Kuring jadi emut kana film anu diputer salah sahiji stasiun televisi, dua
dinten
kalangkung. Judulna teh 'Perempuan Berkalung Sorban'. Dina film eta teh
digambarkeun aya hiji anak awewe, anu bade dihukum rajam pedah rantang-runtung
sareng lalaki lain muhrim (ngan sakadar sangkaan). Pas bade dirajam
(dibaledogan
batu) aya ibuna anu nyandak batu, nantang ka sadaya jalma anu aya didinya,
yeuh batu, sok baledogkeun ka anak kuring lamun maraneh teu ngarasa boga dosa
atawa ngarasa pangsucina?
Teu aya saurang oge anu narima tantangan eta.
Naon pakaitna sareng nyalatkeun janazah koruptor? Atawa nyalatkeun mayit
teroris?
Ceuk kuring mah, ku aya landihan koruptor/teroris wae geus hiji hukuman sosial
anu beurat pikeun kulawargana. Ny kitu oge hukuman ti nagara. Komo deui engke
jaga di akherat, hukuman Allah leuwih beurat.
Maksad tulisan kuring ieu, kadang-kadang urang teh sok ngahakiman batur
'ngaleuleuwihi', didasaran ku argumen-argumen atanapi dalil ajaran agama.
baktos,
mrachmatrawyani
From: Ahmad Sahidin ahmadsahi...@ymail.com
To: altan...@yahoogroups.com; kisunda@yahoogroups.com
Sent: Mon, August 9, 2010 3:01:32 PM
Subject: [kisunda] fatwa ti PP PERSIS perkawis mayit koruptor
Tokoh Agama tak Boleh Salatkan Jenazah Koruptor
SOREANG, (PR).-
Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PP Persis) mengeluarkan fatwa agar para tokoh
agama dan tokoh masyarakat tidak menyalatkan jenazah pelaku dosa besar. Di
antaranya koruptor, orang yang bunuh diri, meninggal akibat minuman keras,
ber-zina, dan pemimpin yang menzalimi rakyatnya.
Hal itu dikemukakan Ketua Umum PP Persis Prof. Dr. K.H. M. Abdurrahman, ketika
membahas masalah-masalah aktual di Hotel Antik Soreang, Minggu (8/8). Acara
tersebut dihadiri para pengurus Dewan Hisbah PP Persis. Masalah lain yang
dibahas pada acara itu antara lain hukum salat malam lebih dari sebelas rakaat,
terlambat salat Id dan salat gerhana, serta tawaf saat masih berhadas.
Menurut Abdurrahman, ajaran Islam mengenal adanya dosa-dosa besar minimal
sebanyak tujuh puluh jenis. Dosa-dosa besar itu antara lain syirik, membunuh,
sihir, meninggalkan salat, tidak membayar zakat, tidak puasa tanpa sebab syara,
tidak berhaji meski mampu, dan durhaka kepada orang tua. Dosa besar juga bagi
perilaku korupsi, zina, homoseks, memakan harta anak yatim piatu, pemimpin yang
menzalimi rakyatnya, ataupun meminum minuman keras, katanya.
Abdurrahman mengatakan, fenomena bunuh diri ataupun membunuh orang lain, zina,
dan korupsi semakin marak. Ketika kehidupan semakin sulit, dengan mudahnya
seseorang mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri. Padahal, bunuh diri
termasuk dosa besar, ujarnya.
Bahkan, zina dianggap hal yang bukan tabu lagi malah disiarkan di berbagai
media
massa, seperti yang dilakukan artis terkenal. Demikian pula dengan suap,
mengurangi timbangan, sumpah palsu, dan memakan barang haram, sudah tidak
begitu
dipedulikan kaum Muslimin, katanya.
Terhadap umat Islam yang melakukan dosa-dosa besar selama hidupnya, kata Ustaz
Abdurrahman, tokoh agama seperti ulama dan ustaz tak perlu menyalatkannya
ketika
meninggal dunia. Tokoh masyarakat ataupun orang yang memiliki kedudukan khusus
juga tidak perlu ikut menyalatkan. Biarlah masyarakat biasa yang menyalatkan
jenazah pelaku dosa besar tersebut, ucapnya.
Tindakan tidak ikut menyalatkan, menurut Abdurrahman, merupakan sanksi moral
dan
sanksi sosial kepada pelaku dosa besar. Kalau Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama
(PW NU) Jawa Timur memfatwakan haram hukumnya menyalatkan koruptor, PP Persis
membolehkan masyarakat menyalatkan jenazah koruptor. Hanya, para tokoh agama
dan
tokoh masyarakat yang tidak boleh ikut menyalatkan pelaku dosa besar, termasuk
koruptor, ucapnya. (A-71)***
www.ahmadsahidin. wordpress. com