Haji Minus Kesalehan Sosial
Oleh: Nurul Huda Maarif*

Banyak yang bilang, umat Islam Indonesia lebih greget mengerjakan ibadah
haji ketimbang berzakat. Padahal, secara hierarkis, perilaku berzakat
seharusnya lebih diutamakan ketimbang berhaji.

Kesimpulan seperti di atas tidak sepenuhnya salah. Sebab, memang ibadah haji
lebih menitikberatkan pada dimensi vertikal, antara al-Khaliq dengan
al-makhluq saja, bukan dimensi sosial layaknya zakat. Jelas, zakat sangat
bernuansa sosial karena kita langsung berinteraksi dengan masyarakat. Kita
dapat membayangkan sebagian di antara kita yang punya program haji tiap
tahun, misalnya. Haji dilakukan berkali-kali.

Tujuannya, apa lagi, kalau bukan untuk ibadah kepentingan pribadi. Tidak ada
sejarahnya, berhaji untuk kepentingan masyarakat, misalnya supaya masyarakat
menjadi makmur atau sejahtera. Bahkan, lebih jauh lagi, mereka hanya
bertujuan mengoleksi titel sosial yang sama sekali tidak membantu memerangi
dan mengentaskan kemiskinan yang menyedihkan di sekitar kita.

Dalam tradisi fikih, model ibadah dibedakan menjadi tiga kategori. Pertama,
ibadah badaniyyah, yakni ibadah yang sepenuhnya mengandalkan aspek kekuatan
badan, seperti salat dan puasa. Untuk melakukannya, kita hanya membutuhkan
kekuatan fisik. Kita tidak perlu membayar upeti untuk melakukan keduanya.

Kedua, ibadah maliyah, yakni ibadah yang hanya dapat dilakukan dengan sarana
uang, seperti zakat. Kita tidak memerlukan kekuatan fisik untuk
melakukannya. Kita hanya membutuhkan harta (dan sebagian di antara kita yang
mengerjakan haji berkali-kali pasti memiliki aspek ini).

Ketiga, ibadah maliyah-badaniyyah, yakni model ibadah yang hanya bisa
dilakukan kala kita memiliki kekuatan fisik dan harta, seperti ibadah haji.
Dalam Alquran disebutkan bahwa untuk menunaikan haji, disyaratkan adanya
istithaah (kemampuan), yakni istithaah fisik dan harta. Tanpa adanya
kesatuan antara kedua hal itu, mustahil kita dapat melaksanakannya.

Bila kita cermati tiga model ibadah di atas satu per satu, kita akan
menemukan kesimpulan bahwa dimensi ibadah model pertama sangat bersifat
individualistik. Yakni lebih menekankan hubungan antara Sang Khalik dan sang
makhluk. Apalagi dalam kasus puasa. Firman Allah ini menunjukkan betapa
sangat pribadi model ibadah tersebut.

Dimensi ibadah model kedua, zakat, jelas sekali bernuansa sosial. Sebab,
dengan berzakat, berarti kita turut memikirkan dan mencoba mengentaskan
kemiskinan atau minimal berbagi rasa dengan golongan *wong alit*.

Sementara itu, ibadah model ketiga, sebagaimana model pertama, juga lebih
bersifat individualistik. Manfaatnya hanya dirasakan oleh pelakunya. Orang
lain tidak merasakan apa pun, kecuali nasi tumpeng, yang hakikatnya juga
ditujukan hanya untuk kepentingan keselamatannya dalam menjalankan ibadah
haji.

Nah, di antara tiga model ibadah di atas, manakah yang utama? Tentu
ketiganya sama-sama utama. Hanya, bila kita berpikir menggunakan konsep
skala prioritas, kita akan mengatakan bahwa ibadah yang berdimensi sosiallah
yang paling utama. Itu tidak bisa dipungkiri.

Mengapa? Sebab, ibadah model itu, selain bernuansa horisontal, juga
mengandung dimensi vertikal. Sebab, mustahil kita melakukannya tanpa
dilandasi unsur keimanan kepada Tuhan. Sebaliknya, nuansa sosial sulit (atau
bahkan tidak dapat) ditemukan pada model ibadah vertikal, seperti salat,
puasa, maupun haji. Kalaupun ada, hal itu sebatas imbas saja, tidak terjadi
secara langsung.

Dalam tradisi Ushul al-Fiqh dikatakan, *al-muta'addy afdhal min
al-qashir*(ibadah yang manfaatnya dirasakan orang lain itu lebih utama
ketimbang
ibadah yang manfaatnya hanya dirasakan sendiri). Ibadah model ini hanya
dapat kita rasakan melalui media zakat. Syukur-syukur, idealnya, kita dapat
melakukan semuanya dengan seimbang.

Karena itu, kesalehan sosial (spiritual centrifugal) sudah seharusnya kita
kedepankan ketimbang kesalehan individual (spiritual centripetal). Karena
itu pula, Murtadla Muthahhari, pemikir muslim terkemuka asal Iran, pernah
bertanya dalam nada menggugat, "Apakah rahib-rahib atau sufi-sufi yang hanya
duduk-duduk di pojok masjid seraya memutar tasbih yang akan masuk surga,
padahal hal itu dilakukan hanya untuk dirinya sendiri? Sementara Thomas Alfa
Edison, si jenius penemu listrik, yang hasil temuannya dimanfaatkan orang
sepanjang zaman, akan masuk neraka?"

Patut kita merenungkan secara mendalam gugatan Muthahhari tersebut. Pada
prinsipnya, dia menggugat tradisi keagamaan yang hanya mementingkan aspek
individual, tanpa pernah menyentuh aspek sosial.

Kita ingat, Nabi Musa AS pernah bertanya kepada Tuhan. "Di manakah aku dapat
menemukan Engkau, ya Allah?" tanya Musa. "Temukan diriku dalam diri
orang-orang yang papa," jawab Allah. Dari situ jelas sekali bahwa kesadaran
humanistis sangatlah penting dalam kehidupan kita.

Bila kita mengaitkan kenyataan di atas dengan perilaku keberagamaan kita,
umat Islam Indonesia, kita patut bertanya, apa yaang terjadi dengan kita?
Kenapa kita lebih mementingkan diri sendiri (individualisme) ketimbang orang
lain (altruisme). Barangkali karena kita sudah sedemikian parah
dininabobokan oleh simbol-simbol keagamaan yang sangat literalistik. Kita
tidak pernah berpikir tentang esensi simbol-simbol itu.

Selain itu, tampaknya kita lebih senang dilihat oleh masyarakat dalam
konteks strata sosial. Kita lebih bahagia dan bangga mantasarufkan harta
kita untuk mengoleksi titel-titel sosial, seperti haji, ketimbang mengoleksi
kebaikan-kebaikan sosial.

Padahal, dalam sejarah, Nabi SAW hanya berhaji sekali, lainnya semata umrah.
Toh, memang yang wajib hanya sekali. Atau barangkali hal ini disebabkan
minat *traveling* orang kaya Indonesia sedemikian tinggi sehingga kerap kita
mendengar istilah wisata spiritual. Istilah yang mengasyikkan, tapi
sebenarnya tidak lebih dari jalan-jalan semata.

Melihat kenyataan di atas, sudah saatnya mengubah perilaku keagamaan, dari
perilaku individualisme menuju altruisme. Dari simbol ke esensi. Kita harus
memulainya saat ini juga. Tidak bisa ditunda-tunda lagi.

Ingat, masih banyak orang-orang kecil di sekeliling kita yang sangat
membutuhkan uluran tangan. Mereka hanya membutuhkan bantuan, bukan Pak Haji
yang tidak sudi membagi rizki.

**Penulis adalah editor the WAHID Institute*

Kirim email ke