[iagi-net-l] RE: 1D modelling thermal calibration

2009-02-03 Terurut Topik Awang Satyana
Febrie, Pak Iman, William dan rekan2 milis,
 
Terima kasih atas jawaban Pak Iman. Hal2 yang Pak Iman kemukakan bisa merupakan 
penyebab perbedaan hasil pemodelan termal dengan measured Ro. Maka, ada baiknya 
Febrie melakukan satu per satu pemeriksaan kembali sesuai saran2 Pak Iman butir 
no.1 – 3. 
 
Beberapa tanggapan atas saran Pak Iman : 
 
(1) Pengukuran FAMM (fluorescence alteration of multiple macerals) walaupun 
unggul, dan tak suka menunjukkan supression (penurunan nilai terukur daripada 
nilai sebenarnya) seperti Ro, tak banyak dilakukan sebab selain mahal juga 
pemahaman tentang FAMM belum menyeluruh di samping Ro sudah terlanjur sangat 
populer. Masih ada metode koreksi yang jauh lebih murah daripada FAMM dan cukup 
bisa diandalkan.
(2) Metode perhitungan GG kelihatannya sudah terkoreksi dengan menggunakan 
corrected BHT.
(3) Pemilihan jenis litologi di modul software yang tersedia belum tentu 
cocok dengan real stratigraphy yang ditembus sumur, sehingga konduktivitas 
termal yang diterapkan tak cocok dengan kenyataannya.
 
Menjawab pertanyaan Febrie : 
 
Pertanyaan no. 1
 
Kalibrasi adalah proses meminimalisasi perbedaan antara modeled output dengan 
measured values sedemikian rupa agar terjadi “best fit” antara measured dan 
modeled data. Pemodel yang berpengalaman biasanya punya naluri/cara 
masing-masing untuk mencapai best fit ini berdasarkan trial and error yang 
pernah dialaminya dan “good feeling” mereka. Tujuan mengkalibrasi juga jangan 
hanya untuk mencocokkan nilai yang diperoleh dengan model terhadap nilai 
terukur. Bila telah cocok lalu berhenti, maka hasil kalibrasi tersebut belum 
tentu bisa dipakai di berbagai situasi/lokasi. Harus dilakukan sensitivity 
anlalysis dengan menggunakan berbagai measured parameters (kalau dengan Ro 
bagaimana, dengan T max bagaimana, dsb.). Bila telah dilakukan sensitivity 
analysis dengan berbagai model tetap terjadi best fit, maka model bisa diyakini 
benar dan berharga untuk keperluan prediksi di berbagai situasi dan lokasi.  
 
Dasar (parameter terukur) yang paling tepat untuk dijadikan landasan dalam 
kalibrasi thermal modeling sebenarnya tidak ada, masing-masing punya keunggulan 
dan kelemahannya sendiri2; maka menggunakan berbagai parameter daripada hanya 
satu saja adalah lebih baik (sensitivity analysis). Menggunakan VR biasanya 
paling banyak dilakukan (tetapi dalam hal Ro mengalami supression, kemudian 
langsung dipakai tanpa mengoreksinya, maka tak akan terjadi kecocokan antara 
nilai model dengan nilai terukur). Menggunakan SCI (spore coloration index) 
baik, tetapi kontrol stratigrafi harus lebih hati2. Menggunakan Tmax baik 
karena datanya banyak, tetapi biasanya sebarannya scattered. Menggunakan 
biomarker isomer ratios excellent, tetapi jarang dilakukan analisis lab-nya. 
Menggunakan AFTA (apatite fission track analysis) baik, tetapi tak umum untuk 
banyak kasus, cocok untuk sumur2 yang menembus unconformity. Menggunakan 
smectite/illite ratios cocok untuk temperatur tinggi
 saja.
 
Saran saya : cek dulu input parameters untuk membangun 1D basin modeling itu 
(seperti saran Pak Iman), kemudian cek juga measured parameter yang akan 
mengkalibrasinya, jangan menggunakan parameter yang secara analisis tidak 
disarankan dipakai (misalnya supressed VR).
 
Pertanyaan no. 2
 
Kalau input parameters untuk 1D basin modeling (GG, jenis dan tebal litologi, 
dll.) sudah benar, tetapi terjadi perbedaan signifikan dengan trend Ro, di mana 
hasil thermal modeling lebih tinggi daripada measured Ro, maka yang disebutkan 
Pak Iman (Ro supression) kemungkinan besar benar. 
 
Kita sebenarnya belum paham benar mengapa Ro supression terjadi sebab satu 
penjelasan memuaskan di satu tempat, tetapi penjelasan yang sama ketika 
diterapkan ke tempat lain ternyata tak memuaskan. Kebanyakan publikasi 
cenderung mengatakan bahwa supressed Ro terjadi karena kondisi materi maseral 
vitrinite-nya sendiri (karena itu mengukur kematangan dengan FAMM adalah lebih 
baik sebab metode ini menggunakan berbagai maseral bukan hanya vitrinite). 
Teknologi baru menggunakan VIRF (vitrinite-inertinite reflectance and 
fluorescence) pun bisa mengatasi masalah Ro supression. 
 
Penyebab utama Ro supression yang banyak disebutkan para peneliti adalah akibat 
(1) dominasi perhydrous vitrinite (kaya hidrogen) di antara maseral2 vitrinite 
dan (2) keberadaan liptinite (kaya hidrogen) di samping vitrinite dalam 
maseral. Perhatikan bahwa unsur H di sini ternyata selalu dianggap sebagai 
penyebab Ro supression. Maka, secara praktis, bila satu kerogen punya HI 
(hydrogen index) yang tinggi (300), maka harus hati2 bahwa Ro-nya mungkin 
mengalami supresi. 
 
Supresi Ro juga menurut beberapa peneliti akan terjadi di sampel-sampel dengan 
kandungan exinite kerogen  20 % (dari total kerogen), supresi Ro akan 
cenderung makin terjadi dengan makin banyaknya kontribusi marin, tetapi juga 
makin terjadi di lingkungan lakustrin. Juga katanya Ro supression ditemukan 
banyak terjadi di 

Re: [iagi-net-l] RE: 1D modelling thermal calibration

2009-02-03 Terurut Topik MINARWAN
Dengan asumsi Ro yang dipergunakan memang telah akurat, apakah tidak
ada kemungkinan bahwa Gradient Geothermal (GG) yang pernah ada dulu
ternyata lebih rendah daripada GG yang terhitung sekarang? Tapi
mestinya jika GG sekarang memang lebih tinggi daripada GG dulu,
berarti Ro yang terukur sekarang seharusnya adalah Ro maksimum dong.

Ada sebuah paper yang mungkin bermanfaat, ditulis oleh Pak Mochamad
Thamrin (Pertamina) dan dipublikasikan di Tectonophysics (1985).
Baliau mengukur representative thermal conductivity (k) untuk tiap
formasi di beberapa cekungan. Secara umum, hasil pengukuran beliau
menunjukkan bahwa formasi yang muda memiliki nilai k rendah sedangkan
formasi yang lebih tua memiliki k yang lebih tinggi. Nilai k ini
meningkat dengan meningkatnya kedalaman dan derajat kompaksi.

Kemudian, hasil pengukuran k dan perhitungan GG dari Bottom Hole
Temperature itu direratakan sedemikian rupa sehingga muncullah sebuah
angka GG yang diasumsikan bisa digunakan untuk cekungan. Mungkin,
kalau saya boleh menyarankan, Febrie coba cek GG yang digunakan dengan
GG yang dipublikasikan oleh Pak Thamrin. Jika berbeda, bandingkan
hasil thermal modelling dengan menggunakan GG hasil perhitungan
sendiri dan GG dari publikasi itu.

Mudah-mudahan membantu.

Salam
mnw


2009/2/3 Awang Satyana awangsaty...@yahoo.com:
 Febrie, Pak Iman, William dan rekan2 milis,

 Terima kasih atas jawaban Pak Iman. Hal2 yang Pak Iman kemukakan bisa 
 merupakan penyebab perbedaan hasil pemodelan termal dengan measured Ro. Maka, 
 ada baiknya Febrie melakukan satu per satu pemeriksaan kembali sesuai saran2 
 Pak Iman butir no.1 – 3.

 Beberapa tanggapan atas saran Pak Iman :

 (1) Pengukuran FAMM (fluorescence alteration of multiple macerals) 
 walaupun unggul, dan tak suka menunjukkan supression (penurunan nilai terukur 
 daripada nilai sebenarnya) seperti Ro, tak banyak dilakukan sebab selain 
 mahal juga pemahaman tentang FAMM belum menyeluruh di samping Ro sudah 
 terlanjur sangat populer. Masih ada metode koreksi yang jauh lebih murah 
 daripada FAMM dan cukup bisa diandalkan.
 (2) Metode perhitungan GG kelihatannya sudah terkoreksi dengan 
 menggunakan corrected BHT.
 (3) Pemilihan jenis litologi di modul software yang tersedia belum tentu 
 cocok dengan real stratigraphy yang ditembus sumur, sehingga konduktivitas 
 termal yang diterapkan tak cocok dengan kenyataannya.

 Menjawab pertanyaan Febrie :

 Pertanyaan no. 1

 Kalibrasi adalah proses meminimalisasi perbedaan antara modeled output dengan 
 measured values sedemikian rupa agar terjadi best fit antara measured dan 
 modeled data. Pemodel yang berpengalaman biasanya punya naluri/cara 
 masing-masing untuk mencapai best fit ini berdasarkan trial and error yang 
 pernah dialaminya dan good feeling mereka. Tujuan mengkalibrasi juga jangan 
 hanya untuk mencocokkan nilai yang diperoleh dengan model terhadap nilai 
 terukur. Bila telah cocok lalu berhenti, maka hasil kalibrasi tersebut belum 
 tentu bisa dipakai di berbagai situasi/lokasi. Harus dilakukan sensitivity 
 anlalysis dengan menggunakan berbagai measured parameters (kalau dengan Ro 
 bagaimana, dengan T max bagaimana, dsb.). Bila telah dilakukan sensitivity 
 analysis dengan berbagai model tetap terjadi best fit, maka model bisa 
 diyakini benar dan berharga untuk keperluan prediksi di berbagai situasi dan 
 lokasi.

 Dasar (parameter terukur) yang paling tepat untuk dijadikan landasan dalam 
 kalibrasi thermal modeling sebenarnya tidak ada, masing-masing punya 
 keunggulan dan kelemahannya sendiri2; maka menggunakan berbagai parameter 
 daripada hanya satu saja adalah lebih baik (sensitivity analysis). 
 Menggunakan VR biasanya paling banyak dilakukan (tetapi dalam hal Ro 
 mengalami supression, kemudian langsung dipakai tanpa mengoreksinya, maka tak 
 akan terjadi kecocokan antara nilai model dengan nilai terukur). Menggunakan 
 SCI (spore coloration index) baik, tetapi kontrol stratigrafi harus lebih 
 hati2. Menggunakan Tmax baik karena datanya banyak, tetapi biasanya 
 sebarannya scattered. Menggunakan biomarker isomer ratios excellent, tetapi 
 jarang dilakukan analisis lab-nya. Menggunakan AFTA (apatite fission track 
 analysis) baik, tetapi tak umum untuk banyak kasus, cocok untuk sumur2 yang 
 menembus unconformity. Menggunakan smectite/illite ratios cocok untuk 
 temperatur tinggi
  saja.

 Saran saya : cek dulu input parameters untuk membangun 1D basin modeling itu 
 (seperti saran Pak Iman), kemudian cek juga measured parameter yang akan 
 mengkalibrasinya, jangan menggunakan parameter yang secara analisis tidak 
 disarankan dipakai (misalnya supressed VR).

 Pertanyaan no. 2

 Kalau input parameters untuk 1D basin modeling (GG, jenis dan tebal litologi, 
 dll.) sudah benar, tetapi terjadi perbedaan signifikan dengan trend Ro, di 
 mana hasil thermal modeling lebih tinggi daripada measured Ro, maka yang 
 disebutkan Pak Iman (Ro supression) kemungkinan besar benar.

 Kita sebenarnya belum paham 

RE: [iagi-net-l] RE: 1D modelling thermal calibration

2009-02-03 Terurut Topik Edward, Syafron
Febrie,

Mungkin untuk practical di software, Febrie harus check dulu, Ro yang 
dimodelkan oleh software itu perhitungannya seperti apa, karena ada beberapa 
Pemodelan Ro dari Thermal modelling yang bisa dipakai, hal ini menandakan bahwa 
memang ada uncertainty yang cukup tinggi dalam pemodelan Ro.
Saya biasa pakai software Genesis (dari Zetaware) untuk 1D modeling, disoftware 
ini ada dua model Ro yang bisa dihitung yaitu ARCO model dan LL model, dua 
model ini memberikan hasil yang berbeda karena rumus Ro terhadap temperature 
yang dipakai berbeda, biasanya LL model akan memberikan nilai Ro yang lebih 
tinggi daripada ARCO model. Di BP malah ada lagi model yang dikembangkan oleh 
expertise berdasarkan pengamatan dari data-data Ro yang BP punya diseluruh 
dunia, dan kita punya model Ro minimum dan Ro maximum, RO min dan Max ini 
berdasarkan data BP sudah mewakili range dari uncertainty nilai Ro terhadap 
Thermal maturation yang bisa diakibatkan banyak hal salah satunya karena RO 
supression tadi, as long as Measured Ro ada diantara Minimum dan Maximum 
modelled Ro, itu sudah cukup valid untuk sebuah model Ro...

Semoga bisa membantu
edo 

-Original Message-
From: Awang Satyana [mailto:awangsaty...@yahoo.com] 
Sent: Tuesday, February 03, 2009 10:04 PM
To: Febrie Ekaninggarani; William Romodhon; RM Iman Argakoesoemah
Cc: IAGI; Geo Unpad; Forum HAGI; Eksplorasi BPMIGAS
Subject: [iagi-net-l] RE: 1D modelling thermal calibration

Febrie, Pak Iman, William dan rekan2 milis,
 
Terima kasih atas jawaban Pak Iman. Hal2 yang Pak Iman kemukakan bisa merupakan 
penyebab perbedaan hasil pemodelan termal dengan measured Ro. Maka, ada baiknya 
Febrie melakukan satu per satu pemeriksaan kembali sesuai saran2 Pak Iman butir 
no.1 - 3. 
 
Beberapa tanggapan atas saran Pak Iman : 
 
(1) Pengukuran FAMM (fluorescence alteration of multiple macerals) walaupun 
unggul, dan tak suka menunjukkan supression (penurunan nilai terukur daripada 
nilai sebenarnya) seperti Ro, tak banyak dilakukan sebab selain mahal juga 
pemahaman tentang FAMM belum menyeluruh di samping Ro sudah terlanjur sangat 
populer. Masih ada metode koreksi yang jauh lebih murah daripada FAMM dan cukup 
bisa diandalkan.
(2) Metode perhitungan GG kelihatannya sudah terkoreksi dengan menggunakan 
corrected BHT.
(3) Pemilihan jenis litologi di modul software yang tersedia belum tentu 
cocok dengan real stratigraphy yang ditembus sumur, sehingga konduktivitas 
termal yang diterapkan tak cocok dengan kenyataannya.
 
Menjawab pertanyaan Febrie : 
 
Pertanyaan no. 1
 
Kalibrasi adalah proses meminimalisasi perbedaan antara modeled output dengan 
measured values sedemikian rupa agar terjadi best fit antara measured dan 
modeled data. Pemodel yang berpengalaman biasanya punya naluri/cara 
masing-masing untuk mencapai best fit ini berdasarkan trial and error yang 
pernah dialaminya dan good feeling mereka. Tujuan mengkalibrasi juga jangan 
hanya untuk mencocokkan nilai yang diperoleh dengan model terhadap nilai 
terukur. Bila telah cocok lalu berhenti, maka hasil kalibrasi tersebut belum 
tentu bisa dipakai di berbagai situasi/lokasi. Harus dilakukan sensitivity 
anlalysis dengan menggunakan berbagai measured parameters (kalau dengan Ro 
bagaimana, dengan T max bagaimana, dsb.). Bila telah dilakukan sensitivity 
analysis dengan berbagai model tetap terjadi best fit, maka model bisa diyakini 
benar dan berharga untuk keperluan prediksi di berbagai situasi dan lokasi.  
 
Dasar (parameter terukur) yang paling tepat untuk dijadikan landasan dalam 
kalibrasi thermal modeling sebenarnya tidak ada, masing-masing punya keunggulan 
dan kelemahannya sendiri2; maka menggunakan berbagai parameter daripada hanya 
satu saja adalah lebih baik (sensitivity analysis). Menggunakan VR biasanya 
paling banyak dilakukan (tetapi dalam hal Ro mengalami supression, kemudian 
langsung dipakai tanpa mengoreksinya, maka tak akan terjadi kecocokan antara 
nilai model dengan nilai terukur). Menggunakan SCI (spore coloration index) 
baik, tetapi kontrol stratigrafi harus lebih hati2. Menggunakan Tmax baik 
karena datanya banyak, tetapi biasanya sebarannya scattered. Menggunakan 
biomarker isomer ratios excellent, tetapi jarang dilakukan analisis lab-nya. 
Menggunakan AFTA (apatite fission track analysis) baik, tetapi tak umum untuk 
banyak kasus, cocok untuk sumur2 yang menembus unconformity. Menggunakan 
smectite/illite ratios cocok untuk temperatur tinggi  saja.
 
Saran saya : cek dulu input parameters untuk membangun 1D basin modeling itu 
(seperti saran Pak Iman), kemudian cek juga measured parameter yang akan 
mengkalibrasinya, jangan menggunakan parameter yang secara analisis tidak 
disarankan dipakai (misalnya supressed VR).
 
Pertanyaan no. 2
 
Kalau input parameters untuk 1D basin modeling (GG, jenis dan tebal litologi, 
dll.) sudah benar, tetapi terjadi perbedaan signifikan dengan trend Ro, di mana 
hasil thermal modeling lebih tinggi daripada measured Ro, maka yang