[iagi-net-l] RE: 1D modelling thermal calibration
Febrie, Pak Iman, William dan rekan2 milis, Terima kasih atas jawaban Pak Iman. Hal2 yang Pak Iman kemukakan bisa merupakan penyebab perbedaan hasil pemodelan termal dengan measured Ro. Maka, ada baiknya Febrie melakukan satu per satu pemeriksaan kembali sesuai saran2 Pak Iman butir no.1 – 3. Beberapa tanggapan atas saran Pak Iman : (1) Pengukuran FAMM (fluorescence alteration of multiple macerals) walaupun unggul, dan tak suka menunjukkan supression (penurunan nilai terukur daripada nilai sebenarnya) seperti Ro, tak banyak dilakukan sebab selain mahal juga pemahaman tentang FAMM belum menyeluruh di samping Ro sudah terlanjur sangat populer. Masih ada metode koreksi yang jauh lebih murah daripada FAMM dan cukup bisa diandalkan. (2) Metode perhitungan GG kelihatannya sudah terkoreksi dengan menggunakan corrected BHT. (3) Pemilihan jenis litologi di modul software yang tersedia belum tentu cocok dengan real stratigraphy yang ditembus sumur, sehingga konduktivitas termal yang diterapkan tak cocok dengan kenyataannya. Menjawab pertanyaan Febrie : Pertanyaan no. 1 Kalibrasi adalah proses meminimalisasi perbedaan antara modeled output dengan measured values sedemikian rupa agar terjadi “best fit” antara measured dan modeled data. Pemodel yang berpengalaman biasanya punya naluri/cara masing-masing untuk mencapai best fit ini berdasarkan trial and error yang pernah dialaminya dan “good feeling” mereka. Tujuan mengkalibrasi juga jangan hanya untuk mencocokkan nilai yang diperoleh dengan model terhadap nilai terukur. Bila telah cocok lalu berhenti, maka hasil kalibrasi tersebut belum tentu bisa dipakai di berbagai situasi/lokasi. Harus dilakukan sensitivity anlalysis dengan menggunakan berbagai measured parameters (kalau dengan Ro bagaimana, dengan T max bagaimana, dsb.). Bila telah dilakukan sensitivity analysis dengan berbagai model tetap terjadi best fit, maka model bisa diyakini benar dan berharga untuk keperluan prediksi di berbagai situasi dan lokasi. Dasar (parameter terukur) yang paling tepat untuk dijadikan landasan dalam kalibrasi thermal modeling sebenarnya tidak ada, masing-masing punya keunggulan dan kelemahannya sendiri2; maka menggunakan berbagai parameter daripada hanya satu saja adalah lebih baik (sensitivity analysis). Menggunakan VR biasanya paling banyak dilakukan (tetapi dalam hal Ro mengalami supression, kemudian langsung dipakai tanpa mengoreksinya, maka tak akan terjadi kecocokan antara nilai model dengan nilai terukur). Menggunakan SCI (spore coloration index) baik, tetapi kontrol stratigrafi harus lebih hati2. Menggunakan Tmax baik karena datanya banyak, tetapi biasanya sebarannya scattered. Menggunakan biomarker isomer ratios excellent, tetapi jarang dilakukan analisis lab-nya. Menggunakan AFTA (apatite fission track analysis) baik, tetapi tak umum untuk banyak kasus, cocok untuk sumur2 yang menembus unconformity. Menggunakan smectite/illite ratios cocok untuk temperatur tinggi saja. Saran saya : cek dulu input parameters untuk membangun 1D basin modeling itu (seperti saran Pak Iman), kemudian cek juga measured parameter yang akan mengkalibrasinya, jangan menggunakan parameter yang secara analisis tidak disarankan dipakai (misalnya supressed VR). Pertanyaan no. 2 Kalau input parameters untuk 1D basin modeling (GG, jenis dan tebal litologi, dll.) sudah benar, tetapi terjadi perbedaan signifikan dengan trend Ro, di mana hasil thermal modeling lebih tinggi daripada measured Ro, maka yang disebutkan Pak Iman (Ro supression) kemungkinan besar benar. Kita sebenarnya belum paham benar mengapa Ro supression terjadi sebab satu penjelasan memuaskan di satu tempat, tetapi penjelasan yang sama ketika diterapkan ke tempat lain ternyata tak memuaskan. Kebanyakan publikasi cenderung mengatakan bahwa supressed Ro terjadi karena kondisi materi maseral vitrinite-nya sendiri (karena itu mengukur kematangan dengan FAMM adalah lebih baik sebab metode ini menggunakan berbagai maseral bukan hanya vitrinite). Teknologi baru menggunakan VIRF (vitrinite-inertinite reflectance and fluorescence) pun bisa mengatasi masalah Ro supression. Penyebab utama Ro supression yang banyak disebutkan para peneliti adalah akibat (1) dominasi perhydrous vitrinite (kaya hidrogen) di antara maseral2 vitrinite dan (2) keberadaan liptinite (kaya hidrogen) di samping vitrinite dalam maseral. Perhatikan bahwa unsur H di sini ternyata selalu dianggap sebagai penyebab Ro supression. Maka, secara praktis, bila satu kerogen punya HI (hydrogen index) yang tinggi (300), maka harus hati2 bahwa Ro-nya mungkin mengalami supresi. Supresi Ro juga menurut beberapa peneliti akan terjadi di sampel-sampel dengan kandungan exinite kerogen 20 % (dari total kerogen), supresi Ro akan cenderung makin terjadi dengan makin banyaknya kontribusi marin, tetapi juga makin terjadi di lingkungan lakustrin. Juga katanya Ro supression ditemukan banyak terjadi di
Re: [iagi-net-l] RE: 1D modelling thermal calibration
Dengan asumsi Ro yang dipergunakan memang telah akurat, apakah tidak ada kemungkinan bahwa Gradient Geothermal (GG) yang pernah ada dulu ternyata lebih rendah daripada GG yang terhitung sekarang? Tapi mestinya jika GG sekarang memang lebih tinggi daripada GG dulu, berarti Ro yang terukur sekarang seharusnya adalah Ro maksimum dong. Ada sebuah paper yang mungkin bermanfaat, ditulis oleh Pak Mochamad Thamrin (Pertamina) dan dipublikasikan di Tectonophysics (1985). Baliau mengukur representative thermal conductivity (k) untuk tiap formasi di beberapa cekungan. Secara umum, hasil pengukuran beliau menunjukkan bahwa formasi yang muda memiliki nilai k rendah sedangkan formasi yang lebih tua memiliki k yang lebih tinggi. Nilai k ini meningkat dengan meningkatnya kedalaman dan derajat kompaksi. Kemudian, hasil pengukuran k dan perhitungan GG dari Bottom Hole Temperature itu direratakan sedemikian rupa sehingga muncullah sebuah angka GG yang diasumsikan bisa digunakan untuk cekungan. Mungkin, kalau saya boleh menyarankan, Febrie coba cek GG yang digunakan dengan GG yang dipublikasikan oleh Pak Thamrin. Jika berbeda, bandingkan hasil thermal modelling dengan menggunakan GG hasil perhitungan sendiri dan GG dari publikasi itu. Mudah-mudahan membantu. Salam mnw 2009/2/3 Awang Satyana awangsaty...@yahoo.com: Febrie, Pak Iman, William dan rekan2 milis, Terima kasih atas jawaban Pak Iman. Hal2 yang Pak Iman kemukakan bisa merupakan penyebab perbedaan hasil pemodelan termal dengan measured Ro. Maka, ada baiknya Febrie melakukan satu per satu pemeriksaan kembali sesuai saran2 Pak Iman butir no.1 – 3. Beberapa tanggapan atas saran Pak Iman : (1) Pengukuran FAMM (fluorescence alteration of multiple macerals) walaupun unggul, dan tak suka menunjukkan supression (penurunan nilai terukur daripada nilai sebenarnya) seperti Ro, tak banyak dilakukan sebab selain mahal juga pemahaman tentang FAMM belum menyeluruh di samping Ro sudah terlanjur sangat populer. Masih ada metode koreksi yang jauh lebih murah daripada FAMM dan cukup bisa diandalkan. (2) Metode perhitungan GG kelihatannya sudah terkoreksi dengan menggunakan corrected BHT. (3) Pemilihan jenis litologi di modul software yang tersedia belum tentu cocok dengan real stratigraphy yang ditembus sumur, sehingga konduktivitas termal yang diterapkan tak cocok dengan kenyataannya. Menjawab pertanyaan Febrie : Pertanyaan no. 1 Kalibrasi adalah proses meminimalisasi perbedaan antara modeled output dengan measured values sedemikian rupa agar terjadi best fit antara measured dan modeled data. Pemodel yang berpengalaman biasanya punya naluri/cara masing-masing untuk mencapai best fit ini berdasarkan trial and error yang pernah dialaminya dan good feeling mereka. Tujuan mengkalibrasi juga jangan hanya untuk mencocokkan nilai yang diperoleh dengan model terhadap nilai terukur. Bila telah cocok lalu berhenti, maka hasil kalibrasi tersebut belum tentu bisa dipakai di berbagai situasi/lokasi. Harus dilakukan sensitivity anlalysis dengan menggunakan berbagai measured parameters (kalau dengan Ro bagaimana, dengan T max bagaimana, dsb.). Bila telah dilakukan sensitivity analysis dengan berbagai model tetap terjadi best fit, maka model bisa diyakini benar dan berharga untuk keperluan prediksi di berbagai situasi dan lokasi. Dasar (parameter terukur) yang paling tepat untuk dijadikan landasan dalam kalibrasi thermal modeling sebenarnya tidak ada, masing-masing punya keunggulan dan kelemahannya sendiri2; maka menggunakan berbagai parameter daripada hanya satu saja adalah lebih baik (sensitivity analysis). Menggunakan VR biasanya paling banyak dilakukan (tetapi dalam hal Ro mengalami supression, kemudian langsung dipakai tanpa mengoreksinya, maka tak akan terjadi kecocokan antara nilai model dengan nilai terukur). Menggunakan SCI (spore coloration index) baik, tetapi kontrol stratigrafi harus lebih hati2. Menggunakan Tmax baik karena datanya banyak, tetapi biasanya sebarannya scattered. Menggunakan biomarker isomer ratios excellent, tetapi jarang dilakukan analisis lab-nya. Menggunakan AFTA (apatite fission track analysis) baik, tetapi tak umum untuk banyak kasus, cocok untuk sumur2 yang menembus unconformity. Menggunakan smectite/illite ratios cocok untuk temperatur tinggi saja. Saran saya : cek dulu input parameters untuk membangun 1D basin modeling itu (seperti saran Pak Iman), kemudian cek juga measured parameter yang akan mengkalibrasinya, jangan menggunakan parameter yang secara analisis tidak disarankan dipakai (misalnya supressed VR). Pertanyaan no. 2 Kalau input parameters untuk 1D basin modeling (GG, jenis dan tebal litologi, dll.) sudah benar, tetapi terjadi perbedaan signifikan dengan trend Ro, di mana hasil thermal modeling lebih tinggi daripada measured Ro, maka yang disebutkan Pak Iman (Ro supression) kemungkinan besar benar. Kita sebenarnya belum paham
RE: [iagi-net-l] RE: 1D modelling thermal calibration
Febrie, Mungkin untuk practical di software, Febrie harus check dulu, Ro yang dimodelkan oleh software itu perhitungannya seperti apa, karena ada beberapa Pemodelan Ro dari Thermal modelling yang bisa dipakai, hal ini menandakan bahwa memang ada uncertainty yang cukup tinggi dalam pemodelan Ro. Saya biasa pakai software Genesis (dari Zetaware) untuk 1D modeling, disoftware ini ada dua model Ro yang bisa dihitung yaitu ARCO model dan LL model, dua model ini memberikan hasil yang berbeda karena rumus Ro terhadap temperature yang dipakai berbeda, biasanya LL model akan memberikan nilai Ro yang lebih tinggi daripada ARCO model. Di BP malah ada lagi model yang dikembangkan oleh expertise berdasarkan pengamatan dari data-data Ro yang BP punya diseluruh dunia, dan kita punya model Ro minimum dan Ro maximum, RO min dan Max ini berdasarkan data BP sudah mewakili range dari uncertainty nilai Ro terhadap Thermal maturation yang bisa diakibatkan banyak hal salah satunya karena RO supression tadi, as long as Measured Ro ada diantara Minimum dan Maximum modelled Ro, itu sudah cukup valid untuk sebuah model Ro... Semoga bisa membantu edo -Original Message- From: Awang Satyana [mailto:awangsaty...@yahoo.com] Sent: Tuesday, February 03, 2009 10:04 PM To: Febrie Ekaninggarani; William Romodhon; RM Iman Argakoesoemah Cc: IAGI; Geo Unpad; Forum HAGI; Eksplorasi BPMIGAS Subject: [iagi-net-l] RE: 1D modelling thermal calibration Febrie, Pak Iman, William dan rekan2 milis, Terima kasih atas jawaban Pak Iman. Hal2 yang Pak Iman kemukakan bisa merupakan penyebab perbedaan hasil pemodelan termal dengan measured Ro. Maka, ada baiknya Febrie melakukan satu per satu pemeriksaan kembali sesuai saran2 Pak Iman butir no.1 - 3. Beberapa tanggapan atas saran Pak Iman : (1) Pengukuran FAMM (fluorescence alteration of multiple macerals) walaupun unggul, dan tak suka menunjukkan supression (penurunan nilai terukur daripada nilai sebenarnya) seperti Ro, tak banyak dilakukan sebab selain mahal juga pemahaman tentang FAMM belum menyeluruh di samping Ro sudah terlanjur sangat populer. Masih ada metode koreksi yang jauh lebih murah daripada FAMM dan cukup bisa diandalkan. (2) Metode perhitungan GG kelihatannya sudah terkoreksi dengan menggunakan corrected BHT. (3) Pemilihan jenis litologi di modul software yang tersedia belum tentu cocok dengan real stratigraphy yang ditembus sumur, sehingga konduktivitas termal yang diterapkan tak cocok dengan kenyataannya. Menjawab pertanyaan Febrie : Pertanyaan no. 1 Kalibrasi adalah proses meminimalisasi perbedaan antara modeled output dengan measured values sedemikian rupa agar terjadi best fit antara measured dan modeled data. Pemodel yang berpengalaman biasanya punya naluri/cara masing-masing untuk mencapai best fit ini berdasarkan trial and error yang pernah dialaminya dan good feeling mereka. Tujuan mengkalibrasi juga jangan hanya untuk mencocokkan nilai yang diperoleh dengan model terhadap nilai terukur. Bila telah cocok lalu berhenti, maka hasil kalibrasi tersebut belum tentu bisa dipakai di berbagai situasi/lokasi. Harus dilakukan sensitivity anlalysis dengan menggunakan berbagai measured parameters (kalau dengan Ro bagaimana, dengan T max bagaimana, dsb.). Bila telah dilakukan sensitivity analysis dengan berbagai model tetap terjadi best fit, maka model bisa diyakini benar dan berharga untuk keperluan prediksi di berbagai situasi dan lokasi. Dasar (parameter terukur) yang paling tepat untuk dijadikan landasan dalam kalibrasi thermal modeling sebenarnya tidak ada, masing-masing punya keunggulan dan kelemahannya sendiri2; maka menggunakan berbagai parameter daripada hanya satu saja adalah lebih baik (sensitivity analysis). Menggunakan VR biasanya paling banyak dilakukan (tetapi dalam hal Ro mengalami supression, kemudian langsung dipakai tanpa mengoreksinya, maka tak akan terjadi kecocokan antara nilai model dengan nilai terukur). Menggunakan SCI (spore coloration index) baik, tetapi kontrol stratigrafi harus lebih hati2. Menggunakan Tmax baik karena datanya banyak, tetapi biasanya sebarannya scattered. Menggunakan biomarker isomer ratios excellent, tetapi jarang dilakukan analisis lab-nya. Menggunakan AFTA (apatite fission track analysis) baik, tetapi tak umum untuk banyak kasus, cocok untuk sumur2 yang menembus unconformity. Menggunakan smectite/illite ratios cocok untuk temperatur tinggi saja. Saran saya : cek dulu input parameters untuk membangun 1D basin modeling itu (seperti saran Pak Iman), kemudian cek juga measured parameter yang akan mengkalibrasinya, jangan menggunakan parameter yang secara analisis tidak disarankan dipakai (misalnya supressed VR). Pertanyaan no. 2 Kalau input parameters untuk 1D basin modeling (GG, jenis dan tebal litologi, dll.) sudah benar, tetapi terjadi perbedaan signifikan dengan trend Ro, di mana hasil thermal modeling lebih tinggi daripada measured Ro, maka yang