Ini kisah terakhir dari tragedi perebutan dan penghancuran lapangan-lapangan 
dan fasilitas-fasilitas minyak saat tentara Jepang memasuki Indonesia tahun 
1941-1942. Tiga tragedi telah saya ceritakan sebelumnya : Kalimantan 
(Balikpapan, Tarakan, Miri), Papua (Babo), dan Jawa (Cepu). Kini tentang 
Sumatra, pulau di mana lapangan minyak pertama Indonesia ditemukan (Telaga 
Said, Langkat, Sumatra Utara, 1885). Buku lama “Oost Indies Episode” (Johan 
Fabricius, 1949) masih menjadi sumber cerita ini.

Saat para pekerja Babo mengungsi dan sedapat mungkin mencapai Australia, 
tragedi yang sama tengah terjadi di Pangkalan Brandan dan Pangkalan Susu, 
Sumatra Utara. Lapangan dan kilang minyak di wilayah ini ditinggalkan para 
pekerjanya. Sumatra Selatan melakukan hal yang sama di antara Plaju dan 
Palembang, tetapi terlambat. Pasukan paratroops (skuadron udara) Jepang 
mendarat dengan sangat cepatnya di Plaju dan Palembang. “Blitzkrieg” Jepang 
yang menimpa Singapura, Malaya, dan Birma, juga membuat Plaju-Palembang jatuh 
dengan mudahnya.

Plaju (BPM) akhir tahun 1930-an terletak di tepi selatan Sungai Musi di dekat 
muara Komering. Palembang yang terletak enam mil ke arah hulu dihubungkan 
dengan Plaju oleh motor-boat, ferry, dan jalan kendaraan bermotor. 
Lapangan-lapangan minyak telah banyak yang ditemukan dalam radius 200 mil dari 
Plaju sampai mendekati wilayah Jambi. Orang yang terbang dari Medan melalui 
Pekanbaru ke Batavia akan melihat pipa panjang melalui rawa-rawa dan hutan dan 
berakhir di Plaju.

Saat itu, Plaju dihuni oleh 250 pekerja asing dari Eropa dan 4500 pekerja 
Indonesia bersama keluarganya, membentuk kota tersendiri dengan peradaban 
minyak yang eksklusif. Plaju punya rumah sakit, hotel, club house, bioskop, 
lapangan sepak bola, lapangan hockey, lapangan golf, dan kolam renang. Sungai 
Musi saat itu yang lebarnya setengah mil dan semua anak sungainya menjadi 
tempat wisata : berlayar dan berburu. Di antara jalan yang menghubungkan Plaju 
dan Palembang, BPM pun punya kompleks hunian tersendiri : Bagus Kuning (kawan2 
saya di Pertamina Plaju tentu tahu perumahan ini –suatu saat beberapa tahun 
yang lalu saya pun pernah menginap di salah satu rumah di Bagus Kuning).

Peradaban tenteram perminyakan yang ekslusif itu kemudian serta merta harus 
ditinggalkan, tak pernah terbayangkan bahwa mereka mesti berjalan kaki 
menyeberangi Bukit Barisan nan liar melarikan diri ke Bengkulu kemudian 
berkapal ke Jawa, atau tetap bertahan di Plaju namun ditahan pasukan Dai 
Nippon. Ketenteraman itu berubah seiring jatuhnya Pearl Harbour di Pasifik yang 
menandai pecahnya Perang Pasifik Desember 1941. 

Bahwa ketenteraman itu terganggu dimulai dengan hadirnya 100 tentara asing dari 
Eropa di Plaju, kemudian 40 karywan BPM dilatih militer sebagai reserve. Sebuah 
milisi terbentuk di BPM. Sejak itu, kondisi di Plaju dan sekitarnya tak pernah 
normal lagi, setiap karyawan selain melakukan pekerjaannya sehari-hari mereka 
pun diserahi tanggung jawab untuk mengamankan fasilitas perminyakan, termasuk 
merusakkannya bila diperlukan. Malam hari, lampu-lampu dipadamkan, membuat 
perumahan kepanasan mencekik pernapasan (saya pernah tinggal tiga tahun di 
perumahan Pertamina di Balikpapan tak jauh dari kilang, pintu rumah suka 
bergetar sendiri digoyang getaran flare kilang; suatu malam mati listrik, AC 
mati, dan panasnya minta ampun...). Lampu-lampu di Plaju dimatikan untuk 
menghindari terlihat Jepang.

Seorang pekerja BPM menulis dalam laporannya (diterjemahkan), 
“Bioskop pada malam Minggu tetap memutar filmnya agar orang-orang tetap 
mendapat hiburan, tetapi rumah-rumah dan selebihnya gelap gulita. Setiap malam 
kami duduk-duduk di teras yang gelap sambil minum bir, membicarakan 
berita-berita terbaru tentang perang yang disiarkan pengeras suara yang sengaja 
dipasang, atau memandang Sungai Musi melihat airnya yang malas bergerak. Suatu 
kali, kami mendengar lapangan terbang di utara Palembang dibom Jepang yang 
sekaligus menghentikan pembicaraan kami sebab kaca-kaca rumah pun bergetar oleh 
suara ledakan dari jauh.”

Evakuasi harus segera dilakukan, tentara Jepang tiba tanpa diduga-duga. Tak ada 
waktu lagi untuk merusakkan fasilitas perminyakan seperti dilakukan di 
Kalimantan atau Babo. Menyelamatkan orang lebih penting daripada melenyapkan 
sumber minyak bagi Jepang, itu keputusan Manajemen BPM. Kaum perempuan dan 
anak-anak menjadi prioritas utama evakuasi. Pengungsian akan dilakukan ke 
Batavia yang dipandang aman dari serangan Jepang. 

28 Januari 1942, kereta pertama membawa pengungsi berangkat dari stasiun 
Kartapatih Palembang menuju Oosthaven (pelabuhan timur). Dari pelabuhan ini 
mereka bertolak menggunakan kapal ke Batavia. Para istri dan ibu berlinang air 
mata berpisah dengan suami, kekasih, atau anak mereka; para anak-anak cemas 
berpisah dengan ayahnya sambil ketakutan menghadapi episode baru dalam 
hidupnya. 

Muara Sungai Musi pun ternyata menjadi tempat berlabuhnya kapal pengungsi dari 
Singapura yang lebih dahulu jatuh ke tangan Jepang. Maka sesaklah Oosthaven 
oleh kapal-kapal pengungsi. Sementara itu skuadron utara Jepang semakin gencar 
mengebom Talang Betutu yang dianggapnya sebagai markas tentara Amerika. Ada 
kabar yang menggembirakan bahwa 21 ribu tentara Inggris sedang menuju Sumatra 
Selatan untuk mempertahankan Plaju, tetapi ternyata itu hanya isapan jempol. 
Milisi BPM yang ada sebenarnya telah bersiap dengan persenjataan berat penembak 
bomber (pesawat pengebom). Satu artileri berat ditempatkan di lapangan golf 
dekat Bagus Kuning, beberapa ditempatkan di kilang minyak NKPM (Nederlandsche 
Koloniale Petroleum Maatschappij) di Sungai Gerong. 

13 Februari 1942, tiba-tiba skuadron udara Jepang terdiri atas lebih dari 100 
bomber menyobek angkasa di atas Palembang dan Plaju. Menjelang memasuki 
Palembang, formasi udara yang hiruk-pikuk itu terbelah dua. Satu kelompok 
menuju aerodrom Talang Betutu, satu kelompok lagi menuju Plaju. Artileri BPM 
menyambut mereka dengan tembakan-tembakan ke udara. Dua bomber berhasil 
dijatuhkan, satu pesawat penumpang jatuh terbakar di kebun karet. Tiba-tiba 
dari hiruk pikuk pesawat itu tepat di atas Plaju berhamburanlah paratroops 
dengan parasutnya hendak mendarat di atas kilang Plaju –hanya angin dari 
baratlaut membuat mereka tak mendarat di sasaran. Namun, begitu mendarat, 
mereka segera berbaris menuju Plaju. Di tengah jalan, mereka menangkap dua 
tentara Jawa dan memaksa mereka untuk naik ke tempat tinggi mengibarkan bendera 
Matahari Terbit sebagai tanda bahwa Plaju telah dikuasai Jepang. 

Tak ada lagi milisi BPM di kilang Plaju, bom dijatuhkan di mana-mana. Milisi 
amatiran BPM tak berdaya menghadapi tentara profesional Jepang yang terkenal 
kejam itu. Di sebuah bangunan, pasukan paratroops menemukan banyak kuli dan 
empat orang Eropa yang kemudian menjadi tahanan pertama mereka. Sebenarnya 
jumlah pasukan paratroops yang mendarat di Plaju ini hanya sekitar 50 orang, 
tetapi mereka begitu terlatih dan segera menguasai kilang Plaju. 
Serangan-serangan terhadap Jepang bisa dilumpuhkan dengan mudah. Tak ada 
kesempatan lagi untuk demolition squad (pasukan perusak) merebut kilang dan 
merusakkannya. Berita tambahan diterima : lapangan terbang Talang Betutu telah 
jatuh ke tangan Jepang. Berita ini membuat putus asa milisi dan karyawan BPM.

Tak ada yang bisa dilakukan lagi untuk merebut kembali Plaju dan Palembang, 
karyawan dan milisi BPM menyingkir ke Prabumulih. Dari Prabumulih mereka 
berjalan menyambung-nyambung selama beberapa hari melalui Lahat, Pagaralam, 
Kepahiang sampai akhirnya tiba di Bengkulu –suatu perjalanan melintasi 
pegunungan Bukit Barisan melalui alam yang masih liar. Untung saja sepanjang 
perjalanan mereka banyak menerima bantuan dari penduduk kampung, Mereka 
sebenarnya berharap bahwa Jepang segera meninggalkan Plaju dan Palembang, 
tetapi Jepang ternyata tidak pergi lagi dari situ. 

19 Februari 1941, kapal pertama para pengungsi dari Bengkulu tiba di pelabuhan 
Merak dan segera melanjutkan perjalanan ke Batavia. Pada saat yang sama, Jepang 
juga telah mendarat di Bali. Begitulah kisah berakhirnya peradaban minyak BPM 
di Plaju dan Palembang.

Minyak adalah barang panas, ia bisa menjadi berkah, tetapi bisa juga menjadi 
sumber malapetaka seperti sejarah telah tunjukkan kepada kita, atau minyak juga 
bisa menjadi sumber rebutan sanak sebangsa, seperti dikemukakan Humpreys et al. 
(2007). Waspadalah, waspadalah !

“ Countries with large endowments of natural resources, such as oil and gas, 
often do worse than their poorer neighbors. Their resource wealth frequently 
leads to lower growth rates, greater volatility, more corruption, and in 
extreme cases, devastating civil wars.” (Macartan Humphreys, Jeffrey Sachs, 
Joseph Stiglitz : Escaping the Resource Curse, Columbia Univ. Press, 2007).

salam,
awang





--------------------------------------------------------------------------------
PP-IAGI 2008-2011:
ketua umum: LAMBOK HUTASOIT, lam...@gc.itb.ac.id
sekjen: MOHAMMAD SYAIFUL, mohammadsyai...@gmail.com
* 2 sekretariat (Jkt & Bdg), 5 departemen, banyak biro...
--------------------------------------------------------------------------------
ayo meriahkan PIT ke-38 IAGI!!!
yg akan dilaksanakan di Hotel Gumaya, Semarang
13-14 Oktober 2009
-----------------------------------------------------------------------------
To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id
To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id
Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
Pembayaran iuran anggota ditujukan ke:
Bank Mandiri Cab. Wisma Alia Jakarta
No. Rek: 123 0085005314
Atas nama: Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI)
Bank BCA KCP. Manara Mulia
No. Rekening: 255-1088580
A/n: Shinta Damayanti
IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi
---------------------------------------------------------------------
DISCLAIMER: IAGI disclaims all warranties with regard to information posted on 
its mailing lists, whether posted by IAGI or others. In no event shall IAGI and 
its members be liable for any, including but not limited to direct or indirect 
damages, or damages of any kind whatsoever, resulting from loss of use, data or 
profits, arising out of or in connection with the use of any information posted 
on IAGI mailing list.
---------------------------------------------------------------------

Kirim email ke