buku Yus Badudu yang saat itu baru diterbitkan (Maret 2003) oleh Kompas berjudul, Kamus Kata-Kata Serapan Asing dalam Bahasa Indonesia. Buku ini diselesaikan Yus Badudu saat usianya 77 tahun. Buku ini akan menolong kita memahami kata-kata serapan asing dan menggunakannya secara benar. Saat membeli buku kamus kata serapan asing itu, saya pun membeli buku Yus Badudu paling tabal yang pernah ditulisnya Kamus Umum Bahasa Indonesia Badudu-Zain (Pustaka Sinar Harapan, 2001) setebal 1646 halaman. Kamus Badudu-Zain merupakan revisi besar atas Kamus Moderen Bahasa Indonesia susunan Sutan
[iagi-net-l] GEM-LOVERS : DAUN MEJA BLUE SAPPHIRE
Rekan-rekan Gem-Lovers yang budiman, Beberapa hari yang lalu mang Okim menerima pesan sms dari seorang kenalan baru yang mengabarkan bahwa dia telah mengirim gambar meja blue sapphire via email . Setelah melihat gambarnya, mang Okim tanyakan bagaimana dia tahu bahwa meja tersebut terbuat dari blue sapphire. Kenalan baru mang Okim menjawab : Ada surat penelitian dan pemeriksaan dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Mojokerto yang menyatakan bahwa meja itu blue sapphire. Kalau Pak Miko minat bisa kami antar lihat barangnya . Mang Okim kemudian menjawab ( 01 Mei 2008 pkl 06.37 ) : Mohon surat penelitiannya bisa difax ke 022-6038712 atau 022-6075855 . Nah, bagaimana pendapat rekan-rekan Gem-Lovers ? Barangkali ada rekan-rekan yang tahu apakah di Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Mojokerto ada ahli batumulianya yang dapat dipercaya dan bisa menguji batumulia ? Sampai hari ini mang Okim belum menerima fax yang mang Okim minta. Insyaallah setelah menerimanya dan mempelajari isinya, mang Okim akan menanggapi serius berita huebat ini. Bayangin saja seandainya meja tersebut benar-benar terbuat dari blue sapphire, berapa ratus milyar harganya. Mau tahu taksiran beratnya ? Dengan berat jenis sekitar 4,garis tengah sekitar 1,20 meter (?), dan tebal sekitar 4 cm ( ? ) , taksiran beratnya bisa mencapai sekitar 182 kg atau 910.000 karat. Wow, safir seberat ini pasti bisa memecahkan record Guinness - - - tak iye Sambil menunggu cerita lanjutan ( kalau ada ), bagi rekan-rekan Gem-Lovers yang punya duit segeer, entah duit panas atau duit dingin, boleh deeh siap-siap, siapa tahu blue sapphire nya beneran. Hanya kalau sampai terjadi transaksi kelak, inget mang Okim ya - - - he - he. Salam batumulia, Mang Okim Keterangan gambar Gambar meja blue sapphire yang kalau benar beratnya bisa mencapai 182 kg atau 910.000 karat. BLUE SAPHIR1.jpg