[kisunda] Tragedi 19 Ramadhan
PAGI itu fajar mulai berpijar. Merah kuning emas hiasi langit. Di seberang sana sebuah tentara pasukan berkuda dengan senjata lengkap berjejer rapi. Pemandangan serupa tampak di seberang lainnya. Di antara dua pasukan yang siap tempur itu, seseorang berdiri di tengah-tengah. Ia memandang keduanya. Wajah bingung sangat tampak. Kembali ia memandang, seakan-akan meminta jawab. Ia berjalan mendekat ke seberang yang rata-rata berjejer para sahabat dan keturunan tokoh Quraisy Mekkah yang dipimpin Muawiyah bin Abu Sufyan. Ia bertanya, “Mengapa kalian berperang? Bukankah sama-sama Muslim?” Hening. Tak ada yang menjawab. Ia berlari ke seberang yang berbaris dengan barisan keturunan Rasulullah Saw. Ia berdiri dan bertanya, “Ya Amirul Mukminin, bukankah mereka itu Muslim? Kenapa mesti berperang? Bukankah mereka shalat dan ibadah seperti Anda?” Sambil memegang panji hitam, Ammar bin Yassir, atas perintah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, menjawab, ”Kaulihat lihat bendera itu di sana. Dahulu, bersama Rasulullah Saw, aku memerangi bendera itu untuk tanzil al-quran (membenarkan wahyu). Kini memerangi bendera yang sama untuk membela ta`wil al-quran (berperang karena berbeda memahami dan menafsirkan quran). Sahabatku, kau benar, mereka itu Muslim. Yang menjadikan kita berperang karena mereka berbeda dengan kita. Kita mengusung kebenaran ilahiyah dan berperang untuk Allah, Rasulullah, dan agama Islam. Sedang mereka tidak seperti kita.” Terjadilah peperangan. Dalam peperangan itu pihak Muawiyah terdesak. Penasehatnya, Amr bin Ash, menyarankan agar mengacungkan Al-Quran dan melakukan tahkim (damai). “Tuanku, jika mereka menyetujui kita atur dulu siasat yang bagus sehingga Tuan tetap jadi khalifah Islam,” saran Amr. Muawiyah pun mengiyakannya. Lalu kedua pihak sepakat untuk mengirimkan perwakilannya. Mulanya Ali bin Abu Thalib memilih Malik al-Asytar. Tetapi sebagian pengikutnya yang berasal dari Arab baduy menolak karena dianggap sangat dekat dengan Ali. Mereka memutuskan Musa al-Asyari, yang lebih tua, mewakili Ali bin Abu Thalib. Kedua pihak sepakat menurunkan dua pimpinan dan kemudian akan memilih secara bersama-sama di antara keduanya. Karena Musa lebih senior, sebagai penghormatan, Amr mempersilahkannya untuk lebih dahulu ke mimbar dan mengumumkan bahwa Ali telah diturunkan dari kedudukannya sebagai pimpinan. Selanjutnya, Amr naik mimbar dan berpidato, “Terimakasih saudaraku, Musa al-Asyari, karena Ali bin Abi Thalib telah turun sebagai khalifah, maka dengan ini saya tegaskan secara bersama bahwa Muawiyah bin Abu Sufyan menjadi khalifah Islam kalian semua.” Melihat kelicikan itu, sebagian pengikut Ali mengamuk. Orang-orang berlarian entah kemana. Pengikut Ali yang mengamuk ini dikenal sebagai Khawarij—yang memisahkan dari barisan—dan membentuk firqah sendiri dengan aturan hukum yang harfiah. Menurut Khawarij, kedua pihak yang berdamai tidak menjalankan hukum Allah. Karena itu, Amr-Muawiyah-Musa-Ali termasuk yang murtad dan harus bertobat. Ajakan tobat mereka tak digubris. Ali bin Abu Thalib membantah, “bukankah mereka yang awalnya menghendaki adanya tahkim. Merekalah yang harus bertobat karena tak patuh dan membantah perintahku dalam melanjutkan perang yang akan meraih kemenangan”. Khawarij tetap pada pendiriannya. Keempat orang itu tetap dianggap telah murtad dan kafir sehingga pantas untuk dihukum mati atas dosa-dosanya yang menjadikan wafat ribuan umat Islam dalam perang. Mereka berpijak pada argumen, tidak ada hukum kecuali berhukum dengan hukum Allah. Barangsiapa yang tak berhukum dengan ketentuan-Nya, maka layak untuk ditiadakan—meski sudah bersyahadat—kalau tak bertobat. Hanya satu orang yang berhasil, yaitu Ali bin Abu Thalib. Ali wafat pada 21 Ramadhan tahun 40 Hijriah di Masjid Kufah saat shalat subuh. Menantu Rasulullah Saw ini ditebas seorang Khawarij bernama Ibnu Muljam pada 19 Ramadhan. Selama dua hari, Imam Ali terbaring sakit akibat lukanya yang amat parah dan pada 21 Ramadhan, beliau berpulang ke rahmatullah. Beberapa sebelum wafat, Ali berwasiat kepada kedua anaknya, Hasan dan Husein, “Janganlah kalian membunuh kaum khawarij sepeninggalku. Sebab, berbeda antara orang yang mencari kebenaran dan terjerumus dalam kesalahan; dengan orang yang mencari kebatilan dan mendapatkannya.” (Nahjul Balaghah—khutbah 59) Imam Ali juga meriwayatkan sebuah hadits, Rasulullah saw bersabda, ”Pada akhir zaman akan muncul kaum yang muda usia dan lemah akalnya.Mereka berkata-kata seolah-olah mereka adalah manusia yang terbaik. Mereka membaca Al-Quran tetapi tidak melepasi kerongkong mereka. Mereka keluar dari agama sebagaimana anak panah menembusi binatang buruan. Apabila kamu bertemu dengan mereka, maka bunuhlah mereka karena sesungguhnya, membunuh mereka ada pahalanya di sisi Allah pada Hari Kiamat.” (HR.Muslim) http://sejarah.kompasiana.com/2010/08/29/tragedi-19-ramadhan-1/ www.ahmadsahidin.wordpress.com
Re: [kisunda] Tragedi 19 Ramadhan
Maranehna perang lantaran beda nafsirkeun Al Qur'an. Jalma2 kiwari perang lantaran beda nafsirkeun nu parerang. Powered by Telkomsel BlackBerry® -Original Message- From: Ahmad Sahidin ahmadsahi...@ymail.com Sender: kisunda@yahoogroups.com Date: Sun, 29 Aug 2010 12:00:19 To: ALTANWIR milisaltan...@yahoogroups.com; Ki Sunda Miliskisunda@yahoogroups.com; SuaraHatisuarah...@yahoogroups.com; SRI Freedomsrifree...@yahoo.com; jurnalisme jurnalismejurnali...@yahoogroups.com Reply-To: kisunda@yahoogroups.com Subject: [kisunda] Tragedi 19 Ramadhan PAGI itu fajar mulai berpijar. Merah kuning emas hiasi langit. Di seberang sana sebuah tentara pasukan berkuda dengan senjata lengkap berjejer rapi. Pemandangan serupa tampak di seberang lainnya. Di antara dua pasukan yang siap tempur itu, seseorang berdiri di tengah-tengah. Ia memandang keduanya. Wajah bingung sangat tampak. Kembali ia memandang, seakan-akan meminta jawab. Ia berjalan mendekat ke seberang yang rata-rata berjejer para sahabat dan keturunan tokoh Quraisy Mekkah yang dipimpin Muawiyah bin Abu Sufyan. Ia bertanya, “Mengapa kalian berperang? Bukankah sama-sama Muslim?” Hening. Tak ada yang menjawab. Ia berlari ke seberang yang berbaris dengan barisan keturunan Rasulullah Saw. Ia berdiri dan bertanya, “Ya Amirul Mukminin, bukankah mereka itu Muslim? Kenapa mesti berperang? Bukankah mereka shalat dan ibadah seperti Anda?” Sambil memegang panji hitam, Ammar bin Yassir, atas perintah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, menjawab, ”Kaulihat lihat bendera itu di sana. Dahulu, bersama Rasulullah Saw, aku memerangi bendera itu untuk tanzil al-quran (membenarkan wahyu). Kini memerangi bendera yang sama untuk membela ta`wil al-quran (berperang karena berbeda memahami dan menafsirkan quran). Sahabatku, kau benar, mereka itu Muslim. Yang menjadikan kita berperang karena mereka berbeda dengan kita. Kita mengusung kebenaran ilahiyah dan berperang untuk Allah, Rasulullah, dan agama Islam. Sedang mereka tidak seperti kita.” Terjadilah peperangan. Dalam peperangan itu pihak Muawiyah terdesak. Penasehatnya, Amr bin Ash, menyarankan agar mengacungkan Al-Quran dan melakukan tahkim (damai). “Tuanku, jika mereka menyetujui kita atur dulu siasat yang bagus sehingga Tuan tetap jadi khalifah Islam,” saran Amr. Muawiyah pun mengiyakannya. Lalu kedua pihak sepakat untuk mengirimkan perwakilannya. Mulanya Ali bin Abu Thalib memilih Malik al-Asytar. Tetapi sebagian pengikutnya yang berasal dari Arab baduy menolak karena dianggap sangat dekat dengan Ali. Mereka memutuskan Musa al-Asyari, yang lebih tua, mewakili Ali bin Abu Thalib. Kedua pihak sepakat menurunkan dua pimpinan dan kemudian akan memilih secara bersama-sama di antara keduanya. Karena Musa lebih senior, sebagai penghormatan, Amr mempersilahkannya untuk lebih dahulu ke mimbar dan mengumumkan bahwa Ali telah diturunkan dari kedudukannya sebagai pimpinan. Selanjutnya, Amr naik mimbar dan berpidato, “Terimakasih saudaraku, Musa al-Asyari, karena Ali bin Abi Thalib telah turun sebagai khalifah, maka dengan ini saya tegaskan secara bersama bahwa Muawiyah bin Abu Sufyan menjadi khalifah Islam kalian semua.” Melihat kelicikan itu, sebagian pengikut Ali mengamuk. Orang-orang berlarian entah kemana. Pengikut Ali yang mengamuk ini dikenal sebagai Khawarij—yang memisahkan dari barisan—dan membentuk firqah sendiri dengan aturan hukum yang harfiah. Menurut Khawarij, kedua pihak yang berdamai tidak menjalankan hukum Allah. Karena itu, Amr-Muawiyah-Musa-Ali termasuk yang murtad dan harus bertobat. Ajakan tobat mereka tak digubris. Ali bin Abu Thalib membantah, “bukankah mereka yang awalnya menghendaki adanya tahkim. Merekalah yang harus bertobat karena tak patuh dan membantah perintahku dalam melanjutkan perang yang akan meraih kemenangan”. Khawarij tetap pada pendiriannya. Keempat orang itu tetap dianggap telah murtad dan kafir sehingga pantas untuk dihukum mati atas dosa-dosanya yang menjadikan wafat ribuan umat Islam dalam perang. Mereka berpijak pada argumen, tidak ada hukum kecuali berhukum dengan hukum Allah. Barangsiapa yang tak berhukum dengan ketentuan-Nya, maka layak untuk ditiadakan—meski sudah bersyahadat—kalau tak bertobat. Hanya satu orang yang berhasil, yaitu Ali bin Abu Thalib. Ali wafat pada 21 Ramadhan tahun 40 Hijriah di Masjid Kufah saat shalat subuh. Menantu Rasulullah Saw ini ditebas seorang Khawarij bernama Ibnu Muljam pada 19 Ramadhan. Selama dua hari, Imam Ali terbaring sakit akibat lukanya yang amat parah dan pada 21 Ramadhan, beliau berpulang ke rahmatullah. Beberapa sebelum wafat, Ali berwasiat kepada kedua anaknya, Hasan dan Husein, “Janganlah kalian membunuh kaum khawarij sepeninggalku. Sebab, berbeda antara orang yang mencari kebenaran dan terjerumus dalam kesalahan; dengan orang yang mencari kebatilan dan mendapatkannya.” (Nahjul Balaghah—khutbah 59) Imam Ali juga meriwayatkan sebuah hadits, Rasulullah saw bersabda, ”Pada akhir zaman akan muncul kaum yang muda usia dan lemah