[kisunda] Tragedi 19 Ramadhan

2010-08-29 Terurut Topik Ahmad Sahidin
PAGI itu fajar mulai berpijar. Merah kuning emas hiasi langit. Di
seberang sana sebuah tentara pasukan berkuda dengan senjata lengkap
berjejer rapi. Pemandangan serupa tampak di seberang lainnya. Di antara
dua pasukan yang siap tempur itu, seseorang berdiri di tengah-tengah.
Ia memandang keduanya. Wajah bingung sangat tampak. 

Kembali ia
memandang, seakan-akan meminta jawab. Ia berjalan mendekat ke seberang
yang rata-rata berjejer para sahabat dan keturunan tokoh Quraisy Mekkah
yang dipimpin Muawiyah bin Abu Sufyan. Ia bertanya, “Mengapa kalian
berperang? Bukankah sama-sama Muslim?”

Hening. Tak ada yang menjawab. Ia berlari ke seberang yang berbaris
dengan barisan keturunan Rasulullah Saw. Ia berdiri dan bertanya, “Ya
Amirul Mukminin, bukankah mereka itu Muslim? Kenapa mesti berperang?
Bukankah mereka shalat dan ibadah seperti Anda?”

Sambil memegang panji hitam, Ammar bin Yassir, atas perintah Amirul
Mukminin Ali bin Abi Thalib, menjawab, ”Kaulihat lihat bendera itu di
sana. Dahulu, bersama Rasulullah Saw, aku memerangi bendera itu untuk
tanzil al-quran (membenarkan wahyu). Kini memerangi bendera yang sama
untuk membela ta`wil al-quran (berperang karena berbeda memahami dan
menafsirkan quran). Sahabatku, kau benar, mereka itu Muslim. Yang
menjadikan kita berperang karena mereka berbeda dengan kita. Kita
mengusung kebenaran ilahiyah dan berperang untuk Allah, Rasulullah, dan
agama Islam. Sedang mereka tidak seperti kita.”

Terjadilah peperangan. Dalam peperangan itu pihak Muawiyah terdesak.
Penasehatnya, Amr bin Ash, menyarankan agar mengacungkan Al-Quran dan
melakukan tahkim (damai). “Tuanku, jika mereka menyetujui kita atur
dulu siasat yang bagus sehingga Tuan tetap jadi khalifah Islam,” saran
Amr.

Muawiyah pun mengiyakannya. Lalu kedua pihak sepakat untuk
mengirimkan perwakilannya. Mulanya Ali bin Abu Thalib memilih Malik
al-Asytar. Tetapi sebagian pengikutnya yang berasal dari Arab baduy
menolak karena dianggap sangat dekat dengan Ali. Mereka memutuskan Musa
al-Asyari, yang lebih tua, mewakili Ali bin Abu Thalib.
Kedua pihak sepakat menurunkan dua pimpinan dan kemudian akan
memilih secara bersama-sama di antara keduanya. Karena Musa lebih
senior, sebagai penghormatan, Amr mempersilahkannya untuk lebih dahulu
ke mimbar dan mengumumkan bahwa Ali telah diturunkan dari kedudukannya
sebagai pimpinan.

Selanjutnya, Amr naik mimbar dan berpidato, “Terimakasih saudaraku,
Musa al-Asyari, karena Ali bin Abi Thalib telah turun sebagai khalifah,
maka dengan ini saya tegaskan secara bersama bahwa Muawiyah bin Abu
Sufyan menjadi khalifah Islam kalian semua.”
Melihat kelicikan itu, sebagian pengikut Ali mengamuk. Orang-orang
berlarian entah kemana. Pengikut Ali yang mengamuk ini dikenal sebagai
Khawarij—yang memisahkan dari barisan—dan membentuk firqah sendiri
dengan aturan hukum yang harfiah.

Menurut Khawarij, kedua pihak yang berdamai tidak menjalankan hukum
Allah. Karena itu, Amr-Muawiyah-Musa-Ali termasuk yang murtad dan harus
bertobat. Ajakan tobat mereka tak digubris. Ali bin Abu Thalib
membantah, “bukankah mereka yang awalnya menghendaki adanya tahkim.
Merekalah yang harus bertobat karena tak patuh dan membantah perintahku
dalam melanjutkan perang yang akan meraih kemenangan”.

Khawarij tetap pada pendiriannya. Keempat orang itu tetap dianggap
telah murtad dan kafir sehingga pantas untuk dihukum mati atas
dosa-dosanya yang menjadikan wafat ribuan umat Islam dalam perang.
Mereka berpijak pada argumen, tidak ada hukum kecuali berhukum dengan
hukum Allah. Barangsiapa yang tak berhukum dengan ketentuan-Nya, maka
layak untuk ditiadakan—meski sudah bersyahadat—kalau tak bertobat.

Hanya satu orang yang berhasil, yaitu Ali bin Abu Thalib. Ali wafat
pada 21 Ramadhan tahun 40 Hijriah di Masjid Kufah saat shalat subuh.
Menantu Rasulullah Saw ini ditebas seorang Khawarij bernama Ibnu Muljam
pada 19 Ramadhan.

Selama dua hari, Imam Ali terbaring sakit akibat lukanya yang amat
parah dan pada 21 Ramadhan, beliau berpulang ke rahmatullah. Beberapa
sebelum wafat, Ali berwasiat kepada kedua anaknya, Hasan dan Husein,
“Janganlah kalian membunuh kaum khawarij sepeninggalku. Sebab, berbeda
antara orang yang mencari kebenaran dan terjerumus dalam kesalahan;
dengan orang yang mencari kebatilan dan mendapatkannya.” (Nahjul
Balaghah—khutbah 59)

Imam Ali juga meriwayatkan sebuah hadits, Rasulullah saw bersabda,
”Pada akhir zaman akan muncul kaum yang muda usia dan lemah
akalnya.Mereka berkata-kata seolah-olah mereka adalah manusia yang
terbaik. Mereka membaca Al-Quran tetapi tidak melepasi kerongkong
mereka. Mereka keluar dari agama sebagaimana anak panah menembusi
binatang buruan. Apabila kamu bertemu dengan mereka, maka bunuhlah
mereka karena sesungguhnya, membunuh mereka ada pahalanya di sisi Allah
pada Hari Kiamat.” (HR.Muslim)
http://sejarah.kompasiana.com/2010/08/29/tragedi-19-ramadhan-1/


www.ahmadsahidin.wordpress.com



Re: [kisunda] Tragedi 19 Ramadhan

2010-08-29 Terurut Topik tohaan . kayuwangi
Maranehna perang lantaran beda nafsirkeun Al Qur'an. Jalma2 kiwari perang 
lantaran beda nafsirkeun nu parerang.
Powered by Telkomsel BlackBerry®

-Original Message-
From: Ahmad Sahidin ahmadsahi...@ymail.com
Sender: kisunda@yahoogroups.com
Date: Sun, 29 Aug 2010 12:00:19 
To: ALTANWIR milisaltan...@yahoogroups.com; Ki Sunda 
Miliskisunda@yahoogroups.com; SuaraHatisuarah...@yahoogroups.com; SRI 
Freedomsrifree...@yahoo.com; jurnalisme jurnalismejurnali...@yahoogroups.com
Reply-To: kisunda@yahoogroups.com
Subject: [kisunda] Tragedi 19 Ramadhan

PAGI itu fajar mulai berpijar. Merah kuning emas hiasi langit. Di
seberang sana sebuah tentara pasukan berkuda dengan senjata lengkap
berjejer rapi. Pemandangan serupa tampak di seberang lainnya. Di antara
dua pasukan yang siap tempur itu, seseorang berdiri di tengah-tengah.
Ia memandang keduanya. Wajah bingung sangat tampak. 

Kembali ia
memandang, seakan-akan meminta jawab. Ia berjalan mendekat ke seberang
yang rata-rata berjejer para sahabat dan keturunan tokoh Quraisy Mekkah
yang dipimpin Muawiyah bin Abu Sufyan. Ia bertanya, “Mengapa kalian
berperang? Bukankah sama-sama Muslim?”

Hening. Tak ada yang menjawab. Ia berlari ke seberang yang berbaris
dengan barisan keturunan Rasulullah Saw. Ia berdiri dan bertanya, “Ya
Amirul Mukminin, bukankah mereka itu Muslim? Kenapa mesti berperang?
Bukankah mereka shalat dan ibadah seperti Anda?”

Sambil memegang panji hitam, Ammar bin Yassir, atas perintah Amirul
Mukminin Ali bin Abi Thalib, menjawab, ”Kaulihat lihat bendera itu di
sana. Dahulu, bersama Rasulullah Saw, aku memerangi bendera itu untuk
tanzil al-quran (membenarkan wahyu). Kini memerangi bendera yang sama
untuk membela ta`wil al-quran (berperang karena berbeda memahami dan
menafsirkan quran). Sahabatku, kau benar, mereka itu Muslim. Yang
menjadikan kita berperang karena mereka berbeda dengan kita. Kita
mengusung kebenaran ilahiyah dan berperang untuk Allah, Rasulullah, dan
agama Islam. Sedang mereka tidak seperti kita.”

Terjadilah peperangan. Dalam peperangan itu pihak Muawiyah terdesak.
Penasehatnya, Amr bin Ash, menyarankan agar mengacungkan Al-Quran dan
melakukan tahkim (damai). “Tuanku, jika mereka menyetujui kita atur
dulu siasat yang bagus sehingga Tuan tetap jadi khalifah Islam,” saran
Amr.

Muawiyah pun mengiyakannya. Lalu kedua pihak sepakat untuk
mengirimkan perwakilannya. Mulanya Ali bin Abu Thalib memilih Malik
al-Asytar. Tetapi sebagian pengikutnya yang berasal dari Arab baduy
menolak karena dianggap sangat dekat dengan Ali. Mereka memutuskan Musa
al-Asyari, yang lebih tua, mewakili Ali bin Abu Thalib.
Kedua pihak sepakat menurunkan dua pimpinan dan kemudian akan
memilih secara bersama-sama di antara keduanya. Karena Musa lebih
senior, sebagai penghormatan, Amr mempersilahkannya untuk lebih dahulu
ke mimbar dan mengumumkan bahwa Ali telah diturunkan dari kedudukannya
sebagai pimpinan.

Selanjutnya, Amr naik mimbar dan berpidato, “Terimakasih saudaraku,
Musa al-Asyari, karena Ali bin Abi Thalib telah turun sebagai khalifah,
maka dengan ini saya tegaskan secara bersama bahwa Muawiyah bin Abu
Sufyan menjadi khalifah Islam kalian semua.”
Melihat kelicikan itu, sebagian pengikut Ali mengamuk. Orang-orang
berlarian entah kemana. Pengikut Ali yang mengamuk ini dikenal sebagai
Khawarij—yang memisahkan dari barisan—dan membentuk firqah sendiri
dengan aturan hukum yang harfiah.

Menurut Khawarij, kedua pihak yang berdamai tidak menjalankan hukum
Allah. Karena itu, Amr-Muawiyah-Musa-Ali termasuk yang murtad dan harus
bertobat. Ajakan tobat mereka tak digubris. Ali bin Abu Thalib
membantah, “bukankah mereka yang awalnya menghendaki adanya tahkim.
Merekalah yang harus bertobat karena tak patuh dan membantah perintahku
dalam melanjutkan perang yang akan meraih kemenangan”.

Khawarij tetap pada pendiriannya. Keempat orang itu tetap dianggap
telah murtad dan kafir sehingga pantas untuk dihukum mati atas
dosa-dosanya yang menjadikan wafat ribuan umat Islam dalam perang.
Mereka berpijak pada argumen, tidak ada hukum kecuali berhukum dengan
hukum Allah. Barangsiapa yang tak berhukum dengan ketentuan-Nya, maka
layak untuk ditiadakan—meski sudah bersyahadat—kalau tak bertobat.

Hanya satu orang yang berhasil, yaitu Ali bin Abu Thalib. Ali wafat
pada 21 Ramadhan tahun 40 Hijriah di Masjid Kufah saat shalat subuh.
Menantu Rasulullah Saw ini ditebas seorang Khawarij bernama Ibnu Muljam
pada 19 Ramadhan.

Selama dua hari, Imam Ali terbaring sakit akibat lukanya yang amat
parah dan pada 21 Ramadhan, beliau berpulang ke rahmatullah. Beberapa
sebelum wafat, Ali berwasiat kepada kedua anaknya, Hasan dan Husein,
“Janganlah kalian membunuh kaum khawarij sepeninggalku. Sebab, berbeda
antara orang yang mencari kebenaran dan terjerumus dalam kesalahan;
dengan orang yang mencari kebatilan dan mendapatkannya.” (Nahjul
Balaghah—khutbah 59)

Imam Ali juga meriwayatkan sebuah hadits, Rasulullah saw bersabda,
”Pada akhir zaman akan muncul kaum yang muda usia dan lemah